Buku PKB 70
Buku PKB 70
XL Radiologi 26-27 Nop 1997 Pencitraan: Penggunaannya untuk Menunjang Diagnosis Penyakit
Saluran Napas dan Saraf pada Anak
XLI Hematologi 24-25 Jun 1998 Darah dan Tumbuh Kembang: Aspek Transfusi
XLII Gastroenterologi, 22-23 Feb 1999 Dari Kehidupan Intrauterin sampai Transplantasi Organ: Aktualisasi
Hepatologi dan Gizi Gastroenterologi-Hepatologi dan Gizi
XLIII Hepatologi 31 Mei 2000 Tinjauan Komprehensif Hepatitis Virus Pada Anak
XLIV Alergi-Imunologi, Infeksi 30-31 Juli 2001 Pendekatan Imunologis Berbagai Penyakit Alergi
dan Penyakit Tropis PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN LXX
XLV Dep.IKA FKUI-RSCM 18-19 Feb 2002Hot Topics and Pediatrics II
XLVI Dep. IKA FKUI-RSCM 5-6 Sep 2004 Current Management of Pediatrics Problems
XLVII Dep. IKA FKUI-RSCM 19-20 Sep 2005Penanganan Demam pada Anak Secara Profesional
XLVIII Dep. IKA FKUI-RSCM 13-14 Des 2005Update in Neonatal Infections
XLIX Dep. IKA FKUI-RSCM 5-7 Maret 2006Neurology in Children for General Practitioner in Daily Practice
L Dep. IKA FKUI-RSCM 24-25 Juli 2006
Strategi Pendekatan Klinis Secara Profesional Batuk pada Anak
LI Dep. IKA FKUI-RSCM 20-21 Nov 2006Pain Management in Children
LII Dep. IKA FKUI-RSCM 16-17 Juli 2007
Pendekatan Praktis Pucat: Masalah kesehatan yang terabaikan pada
bayi dan anak
LIII
LIV
LV
Dep. IKA FKUI-RSCM
Dep. IKA FKUI-RSCM
Dep. IKA FKUI-RSCM
12-13 Nov 2007 Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Anak dengan Gejala Kuning
27-28 Okt 2008 The 1st National Symposium on Immunization
22-23 Maret 2009 HIV Infection in Infants and Children in Indonesia: Current Challenges in
Common and
LVI Dep. IKA FKUI-RSCM 9-10 Agt 2009
Management
The 2nd Adolescent Health National Symposia:
Current Challenges in Management
Re-Emerging Infectious
LVII Dep. IKA FKUI-RSCM
LX
Dep. IKA FKUI-RSCM & 19-20 Des 2010 The Current Management of Pediatric Ambulatory Patients
IDAI Jaya
Dep. IKA FKUI-RSCM & 9-10 Okt 2011
IDAI Jaya
Peran Dokter Anak dalam Diagnosis Dini dan Pemantauan Keganasan
pada Anak
Evidence
LXI Dep. IKA FKUI-RSCM 5-6 Feb 2012 Kegawatan Pada Bayi dan Anak
LXII Dep. IKA FKUI-RSCM 1-2 Apr 2012 Current Management in Pediatric Allergy and Respiratory Problems
LXIII Dep. IKA FKUI-RSCM 17-18 Juni 2012 Update Management of Infectious Diseases and Gastrointestinal
Disorders
LXIV Dep. IKA FKUI-RSCM 24-25 Maret 2013 Tata Laksana Berbagai Keadaan Gawat Darurat pada Anak
LXV Dep. IKA FKUI-RSCM 17-18 Nop 2013 Pelayanan Kesehatan Anak Terpadu
LXVI Dep. IKA FKUI-RSCM 22-23 Maret 2014 Pendekatan Holistik Penyakit Kronik pada Anak untuk Meningkatkan
Kualitas Hidup
LXVII Dep. IKA FKUI-RSCM 16-17 Nop 2014 Current Evidence in Pediatric Practices
LXVIII Dep. IKA FKUI-RSCM 12-13 April 2015 Current Evidences in Pediatric Emergencies Management
LXIX Dep. IKA FKUI-RSCM 6-7 Des 2015 Menuju diagnosis: pemeriksaan apa yang perlu dilakukan?
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA -
RS. CIPTO MANGUNKUSUMO
Common and
Re-Emerging Infectious Disease:
Current Evidence
Penyunting:
Hartono Gunardi
Nikmah Salamia
Fatima Safira Alatas
Klara Yuliarti
Diterbitkan oleh:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
ISBN 978-979-8271-53-3
ii
Kata Sambutan
Ketua Departemen IKA FKUI - RSCM
Pada beberapa tahun terakhir ini topik penyakit non infeksi yang lebih dikenal
dengan Non Communicable Disease merupakan topik yang banyak mendapat
perhatian dalam seminar atau pertemual ilmiah kedokteran baik nasional
maupun internasional. Hal ini sangatlah wajar mengingat di negara maju
prevalensi penyakit infeksi sudah tidak terlalu banyak lagi.
Namun demikian berbeda dengan negara sedang berkembang seperti
Indonesia selain ancaman morbiditas dan mortalitas akibat penyakit Non
Communicable Disease harus sudah menjadi perhatian, namun kita belumlah
selesai dalam penanganan penyakit infeksi. Bahkan kini kita menghadapi re-
emerging beberapa penyakit infeksi yang selama ini tidak pernah diprediksi. Hal
ini menimbulkan kekuatiran bukan saja di kalangan profesi kedokteran tetapi
juga masyarakat khususnya yang mempunyai anak balita, kelompok yang kita
pahami bersama merupakan kelompok risiko tinggi terkena penyakit.
Sehubungan dengan hal tersebut Departemen Ilmu Kesehatan Anak
merasa terpanggil untuk berperan serta mengatasi kondisi di atas dengan
mengangkat re-emerging infectious disease sebagai tema di Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan (PIKB) kali ini. Disamping itu topik penyakit infkesi yang umum
ditemukan dalam prakter sehari-hari juga ikut dibahas agar para sejawat dapat
terus menerus terinformasi dengan keilmuan pediatri terkini. Melalui PKB
ini kami berharap dapat dimanfaatkan seluas-luasnya untuk mendiskusikan
berbagai topik penyakit infeksi sehingga penangan penyakit infeksi ke depan
akan makin menurunkan angka morbiditas dan mortalitasbpenyakit ini.
Kami ucapkan terima kasih kepada ketua Idai Jaya atas kerja sama
yang kondusif dalam pelaksaan PKB in. Apresiasi yang setinggi-tingginya
saya sampaikan kepada ketua panitia pelaksana beserta seluruh panitia atas
kinerjanya yang luar biasa, demikian pula kepada ketua dan seluruh anggota
Tim PKB Departemen IKA FKUI-RSCM. Ucapan terima kasih kami sampaikan
iii
kepada mitra kerja Departemen IKA FKUI-RSCM yang tidak dapat kami
sebutkan satu persatu atas kontribusinya yang elegan.
Semoga PKB ini memberikan kemaslahatan bagi profesi medis dan anak-
anak Indonesia
Wassalam
Aryono Hendarto
Ketua Departemen IKA FKUI-RSCM
iv
Kata Sambutan
Ketua Panitia PKB Departemen IKA FKUI-RSCM LXX
Assalamualaikum wr.wb.
Penyakit infeksi menjadi masalah utama di Indonesia. Angka kesakitan dan
kematian anak di Indonesia didominasi oleh penyakit infeksi yang mengenai
berbagai organ seperti saluran napas, saluran cerna dan hepatobilier, susunan
saraf pusat, disamping masalah perinatal. Selain itu, infeksi kronis juga
merupakan masalah yang belum tuntas penyelesaiannya sehinga mengancam
terganggunya tumbuh kembang anak. Oleh karena itu, sudah sepantasnya
pemberantasan penyakit infeksi tetap menjadi salah satu target utama dalam
era pasca Millenium Development Goals.
Untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan para praktisi
kesehatan mengenai infeksi pada anak, Departemen Ilmu KesehatanAnak
FKUI-RSCM menyelenggarakan Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB)
LXX dengan tema “Common re-emerging infectious disease: current evidence”.
Berbagai masalah infeksi yang sering didapatkan pada praktek sehari-hari akan
dibahas pada PKB kali ini, begitu pula dengan masalah ikutan terkait anemia,
nutrisi, dan tumbuh kembang anak.
Kami berharap para nara sumber dan peserta pada PKB kali ini akan saling
bertukar pengetahuan dan pengalaman, sehingga ilmu yang disampaikan oleh
nara sumber dapat dimplemenrasi secara optimal pada pasien.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada para nara sumber yang telah
meluangkan waktu dan tenaga untuk menyiapkan makalah buku PKB, sebagai
pelengkap materi presentasi dan menjadi rujukan bagi para peserta.
Atas nama panitia pelaksana, kami mengucapkan selamat dan terima
kepada semua peserta PKB LXX Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI -
RSCM, semoga ilmu yang disampaikan dapat memberikan manfaat, sehingga
meski minimal, kita dapat berkontribusi terhadap program pemerintah dalam
menurunkan angka kejadian infeksi
v
vi
Kata Pengantar Tim Penyunting
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah yang Maha Kuasa atas selesainya
buku prosiding Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB) LXXI ini. Secara
berkala, Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo mengadakan acara pendidikan
kedokteran berkelanjutan dengan tujuan untuk berbagi pengetahuan dan
keterampilan terkini di bidang ilmu kesehatan anak. Topik yang diangkat pada
PKB LXXI kali ini adalah mengenai penyakit infeksi anak pada berbagai organ,
populasi khusus, dan tata laksana menyeluruh, mencakup aspek hematologi,
nutrisi, dan tumbuh kembang. Topik ini kami angkat mengingat saat ini
Indonesia, seperti juga negera berkembang lain, menghadapi double burdens
of disease, yaitu penyakit infeksi dan penyakit kronis sekaligus. Penyakit infeksi
pada anak masih menjadi penyebab utama mortalitas dan morbiditas, termasuk
konsekuensi jangka panjang yang berdampak pada kehidupan di masa dewasa.
Untuk itu, tata laksana yang tepat tidak hanya akan meningkatkan kualitas
hidup pada masa kanak tetapi juga di masa dewasa. Akhir kata, besar harapan
kami, buku ini membawa banyak manfaat bagi sejawat praktisi ilmu kesehatan
anak, termasuk mereka yang berada di lini terdepan sebagai penyedia pelayanan
primer demi tercapainya layanan kesehatan yang lebih baik bagi anak Indonesia.
Tim Penyunting
vii
viii
Tim PKB FKUI-RSCM
ix
Susunan Panitia
x
Daftar Penulis
xi
Dr. Klara Yuliarti, Sp.A(K)
Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta
xii
Daftar isi
xiii
Does Chronic Infection Put Children on Risks of Emotional and Behavioral
Problems? .................................................................................................... 87
Bernie Endyarni Medise
Ethics on Antibiotics Decision Making in Outpatient Setting ........................ 99
Sudung O. Pardede
Anemia Penyakit Kronis dan Inflamasi: The Great Mimicker dari Anemia
Defisiensi Besi ............................................................................................108
Pustika Amalia Wahidiyat
Penerapan Imunonutrisi Berbasis Bukti Ilmiah ..........................................118
Klara Yuliarti
Menuju Unit Rawat Neonatal Bebas Sepsis Neonatorum ............................132
Lily Rundjan, Miske Marsogi
Infeksi Saluran Kemih pada Anak: Tata laksana dan Pencegahan ................147
Eka Laksmi Hidayati
Target Keberhasilan Resusitasi pada Renjatan Sepsis ...................................154
Irene Yuniar
xiv
Infeksi Berulang: Kunci Diagnosis Penyakit
Imunodefisiensi Primer
Dina Muktiarti
Tujuan:
1. Peserta memahami tanda dan gejala anak dengan imunodefisiensi
primer
2. Peserta memahami pendekatan diagnosis imunodefisiensi primer
Infeksi berulang atau kronik adalah salah satu keluhan yang cukup sering
ditemukan di praktik sehari-hari dan merupakan suatu tantangan tersendiri
dalam menegakkan diagnosis.Anak di bawah usia 5 tahun dapat mengalami
infeksi saluran napas kurang lebih 3-8 kali per tahun. Infeksi yang berulang
dapat diakibatkan oleh suatu penyakit lain yang mendasarinya.1,2Suatu penelitian
menemukan dari 260 anak dengan riwayat infeksi berulang ternyata 47% adalah
anak sehat, 31% anak dengan penyakit alergi, 11% anak dengan kelainan
anatomi atau fungsi, dan 11% adalah anak dengan imunodefisiensi primer.1
Anak yang imunokompeten akan terlihat sehat di antara episode infeksi dengan
tumbuh kembang yang normal.1,2
Penyakit imunodefisiensi primer (PIP) adalah suatu kelompok penyakit
yang terdiri dari lebih dari 150 kelainan genetik yang mengakibatkan kelainan
pada sistem kekebalan tubuh baik kekebalan tubuh non-spesifik (innate
immunity) dan kekebalan tubuh spesifik/adaptif.Penyakit imunodefisiensi
primer ini mempunyai dampak jangka panjang terhadap tumbuh kembang
anak, membutuhkan biaya cukup besar, menurunkan kualitas hidup, dan pada
beberapa kasus bersifat fatal.3-6
Prevalens PIP bervariasi berdasarkan jenis kelainan genetiknya.Secara
umum, prevalens PIP di dunia bervariasi sekitar 1:10.000 sampai 1:12.000
pada populasi umum. Sebagian besar pasien PIP tidak terdiagnosis dengan baik,
bahkan di negara maju.4Hal yang sama terjadi di Indonesia dengan laporan
kasus PIP yang jarang. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan
kewaspadaan para dokter terhadap PIP, dan juga keterbatasan pada fasilitas
pemeriksaan penunjang. Hal ini dapat juga terlihat dari penelitian Al-Hammadi,
dkk7pada 263 dokter spesialis anak yang menemukan bahwa hanya 4% dokter
spesialis anak yang menjawab lebih dari 80% pertanyaan terkait PIP dengan
1
Infeksi Berulang: Kunci Diagnosis Penyakit Imunodefisiensi Primer
benar. Sebagian besar dari responden (76%) menjawab dengan benar hanya
60-79% pertanyaan terkait PIP.7
Untuk itu, perlu dilakukan beberapa upaya untuk meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan dokter spesialis anak dalam mengenali dan
mendiagnosis PIP. Makalah ini akan membahas mengenai pendekatan diagnosis
PIP berdasarkan pengenalan pola infeksi yang diderita pasien dan pemeriksaan
penunjang yang tersedia di Indonesia.
2
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
3
Infeksi Berulang: Kunci Diagnosis Penyakit Imunodefisiensi Primer
karena SCID merupakan salah satu kondisi gawat darurat yang memerlukan
penanganan segera seperti pemberian imunoglobulin dan transplantasi sumsum
tulang.4,-6,14
4
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
5
Infeksi Berulang: Kunci Diagnosis Penyakit Imunodefisiensi Primer
6
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
2. Fungsi sel
Pada beberapa penyakit PID, walaupun jumlah sel normal, namun
fungsinya tidak optimal.Fungsi sel T dapat dinilai dengan cara in vivo
maupun in vitro.Cara in vivo adalah dengan menilai reaksi hipersensitivitas
tipe lambat misalnya dengan antigen Candida.Pemeriksaan dihydrorhodamine
(DHR) adalah salah satu cara menilai fungsi neutrofil (neutrophil oxidative
burst)secara in vitro dan merupakan salah satu langkah diagnosis penyakit
granuloma kronik.Pemeriksaan ini menggantikan pemeriksaan nitroblue
tetrazolium (NBT) dalam penilaian fungsi neutrofil karena nilai sensitivitas
yang lebih tinggi.Pemeriksaan fungsi neutrofil ini sangat bergantung pada
kestabilan sampel darah. Pemeriksaan DHR harus diperiksa dalam waktu
48 jam sesudah sampel darah diambil.18
7
Infeksi Berulang: Kunci Diagnosis Penyakit Imunodefisiensi Primer
3. Kadar antibodi
Penilaian imunoglobulin (Ig) baik IgG, IgA, IgM, dan IgE harus dilakukan
apabila terdapat kecurigaan terhadap gangguan imunitas humoral.Penilaian
lebih lanjut dapat dilakukan apabila diperlukan untuk evaluasi sub-kelas
IgG, yaitu IgG1, IgG2, IgG3, dan IgG4. 18
4. Fungsi antibodi
Fungsi antibodi dinilai dengan cara pengukuran titer antibodi pasca
vaksinasi.Beberapa jenis vaksinasi yang dapat dinilai responsnya adalah
difteri, tetanus, pneumokokus, atau campak.Penilaian ini dapat dilakukan
minimal 4 minggu sesudah vaksinasi dilakukan. 18
5. Penilaian komplemen
Pemeriksaan komplemen baik C3, C4, dan CH50 harus dilakukan pada
pasien dengan kecurigaan PIP apabila didapatkan jumlah dan fungsi lekosit,
limfosit dan antibodi normal. 18
8
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
Simpulan
Penyakit imunodefisiensi primer belum banyak terdiagnosis di Indonesia.
Kewaspadaan dokter terhadap PIP harus ditingkatkan.Sepuluh tanda peringatan
PIP dari Jeffry Modell Foundation dapat digunakan sebagai awal kecurigaan
terhadap PIP.Beberapa kondisi yang dapat mengarahkan kecurigaan terhadap
PIP adalah infeksi yang berulang atau berat, infeksi oportunistik, gagal tumbuh,
adanya efek samping imunisasi yang berat, dan riwayat PIP pada keluarga.
Pemeriksaan penunjang di Indonesia terkait PIP terbatas, namun tetap dapat
digunakan sebagai langkah awal pemeriksaan untuk diagnosis PIP.
Daftar pustaka
1. Aghamohammadi A, Abolhassani H, Mohammadinejad P, Rezaei N. The
approach to children with recurrent infections. Iran J Allergy Asthma Immunol.
2012;11:89-109.
2. Lee PPW, Lau YL. Endemic infections in Southeast Asia provide new insights
to the phenotypic spectrum of primary immunodeficiency disorders. Asian Pac J
Allergy Immunol. 2013;31:217-26.
3. Al-Herz, Bousfiha A, Casanova JL, Chatila T, Conley ME, Cunningham-Rundles
C, et al. Primary immunodeficiency diseases: an update on the classification from
the International Union of Immunological Societies Expert Committee for Primary
Immunodeficiency. Front Immunol. 2014;5:162.
4. Bonilla FA, Khan DA, Ballas ZK, Chinen J, Frank MM, Hsu JT, et al. Practice
parameter for the diagnosis and management of primary immunodeficiency.
JAllergy Clin Immunol. 2015;136:1186-205.
5. Costa-Carvalho BT, Grumach AS, Franco JLF, Espinosa-Rosales FJ, Leiva LE, King
A, et al. Attending to warning signs of primary immunodeficiency diseases across
the range of clinical practice. J Clin Immunol. 2014;34: 10-22.
6. Modell V, Gee B, Lewis DB, Orange JS, Roifman CM, Routes JM, et al. Global
study of primary immunodeficiency diseases (PI) - diagnosis, treatment, and
economic impact: an updated report from the Jeffrey Modell Foundation. Immunol
Res. 2011;51:61-70.
7. Al-Hammadi S, Al-Reyami E, Al-Remeithi S, Al-Zaabi K, Al-Zir R, Al-Sagban H, et
al. Attentiveness of pediatricians to primary immunodeficiency disorders. BMC
Research Notes. 2012;5:393.
8. Gathmann B, Grimbacher B, Beaute J, Dudoit Y, Mahlaoui N, Fischer
A, et al. The European internet-based patient and research database for
primary immunodeficiencies: results 2006-2008. Clin Exp Immunol. 2009;
157(Suppl.1):3-11.
9. Boyle JM, Buckley RH. Population prevalence of diagnosed primary
immunodeficiency diseases in the United States. J Clin Immunol. 2007;27:497-502.
10. Esser M. Primary immunodeficiency - missed opportunities and treatment
challenges. Curr Allergy Clin Immunol. 2012;25:184-8.
9
Infeksi Berulang: Kunci Diagnosis Penyakit Imunodefisiensi Primer
10
Ensefalitis pada Anak:
Infeksi Versus Autoimun
Setyo Handryastuti
Tujuan:
1. Peserta dapat membedakan antara ensefalitis infeksi, ensefalitis pasca-
infeksi dan ensefalitis autoimun.
2. Peserta dapat menegakkan diagnosis dan memberikan tatalaksana
pada ensefalitis infeksi dan ensefalitis pasca infeksi.
3. Peserta dapat melakukan rujukan kasus ensefalitis autoimun dengan
tepat.
Ensefalitis atau radang otak yang selama ini kita kenal adalah suatu proses
inflamasi yang disebabkan invasi langsung ke jaringan otak akibat infeksi kuman
patogen seperti virus, bakteri dan parasit. Ensefalitis tersebut adalah bentuk akut
atau disebut sebagai ensefalitis primer, dengan gejala klasik seperti tanda infeksi
akut, defisit neurologi dan peningkatan tekanan inrakranial.1 Ensefalitis akut
merupakan suatu kedaruratan karena dapat menyebabkan kematian dan gejala
sisa yang berat. Setelah itu dikenal bentuk lain dari ensefalitis, yaitu ensefalitis
sekunder/para-infectious/post-infectious encephalitis.1Ensefalitis bentuk ini bukan
akibat infeksi kuman patogen, tetapi karena proses inflamasi yang dimediasi
oleh reaksi autoimun akibat penyakit akut atau kronik, seperti acute disseminated
encephalomyelitis (ADEM), serebral lupus dan sindrom paraneoplastik.1,2 Selain
itu dikenal ensefalitis tersier yang disebabkan kuman sifilis dan virus campak
dengan manifestasi gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang bersifat progresif
lambat.2
Selain bentuk-bentuk ensefalitis diatas, terdapat bentuk ensefalitis lain yang
tidak dapat ditentukan etiologi kuman patogen atau penyakit yang mendasari.
Penelitian terbaru menunjukkan pada ensefalitis jenis ini ditemukan antibodi
terhadap protein neuron. Antibodi terhadap reseptor target dan protein
permukaan sel ini mempengaruhi transmisi sinaps, plastisitas, eksitabilitas
neuron dan berkaitan dengan sekumpulan gejala neurologis yang berat dan
berespons baik dengan imunoterapi.3 Gejala yang timbul bervariasi, tergantung
dari jenis antibodi, dengan fenotip yang menyerupai antigen yang telah berubah
secara farmakologi maupun genetik. Ensefalitis inilah yang disebut sebagai
ensefalitis autoimun.4
11
Ensefalitis pada Anak: Infeksi Versus Autoimun
Ensefalitis infeksi
Definisi
Ensefalitis adalah inflamasi jaringan otak dengan manifestasi klinik demam, sakit
kepala, mual/muntah dan gangguan neurologi seperti penurunan kesadaran,
perubahan perilaku/kepribadian, gangguan motorik dan sensorik, bicara,
gangguan gerak dan kejang. Ensefalitis ini bersifat akut, suatu kedaruratan dan
dapat mengancam nyawa. 5,6
Etiologi
Virus merupakan etiologi terbanyak, penyebab lain bakteri, jamur dan parasit.
Suatu penelitian pada 1570 pasien ensefalitis yang menjalani pemeriksaan
mikrobiologi, 63% tidak ditemukan kuman penyebab, probable andconfirmed
infection teridentifikasi pada 16% pasien (69% virus, 20% bakteri, 7% prion, 3%
parasit dan 1% jamur), 13% possible infection, non infeksi sebanyak 8%.7 Virus
terbanyak sebagai etiologi adalah golongan enterovirus (poliovirus, echovirus,
enterovirus, coxsackie A dan B), paraechovirus, herpes simplex virus (HSV) tipe 1
dan 2, golongan lain virus herpes (Epstein-Barr, varisela-zoster, sitmegalovirus,
human herpes virus 6 (HHV-6), dan golongan arbovirus (La Crosse, West Nile, St.
Louis, Eastern and Western equine encephalitis virus, Colorado tick fever, Yelow fever).
Penyebab lain yang lebih jarang adalah influenza, virus Nipah, rabies dan
Japanese encephalitis yangtergantung dari geografi. 8
Patogenesis
Virus langsung menginvasi jaringan otak pada ensefalitis virus akut, yang
terbukti dari hasil kultur virus jaringan otak yang positif atau pada pemeriksaan
histologi. Selain itu infeksi dapat terjadi perkontinuitatum dari meningitis virus,
hematogen (viremia) atau penyebaran secara retrograde melalui saraf perifer
(rabies dan virus herpes simpleks)9
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat, manifestasi klinis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Riwayat kontak/gigitan unggas,nyamuk,
kelelawar, kucing. anjingterdapat pada infeksi arbovirus dan rabies.Infeksi
12
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
13
Ensefalitis pada Anak: Infeksi Versus Autoimun
Tata laksana
Terapi suportif adalah aspek terpenting pada tatalaksana ensefalitis akut, yang
meliputi : (1) stabilisasi airway, breathing, circulation, (2) Monitoring tanda vital,
keseimbangan cairan dan elektrolit serta nutrisi yang adekuat,(3) Tatalaksana
peningkatan tekanan intrakranial dengan elevasi kepala, pemberian cairan
hipertonis seperti manitol 20% atau NaCl 3%, meminimalkan tindakan invasif,
(4) Tatalaksana kejang dan hipertermia.15
Terapi empirisasiklovir dapat diberikan jika terdapat kecurigaan ensefalitis
herpes simpleks sebagai penyebab sambil menunggu hasil PCR HSVdari CSS.
Dosis yang dberikan adalah: (1) Neonatus dan bayi berusia < 3 bulan :20 mg/
kgBB/8 jam IV, (2) Usia >3 bulan sampai < 12 tahun : 10-15 mg/kgBB/8 jam
IV, (3) > 12 tahun : 10 mg/kgBB/8 jam IV. Jika terbukti virus herpes simpeks
sebagai penyebab maka terapi dilanjutkan sampai 14-21 hari.16Jika tidak terbukti,
maka terapi asiklovir dihentikan. Asiklovir dapat diberikan pada ensefalitis
dengan virus varisela-zooster dengan lama pemberian 10-14 hari. Ensefalitis
HHV-6 dapat diterapi dengan gansiklovir atau foskarnet, sedangkan pada
ensefalitis morbili dapat dipertimbangkan pemberian ribavirin.
Ensefalitis para-infeksi
Definisi
Acute disseminated encephalomyelitis (ADEM) adalah penyakit demielinisasi SSP
akibat reaksi imunologis yang mengenai otak dan medula spinalis.2,17
14
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
Patogenesis
Patogenesis ADEM adalah akibat reaksi imunologis pasca infeksi virus akut atau
imunisasi, 2 sampi 21 hari sebelum awitan tanda dan gejala ADEM. Bagian yang
terkena adalah substansia alba(white matter).18Pada keadaan ini virus tidak lagi
ditemukan di otak. Infeksi virus yang berkaitan adalah infeksi gastrointestinal
atau respirasi, kadang dapat diidentifikasi virus yang mendahului gejala ADEM
yaitu virus Ebstein-Barr, sitomegalovirus, HSV dan mikoplasma. Imunisasi yang
kerap berkaitan denagn ADEM adalah vaksin rabies, vaksin lain lebih jarang
yaitu DTP, campak, Japanese B, influenza, rubela, varisela, pneumokokus dan
poliomielitis.19
Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan adanya riwayat infeksi virus akut atau
imunisasi dalam jangka waktu 2 sampai 21 hari sebelum timbul gejala.
Manifestasi klinis ensefalopati diawali dengan letargi, sakit kepala dan muntah.
Setelah itu diikuti gejala neurologi seperti defisit neurologi fokal, penurunan
kesadaran atau keduanya.18 Neuritis optika yang ditandai dengan gangguan
penglihatan, atau mielitis transversa yang ditandai oleh kelumpuhan motorik,
gangguan sensorik atau otonom dapat mendahului gejala ensefalopati.
Mortalitas cukup tinggi pada minggu pertama. Beberapa anak dapat mengalami
episode relaps sehingga penyakit mempunyai perjalanan yang mirip dengan
sklerosis multipel.18
Pemeriksaan neurologi menunjukkan tanda dan gejala lesi upper motor
neuron serta gangguan penglihatan jika disertai neuritis optika. Pemeriksaan
CSS memperlihatkan pleiositosis ringan dengan hitung jenis limfositer serta
peningkatan kadar protein. Myelin basic protein dan immunoglobulin oligoclonal
band dapat ditemukan pada CSS, meskipun tidak spesifik untuk ADEM karena
proses inflamasi SSP lain juga menunjukkan hasil yang sama.15,18
Pemeriksaan CT scan memperlihatkan abnormalitas berupa hipodensitas
pada lebih dari separuh pasien, akan tetapi CT-scan kurang sensitif dibandingkan
MRI dalam mendeteksi jumlah dan luasnya lesi. Pemeriksaan MRI T2 dan
FLAIR adalah petunjuk diagnosis yang terpenting, dimana ditemukan
peningkatan intensitas signal di white matter. Lesi dapat ditemukan multipel,
asimetrik atau meluas di seluruh otak. Lesi spesifik yang ditemukan pada 90%
pasien anak adalah di perbatasan antara white matter dan gray matter, di white
matter,talamus dan ganglia basal (30-40%), batang otak (45-55%), serebelum
(30-40%) dan medula spinalis (16-28%).20
15
Ensefalitis pada Anak: Infeksi Versus Autoimun
Tata laksana
Terapi dengan metil prednisolon dosis tinggi merupakan pilihan terapi.
Dosis diberikan 20-30 mg/kgBB /hari IV selama 3-5 hari, untuk kemudian
diturunkan secara bertahap selama 4-6 minggu tergantung dari kondisi klinis.
Perbaikan dapat terjadi dalam beberapa jam sampai beberapa hari.21Jika terapi
kortikosteroid gagal, dapat diberikan intravena immunoglobulin (IVIG)dengan
dosis 2 gram/kgBB dosis tunggal atau terbagi dalam 3-5 hari. Kasus ADEM
yang berat dapat diberikan terapi: (1) Kombinasi kortikosteroid IV dan IVIG,
(2) Siklosporin, (3) Siklofosfamid , atau (4) Plasmaferesis.22
Ensefalitis Autoimun
Definisi
Ensefalitis autoimun adalah suatu proses infamasi di otak yang disebabkan
oleh antibodi terhadap protein neuron. Antibodi terhadap reseptor target
dan protein permukaan sel ini mempengaruhi transmisi sinaps, plastisitas,
eksitabilitas neuron dan berkaitan dengan sekumpulan gejala neurologis yang
berat dan berespons baik dengan imunoterapi.3
Ensefalitis autoimun adalah suatu diagnosis klinisyang sulit karena mirip
dengan penyakit autoimun lain serta ensefalitis infeksi dalam hal klinis,
laboratorium dan pencitraan. Pasien memperlihatkan gangguan memori dan
kognitif selama berhari-hari sampai berminggu-minggu. Pendekatan diagnosis
untuk menyingkirkan infeksi dan bermacam pemeriksaan antibodi neuronal
akan menghasilkan diagnosis yang tepat. 23
16
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
17
Ensefalitis pada Anak: Infeksi Versus Autoimun
Pemeriksaan MRI kepala pada 100 pasien anak dan dewasa, 55%
menunjukkan hasil abnormal berupa abnormalitas signal T2 di korteks
dan subkorteks, kadang-kadang ditemukan penyangatan di meningeal dan
korteks. Gambaran yang sama dapat diemukan di serebelum dan batang
otak meskipun tidak berkorelasi dengan klinis. Penelitian yang melibatkan
32 pasien anak, 31% memperlihatkan abnormalitas pada pemeriksaan
MRI.28
Pemeriksaan CSS memperlihatkan abnormalitas pada 94% kasus
denagn gambaran pleiositosis limfositik, peningkatan kadar protein dan
oligoclonal bands. Pasien dengan gambaran CSS awal yang normal tetap
ditemukan oligoclonal bands, dan pemeriksaan CSS ulang akan menujukkan
pleiositosis.27
Hampir seluruh pasien menunjukkan gambaran EEG yang abnormal
berupa perlambatan umum dengan gelombang delta-teta, beberapa pasien
menunjukkan perlambatan fokal. Pemeriksaan EEG juga diperlukan
untukmendeteksi kejang elektrik yaitu kejang yang tidak tampak secara
klinis yang terdeteksi pada 60% pasien.29
Diagnosis pasti dengan ditemukannya antibodi reseptor NMDA di
serum dan CSS. Kadar antibodi di CSS lebih berkorelasi dengan gejala
klinis dibandingkan kadar antibodi serum. Pada pasien wanita, pemeriksaan
terhadap teratoma ovarium perlu dilakukan mengingat 30% ditemukan
pada anak berusia di bawah 18 tahun dan 9% pada anak dibawah usia 14
tahun. Kerap ditemukan pada pasien yang menunjukan perbaikan klinis,
tetap ditemukan kadar antibodi yang tinggi dalam serum dan CSS. Hal
ini menunjukkan kemungkinan relaps yang ditemukan pada 20% kasus.30
18
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
3. Ensefalitis Rasmussen
Ensefalitis autoimun dengan gejala kejang parsial yang progresif dan
19
Ensefalitis pada Anak: Infeksi Versus Autoimun
refrakter, penurunan kognitif dan defisit fokal serta atrofi salah satu
hemisfer otak secara bertahap. Terjadi pada anak berusia 6-8 tahun.
Penyebab masih belum diketahui dengan pasti, terdapat beberapa antibodi
yang terlibat seperti antibodi GluR3 dan anti munc 18-1, suatu protein
yang terlibat dalam pelepasan neurotransmiter.27
Terapi dengan metil prednisolon dosis tinggi dan IVIG dapet
mengurangi gejala pada stadium awal penyakit. Hal ini menunjang
teori proses autoimun sebagai patogenesis. Rituksimab dan -interferon
intraventrikular juga efektif pada beberapa kasus. Takrolimus juga pada
beberapa kasus dikatakan efektif untuk perbaikan fungsi neurologis dan
memperlambat hemiatrofi serebri meskipun tidak memberikan perbaikan
pada kejang. Terapi definitif adalah adalah hemisferektomi fungsional yang
bertujuan memutus koneksi dengan hemisfer otak yang terkena.31,32
5. Opsoklonus-mioklonus
Sindrom ini timbul pada dua tahun pertama kehidupan, dengan gejala
iritabel, ataksia, drop attack, mioklonus, tremor dan drooling/mengiler.
Gejala lain yang menyertai adalah menolak untuk duduk atau berjalan,
problem bicara, hipotonia dan opsoklonus yaitu gerakan mata yang cepat,
tidak beraturan ke segala arah tanpa interval sakadik. Minimal 50% pasien
menderita tumor, terbanyak neuroblastoma. Dugaan kearah automimun
karena perjalanan penyakit yang cepat disertai abnormalitas pada CSS
yang menunjukkan aktivasi sel B. Terdapat respons inkomplit terhadap
berbagai macam imunoterapi seperti kortikosteroid, IVIG, rituksimab
dan siklofosfamid. Antibodi terhadap protein neuron ditemukan pada
beberapa penelitian, meskipun identifikasi autoantigen spesifik belum
dapat ditentukan.27,33
20
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
7. Ensefalopati Hashimoto
Pada kasus ini sindrom dan temuan imunologis tidak jelas, oleh karena
itu terminologi ensefalopati berkaitan denagn penyakit tiroid autoimun
lebih tepat. Manifestasi klinis tidak spesifik, meliputi gejala stroke, tremor,
mioklonus, afasia sementara, perilaku abnormal dan gangguan tidur,
halusinasi, ataksia dan kejang. Ditemukan peningkatan kadar protein
CSS dan perlambatan umum pada pemeriksaan EEG. Peemriksaan MRI
biasanya normal, kadang ditemukan abnormalitas di white matter dan
penyangatan meningeal yang berespons denagn terapi steroid. Diagnosis
pasti ditegakkan dengan ditemukannya antibodi tiroid peroksidase.35,36
21
Ensefalitis pada Anak: Infeksi Versus Autoimun
Tata laksana
Tatalaksana bertujuan mengeliminasi antibodi berdasarkan patogenitasnya.
Pasien diberikan imunoterapi lini pertamayaitu kortikosteroid, immunoglobulin
intravena, plasmaferesis atau kombinasi. Belum ada data cukup yang
menunjukkan satu terapi lebih baik dari yang lain. Imunoterapi lini pertama ini
kurang efektif untuk menurunkan titer antibodi intratekal sehingga tambahan
imunoterapi lain diperlukan. Suatu penelitian pada 577 pasien menunjukkan,
lebih dari separuh pasien yang memperoleh imunoterapi lini pertama dan
terapi terhadap tumor menunjukkan perbaikan dalam waktu 4 minggu, dan
hampir semua pasien ini memperlihatkan luaran yang baik selama 24 bulan
pengamatan.23
Pasien yang tidak berespons terhadap imunoterapi lini pertama,dapat
diberikan imunoterapi lini kedua dengan rituksimab atau siklofosfamid atau
keduanya. Pemberian imunoterapi lini kedua memberikan hasil yang lebih
baik dibandingkan tetap memberikan imunoterapi lini pertama atau tidak
memberikan apapaun.
Oleh karena itu, identifikasi dan tatalaksana terhadap tumor (jika ada)
dan pemberian segera imunoterapi lini kedua ketika imunoterapi lini pertama
tidak menunjukkan hasil merupakan pendekatan tatalaksana terbaik. 23
Simpulan
Jika ditemukan gejala ensefalitis dengan etiologi yang tidak jelas dalam arti
kemungkinan infeksi sudah dapat disingkirkan, ensefalitis autoimun patut
dipikirkan terutama jika gejala memburuk dengan cepat dalam beberapa hari
sampai minggu disertai gejala inflamasi pada CSS atau pencitraan serta respons
yang baik terhadap imunoterapi.
22
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
Daftar pustaka
1. Lewis P, Glaser CA. Encephalitis. Pediatr in Rev. 2005;26:353-63.
2. Falchek SI. Encephalitis in the pediatric population. Pediatrics in Rev. 2012;33:122-
33.
3. Lancaster E, Martinez-Hernandez E, Dalmau J. Encephalitis and antibodies to
synaptic and neuronal cell surface proteins. Neurology. 2011; 77:179–89.
4. Dalmau J, Gleichman AJ, Hughes EG. Anti-NMDA-receptor encephalitis: case
series and analysis of the effects of antibodies. Lancet Neurol. 2008; 7:1091–98.
5. Bronstein DE, Shields WD, Glaser CA. Encephalitis and meningoencephalitis.
Dalam: Cherry JD, Harrison GJ, Kaplan SL, penyunting. Feigin and Cherry’s
Textbook of Pediatric Infectious Disease. Edisi ke-7. Philadelphia: Elseviers
Saunders. 2014. h. 492-500.
6. Venkatesan A, Tunkel AR, Bloch KC. Case definitions, diagnostic algorithms, and
priorities in encephalitis: consensus statement of The International Encephalitis
consortium. Clin Infect Dis. 2013;57:1114-34.
7. Glasser CA, Honarmand S, Anderson LJ. Beyond viruses: clinical profiles and
etiologies associated with encephalitis. Clin Infect Dis. 2006;43:1565-75.
8. Hadarson HS. Acute viral encephalitis in children and adolescents:pathogenesis
and etiology. Diunduh dari : www.uptodate.com. Last updated April 23,2015.
9. Glaser C, Long SS. Encephalitis. Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober CG,
penyunting.Principles and practice of pediatric Infectious Diseases. Edisi ke-4.
Edinburgh:Elseviers Saunders. 2012.h.297-307.
10. Thompson C, Kneen R, Riordan A. Encephalitis in children. Arch Dis Child.
2012;97:150-7.
11. Gold JJ, Crawford JR, Glaser C. The role of continuous electroencehalography in
childhood encephalitis. Pediatr Neurol. 2014;50:318-25.
12. Lai CW, Gargasin ME. Electroencephalography in herpes simplex encephalitis. J
Clin Neurophysiol. 1988;5:87-95.
13. Tunkel AR, Glaser CA, Bloch KC. The management of encephalitis:clinical
practice guideline by The Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis.
20018;47:303-33.
14. Beattle GC, Glaser CA , Sheriff H. Encephalitis with thalamic and basal ganglia
abnormalities: etiologies, neuroimaging, and potential role of respiratory viruses.
Clin Infect Dis. 2013;56:835-30.
15. Taylor DA, Ashwal S. Impairment of consciousness and coma. Dalam : Swaiman
KF, Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF, penyunting. Swaiman’s pediatric
neurology pronciples and practice. 2012. Edisi ke-5. Philadelphia : Elseviers
Saunders.h.1062-86.
16. Kimberlin DW. Aciclovir dosing in the neonatal period and beyond. J Pediatr
Infect Dis Soc.2013;2:179-86.
17. Dale RC. Acute Diseminated encephalomyelitis. Semin Pediatr Infect Dis.
2003;14:90-5.
18. GM Fenichel. Altered states of consciousness. Clinical pediatric neurology A signs
and symptoms approach. Edisi ke-6. 2009. Philadelphia: Saunders Elsevier.h.49-78.
23
Ensefalitis pada Anak: Infeksi Versus Autoimun
24
Sick Day Rules Penderita
Diabetes Melitus (DM) Tipe 1
Bambang Tridjaja
Tujuan:
1. Menjelaskan manajemen sakit pada penderita DM tipe 1
2. Menjelaskan monitoring penderita DM tipe 1 yang sedang sakit
Pada orang yang sedang sakit, terjadi mekanisme fight and flight yang
membutuhkan enersi yang lebih banyak sehingga hormon-hormon stres yang
bersifat anti-insulin (misal adrenaline dan kortisol) akan meningkat. Pada
penderita diabetes, situasi ini akan menyebabkan terjadinya defisiensi insulin
relatif (walaupun pada penderita diabetes dengan kontrol metabolik baik) yang
meningkatkan risiko terjadinya ketoasidosis diabetikum (KAD). Peningkatan
gula juga akan terjadi akibat proses glikogenolisis maupun glukoneogenesis
yang disertai dengan peningkatan resistensi insulin. Patomekanisme ini
akan menyebabkan hiperglikemia pada penderita diabetes, walaupun yang
bersangkutan tidak ada asupan makanan.
Anak dan remaja dengan diabetes dengan kontrol metabolik yang baik
prevalensi sakit sama dengan anak dan remaja tanpa diabetes. Walaupun
demikian, setiap penderita diabetes yang menderita sakit (misal infeksi)
memerlukan tata laksana khusus agar tidak terjadi hiperglikemia, tidak terjadi
ketosis maupun ketoasidosis dan tidak juga terjadi hipoglikemia. Penderita
diabetes yang mengalami gastroenteritis seringkali hipoglikemia dengan ketosis.
Oleh karena itu setiap penderita diabetes perlu diberikan edukasi mengenai
manajemen saat sakit yang harus segera dilaksanakan sejak awal sakit. Edukasi
dilakukan sebagai bagian integral saat sebagai pasien baru dan perlu pengecekan
secara berulang dengan memperhatikan tingkat pengetahuan atau pendidikan
maupun dinamika penderita dan keluarganya.
Pada makalah ini akan dijelaskan mengenai manajemen sakit pada
penderita diabetes dengan dasar pilar-pilar tata laksana diabetes yaitu
Pemakaian insulin
Asupan nutrisi
Gerak fisik
Edukasi
disertai monitoring gula darah/keton yang adekuat.
25
Sick Day Rules Penderita Diabetes Melitus (DM) Tipe 1
Pemakaian insulin1,2
Rekomendasi pemakaian insulin saat sakit adalah sebagai berikut:
Selama sakit jangan menghentikan insulin.
Selama sakit, seringkali dosis insulin memerlukan penambahan ataupun
kadangkala pengurangan secara temporer.
Muntah-muntah atau sakit perut pada anak diabetes harus selalu dianggap
sebagai gejala defisiensi insulin sampai terbukti tidak.
Pada keadaan sakit, sebagaimana telah diuraikan, tubuh membutuhkan
tambahan enersi dalam bentuk glukosa. Apabila insulin tidak adekuat, produksi
gula akan menghasilkan juga benda-benda keton sehingga meningkatkan
risiko terjadinya KAD. Dengan demikian tujuan utama tata laksana adalah
eliminasi keton. Petunjuk berikut memberikan pegangan kepada penderita
dan keluarganya untuk melakukan tindakan di rumah agar tidak memerlukan
perawatan lanjutan di rumah sakit.
Insulin tambahan dalam bentuk insulin kerja singkat analog (rapid) atau
cepat regular (short) diperlukan pada situasi sebagai berikut:
Kadar gula darah tinggi (>250 mg/dl) tanpa ketonemia/ketonuria atau
minimal ketonemia/ketonuria (<0.6 mmol/L atau ketonuria - hingga +).
Dosis tambahan insulin sejumlah 5-10% dari dosis total harian (0.05-0.1
unit/kg) setiap 2-4 jam.
Kadar gula darah tinggi (>250 mg/dl) dengan ketonemia/ketonuria
bermakna (>1.5 mmol/L atau ketonuria ++ hingga ++++). Dosis tambahan
sejumlah 10-20% dari dosis total harian (0.1 unit/kg) setiap 2-4 jam.
Insulin basal perlu ditingkatkan, terutama yang menggunakan pompa
insulin, sesuai dengan berat ringannya penyakit, tingginya gula darah dan
hasil monitoring keton.
Pada yang menggunakan regimen insulin basal bolus dapat memberikan
insulin sesuai dengan insulin sensitivity ratio yang digunakan selama ini.
Asupan nutrisi3
Pencegahan dehidrasi dan hipoglikemia saat sakit sangat perlu diperhatikan
untuk mencukupi kebutuhan cairan dan karbohidrat. Apabila masih dapat
makan biasa, sebaiknya dipertahankan dengan tambahan ekstra cairan ½ hingga
¾ gelas setiap jam. Pencegahan karbohidrat dilakukan dengan minuman tak
manis seperti air putih, the ringan atau kaldu.
Apabila tidak dapat makan seperti biasa sebaiknya mengkonsumsi
makanan atau minuman ringan yang mengandung karbohidrat. Pada tabel
1 dan 2 di bawah, diberikan contoh makanan dan minuman ringan yang
mengandung karbohidrat setara 15 gram.
26
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
Monitoring2
Yang dimaksud dengan monitoring pada penderita DM yang sedang sakit
adalah monitoring gula darah dan keton dengan pencatatan yang rapih dan
terbaca. Berbagai alat monitoring saat ini mempunyai kemampuan menyimpan
data (memory) sehingga alat ini harus dibawa apabila penderita memerlukan
perawatan di rumah sakit. Petunjuk monitoring yang sering digunakan adalah:
Monitoring gula darah mandiri di rumah dilakukan setidaknya tiap 3-4
jam dan secara acak setiap 1-2 jam.
Monitoring keton urin setidaknya setiap 4 jam, apabila menggunakan keton
darah (b-OH-butirat) dilakukan setiap 2-4 jam.
Monitoring secara konsisten dilakukan (tanpa istirahat) sampai potensi
ketosis sudah terlampaui.
Selain darah dan urin, maka sebaiknya memonitor berat badan juga untuk
mendeteksi dehidrasi sekaligus menentukan derajat dehidrasinya.
27
Sick Day Rules Penderita Diabetes Melitus (DM) Tipe 1
Edukasi4
Memberikan edukasi mengenai potensi komplikasi akut diabetes seperti
KAD, hipoglikemia maupun hiperglikemia mempunyai makna strategis dalam
tatalaksana diabetes. Dengan teknologi kedokteran yang ada saat ini maupun
tekonologi lainnya, maka keberadaan glukometer yang dapat memeriksa kadar
gula darah maupun keton sangat membantu penderita dan keluarga.
Edukasi mengenai gejala-gejala yang memerlukan perhatian (red flags)
kepada keluarga memberikan kemampuan untuk mendeteksi dini komplikasi
akut. Gejala klinis yang perlu ditekankan berulang kali adalah munculnya
kembali 3P (poliuria, polidipsia, dan polifagia) disertai berat badan yang
menurun atau tidak sesuai dengan yang seharusnya. Resistensi insulin yang
terjadi saat sakit sebenarnya sudah terjadi 24-48 jam sebelum gejala klinis muncul
sehingga apabla melakukan monitroing dan pencatatan dengan benar maka
pemikiran kemungkinan adanya penyakit perlu diperhatikan. Gejala lain yang
perlu diajarkan adalah gejala-gejala KAD mengancam seperti muntah-muntah,
sakit perut, ataupun sudah KAD seperti nafas sesak (Kussmaul), bau aseton dan
penurunan kesadaran.
Tentunya penderita maupun keluarga yang mengabaikan pemeriksaan
dan pencatatan rutin hasil monitoring gula darah akan menyulitkan penderita
dan keluarga untuk mengenali red flags tersebut. Di Indonesia dengan sebagian
penderita yang merasakan beban finasiil dengan monitroing dan pencatatan
teratur, perlu diberikan pengetahuan dan ketrampilan untuk menggunakan
cara-cara lain misal pemeriksaan urin reduksi.
28
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
Simpulan
Protokol tata laksana sakit pada penderita diabetes perlu diajarkan kepada
penderita keluarga dan dokter yang merawatnya. Tindakan segera dan tepat
bertujuan menghindari terjadinya ketoasidosis diabetikum dengan segala
konsekuensinya.
Daftar pustaka
1. Brink S, Laffel L, Likitmaskul S, Liu L MA, Olsen B, Silink M HR. Sick day
management in children and adolescents with diabetes. Pediatr Diabetes.
2009;10:146–53.
2. Brink S, Joel D, Laffel L, Lee WWR, Olsen B, Phelan H, et al. Sick day management
in children and adolescents with diabetes. Pediatr Diabetes. 2014; 15(Suppl 20):
193-202.
3. Sick days and type 1 diabetic. Diunduh dari: http://www.aci.health.nsw.gov.au/
data/assets/pdf file/0019/154513/sick days type 1.pdf Diakses tanggal 17 Maret
2016.
4. Savage MW, Dhatariya KK, Kilvert A, et al. Joint British Diabetes Societies
guideline for the management of diabetic ketoacidosis. Diabet Med. 2011; 28:
508-15.
5. Cooke DW, Plotnick L. Type 1 diabetes mellitus in pediatrics. Pediatr Rev. 2008;
29: 374-84.
29
Panduan Terkini Pencegahan Endokarditis
Infektif pada Anak
Nikmah S Idris
Tujuan:
1. Makalah ini bertujuan untuk membahas upaya pencegahan IE yang
perlu diketahui oleh dokter spesialis anak atau pemberi layanan primer.
30
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
31
Panduan Terkini Pencegahan Endokarditis Infektif pada Anak
32
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
*Kriteria mayor:
1. Kultur darah positif untuk IE
– Mikroorganisme khas yang konsisten dengan IE dari dua kultur darah
berbeda:
Viridans streptococci, Streptococcus gallolyticus (Streptococcus, bovis),
HACEK group, Staphylococcus aureus; atau
Community-acquired enterococci, jika tidak terdapat fokus primer
lain; atau
– Mikroorganisme yang konsisten dengan IE dari kultur darah yang
positif persisten:
> 2 kultur darah positif dari sampel terpisah yang diambil dalam
selang waktu >12 jam; atau
Ketiga hasil kultur atau mayoritas >4 kultur (jarak pengambilan
sampel pertama dan terakhir >1 jam) menunjukkan hasil positif;
atau
– Kultur positif tunggal untuk Coxiella burnetti atau titer antibodi IgG
fase I >1:800
2. Pencitraan positif untuk IE
– Ekokardiografi positif IE:
– Aktivitas abnormal di sekitar tempat implantasi protesis katup
berdasarkan pemeriksaan F-FDG PET? CT (jika protesis telah dipasang
>3 bulan) atau SPECT/CT leukosit
– Lesi paravalvular definitif berdasarkan CT jantung.
33
Panduan Terkini Pencegahan Endokarditis Infektif pada Anak
#Kriteria minor
1. Terdapat predisposisi, seperti kelainan jantung atau penyalahgunaan obat
intravena.
3. Demam (temperatur >38oC).
4. Fenomena vaskular (termasuk yang terdeteksi hanya dengan pencitraan):
emboli arteri mayor, infark paru septik, aneurisma infeksiosa (mikotik),
perdarahan intrakranial, perdarahan konjungtiva, dan lesi Janeway.
5. Fenomena imunologis: glomerulonefritis, Osler’s node, Roth’s spots, dan
faktor reumatoid.
6. Bukti mikrobiologis: kultur darah positif namun tidak memenuhi kriteria
mayor seperti disebutkan diatas atau bukti serologis infeksi aktif organisme
yang konsisten dengan IE.
34
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
Tabel 2. Upaya pencegahan IE non-spesifik yang harus diikuti oleh populasi berisiko sedang dan tinggi
Upaya berikut ini idealnya diterapkan pada populasi umum, dan terutama ditekankan pada populasi berisiko
tinggi
• Menjaga higiene gigi dan kulit secara ketat. Cek rutin gigi harus dilakukan setahun dua kali pada pasien
berisiko tinggi dan setahun sekali pada populasi anak lainnya.
• Disinfeksi luka secara adekuat.
• Eradikasi atau penurunan karier bakteri kronik pada kulit dan urin.
• Antibiotik kuratif untuk setiap fokus infeksi bakteri
• Tidak diperbolehkan mengobati diri sendiri dengan antibiotik (self-medication)
• Upaya pengendalian infeksi yang ketat untuk setiap prosedur berisiko
• Tindik dan pembuatan tato tidak dianjurkan
• Pembatasan penggunaan kateter infus dan prosedur invasif jika memungkinkan. Akses vena perifer
lebih dianjurkan ketimbang keteter sentral dan harus diganti secara berkala setiap 3-4 hari. Prosedur
perawatan kanula sentral atau perifer harus dipatuhi secara ketat.
35
Panduan Terkini Pencegahan Endokarditis Infektif pada Anak
Tabel 3. Rekomendasi antibiotik profilaksis untuk prosedur dental invasif pada populasi berisiko tinggi
Situasi Antibiotik Dosis tunggal 30-60 menit sebelum
tindakan
Tidak ada alergi penisilin atau ampisilin Amoksisilin atau ampisilin* 50 mg/kg oral atau IV
Alergi terhadap penisilin atau ampisilin Klindamisin 20 mg/kg oral atau IV
Alternatif: cephalexin 50 mg/kg IV, cefazolin atau ceftriaxone 50 mg/kg IV. Sefalosporin tidak dianjurkan diberi-
kan pada anak dengan anafilaksis, angio-edema, atau urtikaria setelah konsumsi penisilin atau ampisilin karena
kemungkinan reaktivitas silang.
36
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
Tabel 4. Rekomendasi pemberian antibiotik profilaksis dan pencegahan endokarditis pada prosedur non-
dental
Prosedur traktus respiratorius Jenis antibiotik
Prosedur untuk menangani infeksi, seperti drainase abses. Regimen yang sesuai untuk staphylococcus
Prosedur gastrointestinal atau genitourinarius
Jika terdapat infeksi atau antibiotik terindikasi untuk Regimen yang sesuai untuk eradikasi entero-
mencegah infeksi luka atau sepsis pada pasien berisiko cocci (contoh: ampisilin, amoksisilin, atau
tinggi. vancomycin)
Prosedur kulit atau muskuloskeletal
Prosedur yang melibatkan kulit terinfeksi (termasuk Regimen yang aktif terhadap staphylococci dan
abses rongga mulut), infeksi struktur kulit, atau jaringan streptococci beta-haemolyticus
muskuloskeletal.
Intervensi kardiovaskular
• Antibiotik profilaksis terindikasi pada Implantasi katup Regimen yang sesuai untuk coagulase-negative
prostetik, prosthetic graft, atau pacemaker Staphylococci (CoNS) dan Staphylococcus
• Skrining pre-operasi untuk karier Staphylococcus aureus aureus. Antibiotik diberikan sesaat sebelum
dianjurkan sebelum operasi jantung elektif. prosedur dimulai dan diulang jika prosedur
• Sumber potensial untuk terjadinya sepsis harus berkepanjangan hingga 48 jam pasca tindakan.
dieliminasi sedikitnya 2 minggu sebelum implantasi
katup prostetik atau materi asing lainnya, kecuali untuk
prosedur urgen
• Terapi lokal S. aureus tanpa skrining tidak dianjurkan
Simpulan
Endokarditis infektif merupakan penyakit yang bersifat fatal dengan angka
morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Pemberian antibiotik profilaksis saat
ini dilakukan secara selektif, yaitu hanya pada populasi berisiko tinggi yang
akan menjalani tindakan gigi invasif. Upaya pencegahan ditekankan pada
pentingnya menjaga higiene terutama di daerah rongga mulut dan kulit serta
pengendalian infeksi non-spesifik, termasuk tindakan aseptik. Pencegahan
non-spesifik tidak hanya ditujukan pada anak dengan kelainan jantung, tetapi
37
Panduan Terkini Pencegahan Endokarditis Infektif pada Anak
harus menjadi bagian dari pelayanan rutin karena IE pada pasien yang tidak
diketahui mengalami kelainan jantung sebelumnya mencakup proporsi kasus
terbesar dengan insidens yang terus meningkat. Meskipun pemberian antibiotik
profilaksis hanya dibatasi pada populasi berisiko tinggi dan situasi tertentu,
upaya pencegahan umum harus dilakukan pada semua anak dengan kelainan
jantung;
Daftar pustaka
1. Sadiq M, Nazir M, Sheikh SA. Infective endocarditis in children; incidence, pattern,
diagnosis and management in a developing country. Int J Cardiol.78(2):175-82.
2. Ahmadi A, Daryushi H. Infective endocarditis in children: A 5 year experience
from Al-Zahra Hospital, Isfahan, Iran. Advanced biomedical research. 2014;3:228.
3. Rushani D, Kaufman JS, Ionescu-Ittu R, Mackie AS, Pilote L, Therrien J, et
al. Infective endocarditis in children with congenital heart disease: cumulative
incidence and predictors. Circulation. 2013;128(13):1412-9.
4. Ferrieri P, Gewitz MH, Gerber MA, Newburger JW, Dajani AS, Shulman ST,
et al. Unique features of infective endocarditis in childhood. Circulation.
2002;105(17):2115-26.
5. Johnson JA, Boyce TG, Cetta F, Steckelberg JM, Johnson JN. Infective endocarditis
in the pediatric patient: a 60-year single-institution review. Mayo Clin Proc.
2012;87(7):629-35.
6. Habib G, Lancellotti P, Antunes MJ, Bongiorni MG, Casalta JP, Del Zotti F, et
al. 2015 ESC Guidelines for the management of infective endocarditis: The Task
Force for the Management of Infective Endocarditis of the European Society of
Cardiology (ESC). Endorsed by: European Association for Cardio-Thoracic Surgery
(EACTS), the European Association of Nuclear Medicine (EANM). Eur Heart J.
2015;36(44):3075-128.
7. Habib G, Badano L, Tribouilloy C, Vilacosta I, Zamorano JL, Galderisi M, et al.
Recommendations for the practice of echocardiography in infective endocarditis.
Eur J Echocardiogr. 2010;11(2):202-19.
8. Danchin N, Duval X, Leport C. Prophylaxis of infective endocarditis: French
recommendations 2002. Heart. 2005;91(6):715-8.
38
Infeksi Cytomegalovirus pada Bayi dan Anak
Ari Prayitno
Tujuan:
1. Meningkatkan pengetahuan mengenai manifestasi klinis, diagnosis,
dan tata laksana infeksi CMV pada bayi/anak.
Cytomegalovirus (CMV)
CMV merupakan anggota keluarga delapan Herpesvirus yang menyerang
manusia. Ukurannya besar, berbentuk linier, berupa untai ganda DNA dengan
ukuran ~235 kb, mampu mengkoding 200 jenis protein. Genom virus dibagi
atas bagian unik yang panjang atau unique long (UL) dan bagian unik yang
pendek atau unique short (US). Wilayah UL berisi dua gen yang memproduksi
protein yang menjadi sasaran penting dalam terapi antiviral, termasuk terapi
dengan gansiklovir. Gen UL54 memproduksi protein polimerase DNA dan
merupakan target beberapa obat antivirus yang diindikasikan untuk pengobatan
infeksi CMV kongenital simtomatik. Adapun gen UL97 menghasilkan protein
ensim phosphotransferase, yang diperlukan untuk fosforilasi gansiklovir untuk
39
Infeksi Cytomegalovirus pada Bayi dan Anak
Patofisiologi
Replikasi CMV berjalan sangat lambat dalam sel kultur, dan menjadi cermin
betapa lambatnya pola pertumbuhan in vivo (berbeda dengan virus herpes
simpleks [HSV], yang pertumbuhannya berlangsung sangat cepat). Siklus
replikasi CMV dibagi menjadi 3 tahap: immediate early, early dan late.4 Transkripsi
gen pada fase immediate early, terjadi pada 4 jam pertama setelah infeksi virus,
yaitu ketika protein regulator sel diproduksi. Protein ini merupakan protein
penting yang memungkinkan virus untuk mengambil kendali dari mesin seluler
host.
Setelah sintesis gen fase immediate early, produk gen akan ditranskripsikan
dan produknya meliputi protein replikasi DNA dan beberapa protein struktural.
Ini terjadi pada fase early.
Produk gen pada fase late/akhir dibuat sekitar 24 jam setelah infeksi dan
protein yang dibentuk adalah protein struktural, terutama yang terlibat dalam
penyusunan virion. Sintesis gen akhir sangat tergantung pada replikasi DNA
virus dan dapat diblokir oleh inhibitor ensim polimerase DNA virus, seperti
pada obat gansiklovir. Pada envelop yang merupakan lapisan terluar lipid bilayer
berisi glikoprotein, yang merupakan target utama dari antibodi neutralisasi
dari host. Bagian glikoprotein ini merupakan kandidat untuk desain vaksin
CMV dimasa depan. Lapisan protein antara envelop dan kapsid bagian dalam,
terdapat tegument virus, yang merupakan protein yang merupakan target utama
dari respon imun selular.
Secara histopatologis, tanda klasik infeksi CMV adalah ditemukannya sel
inklusi cytomegalic. Sel-sel ini sangat besar ukurannya sehingga disebut ‘cytomegaly’
yang mengandung inklusi intranuklear yang memiliki penampilan histopatologi
mirip mata burung hantu. Kehadiran sel-sel ini menunjukkan infeksi yang aktif
atau produktif, meskipun infeksinya tidak tampak nyata.
Masih sedikit yang diketahui tentang mekanisme molekular yang
bertanggung jawab terhadap patogenesis kerusakan jaringan yang disebabkan
oleh CMV, terutama untuk infeksi CMV kongenital. Mekanisme CMV dalam
menyebabkan kerusakan pada janin sangatlah kompleks, mencakup kombinasi
cedera/kerusakan seluler janin secara langsung (terutama di otak janin) yang
dicetuskan oleh gen di dalam virus patogen tersebut, kekebalan maternal yang
40
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
belum mampu mengendalikan infeksi yang terjadi, dan dampak infeksi pada
fungsi plasenta, termasuk fungsi transportasi oksigen dan substrat-substrat
tertentu.
Imunologi CMV
Pada anak yang imunokompeten, sel T berperan penting dalam mengendalikan
replikasi virus dan penyakit walaupun tidak mengeliminasi virus secara sempurna.
Respons imun terhadap infeksi CMV dibuktikan dengan keterlibatan sel T-CD4
dan CD8 pada pejamu yang imunokompeten.5,6 Pada suatu studi, diketahui
bahwa pada individu yang seropositif CMV, sel T-CD4 dan CD8 yang terlibat
sekitar 10% dari total sel T, sedangkan pada individu yang seronegatif CMV,
yang terlibat hanya sel T-CD8 dan itupun jumlahnya sangat sedikit.6
Proses timbulnya kekebalan terhadap CMV sangat kompleks dan
melibatkan imunitas humoral dan respons imun seluler. Beberapa gen CMV
sangat menentukan kekebalan terhadap CMV. Lapisan envelop paling luar,
yang berasal dari membran nukleus sel inang, berisi beberapa glikoprotein
yang mengkode virus CMV. Glikoprotein B dan glikoprotein H merupakan
determinan utama terhadap imunitas humoral yang protektif.
Epidemiologi
Infeksi CMV bisa ditemukan dimanapun di seluruh dunia. Di Amerika
Serikat, seroprevalensi CMV adalah ~50%, sehingga cukup banyak wanita usia
reproduksi yang berisiko terinfeksi CMV selama kehamilan. Di seluruh dunia,
prevalensi CMV pada wanita di usia reproduksi adalah sekitar 45% di negara
maju dan hampir 100% di negara berkembang.7
Prevalensi antibodi spesifik CMV meningkat sesuai dengan usia.8 Sebagai
contoh, dalam sebuah penelitian di Finlandia, angka prevalensinya adalah 47%
pada anak kelompok usia 10 -12 tahun, 68% pada anak usia 15–35 tahun, dan
81% pada usia 36 – 60 tahun.9 Pada sebuah penelitian di Amerika Serikat,
prevalensi CMV meningkat dari 36% pada usia 6–11 tahun menjadi 91% pada
usia >80 tahun. Prevalensi CMV juga dipengaruhi oleh ras dan etnis. Dalam satu
penelitian di Amerika Serikat, antara individu berusia 6-49 tahun, prevalensi
CMV adalah 40% pada kulit putih non-Hispanik, 71% pada orang kulit hitam
non-Hispanik, dan 77% pada orang Meksiko-Amerika. Studi lain menunjukkan
bahwa kejadian infeksi baru CMV terjadi pada usia lebih dini pada orang
berkulit hitam non-Hispanik (16,3 tahun) dan Meksiko-Amerika (17,5 tahun)
dibandingkan pada orang kulit putih non-Hispanik (29,3 tahun).10 Pada
penelitian di Amerika Serikat tersebut, faktor lain yang berhubungan dengan
41
Infeksi Cytomegalovirus pada Bayi dan Anak
Transmisi
CMV dapat dibiak dari berbagai tempat di tubuh manusia, seperti dari urin,
darah, tenggorokan, serviks, sperma, tinja, air mata dan ASI. Transmisi dapat
terjadi melalui beberapa jalur/paparan :
Hubungan seksual: didapatkan angka seroprevalensi yang tinggi pada
pasien yang mempunyai mitra seksual multipel. Selain itu, virus juga bisa
dideteksi di saluran genital.
Kontak erat: serokonversi CMV sering ditemukan pada anggota keluarga
dan tempat penitipan anak. Kontak mungkin tertular dari pelepasan/
ekskresi virus dari saluran napas dan urin
Darah dan jaringan: penularan CMV dapat terjadi setelah transfusi darah,11
melalui transplantasi organ dari donor dengan CMV seropositif dengan
perkiraan risiko transfusi per unit darah adalah 0,38 persen12
Pekerjaan: para pekerja rentan adalah mereka yang bekerja di tempat-
tempat khusus dengan anak-anak seropositif CMV, contohnya pekerja
pada tempat penitipan anak
Perinatal: neonatus dan bayi dapat terinfeksi CMV dalam rahim selama
viremia maternal, saat terpapar sekresi jalan lahir, atau pada periode
pascanatal melalui ASI.
Manisfestasi klinis
Di dalam rahim, manifestasi infeksi dapat nyata maupun tersembunyi. Bila
dilakukan pemeriksaan USG pada janin, dapat ditemukan: kalsifikasi
periventrikular, ventrikulomegali cerebral, microsefal dan lain-lain. Kelainan
janin lainnya termasuk trombositopenia, anemia hemolitik, dan kadar
42
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
SNHL adalah gejala sisa yang paling umum terjadi pada infeksi CMV
kongenital dan terdeteksi pada sepertiga sampai setengah bayi dengan penyakit
CMV yang bergejala.
Korioretinitis adalah kelainan mata yang paling umum pada bayi dengan
gejala CMV dan berkorelasi dengan buruknya hasil perkembangan saraf jangka
panjang. Kelainan lain pada mata adalah skar di retina, atrofi optik, hilangnya
lapang pandang sentral, atau strabismus14
Penyakit mengancam nyawa: sekitar 8-10% dari bayi yang baru lahir
dengan infeksi CMV kongenital gejalanya berat dan mengancam nyawa. Bayi
prematur, bayi dengan gangguan imun primer sel T atau sel NK (natural killer),
mempunyai risiko yang lebih besar untuk menyebabkan kematian dari infeksi
CMV kongenital.
Pada bayi prematur, 25-35% bayi dengan CMV kongenital, lahir dengan
gestasi <37 minggu kehamilan.15 Bayi prematur <32 minggu kehamilan dengan
infeksi CMV kongenital memiliki risiko untuk memiliki pneumonitis, tanda-
tanda sepsis virus, trombositopenia, dan kemungkinan ko-infeksi, serta kecil
kemungkinannya terjadi mikrosefal atau kalsifikasi intrakranial dibanding
neonatus yang aterm.
Pemeriksaan laboratorium
Kelainan pada laboratorium yang khas terkait dengan CMV kongenital
gejala termasuk :15
Peningkatan kadar transaminase hati (50-83%)
43
Infeksi Cytomegalovirus pada Bayi dan Anak
Trombositopenia (44-77%)
Peningkatan bilirubin serum direk dan indirek (36-69%)
Kelainan lainnya: anemia hemolitik, neutropenia, limfopenia, limfositosis,
atau reaksi leukemoid
Neuroimaging
Pencitraan otak dengan CT scan, MRI, atau ultrasonografi menunjukkan
kelainan pada 70 persen bayi dengan infeksi CMV kongenital simptomatik.16
Kelainan yang ditemukan pada neuroimaging antara lain:
Kalsifikasi intrakranial, biasanya periventrikular (34-70 %)
Lenticulostriate vasculopathy (27-68 persen)
White matter disease (22-57 persen)
Ventrikulomegali (10 sampai 53 persen)
Kelainan migrational (10 sampai 38 persen)
Leukomalacia periventrikel dan kelainan kistik (11 persen)
Pendekatan diagnosis
Manifestasi klinis Infeksi CMV kongenital sangatlah lebar dan bervariasi. Bayi
dapat lahir dengan gejala yang jelas, sedikit gejala, atau bahkan tanpa gejala
sama sekali.
44
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
– Mikrosefal
– Trombositopenia
– Hepatosplenomegali
– Hiperbilirubinemia saat lahir (bila sebab lain tidak ditemukan)
Neonatus yang pada skrining pendengaran, ditemukan ketidaknormalan.
Neonatus dengan pencitraan kranial yang abnormal dan konsisten dengan
CMV, terutama jika didapatkan salah satu dari gambaran berikut yang
tidak dapat dijelaskan oleh sebab yang lain:
– Kalsifikasi periventrikuler
– Kalsifikasi leukomalasia
– Ventrikulomegali
– Vaskulitis
– Polimikrogiria
Janin yang pada USG ditemukan abnormalitas berikut:
– Usus yang echogenic
– Pertumbuhan janin terhambat
– Mikrosefal
– Hepatosplenomegali
– Hidrops fetalis
Bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi atau diduga terinfeksi CMV
– Serokonversi maternal selama kehamilan
– Dugaan infeksi CMV primer pada ibu dengan serologi IgM dan IgG
CMV yang positif
– Neonatus yang lahir dengan imunodefisiensi primer
Waktu pengujian
Prenatal: kultur virus atau deteksi CMV DNA dalam cairan ketuban, atau
dengan pengukuran antibodi IgM CMV dari darah janin dengan gejala.
Lahir s/d usia 3 minggu: deteksi CMV di urin dan saliva sesuai dengan
Tabel 1
Usia 3 minggu s/d 1 tahun: setelah usia 3 minggu, deteksi CMV dalam urin
atau air liur mungkin menunjukkan infeksi CMV kongenital atau didapat/
pascanatal. Infeksi postnatal CMV biasanya lebih ringan gejala klinisnya.
45
Infeksi Cytomegalovirus pada Bayi dan Anak
Ada pula yang membedakan antara infeksi CMV dan Penyakit CMV.
Infeksi CMV adalah adanya bukti-bukti replikasi virus CMV, terlepas dari gejala
dan tanda yang ada. Penyakit CMV adalah adanya bukti replikasi virus CMV
disertai gejala dan tanda CMV. Manifestasi Penyakit CMV ini bisa berupa
sindrom virus (demam, malaise, lekopenia, trombositopenia) atau penyakit
invasive jaringan.20-21
46
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
Diagnosis
Uji diagnostik CMV mencakup pemeriksaan serologi, PCR DNA dan antigen
assay:
Pemeriksaan serologi
Pemeriksaan serologi memberikan bukti tidak langsung infeksi CMV yang baru
terjadi atau infeksi sebelumnya berdasarkan perubahan titer antibodi pada titik
waktu yang berbeda selama sakit. Tes serologi mengukur keberadaan IgM Anti
CMV dan IgG Anti CMV
47
Infeksi Cytomegalovirus pada Bayi dan Anak
Infeksi akut
Infeksi akut atau baru dianggap bila ditemukan:
IgM Anti CMV terdeteksi
Terjadi peningkatan titer antibodi IgG CMV 4 kali atau lebih dengan
jarak 2-4 minggu
Antibodi IgG CMV biasanya tidak terdeteksi hingga 2-3 minggu setelah
timbulnya gejala dan akan bertahan seumur hidup.23
Infeksi lampau
Uji serologik sangat membantu dalam menentukan pajanan infeksi CMV masa
lampau. Hasil serologi IgG CMV di atas nilai ambang dianggap positif. Nilai
ambang ini tergantung metode pemeriksaan yang digunakan. IgG CMV sangat
bermanfaat dalam pengelolaan pasien imunokompromais yang memiliki risiko
untuk terjadinya reaktivasi CMV.
Resiko akuisisi
Tes serologi juga membantu dalam menentukan risiko akuisisi CMV. Misalnya,
pasien seronegatif tidak berisiko mengalami reaktivasi CMV. Namun, pasien
yang sama, mempunyai risiko lebih besar untuk terjadinya akuisisi baru jika di
lakukan transplantasi dengan organ dari donor CMV-seropositif.
CMV DNA/PCR
Ada 2 jenis pemeriksaan yaitu RT-PCR yang bersifat kualitatif dan kuantitatif.
Kegunaan PCR kuantitatif adalah untuk memonitor pasien-pasien yang
mempunyai risiko untuk menjadi penyakit CMV, membuat diagnosis penyakit
CMV aktif, dan memantau respons terapi.24 PCR kualitatif sangat sensitif,
namun tidak bisa membedakan antara CMV yang laten, dengan CMV yang
sedang aktif bereplikasi.
Mengingat keterbatasan ini, PCR kualitatif memiliki peran yang terbatas
untuk diagnosis atau manajemen pasien dengan infeksi CMV. Beberapa senter
menggunakan PCR kualitatif untuk pemeriksaan awal dan hanya melakukan
PCR kuantitatif jika hasil PCR kualitatif positif
48
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
Tabel 2. Manifestasi klinis, tata laksana dan luaran infeksi CMV pada bayi, anak dan remaja25
CMV kongenital Infeksi peri- dan pas- Pasien imunokompeten Pasien imunokom-
canatal promais
Manifestasi Saat lahir, 90% asimto- Bayi cukup bulan : Kebanyakan asimto- Infeksi bisa berat
klinis matik kebanyakan asimto- matik dan mengancam
• Petekie matik • Demam nyawa :
• Kuning saat lahir • Demam • Lemah Demam
• Hepatosplenomegali • Hepatosplenomegali • Faringitis Malaise
• Ruam petekie • Pneumonitis ringan • Mononucleosis like Leukopenia
• Kecil masa kehamilan • Jumlah lekosit syndrome Hepatitis
(KMK) abnormal • Adenopati Pneumonitis
• Trombositopenia • LFG abnormal • Hepatitis Colitis
• Mikrosefal Prematur atau BBLR : • Sakit kepala Graft loss
• Kalsifikasi intrakranial infeksi dapat berat dan • Sakit perut Miokarditis
• Polimikrogria mengancam nyawa : • Diare Retinitis
• Ventrikulomegali • Sepsis like syndrome • Atralgia Ensefalitis atau
• Sensory hearing loss • Hepatosplenomegali • Rash ensefalopati
• Korioretinitis • Pneumonitis • Limfositosis atau
• Kejang • Jumlah lekosit limfopenia
abnormal • Trombositopenia
• LFG abnormal • Uji fungsi hati
abnormal
• Uji monospot
negative
Tata laksana Bayi yang asimptoma- Bayi aterm atau prema- Bukan indikasi antivirus. Gansiklovir atau
tik tidak memerlukan tur yang asimtomatik Hidrasi dan pengen- valgansiklovir
antivrus tidak memerlukan dalian panas yang
Gansiklovir dan Valgan- antivirus. diutamakan
siklovir hanya untuk Gansiklovir dan val-
yang simptomatik gansiklovir diberikan
untuk infeksi simtomatik
yang berat pada bayi
prematur
Luaran Mortalitas 4-8% Bayi aterm: tidak ada Tidak ada gejala sisa Morbiditas dan
Gejala sisa jangka gejala sisa permanen permanen mortalitas tinggi,
panjang: gangguan pen- Prematur dan BBLR: dan tergantung
dengaran, palsi serebral, angka mortalitas 5-10% kondisi yang men-
disabilitas intelektual, Gejala sisa jangka dasarinya
gangguan penglihatan panjang belum diketahui
dan kejang pasti. Tidak ada risiko
gangguan pendengaran
atau palsi serebral.
49
Infeksi Cytomegalovirus pada Bayi dan Anak
Tata laksana
Antivirus
Gansiklovir intravena (IV) dan valgansiklovir, adalah antivirus pilihan lini
pertama untuk pengobatan penyakit CMV kongenital. Antiviral yang lain
adalah Foskarnet dan Sidofovir sebagai obat alternatif untuk kasus penyakit
CMV yang refrakter atau resistens terhadap gansiklovir atau bila didapatkan
toksisitas gansiklovir, serta adanya ko-infeksi adenovirus
Sasaran terapi:
Infeksi CMV simtomatik: direkomendasikan pengobatan antivirus untuk
bayi dengan infeksi CMV kongenital yang bergejala (bayi dengan konfirmasi
virologi untuk CMV kengenital)
Infeksi CMV asimtomatik dengan kegagalan pada skrining pendengaran
Immunodefisiensi primer: terapi antivirus juga diberikan untuk bayi
dengan imunodefisiensi primer, terlepas dari derajat gejalanya.
Dosis:
Gansiklovir: neonatus, bayi dan anak: CMV kongenital bergejala:
gansiklovir 6 mg/kgBB/dosis setiap 12 jam selama 6 minggu28
Valgansiklovir: neonatus (usia gestasi ≥32 minggu and BB lahir ≥1.8 kg),
bayi dan anak: oral: 16 mg/kgBB/kali setiap 12 jam selama 6 bulan29
50
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
51
Infeksi Cytomegalovirus pada Bayi dan Anak
Simpulan
Infeksi CMV pada bayi/anak memiliki manifestasi yang sangat bervariasi
menurut usia ada status imun pasien. Sistem yang sering terkena adalah sistem
saraf pusat termasuk fungsi pendengaran, hepatobilier, serta hematologi.
Pengetahuan mengenai manisfestasi klinis dapat menuntun diagnosis dini dan
tata laksana yang sesuai.
Daftar pustaka
1. Craig JM, Macauley JC, Weller TH, Wirth P. Isolation of intranuclear inclusion
producing agents from infants with illnesses resembling cytomegalic inclusion
disease. Proc Soc Exp Biol Med. 1957;94(1):4–12
2. Kluge RC, Wicksman RS, Weller TH. Cytomegalic inclusion disease of the
newborn: report of case with persistent viruria. Pediatrics. 1960;25:35–39
3. American Academy of Pediatrics, Joint Committee on Infant Hearing. Year 2007
position statement: principles and guidelines for early hearing detection and
intervention programs. Pediatrics. 2007;120(4):898–921
4. Schleiss MR. Congenital Cytomegalovirus infection: molecular mechanisms
mediating viral pathogenesis. Infect Disord Drug Targets. 2011;11(5):449-65
5. Gillespie GM, Wills MR, Appay V, O’Callaghan C, Murphy M, Smith N, et al.
Functional heterogeneity and high frequencies of Cytomegalovirus-specific CD8(+)
T lymphocytes in healthy seropositive donors. J Virol 2000; 74:8140.
52
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
6. Sylwester AW, Mitchell BL, Edgar JB, Taormina C, Pelte C, Ruchti F, et al. Broadly
targeted human Cytomegalovirus-specific CD4+ and CD8+ T cells dominate the
memory compartments of exposed subjects. J Exp Med. 2005; 202:673.
7. Coats DK, Demmler GJ, Paysse EA, Du LT, Libby C. Ophthalmologic findings in
children with congenital Cytomegalovirus infection. J AAPOS. 2000;4(2):110–116
8. Klemola E, Kääriäinen L. Cytomegalovirus as a possible cause of a disease
resembling infectious mononucleosis. Br Med J. 1965;2:1099.
9. Staras SA, Dollard SC, Radford KW, Flanders WD, Pass RF, Cannon MJ.
Seroprevalence of Cytomegalovirus infection in the United States, 1988-1994.
Clin Infect Dis. 2006; 43:1143.
10. Colugnati FA, Staras SA, Dollard SC, Cannon MJ. Incidence of Cytomegalovirus
infection among the general population and pregnant women in the United States.
BMC Infect Dis. 2007;7:71.
11. Prince AM, Szmuness W, Millian SJ, David DS. A serologic study of Cytomegalovirus
infections associated with blood transfusions. N Engl J Med. 1971;284:1125.
12. Preiksaitis JK, Brown L, McKenzie M. The risk of Cytomegalovirus infection in
seronegative transfusion recipients not receiving exogenous immunosuppression.
J Infect Dis. 1988;157:523.
13. Istas AS, Demmler GJ, Dobbins JG, Stewart JA. Surveillance for congenital
cytomegalovirus disease: a report from the National Congenital Cytomegalovirus
Disease Registry. Clin Infect Dis. 1995;20:665.
14. Ghekiere S, Allegaert K, Cossey V, Van Ranst M, Cassiman C, Casteels I.
Ophthalmological findings in congenital Cytomegalovirus infection: when to
screen, when to treat? J Pediatr Ophthalmol Strabismus. 2012;49:274.
15. Rivera LB, Boppana SB, Fowler KB, Britt WJ, Stagno S, Pass RF. Predictors of
hearing loss in children with symptomatic congenital Cytomegalovirus infection.
Pediatrics. 2002;110:762.
16. Boppana SB, Fowler KB, Vaid Y, Hedlund G, Stagno S, Britt WJ, et al.
Neuroradiographic findings in the newborn period and long-term outcome in
children with symptomatic congenital Cytomegalovirus infection. Pediatrics.
1997;99:409.
17. Goderis J, De Leenheer E, Smets K, Van Hoecke H, Keymeulen A, Dhooge
I. Hearing loss and congenital CMV infection: a systematic review. Pediatrics.
2014;134:972.
18. Demmler-Harrison G. Congenital cytomegalovirus infection: Clinical features
and diagnosis [Internet]. Uptodate.com. 2016 [cited 25 March 2016]. Available
from: http://www.uptodate.com/contents/congenital-cytomegalovirus-infection-
clinical-features-and-diagnosis?source=search_result&search=cytomegalovirus&se
lectedTitle=6~150
19. Ross SA, Arora N, Novak Z, Fowler KB, Britt WJ, Boppana SB. Cytomegalovirus
reinfections in healthy seroimmune women. J Infect Dis. 2010;201:386.
20. Ljungman P, Griffiths P, Paya C. Definitions of Cytomegalovirus infection and
disease in transplant recipients. Clin Infect Dis. 2002;34:1094.
21. Razonable RR, Humar A, AST Infectious Diseases Community of Practice.
Cytomegalovirus in solid organ transplantation. Am J Transplant. 2013;13 Suppl
4:93.
53
Infeksi Cytomegalovirus pada Bayi dan Anak
22. Harrison GJ. Cytomegalovirus. In: Cherry JD, Harrison GJ, Kaplan SL, et
al,editors. Feigin and Cherry’s Textbook of Pediatric Infectious Diseases, 7th ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2014. p.1969.
23. Chou S. Newer methods for diagnosis of Cytomegalovirus infection. Rev Infect
Dis. 1990;12 Suppl 7:S727.
24. Razonable RR, Hayden RT. Clinical utility of viral load in management of
Cytomegalovirus infection after solid organ transplantation. Clin Microbiol Rev.
2013;26:703.
25. Demmler-Harrison G. Acquired cytomegalovirus infection in infants, children,
and adolescents [Internet]. Uptodate.com. 2016 [cited 25 March 2016]. Available
from: http://www.uptodate.com/contents/acquired-cytomegalovirus-infection-in-
infants-children-and-adolescents?source=search_result&search=cytomegalovirus+
virus&selectedTitle=4~150
26. Nishida K, Morioka I, Nakamachi Y, et al. Neurological outcomes in symptomatic
congenital Cytomegalovirus-infected infants after introduction of newborn urine
screening and antiviral treatment. Brain Dev. 2016;38:209.
27. Treatment algorithm for congenital CMV infection [Internet]. Uptodate.com. 2016
[cited 25 March 2016]. Available from: http://www.uptodate.com/contents/imag
e?imageKey=PEDS%2F100748&topicKey=PEDS%2F98188&rank=6~150&sour
ce=see_link&search=cytomegalovirus+virus&utdPopup=true
28. Amir J, Wolf DG, and Levy I. Treatment of Symptomatic Congenital
Cytomegalovirus Infection With Intravenous Ganciclovir Followed by Long-Term
Oral Valganciclovir. Eur J Pediatr. 2010;169(9):1061-7.
29. Schornagel FA, Oudesluys-Murphy AM, Vossen AC. Valganciclovir for Congenital
Cytomegalovirus. N Engl J Med. 2015;372:2462.
30. Stagno S, Pass RF, Thomas JP, Navia JM, Dworsky ME.. Defects of tooth structure
in congenital cytomegalovirus infection. Pediatrics 1982; 69:646.
54
Hepatitis C pada Anak: Apakah Sering Terjadi
dan Dapat Disembuhkan?
Fatima Safira Alatas
Tujuan:
1. Mengetahui epidemiologi infeksi virus hepatitis C pada anak
2. Mengetahui faktor risiko infeksi virus hepatitis C pada anak
3. Mengetahui metode transmisi infeksi virus hepatitis C pada anak
4. Mengetahui tatalaksana infeksi virus hepatitis C pada anak
Epidemiologi
Prevalensi Infeksi VHC di berbagai belahan dunia berbeda-beda. Di Eropa
dilaporkan bahwa sekitar 19 juta orang terinfeksi VHC, dengan prevalensi
55
Hepatitis C pada Anak: Apakah Sering Terjadi dan Dapat Disembuhkan?
bervariasi antar Negara yaitu antara 6%-20%. 4,5 Di Amerika Serikat yaitu
sekitar 1.3% dari populasi, insidensnya meningkat sejak tahun 2006 dengan
perkiraan terdapat 2500 kasus baru tiap tahunnya, sedangkan sebagian besar
kasus tidak terdiagnosis.6 Sedangkan di Asia sendiri seroprevalens antibodi
Hepatitis C (anti-HCV) hampir sama dengan di negara-negara lain yaitu rata-
rata 2.5% dari orang dewasa.7
Berbeda dengan infeksi VHC pada dewasa, pada anak prevalensinya relatif
lebih sedikit. Rendahnya jumlah kasus tersebut mungkin berkaitan dengan
tidak dilakukannya skrining untuk mendeteksi infeksi, serta infeksi VHC
yang biasanya asimtomatik. Prevalensi infeksi pada anak berbeda-beda antar
negara yaitu 0.05%-0.36% di Amerika Serikat dan Eropa, sedangkan di negara
berkembang dapat mencapai 1.8%-5.8%. Prevalensi tertinggi yaitu di Mesir,
Afrika sub-sahara, Amazon dan Mongolia. Sedangkan di Indonesia sendiri
diperkirakan 2% dari jumlah penduduk menderita Hepatitis C. Pada anak
prevalensi VHC sangat bervariasi yaitu sekitar 0,5% sampai 3,37% bergantung
pada letak geografis & faktor risiko.8
Walaupun prevalensi infeksi hepatitis C di dunia telah mengalami
penurunan yang signifikan sejak dilakukannya skrining pada donor darah,
namun penyebaran VHC tetap berjalan di beberapa daerah di Asia. Daerah-
daerah tersebut yaitu yang tidak melakukan skrining rutin pada donor darah,
praktek pengobatan tradisional, tatalaksana medis yang kurang bersih terutama
yang berhubungan dengan kontaminasi darah serta praktek tatto.7
Angka kematian pada orang-orang yang menderita infeksi VHC
diperkirakan 3 kali lebih tinggi daripada yang tidak terinfeksi. Sedangkan angka
harapan hidup dari orang yang terinfeksi VHC dilaporkan 22 tahun lebih muda
dibandingkan dengan yang tidak terinfeksi. Kelompok ini juga mempunyai
risiko lebih tinggi untuk menderita sirosis hepatis dan gagal ginjal.9
Genotipe VHC
Filogenetik dan analisis sekuens genom virus membagi VHC menjadi 7 genotipe
utama. Masing-masing genotype berbeda pada urutan asam amino sekitar 31%-
34%. Genotipe 1 dan 3 adalah yang terbanyak di dunia, yaitu meliputi 46%
dan 30% dari seluruh kasus VHC. Genotipe 2, 4 dan 6 mencakup 23% dari
seluruh jumlah kasus sedangkan genotipe 5 kurang dari 1%. Genotipe 1-3 dapat
ditemukan di seluruh dunia, namun yang terbanyak di Amerika dan Eropa.
Genotipe 4 terutama terdapat di Mesir, Timur Tengah dan Afrika, 5 lebih banyak
di Afrika Selatan sedangkan 6 di Asia. Genotipe 7 adalah genotipe terbaru
yang ditemukan pada pasien yang berasal dari sentral Afrika.10-13
56
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
Faktor risiko serta metode transmisi VHC lain pada anak dan remaja
hampir sama dengan pada orang dewasa pada umumnya yaitu melalui
obat-obatan intravena dan intranasal, penggunaan obat-obatan terlarang,
hemodialisis kronik dan transfusi darah yang tidak melalui proses skrining,
penggunaan tindakan medis dan operasi yang tidak menggunakan prinsip-
prinsip pencegahan penularan infeksi (standard precaution), lahir dari ibu
penderita VHC, menderita HIV, hepatitis atau peningkatan enzim transaminase
kronik, penyakit hati kronik yang tidak diketahui penyebabnya, akupuntur, dan
penggunaan tatto serta transplantasi organ. Saat ini skrining pada produk darah
terhadap virus hepatitis C dengan enzyme immunoassays dan nucleic acid testing
(NAT) telah menurunkan angka infeksi VHC melalui transfusi darah secara
drastis, terutama bagi anak-anak dengan penyakit kronik yang memerlukan
transfusi berulang.21
57
Hepatitis C pada Anak: Apakah Sering Terjadi dan Dapat Disembuhkan?
Anti-HCV
HCV RNA
Gejala Klinis
SGPT
SGPT
40 IU/L
Bulan Tahun
Waktu setelah terpapar
Gambar 1. Titer anƟbody, kadar virus dan fungsi haƟ selama kurun waktu infeksi VHC10
58
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
Virus Hepatitis C
Sirosis hepatis
266 anak dengan infeksi vertikal diikuti selama 4.2 tahun. Pada anak-anak
dengan HCV RNA polymerase chain reaction (PCR) positif sampai lebih dari usia
1 tahun lebih banyak yang tidak dapat sembuh secara spontan bila dibandingkan
dengan HCV RNA PCR negatif pada usia 1 tahun. Pada anak-anak ini, sembuh
secara spontan biasanya ditemukan pada anak dengan genotipe Rs12979860
CC dengan polimorfisme IL28B.26 Plasenta juga dianggap mempunyai efek
imunoprotektif terhadap infeksi perinatal VHC pada neonatus. Selain itu,
bayi-bayi dengan human leukocyte antigen (HLA) DR13 juga dikatakan lebih kecil
kemungkinannya untuk mengidap infeksi VHC kronik melalui infeksi vertikal.27
Sesuai dengan kasus-kasus pada orang dewasa dengan infeksi VHC kronik,
fibrosis hati pada anak biasanya meningkat seiring dengan berjalannya usia
yang menunjukkan bahwa progresifitas dari kerusakan hati pada VHC lambat
dan jarang menjadi sirosis pada masa anak-anak.28 Namun pada studi di Itali
dengan prevalensi infeksi VHC yang cukup tinggi, ditemukan 1.8% anak dengan
anti-HCV positif yang didapat melalui infeksi vertikal menderita sirosis dalam
kurun waktu 2-9 tahun. Faktor risiko untuk terjadinya sirosis tersebut adalah
genotipe 1a dan steatosis.29
Data yang dilaporkan oleh the Studies of Pediatric Liver Transplantation
(SPLIT) Registry, yang mengambil data dari 37 pusat transplantasi hati anak
59
Hepatitis C pada Anak: Apakah Sering Terjadi dan Dapat Disembuhkan?
Gejala klinis
Gejala klinis dari VHC akut maupun kronik biasanya ringan dan tidak spesifik
(Tabel 1). Progresifitas untuk menjadi gagal hati kronik sangat jarang ditemukan
pada anak. Pertumbuhan juga biasanya tidak terganggu pada anak-anak yang
lebih kecil dengan infeksi kronik31 dan gangguan fungsi hati yang terjadi
biasanya berfluktuasi. Enzim transaminase dapat tetap normal atau sedikit
meningkat dan sebagian kasus terjadi peningkatan yang persisten walaupun
anti-HCV negatif.32
60
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
Selain dari gejala klinis hepatitis yang khas seperti demam, lemas, nafsu
makan menurun, mual, sakit perut, terdapat pula manifestasi ekstrahepatik
yang berkaitan dengan infeksi VHC, contohnya : Serum sickness–like disease,
aterosklerosis, liken planus, porfiria kutanea tarda, dan lain-lain (Tabel 2).32,33
Tabel 3. Rangkuman uji klinis terapi kombinasi antara pegylated interferon/ribavirin pada anak dengan
infeksi hepatitis C kronik 29
Studi Tahun N Terapi Respons virus terkendali
Seluruh tipe VHC tipe 1 VHC tipe 2/3/6
Wirth et al 2002 41 IFN-2b-ribavirin 25 (61) 18 (53) 7 (100)
González-Peralta et al 2005 118 IFN-2b-ribavirin 54 (46) 33 (36) 21 (84)
Wirth et al 2005 62 PEG-IFN-2b-ribavirin 36 (59) 22 (48) 13 (100)
Wirth et al 2010 107 PEG-IFN-2b-ribavirin 70 (65) 38 (53) 28 (93)
Schwarz et al 2011 55 PEG-IFN-2a-ribavirin 29 (53) 21 (47) 8 (80)
Schwarz et al 2011 59 PEG-IFN-2a 12 (21) 8 (17) 4 (36)
61
Hepatitis C pada Anak: Apakah Sering Terjadi dan Dapat Disembuhkan?
Sebagian besar anak dan remaja mempunyai toleransi yang baik selama
pengobatan PEG-interferon dan ribavirin bila dibandingkan dengan dewasa.
Namun hampir seluruh pasien biasanya pernah mengalami 1 kali episode yang
berkaitan dengan efek samping kombinasi obat tersebut. Kejadian-kejadian
yang pernah dilaporkan pada saat pemberian terapi (adverse event) dapat dilihat
pada tabel 4 yaitu gejala-gejala influenza (demam, penurunan nafsu makan,
lemas, kulit kering dan rambut rontok). Anemia berat dan gangguan jiwa berat
merupakan efek samping yang sangat jarang terjadi. Pada beberapa pasien yang
mengalami penurunan jumlah leukosit sebaiknya dilakukan penurunan dosis
PEG-interferon.34
Tabel 4. Efek yang paling sering terjadi (adverse event) selama terapi PEG-interferon kombinasi dengan
ribavirin34,35
Terapi Interferon α:
Leukopenia, trombositopenia
Gejala menyerupai flu
Alopesia
Autoimun tiroiditis
Psikosis akut, depresi
Hambatan pertumbuhan
Anoreksia, penurunan berat badan
Ribavirin:
Anemia
Efek samping lain yang dapat terjadi pada anak adalah gangguan
pertumbuhan. Gangguan pertumbuhan ini cukup signifikan sampai dapat jatuh
di bawah persentil 3, namun dapat kembali mengalami percepatan pertumbuhan
setelah terapi selesai. Oleh karena itu vila memungkinkan sebaiknya pemberian
terapi pada saat percepatan pertumbuhan/pubertas dihindari.35 Walaupun
demikian, terapi kombinasi polyethylene glycol (PEG)-interferon dan ribavirin
masih dianggap mempunyai toleransi yang baik pada anak. Tidak ada gangguan
yang signifikan dalam hal kualitas hidup, perkembangan perilaku, emosi dan
kognitif sebelum dan sesudah terapi.29
Di masa mendatang diharapkan dapat dilakukan program tatalaksana
infeksi VHC secara menyeluruh yang meliputi skrining infeksi VHC berkala,
edukasi & konseling berkala untuk menurunkan transmisi VHC, pengembangan
& implementasi koordinasi global dari program pemberantasan, adanya tes
diagnostik untuk mendeteksi VHC yang cepat, akurat & murah, tersedianya
obat antiviral direct-acting dengan harga terjangkau untuk mendapatkan terapi
VHC secara luas, tersedianya metode untuk mendeteksi resistensi terhadap
obat VHC, serta program pengembangan dan penelitian yang berkaitan dengan
vaksin VHC serta obat-obatan yang dapat mempercepat regenerasi sel hati dan
mengurangi fibrosis hati dapat ditingkatkan.2
62
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
Simpulan
Infeksi virus hepatitis C sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan
dan ekonomi pada dewasa maupun anak di negara-negara berkembang maupun
maju. Pada anak, transmisi tersering melalui ibu ke anak terutama pada ibu-
ibu dengan risiko tinggi. Pengobatan anti-viral pada anak masih kontroversi,
terapi kombinasi PEG-interferon dan ribavirin direkomendasikan pada anak
dengan peningkatan enzim transaminase persisten, serta histopatologi yang
menunjukkan derajat fibrosis yang signifikan pada biopsi hati. Walaupun
toleransi pengobatan kombinasi PEG-interferon dan ribavirin masih cukup
baik pada anak, namun pencegahan transmisi virus dengan cara melakukan
standard precaution pada tindakan medis dan operasi, edukasi & konseling
berkala tentang pencegahan infeksi VHC, merupakan cara yang efektif untuk
menurunkan transmisi VHC.
Daftar pustaka
1. Webster DP, Klenerman P, Dusheiko GM. Hepatitis C. Lancet. 2015; 385: 1124-35.
2. Barth H. Hepatitis C virus: Is it time to say goodbye yet? Perspectives and challenges
for the next decade. World J Hepatol. 2015; 7: 725-37.
3. Pawlowska M, Domagalski K, Pniewska A, Smok B, Halota W, Tretyn A. What’s
new in hepatitis C virus infections in children?. World J Gastroenterol. 2015; 21:
10783-9.
4. Negro F. Epidemiology of hepatitis C in Europe. Dig Liver Dis. 2014; 46 (Suppl
5): S158-64.
5. Madali ski K, Zakrzewska K, Ko akowska A, Godzik P. Epidemiology of HCV
infection in central and eastern Europe. Przegl Epidemiol. 2015; 69: 459-64.
6. Lee J, Conniff J, Kraus C, Schrager S. A Brief clinical update on hepatitis C - the
essentials. WMJ. 2015; 114: 263-9.
7. Kao JH, Chen DS. Transmission of hepatitis C virus in Asia: past and present
perspectives. J Gastroenterol Hepatol. 2000; Suppl S2: E91-6.
8. Arief S. Hepatitis virus. Dalam: Juffrie M, Soenarto SSY, Oswari H, Arief S,
Rosalina I, Mulyani NS, editor. Buku ajar gastroenterologi hepatologi. Edisi
pertama. Jakarta: Balai Penerbit IDAI; 2010. h. 306-17.
9. Ly KN, Xing J, Klevens RM, Jiles RB, Holmberg SD. Causes of death and
characteristics of decedents with viral hepatitis, United States, 2010. Clin Infect
Dis. 2014; 58: 40-9.
10. Hochmanan JA, Balistreri WF. Acute and chronic viral hepatitis. Dalam: Suchy
FJ, Sokol RJ, Balistreri WF, penyunting. Liver disease in children. Edisi ketiga.
New York: Cambridge University Press; 2007. h. 369-446.
11. Global surveillance and control of hepatitis C. Report of a WHO Consultation
organized in collaboration with the Viral Hepatitis Prevention Board, Antwerp,
Belgium. J Viral Hepat.1999; 6: 35-47.
63
Hepatitis C pada Anak: Apakah Sering Terjadi dan Dapat Disembuhkan?
12. Esteban JI, Sauleda S, Quer J. The changing epidemiology of hepatitis C virus
infection in Europe. J Hepatol. 2008; 48:148-62.
13. El-Shabrawi MH, Kamal NM. Burden of pediatric hepatitis C. World J
Gastroenterol. 2013; 19: 7880-888.
14. Méndez-Sánchez N, Ridruejo E, Alves de Mattos A, Chávez-Tapia NC, Zapata R,
Paraná R, et al. Latin American Association for the Study of the Liver (LAASL)
clinical practice guidelines: management of hepatocellular carcinoma. Ann Hepatol
2014; 13 Suppl 1: S4-40.
15. Abdel-Hady M, Bunn SK, Sira J, Brown RM, Brundler MA, Davies P, et al.
Chronic hepatitis C in children--review of natural history at a National Centre. J
Viral Hepat. 2011; 18: e535-40
16. Benova L, Mohamoud YA, Calvert C, Abu-Raddad LJ. Vertical transmission of
hepatitis C virus: systematic review and metaanalysis. Clin Infect Dis. 2014; 59:
765-73.
17. Sood A, Midha V, Bansal M, Sood N, Puri S, Thara A. Perinatal transmission
of hepatitis C virus in northern India. Indian J Gastroenterol. 2012; 31: 27-29
18. Centers for Disease Control and Prevention. Recommendations for prevention
and control of hepatitis C virus (HCV) infection and HCV-related chronic disease.
MMWR.1998; 47: 1-39.
19. National Institutes of Health. National Institutes of Health consensus development
conference statement: management of hepatitis C 2002. Hepatology. 2002; 36:(5
suppl 1): S3-20.
20. American Academy of Pediatrics. Hepatitis C. Dalam: Pickering LK, ed. Red book:
2003 report of the Committee on Infectious Diseases. Edisi ke-26. Elk Grove
Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2003. h.336-40.
21. European Association for the Study of the Liver. EASL Clinical Practice Guidelines:
management of hepatitis C virus infection. J Hepatol. 2011; 55: 245-64.
22. Von Hahn T, Yoon JC, Alter H, Rice CM, Rehermann B, Balfe P, et al. Hepatitis C
virus continuously escapes from neutralizing antibody and t-cell responses during
chronic infection in vivo. Gastroenterology. 2007; 132: 667-78.
23. Hochman JA, Balistreri WF. Chronic hepatitis: always be current. Pediatr Rev.
2003; 24: 399–409.
24. Nathans R, Chu CY, Serquina AK, Lu CC, Cao H, Rana TM. Cellular microrna
and p bodies modulate host-hiv-1 interactions. Mol Cell. 2009; 34: 696-709.
25. Sharma SD. Hepatitis C virus: Molecular biology & current therapeutic options.
Indian J Med Res. 2010; 131: 17-34.
26. Ruiz-Extremera A, Muñoz-Gámez JA, Salmerón-Ruiz MA, de Rueda PM, Quiles-
Pérez R, Gila-Medina A, et al. Genetic variation in interleukin 28B with respect
to vertical transmission of hepatitis C virus and spontaneous clearance in HCV-
infected children. Hepatology. 2011; 53: 1830-8.
27. Jara P, Resti M, Hierro L, Giacchino R, Barbera C, Zancan L, et al. Chronic
hepatitis C virus infection in childhood: clinical patterns and evolution in 224
white children. Clin Infect Dis. 2003; 36: 275-80.
28. Guido M, Rugge M, Jara P, Hierro L, Giacchino R, Larrauri J, et al. Chronic
hepatitis C in children: the pathological and clinical spectrum. Gastroenterology.
1998; 115: 1525-9.
64
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
29. Khaderi S, Shepherd R, Goss JA, Leung DH. Hepatitis C in the pediatric
population: Transmission, natural history, treatment and liver transplantation.
World J Gastroenterol. 2014; 20: 11281-6.
30. Jonas MM. Children with hepatitis C. Hepatology. 2002; 36: S173–8.
31. England K, Pembrey L, Tovo PA, Newell ML. Growth in the first 5 years of life is
unaffected in children with perinatally acquired hepatitis C infection. J Pediatr.
2005; 147: 227-32.
32. Chang MH, Ni YH, Hwang LH, Lin KH, Lin HH, Chen PJ, et al. Long term
clinical and virologic outcome of primary hepatitis C virus infection in children:
a prospective study. Pediatr Infect Dis J. 1994; 13: 769-73.
33. Cacoub P, Comarmond C, Domont F, Savey L, Desbois AC, Saadoun D.
Extrahepatic manifestations of chronic hepatitis C virus infection. Ther Adv
Infect Dis. 2016; 3: 3-14.
34. Wirth S. Current treatment options and response rates in children with chronic
hepatitis C. World J Gastroenterol. 2012; 18: 99-104.
35. Wirth S, Kelly D, Sokal E, Socha P, Mieli-Vergani G, Dhawan A, et al. Guidance
for clinical trials for children and adolescents with chronic hepatitis C. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2011; 52: 233-7.
65
Pertussis - A Re-Emerging Infection
in Children and Adolescence
Nastiti Kaswandani
Tujuan:
1. Memahami beban kesehatan masyarakat karena pertusis
2. Memahami manifestasi klinis pertusis pada anak dan remaja
3. Memahami tata laksana pertusis
Pertusis (whooping cough) atau dahulu juga dikenal sebagai batuk rejan adalah
penyakit pada saluran pernapasan yang disebabkan oleh bakteri Bordetella
pertussis yang hidup di mulut, hidung, dan tenggorok. Anak-anak yang terkena
pertusis dapat mengalami batuk panjang yang bisa berlangsung empat sampai
delapan minggu, oleh sebab itu di masyarakat penyakit ini dahulu juga disebut
dengan batuk seratus hari. Pertusis menyebar dengan mudah dari satu anak ke
anak lain melalui droplet yang dihasilkan oleh batuk atau bersin.1,2
Data WHO pada tahun 2014 menunjukkan bahwa terdapat 139.786
kasus pertusis selama tahun 2014, dengan estimasi mortalitas kasus sebanyak
89.000 kematian.3 Cakupan imunisasi DPT (difteri pertussis tetanus) yang
sudah mencapai batas proteksi secara global semestinya bisa mengurangi angka
infeksi bahkan meminimalkan angka kematian akibat pertusis. Beberapa studi
mendapatkan terjadinya peningkatan infeksi pertusis pada anak sekolah, remaja
maupun dewasa. Transmisi yang masih terjadi dipikirkan sebagai penyebab
meningkatnya kembali angka kematian dan kesakitan bayi dan balita akibat
pertusis, terutama pada bayi yang belum sempat mendapat imunisasi atau
yang orangtuanya menolak untuk dilakukan imunisasi. Peralihan penggunaan
vaksin DPT sel utuh (whole-cell) menjadi DPT aselular juga menjadi wacana
berkurangnya imunitas terhadap pertusis terutama pada anak di atas usia 5
tahun.2,4,5,6 Oleh karena itu WHO maupun institusi kesehatan lain menganggap
serius pertusis sebagai ancaman kembali bagi kesehatan anak di dunia. Makalah
ini akan membahas pertusis sebagai penyakit infeksi yang kembali menjadi
masalah kesehatan bagi anak, termasuk manajemen dan pencegahannya.
66
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
Etiologi
Pertusis disebabkan oleh kuman Bordetella pertussis (95%) dan kadang-kadang
oleh Bordetella parapertusis, terdapat 9 spesies kuman dengan genus bordetella
namun hanya 5 jenis saja yang diketahui dapat menyebabkan infeksi di saluran
napas atas.1,2,4-6 Kuman Bordetella pertussis merupakan kuman Gram negatif
berukuran kecil yang menginfeksi sel epitel bersilia pada saluran napas manusia
dan memiliki berbagai komponen antigen yang secara biologis aktif. Bakteri ini
mengekspresikan beberapa faktor penentu virulensi, di antaranya : pertussis toxin
(PT), filamentous haemagglutinin (FHA), pertactin (PRN), fimbriae (FIM) tipe 2 and
tipe 3, adenylate cyclase toxin (ACT), tracheal cytotoxin (TCT) and lipopolysaccharide
(LPS). Beberapa bakteri dan virus seperti mycoplasma, respiratory syncytial virus
(RSV) dan virus parainfluenzae bisa menyebabkan gejala pertussis-like diseases.5,7
Epidemiologi
Manusia merupakan satu-satunya host (pejamu) kuman Bordetella pertusis. Pertusis
merupakan penyakit infeksi saluran napas yang menyebar di seluruh dunia dan
dapat menyerang semua usia, namun demikian semakin muda usia saat terkena
akan semakin berat gejala klinisnya terutama pada bayi. 1,2,5,6 Pertusis telah
merupakan endemi di seluruh dunia dan mempunyai siklus epidemik yaitu
kejadiannya berulang sekitar 2-5 tahun (terutama 3-4 tahun) sekali bahkan di
era vaksinasi sekali pun.
Epidemiologi pertusis sangat dipengaruhi oleh imunisasi. Angka kejadian
dan kematian penyakit pertusis menurun di negara maju maupun berkembang
di dunia sejak diperkenalkannya vaksin difteri, pertusis, tetanus (DPT) tahun
di 1940-an. Jika imunisasi DPT tidak tersedia, diperkirakan akan terdapat lebih
dari 1,3 juta angka kematian akibat pertusis pada tahun 2001.3
Dalam beberapa tahun terakhir, di berbagai negara dengan angka cakupan
imunisasi yang tinggi, dilaporkan terjadinya peningkatan insidens pertusis
terutama pada kelompok usia remaja dan dewasa. Suatu studi di Inggris
mendapatkan bahwa 56 dari 215 anak usia sekolah yang berobat di layanan
primer dengan keluhan batuk persisten ternyata terinfeksi pertusis. Risiko
pertusis tiga kali lebih tinggi pada anak dengan imunisas pertusis terakhir 7
tahun sebelumnya atau lebih, dibandingkan dengan yang kurang dari 7 tahun.8
Peningkatan insiden pertusis pada beberapa negara yang cakupannya baik
menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas vaksin DPT. Hal yang mungkin
dapat menjelaskan laporan kenaikan kasus pertusis di negara maju adalah
adaptasi patogen terhadap vaksinasi, surveilans yang semakin baik, kemajuan
dalam fasilitas diagnostik, berkurangnya imunitas pejamu, dan kualitas vaksin
yang buruk. Pertusis yang tadinya dianggap sebagai penyakit bayi dan anak, kini
67
Pertussis – A Re-Emerging Infection in Children and Adolescence
umum dijumpai pada anak-anak dan remaja. Banyak studi mendapatkan bahwa
kekebalan yang diberikan oleh vaksin DPT baik yang aselular maupun yang
berupa sel utuh telah menurun dalam beberapa tahun terakhir. Menurunnya
kekebalan yang diinduksi oleh vaksin terhadap pertusis telah menjadi kendala
utama dalam menghadapi pertusis sebagai masalah kesehatan masyarakat.9
Di Asia Tenggara angka kejadian pertusis pada 5 tahun terakhir
menunjukkan fluktuasi.10 WHO melaporkan bahwa pada tahun 2014 cakupan
imunisasi DPT3 mencapai 86% dan jumlah bayi di bawah usia 1 tahun yang
tidak menerima DPT3 di seluruh dunia berjumlah 18,7 juta bayi. Lebih dari
60% kasus terjadi di 10 negara yaitu Kongo, Ethiopia, India, Indonesia, Irak,
Nigeria, Pakistan, Filipina, Uganda and Afrika Selatan. Hal ini menunjukkan
masih terjadinya transmisi pertusis oleh anak, remaja dan dewasa terhadap bayi
yang belum terlindung imunisasi. Peluang transmisi terhadap bayi yang belum
mencapai usia untuk mendapatkan imunisasi pertama juga menjadi potensi
tingginya angka kematian akibat pertusis.11
Patogenesis
Transmisi kuman pertusis terjadi melalui percik renik (droplet) yang berasal
dari percikan batuk atau bersin pasien pertusis yang terhirup ke saluran napas
atas oleh seseorang yang rentan. Proses transmisi ini terutama terjadi pada saat
awal penyakit yaitu pada fase kataral dan fase paroksismal awal. Masa inkubasi
pertusis umumnya 7-10 hari namun dapat berkisar antara 4-21 hari. Pada kasus
dengan kontak serumah seringkali didapatkan gejala klinis mulai timbul hingga
Gambar 1. Sinergi toksin pertusis dan hemagluƟnin filamentosa pada sel epitel respiratorik 12
68
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
Gejala pertusis
Manifestasi klinis infeksi Bordetella pertusis sangat bervariasi tergantung usia,
riwayat imunisasi atau infeksi sebelumnya. Gejala klasik pertusis umumnya
terjadi pada infeksi primer yang mengenai anak usia 1-10 tahun yang tidak
diimunisasi (tidak mempunyai kekebalan). Gejala ini akan berlangsung 6-20
minggu dan terdiri dari 3 tahap/fase: 1,2,5,6
1. Fase kataral (1-2 minggu)
Karakteristik fase kataral adalah adanya pilek, mata merah, lakrimasi,
malaise dan batuk ringan yang menyerupai selesma. Suhu tubuh dapat
normal atau demam ringan. Intensitas dan frekuensi batuk akan semakin
memberat dalam 1-2 minggu
2. Fase paroksismal (1-4 minggu)
Fase ini didominasi oleh gejala batuk yang berat dan terjadi secara
paroksismal. Setiap serangan batuk terdiri dari 5-10 kali batuk yang keras
tanpa diawali inspirasi dan diakhiri oleh satu tarikan napas (inspirasi) panjang
yang menyebabkan bunyi whoop. Selama episode batuk, mukus dalam jumlah
69
Pertussis – A Re-Emerging Infection in Children and Adolescence
70
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
remaja dapat berupa rasa tercekik yang tiba-tiba diikuti oleh batuk yang terus
menerus (uninterrupted cough), rasa sufokasi, sakit kepala yang hebat, kehilangan
kesadaran tiba-tiba atau napas yang gasping, biasanya tanpa disertai suara whoop.
Muntah pasca batuk dan batuk paroksismal umumnya diselingi jeda waktu
beberapa jam. Remaja dengan pertusis biasanya tampak baik-baik saja. Sekitar
30% remaja dengan pertusis memiliki gejala batuk yang tidak spesifik, hanya
ditandai dengan lama batuk >21 hari.14 Selain post viral cough, pertusis merupakan
etiologi batuk yang berlangsung lebih dari 3 minggu.15 Keadaan inilah yang
seringkali membuat pertusis pada remaja tidak dikenali dan akhirnya remaja ini
menjadi sumber penularan bagi bayi dan anak usia muda.16 Pada pemeriksaan
fisis tidak dijumpai tanda infeksi saluran napas bawah, kecuali jika diperberat
dengan pneumonia bakterial sekunder. Perdarahan konjungtiva dan petekie
pada bagian atas tubuh lazim dijumpai.
Komplikasi pertusis
Komplikasi akibat pertusis juga sangat bervariasi dan umumnya terjadi pada
bayi usia muda. Komplikasi pada sistem respiratori adalah bronkopneumonia
dengan atau tanpa atelektasis, hipertensi pulmonal, otitis media (umumnya
disebabkan sekunder oleh patogen lain). Pertusis juga sering dihubungkan
dengan aktivasi tuberkulosis laten, apnu, asfiksia, bronkiektasis, emfisema
interstisial dan subkutan serta pneumotoraks. Komplikasi di susunan saraf pusat
mencapai 14% kasus meliputi ensefalopati dengan kejang, meningoensefalitis
yang dapat memburuk menjadi stupor atau koma. Perdarahan dan edema
serebral dapat terjadi. Gejala sisa jangka panjang dapat terjadi yaitu paralisis
spastik dan retardasi mental. Kematian umumnya disebabkan oleh pneumonia,
hipertensi pulmonal, atau kematian mendadak akibat hipoksemia berat. 1,2,5,6
Diagnosis pertusis
Pertusis harus dicurigai pada bayi usia muda dengan imunisasi 3 dosis DPT
yang tidak lengkap dan menunjukkan gejala klasik atau pada anak dengan gejala
mayor seperti batuk kronik paroksismal tanpa demam yang signifikan, keadaan
umum kurang baik, nyeri tenggorok tanpa gejala mengi atau ronki. Pada kasus
sporadik definisi kasus klinis adalah batuk >14 hari dengan minimal salah satu
gejala, paroksismal, suara whoop, atau muntah pasca batuk.1,2
Infeksi adenovirus memiliki gejala yang mirip dengan pertusis, namun
dapat dibedakan dengan adanya demam, nyeri menelan dan kojungtivitis.
Infeksi mycoplasma dapat menyebabkan episode batuk yang protracted namun
pasien umumnya memiliki gejala demam, sakit kepala dan gejala sistemik
71
Pertussis – A Re-Emerging Infection in Children and Adolescence
sejak awal penyakit hingga timbul gejala batuk yang terus menerus serta pada
pemeriksaan fisis sering ditemukan ronki basah pada auskultasi dada. Walaupun
demikian seringkali sulit membedakan infeksi pertusis dengan mikoplasma
hanya berdasarkan gejala klinis saja. Infeksi Chlamydia trachomatis juga menjadi
diagnosis banding pertusis.2,4 Pada infeksi Chlamydia didapatkan batuk staccato,
konjungtivitis purulen, napas cepat, ronki atau mengi.2
Pada pertusis didapatkan lekositosis (15.000-100.000 sel/ul) yang
disebabkan oleh limfositosis terutama pada fase kataral. Limfositosis yang
terjadi merata antara sel T dan sel B dengan bentuk sel normal, berbeda
dengan limfositosis akibat infeksi virus yang umumnya jenis limfositnya atipikal
dengan sel yang besar.2 Peningkatan netrofil menunjukkan adanya infeksi
bakterial sekunder. Kematian biasanya berhubungan dengan jumlah lekositosis
maupun trombositosis yang sangat tinggi. Gambaran foto dada umumnya hanya
menunjukkan kelainan minimal atau infiltrat perihilar (butterfly appearance)
dan gambaran atelektasis yang bervariasi.1,2 Gambaran konsolidasi parenkim
umumnya jika disertai infeksi bakterial sekunder , gambaran komplikasi
dapat ditemukan berupa pneumothorax, pneumomediastinum, dan emfisema
subkutan.2
72
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
73
Pertussis – A Re-Emerging Infection in Children and Adolescence
Prognosis
Prognosis pertusis tergantung usia pasien, pada anak besar dan remaja prognosis
pertusis baik, sedangkan pada bayi memiliki risiko tinggi kematian dan terjadinya
ensefalopati. Adanya apnu dan kejang selama proses penyakit menimbulkan
gangguan intelektual pada pengamatan jangka panjang. Anak yang mengalami
pertusis sebelum usia 2 tahun dilaporkan mengalami abnormalitas pada fungsi
parunya hingga saat dewasa.
Imunisasi pertusis
Tujuan utama imunisasi pertusis adalah untuk menurunkan risiko pertusis berat
pada bayi. Semua anak di dunia termasuk HIV positif harus diimunisasi DPT.
Semua negara harus memiliki jadwal imunisasi dasar yang mencakup pertusis
dan mempertahankan angka cakupan imunisasi sebesar 90% skala nasional
74
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
75
Pertussis – A Re-Emerging Infection in Children and Adolescence
Simpulan
Morbiditas dan mortalitas akibat pertusis masih merupakan masalah kesehatan
global di seluruh dunia terutama di negara berkembang. Peningkatan insidens
pada remaja dan dewasa dipikirkan akibat menurunnya proteksi vaksin pertusis
seiring dengan bertambahnya usia. Transmisi dari anak besar dan dewasa
memiliki potensi berbahaya bagi bayi yang belum mencapai usia imunisasi
ataupun yang orangtuanya menolak imunisasi. Selain gejala klasik pertusis, perlu
dikenali gejala non klasik pada bayi muda maupun remaja dan dewasa. Tata
laksana pertusis adalah pemberian antibiotik pilihan yaitu golongan makrolid
dan terapi suportif. Upaya penegakan diagnosis pertusis secara definitif penting
dilakukan untuk memperoleh gambaran besaran masalah pertusis sebagai
ancaman kesehatan bagi bayi dan anak.
Daftar pustaka
1. Tozzi AE, Celentano LP, degli Atti MLC, Salmaso S. Diagnosis and management
of pertussis. CMAJ 2005;172:509-15.
2. Guiso N. How to fight pertussis? Ther Adv Vaccines. 2013;1:59–66.
3. World Health Organization. Global and regional immunization profile 2014.
4. Syed MA, Bana NF. Pertussis; A reemerging and an underreported infectious
disease. Saudi Med J. 2014;35:1181-7.
5. Bamberger ES, Srugo I. What is new in pertussis ? Eur J Pediatr. 2008;167:133-9.
6. Hong JY. Update on pertussis and pertussis immunization. Korean J Pediatr
2010;53:629-33.
7. Melvin JA, Scheller EV, Miller JF, Cotter PA. Bordetella pertussis pathogenesis:
current and future challenges. Nat Rev Microbiol. 2014;12: 274–88.
8. Wang K, Fry NK, Campbell H, Amirthalingam, Harrison TG, Mant D, Harnden
A. Whooping cough in school age children presenting with persistent cough in
UK primary care after introduction of the preschool pertussis booster vaccination:
prospective cohort study. BMJ 2014;348:g3668doi: 10.1136/bmj.g3668 (Published
24 June 2014)
9. Della Torre JAG, Benevides GN, Melo AMAGP, Ferreira CR. Pertussis: the
resurgence of a public health threat. Autopsy Case Rep [Internet]. 2015; 5(2):9-16.
http://dx.doi.org/10.4322/acr.2015.006
76
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
10. WHO South East Asia. Global and regional immunization profile 2014.
11. Sáfadi MAP. Pertussis in young infants: a severe vaccine-preventable disease
[editorial]. Autopsy Case Rep [Internet]. 2015; 5(2):1-4. http://dx.doi.org/10.4322/
acr.2015.010
12. Kerr JR, Matthews RC. Bordetella pertussis infection: pathogenesis, diagnosis,
management, and the role of protective immunity. Eur J Clin Microbiol Infect
Dis. 2000;19:77-88
13. Nicolai A, Nenna R, Stefanelli P, Carannante A, Schiavariello C, Pierangeli A, et al.
Bordetella pertussis in infants hospitalized for acute respiratory symptoms remains
a concern. BMC Infectious Diseases 2013, 13:526 http://www.biomedcentral.
com/1471-2334/13/526
14. Philipson K, Goodyear-Smith F, Grant CC, Chong A, Turner N, Stewart J. When
is acute persistent cough in school-age children and adults whooping cough? Br
J Gen Pract 2013; e573-9.
15. Shields MD, Thavagnanam S. The difficult coughing child: prolonged acute cough
in children. Cough. 2013; 9:11-5.
16. Althouse BM, Scarpino SV. Asymptomatic transmission and the resurgence of
Bordetella pertussis. BMC Medicine. 2015. DOI 10.1186/s12916-015-0382-8
17. Cherry JD, Brunell PA, Golden GS. Report of the task force on pertussis and
pertussis immunization-1988. Pediatrics. 1988;81[Suppl]:939-84.
18. American Academy of Pediatrics: Active immunization. Pertussis. Dalam: Pickering
LK, penyunting: 2003 Red Book. Report of the Committee on Infectious Disease.
Elk Grove Village, III: American Academy of Pediatrics, 2003. h.472-86.
19. Shehab ZM. Pertussis. Dalam: Taussig LM, Landau LI, penyunting. Pediatric
respiratory medicine. Edisi ke-2. Philadelphia PA: Elsevier Mosby;2008.h.589-97.
20. World Health Organization: Pertussis vaccines: WHO position paper-August 2015.
Weekly epidemiological record 2015;90:443-60.
21. Urwyler P, Heininger U. Protecting newborns from pertussis – the challenge of
complete cocooning. BMC Infectious Diseases 2014, 14:397
22. Burr JS, Jenkins TL, Harrison R, Meert K, Anand KJS, Phil D, et al.The
Collaborative Pediatric Critical Care Research Network (CPCCRN) Critical
Pertussis Study: Collaborative Research in Pediatric Critical Care Medicine. Pediatr
Crit Care Med. 2011 July ; 12(4): 387–392. doi:10.1097/PCC.0b013e3181fe4058.
77
Pemeriksaan Pencitraan pada Infeksi Paru
Evita Karianni Bermanshah Ifran
Tujuan:
1. Mengetahui cara mengevaluasi foto toraks dan gambaran normal
foto toraks.
2. Mengetahui gambaran abnormal pada foto toraks.
3. Mengetahui gambaran foto toraks pada infeksi paru karena virus.
4. Mengetahui gambaran foto toraks pada infeksi paru karena bakteri.
5. Mengetahui gambaran foto toraks pada infeksi paru karena penyebab
lainnya.
78
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
Foto toraks
Sebelum menilai kelainan pada pemeriksaan pencitraan kita harus mengingat
proses tumbuh kembang pada anak. Gambaran yang dapat dijumpai sebagai
bagian normal dari pertumbuhan anak jangan diinterpretasikan sebagai
abnormalitas. Selain itu, dalam membuat interpretasi pencitraan anak harus
diperhatikan usia anak saat dilakukan pemeriksaan. Sebagai contoh, terlihatnya
gambaran massa opak di mediastinum pada hari-hari pertama kehidupan
bayi merupakan gambaran timus yang normal dijumpai pada usia tersebut.
Gambaran ini sering disalahartikan sebagai massa tumor mediastinum,
pneumonia, atau adanya pembesaran jantung pada neonatus. Sebaliknya,
ditemukan adanya gambaran massa opak di medistinum pada anak besar atau
usia remaja bukanlah gambaran normal dan membutuhkan evaluasi lebih
lanjut (Gambar 1).
Gambar 1. Gambaran klasik Ɵmus di mediasƟnum pada neonatus merupakan gambaran abnormal
bila dijumpai pada anak remaja. (a) Timus menyerupai pneumonia, (b) Timus menyerupai pembesaran
jantung atau massa, (c) Pada foto lateral terlihat daerah retrosternal terisi oleh Ɵmus yang masih besar
pada neonatus.
79
Pemeriksaan Pencitraan pada Infeksi Paru
Gambar 2. Gambaran paru pada kondisi inspirasi kurang. (a) Paru kurang inspirasi sehingga jantung
terlihat besar serta kedua lapangan paru terlihat opak, gambaran ini sering disalah arƟkan sebagai
pneumonia. (b) Pada foto pasien yang sama dengan inspirasi cukup, terlihat kedua lapangan paru
terlihat bersih.
Pneumonia
Keluhan batuk, demam, dan sesak merupakan gejala klinis pneumonia. Pada
neonatus, pneumonia dapat tanpa disertai demam. Informasi yang penting
adalah adanya demam tinggi (39-40ºC) dan mengi.1 Demam tinggi ditemukan
pada pneumonia dengan konsolidasi. Pada pneumonia karena virus, derajat
80
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
demam lebih rendah, kecuali pada saat viremia didapatkan demam yang tinggi.
Demam tinggi pada infeksi virus tanpa disertai adanya gejala pernapasan tidak
akan menyebabkan kelainan pada foto toraks.3,4 Bila ditemukan mengi, akan
lebih mudah untuk membedakan etiologi virus, bakteri dan mikoplasma. Mengi
merupakan petanda adanya penyakit saluran napas reaktif, sehingga bila terdapat
mengi maka kemungkinan penyebab bukan konsolidasi bakterialis, melainkan
virus atau mikoplasma.
Pada pemeriksaan fisis pneumonia ditemukan frekuensi napas yang cepat,
napas cuping hidung, sianosis, retraksi dinding dada, serta terdapat ronki halus
pada auskultasi. Pemeriksaan fisis yang cermat dapat menegakkan diagnosis
pneumonia. Peranan pemeriksaan pencitraan adalah untuk memastikan
diagnosis pada keadaan pemeriksaan fisis meragukan atau sulit dilakukan,
khususnya pada bayi dan anak kecil atau bila pengobatan tidak memberikan
perbaikan, serta kecurigaan adanya komplikasi yang memerlukan tindakan
bedah.5
Pneumonia komunitas merupakan penyakit yang umum dijumpai
pada anak. Bakteri, virus atau kombinasi keduanya merupakan penyebab
tersering. Keterbatasan pemeriksaan laboratorium yang cepat dan akurat untuk
menentukan patogen penyebab pneumonia menyebabkan pemberian antibiotik
pada pneumonia dilakukan secara empiris. Hampir 60% penyebab pneumonia
adalah virus. Pada kondisi ini, pemberian antibiotik tidak diperlukan dan tidak
bermanfaat.
Bila ditemukan perubahan densitas parenkim paru pada foto toraks,
perlu dipikirkan adanya pneumonia. Gambaran foto toraks dapat membantu
memperkirakan mikroorganisme penyebab pneumonia. Penelitian lain
menyatakan usia anak lebih dapat memperkirakan penyebab pneumonia.9
81
Pemeriksaan Pencitraan pada Infeksi Paru
Gambar 3. Infeksi paru karena virus, tampak infiltrat perihilar dan peribrochial cuffing
82
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
Gambar 4. Bayangan opak (puƟh) bulat berbatas tegas pada parakardial dan retrokardial kiri, (a) Pada
foto lateral terletak superimpose dengan vertebra, berbatas tegas, merupakan gambaran pneumonia
bakterialis, (b) Gambaran ini sering disalah arƟkan sebagai massa tumor.
83
Pemeriksaan Pencitraan pada Infeksi Paru
Gambar 5. Infiltrat sentral parenkimal paru bilateral serta atelektasis bergaris mengaburkan batas
jantung sehingga jantung terlihat “shaggy”
84
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
Simpulan
Infeksi saluran napas bawah akut pada anak merupakan penyebab morbiditas
dan mortalitas yang tinggi pada bayi dan anak. Keterbatasan pemeriksaan
penunjang untuk menentukan mikroorganisme penyebab menyebabkan
pengobatan didasarkan pada terapi empiris. Gejala klinis pneumonia pada
anak bervariasi tergantung pada penyebab dan usia. Dalam interpretasi foto
pada anak perlu pengetahuan akan tumbuh kembang anak agar tidak terjadi
salah interpretasi. Pemeriksaan foto toraks dapat digunakan untuk membantu
menentukan etiologi pneumonia dengan mempertimbangkan gejala klinis, usia
saat pemeriksaan dilakukan, dan gambaran yang terlihat.
Daftar pustaka
1. Effmann EL. Pulmonary infection. Dalam: Kuhn JP, Slovis TL, Haller JO,
penyunting. Caffey’s Pediatric Diagnostic Imaging. Edisi ke-10. Philadephia:
Mosby; 2004. Hal. 982-1039.
2. Brody AS, Frush DP, Huda W, Brent RL. Radiation Risk for children from
computed tomography. Pediatrics. 2007;120:677-8.
3. Bramsin RT, Meyer TL, Silbiger ML, Blickman JG, Halpern E. The futility of the
chest radiograph in the febrile infant without respiratory symptoms. Pediatrics.
1993; 92:524-6.
4. Crainj EF, Bulas D, Bijur PE, Goldman HS. Is a chest radiograph necessary in the
evaluation of every febrile infants less than 8 weeks? Pediatrics. 1991;88:821-4.
5. Donnely LF. Maximizing the usefulness of imaging in children with community-
acquired pneumonia. Am J Radiol. 1999;172:505-12.
6. Virkki R, Juven T, Rikalainn H, Svedstorm E, Metsola J, Ruuskanen O.
Differentiation of bacterial and viral pneumonia in children. Thorax. 2002;57:438-
41.
7. Korppi M, Kiekara O, Heiskanen-Kosma T, Soimakallio S. Comparison of
radiological findings and microbial aetiology of childhood pneumonia. Acta
Paediatr. 1993;82:360–3.
85
Pemeriksaan Pencitraan pada Infeksi Paru
86
Does Chronic Infection Put Children on Risks of
Emotional and Behavioral Problems?
Bernie Endyarni Medise
Tujuan:
1. Mengetahui masalah emosi dan perilaku pada anak penyakit kronis
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan emosi dan
perilaku pada anak penyakit kronis
3. Mengetahui deteksi dini gangguan emosi dan perilaku pada anak
penyakit kronis
87
Does chronic infection put children on risks of emotional and behavioral problems?
88
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
89
Does chronic infection put children on risks of emotional and behavioral problems?
Secara umum, masalah dan gangguan psikologis, emosi dan perilaku pada
anak dengan penyakit kronis terdiri dari masalah ekternalisasi (externalizing
behavior) seperti kenakalan remaja dan perilaku agresif, serta masalah internalisasi
(internalizing behavior) seperti masalah somatik, kecemasan, depresi, mudah putus
asa, menyalahkan diri sendiri, dan menarik diri dari lingkungan sosial. Pada
anak dengan penyakit kronis, kedua masalah ini mengalami peningkatan yang
dapat diperberat dengan perilaku tidak adil dari teman sebaya. Gangguan
mental emosional seringkali membuat anak terlihat marah tanpa sebab yang
berarti dan mudah tersinggung. Beberapa anak dapat mengalami kemunduran
perilaku menjadi lebih manja, gangguan atensi, sulit berkonsentrasi, tampak
kebingungan hingga sulit berkomunikasi.1-3
Masalah eksternalisasi merupakan respon terhadap rasa frustasi yang
disebabkan oleh penyakit (diolok-olok teman sebaya) atau dapat pula
disebabkan oleh penyakit kronisnya yang memengaruhi fungsi otak sehingga
memengaruhi perilaku anak (seperti pada anak dengan epilepsi). Gangguan
eksternalisasi memiliki dampak langsung atau tidak langsung terhadap orang
lain seperti perilaku agresif, membangkang, tidak patuh, berbohong, mencuri
dan kurangnya kendali diri.1-3
Masalah internalisasi dapat meningkat disebabkan oleh kurangnya
kemampuan anak untuk mengontrol keadaan, gejala dan berat penyakitnya
(keadaan ini dapat terjadi seperti pada epilepsi, sickle cell disease); ketakutan
terhadap gejala yang muncul (pada asma atau epilepsi); keterbatasan melakukan
aktifitas fisik (seperti pada hemofilia, rawat inap berulang); dikucilkan oleh
teman sebaya (pada kasus dengan kelainan anatomis yang jelas misalnya bibir
sumbing), maupun akibat efek samping terapi (misalnya kemo atau radioterapi).
Selain itu, keluhan somatik dapat meningkat yang disebabkan oleh nyeri dan
gejala penyakit itu sendiri. Penyebab masalah internalisasi pada anak dengan
90
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
penyakit kronis lebih sering terjadi dan berperan penting pada munculnya
gangguan emosi dan perilaku pada anak dengan penyakit kronis.1-3
Pada anak dengan penyakit kronis, masalah perilaku secara menyeluruh
meningkat secara bermakna dibandingkan dengan teman sebaya yang normal
(g=0,42, 95% CI 0,38-0,45, Z = 24,93, p<0,001). Pada suatu penelitian
dibuktikan bukan masalah internalisasi saja yang meningkat (g=0,47, CI 0,44-
0,50, Z = 29, 73, p<0,001), namun masalah eksternalisasi juga meningkat
dibandingkan anak normal yang sebaya (g=0,22, CI 0,19-0,25, Z = 14,76,
p<0,001). Pada anak penyakit kronis, masalah perilaku, masalah internalisasi,
sosial, atensi, dan pemikiran, lebih besar dibandingkan dengan masalah
eksternalisasi. Selain itu, anak dengan penyakit kronis di negara berkembang
memiliki masalah internalisasi dan eksternalisasi yang lebih tinggi dibandingkan
anak di negara maju.3
Berdasarkan studi pada anak dengan penyakit kronis keganasan, stres yang
terjadi saat diagnosis ditegakkan meliputi tiga domain yaitu gangguan pada
peran atau fungsi sehari-hari, efek pengobatan atau terapi penyakit terhadap
fisik anak, dan ketidakpastian tentang penyakit dan kesembuhannya. Gangguan
fungsi sehari-hari meliputi masalah kehadiran ke sekolah, kegagalan dalam
pelajaran, ketidakmampuan beraktifitas, keharusan berulang kali ke rumah
sakit dan kekhawatiran mengenai respon keluarga dan teman. Stres terhadap
pengobatan meliputi efek samping obat seperti nausea, muntah, perubahan
fisik (moon face), nyeri dan ketidaknyamanan saat dilakukan prosedur terapi.
Adapun stres akibat ketidakpastian mengenai penyakit sering berhubungan
dengan kurangnya pemahaman pasien atau keluarga tentang penjelasan dokter
mengenai penyakitnya, ketidakpahaman tentang penyakit dan prognosis.1,11
Gangguan perilaku dan emosi dapat mengakibatkan perubahan terhadap
konsep diri. Konsep diri dalam pembentukan identitas diri merupakan aspek
yang sangat penting pada kesehatan mental dan psikososial anak terutama saat
remaja. Konsep diri menggambarkan karakteristik personal seperti interaksi
sosial, tingkah laku, kemampuan fisik, penampilan dan tingkat akademis.
Konsep diri yang baik menggambarkan luaran kondisi fisik dan mental yang
baik pula. Pada kelompok anak dan remaja yang memiliki penyakit kronis
didapatkan gangguan konsep diri saat proses pembentukan identitas diri.9
Studi pada anak dengan infeksi hepatitis C kronis didapatkan bahwa
mereka memiliki fungsi kognitif yang lebih buruk dibanding anak normal,
namun lebih baik dibandingkan anak dengan gangguan pemusatan perhatian
dan hiperaktifitas (GPPH). Secara klinis anak dengan hepatitis C memiliki
masalah internalisasi (masalah somatik, depresi, ansietas) dan masalah
eksternalisasi yang lebih tinggi (perilaku agresif, masalah sosial). Masalah lebih
banyak muncul pada pengasuh dan orang tua, yang mengalami stress karena
kondisi anaknya.11
91
Does chronic infection put children on risks of emotional and behavioral problems?
Tabel 1. Faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan dan perilaku anak dengan kondisi kronis2
Karakteristik penyakit atau kondisi Derajat beratnya penyakit/kondisi
(selain diagnosis) Durasi sakit
Usia saat didiagnosis
Gangguan beraktifitas sesuai usia
Harapan hidup
Perjalanan penyakit (stabil atau progresif)
Dampak terhadap mobilitas
Kepastian prognosis (dapat diprediksi atau tidak)
Dampak terhadap kognitif dan komunikasi
Nyeri
Komplikasi
Pengobatan atau terapi
Efek samping terapi
Faktor anak Jenis kelamin
Tingkat intelegensia
Kemampuan berkomunikasi
Temperamen/kepribadian
Coping skills
Usia anak
Faktor keluarga Fungsi keluarga
Kesehatan mental orang tua
Struktur keluarga (jumlah orang dewasa dan anak)
Status sosio-ekonomi
Keharmonisan keluarga
Faktor sosial Budaya
Akses ke pusat kesehatan
Fasilitas di komunitas/masyarakat
Geografi
Sistem sekolah dan tempat penitipan anak
Faktor lingkungan Sekolah
Teman sebaya
Sumber: Thyen U. Chronic Health Condition. Dalam: Carey WB et.al. Developmental-Behavioral Pediatrics: Ex-
pert Consult. 4th ed. 2008 dengan modifikasi
92
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
93
Does chronic infection put children on risks of emotional and behavioral problems?
kronis merupakan salah satu strategi tata laksana yang optimal. Salah satu
penilaian kualitas hidup anak dengan penyakit kronis dapat dilakukan dengan
menggunakan Pediatric Quality of Life (PedsQL) yang meliputi domain fungsi
fisik, fungsi sosial, dan fungsi sekolah.1,19
Alat skrining gangguan psikososial SDQ (Gambar 1) digunakan pada
penelitian yang dilakukan pada orangtua, diketahui bahwa anak dengan penyakit
kronis memiliki lebih banyak masalah antara lain masalah emosi, conduct,
hiperaktifitas, masalah dengan teman sebaya dan masalah pada prososial.16,17
Pada penelitian di Irlandia, berdasarkan SDQ, nilai abnormal ditemukan pada
20% anak dengan penyakit kronis, sedangkan pada anak tanpa penyakit kronis
hanya 5,5 %. Pandangan dan persepsi orang tua mengenai penyakit kronis
merupakan faktor bermakna terhadap nilai skor SDQ.17 Penelitian lain pada
anak asma menggunakan perangkat SDQ memperlihatkan bahwa gangguan
perilaku lebih sering terjadi pada anak dengan asma dibandingkan anak sehat
serta berhubungan dengan derajat asma.20
Pada suatu analisis multivariat anak dan remaja dengan HIV menggunakan
CBCL menunjukkan bahwa anak dengan infeksi HIV memiliki masalah
perilaku lebih tinggi yaitu 80,7% dibandingkan pada kelompok kontrol yang
hanya 18,3%. Perilaku psikiatrik pada anak dengan HIV positif berbeda dengan
kelompok kontrol secara bermakna (P<0,0001).21
94
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
Gambar 1. Formulir kekuatan dan kesulitan pada anak (Sumber: Robert Goodman, 2005. Diterjemahkan
oleh: Wiguna T, HestyanƟ Y).
95
Does chronic infection put children on risks of emotional and behavioral problems?
96
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
Daftar pustaka
1. Compas BE, Jaser SS, Dunn MJ, Rodriguez EM. Coping with Chronic Illness in
Childhood and Adolescence. Annu Rev Clin Psychol. 2012;8:455–480.
2. Thyen U, Perrin JM. Chronic health Conditions. Dalam: Carey WB, Crocker AC,
Elias ER, Feldman HM, Coleman WL. Developmental-Behavioral Pediatrics. Edisi
ke-4. Philadelphia:Saunders;2008.
3. Pinquart M1, Shen Y. Behavior problems in children and adolescents with chronic
physical illness: a meta-analysis. J Pediatr Psychol. 2011;36:1003-16.
4. Van Cleave J, Gortmaker SL, Perrin JM. Dynamics of Obesity and Chronic Health
Conditions Among Children and Youth. JAMA. 2010;303:623-630.
5. Mokkink LB, van der Lee JH, Grootenhuis MA, Offringa M, Heymans HSA.
Defining chronic diseases and health conditions in childhood (ages 0–18 years
of age): National consensus in the Netherlands. Eur J Ped. 2008;167:1441–1447.
6. Torpy JM. Chronic diseases of children. JAMA. 2010;303:682.
7. Badan penelitian dan pengembangan kesehatan kementerian kesehatan RI. Riset
kesehatan dasar 2013.
8. Rolland JS. Mastering family challenges in serious illness and disability. Dalam:
Walsh F. Normal family processes. Edisi ke-4. New York: Guilford press;2012.
h.452-482.
9. Ferro MA1, Boyle MH. Longitudinal invariance of measurement and structure
of global self-concept: a population-based study examining trajectories among
adolescents with and without chronic illness. J Pediatr Psychol. 2013;38:425-37.
10. Elisabeth kübler-ross - five stages of grief. Diakses tanggal 16 Maret 2016. Diunduh
dari: http://www.businessballs.com/elisabeth_kubler_ross_five_stages_of_grief.
htm
11. Rodrigue JR1, Balistreri W, Haber B, Jonas MM, Mohan P, Molleston JP, Murray
KF, Narkewicz MR, Rosenthal P, Smith LJ, Schwarz KB, Robuck P, Barton
B, González-Peralta RP. Impact of hepatitis C virus infection on children and
their caregivers: quality of life, cognitive, and emotional outcomes. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2009;48:341-7.
12. Nichols SL, Montepiedra G, Farley JJ, Sirois PA, Malee K, Kammerer B dkk.
Cognitive, Academic and Behavioral Correlates of Medication Adherence in
Children and Adolescents with Perinatally Acquired HIV Infection. J Dev Behav
Pediatr. 2012;33:298–308.
13. Soetjiningsih. Tumbuh kembang anak dengan kondisi kesehatan kronik. Dalam:
Narendra MB, dkk. Tumbuh kembang anak dan remaja. Edisi pertama. Jakarta:
Sagung seto, 2005.h61-70.
14. Boyse K, Boujaoude L. Children with chronic conditions. Univerisity of Michigan.
Diakses tanggal 15 Maret 2016. Tersedia di: http://www.med.umich.edu/
yourchild/topics/chronic.htm.
15. Departemen Kesehatan RI. Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh
Kembang Anak di tingkat pelayanan kesehatan dasar. Kemenkes RI 2005.
16. Brøndbo PH, Mathiassen B, Martinussen M, Heiervang E, Moe TF, Sæther G,
dkk. The Strengths and Difficulties Questionnaire as a Screening Instrument for
Norwegian Child and Adolescent Mental Health Services, Application of UK
97
Does chronic infection put children on risks of emotional and behavioral problems?
98
Ethics on Antibiotics Decision Making in
Outpatient Setting
Sudung O. Pardede
Tujuan:
1. Mengingatkan kembali indikasi pemberian antibiotik yang rasional
2. Meningkatkan pemahaman bahwa pemberian antibiotik yang tidak
rasional dan tidak sesuai dengan etika
99
Ethics on Antibiotics Decision Making in Outpatient Setting
100
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
101
Ethics on Antibiotics Decision Making in Outpatient Setting
102
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
103
Ethics on Antibiotics Decision Making in Outpatient Setting
dokter dan dokter gigi yang berbudi luhur, bermartabat, bermutu, berkompeten,
berbudaya menolong, beretika, berdedikasi tinggi, profesional, berorientasi
pada keselamatan pasien, bertanggung jawab, bermoral, humanistis, sesuai
dengan kebutuhan masyarakat, mampu beradaptasi dengan lingkungan sosial,
dan berjiwa sosial tinggi.15 Pada mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia
disebutkan bahwa sifat mendasar yang melekat pada diri dokter adalah baik
dan bijaksana, sifat ketuhanan, kemurnian niat, keluhuran budi, kerendahan
hati, kesungguhan kerja, integritas ilmiah dan sosial, serta kesejawatan.1 Hal
ini menggambarkan bahwa dalam menjalankan praktik kedokteran, dokter
harus menjunjung tinggi etika dan bekerja dengan memperhatikan etika, dan
berorientasi pada keselamatan pasien.
Sebagaimana diketahui, etika adalah nilai dan norma moral yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Etika disebut juga sebagai “sistem nilai” dalam hidup manusia perseorangan
atau hidup bermasyarakat, atau kumpulan asas atau nilai moral. Etika adalah
ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral (akhlak), kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, atau
nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.16
Pada mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia, disebutkan bahwa
hubungan kesepakatan terapeutik dokter dan pasien dan saling percaya.
Aspek hubungan etika antara dokter dan pasien adalah itikad baik kedua
belah pihak dan kepercayaan. Hubungan saling percaya ini menyebabkan
pasien dengan senang hati menguraikan hal-ikhwalnya kepada dokter dan
menyerahkan dirinya untuk diperiksa oleh dokter dengan maksud agar dokter
dapat dengan bebas menegakkan diagnosis dan memilih cara pengobatan
terhadap penyakitnya.1 Pada Kode Etik Kedokteran Indonesia disebutkan
bahwa seorang dokter wajib melakukan pengambilan keputusan professional
secara independen, dan mempertahankan perilaku profesional dalam ukuran
yang tertinggi. Selain itu, dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang
dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya
kebebasan dan kemandirian profesi. Pasal 10 menyebutkan bahwa seorang
dokter wajib menghormati hak-hak pasien, dan pada penjelasannya disebutkan
bawa pasien berhak memperoleh informasi dari dokternya dan mendiskusikan
tentang manfaat, risiko, dan pengobatan yang tepat untuk dirinya, serta wajib
mendapatkan tuntunan dan arahan professional dari dokter dalam membuat
keputusan.1
Pemberian antibiotik pada pasien pediatrik tentu bertujuan untuk
pengobatan pasien untuk kesembuhan penyakitnya dan untuk kepuasan
pasien (beneficence), bukan untuk kepuasan dokternya atau produsen obat.
Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu dipertimbangkan berbagai faktor agar
pengobatan berorientasi pada kebaikan pasien (beneficence), dan jangan sampai
104
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
Simpulan
Pemberian antibiotik yang tidak tepat di layanan rawat jalan dapat menyebabkan
berbagai kerugian pada pasien, baik berupa efek samping, pemberian obat yang
lebih lama, biaya tinggi, dan ketidak nyamanan, dan meningkatkan resistensi
bakteri terhadap antibiotik. Pemberian antibiotik yang tidak rasional tidak
sesuai dengan etika karena tidak memperbaiki pasien (non beneficence) dan
malah memperburuk keadaan pasien (maleficence). Untuk itu, dalam pemberian
antibiotik pada anak di unit rawat jalan, perlu memperhatikan indikasi serta
efficacy (efikasi), safety (keamanan), suitability (kenyamanan dan kecocokan obat)
dan cost (biaya atau harga).
105
Ethics on Antibiotics Decision Making in Outpatient Setting
Daftar pustaka
1. Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta, 2012.
2. Cummings CL, Mercurio MR. Autonomy, beneficence, and rights. Pediatr Rev.
2010;6:252-5.
3. Nelson MR. Ethics in pediatric care. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE,
Jenson HB, Stanton BF, penyunting, Nelson Textbook of Pediatrics, edisi ke-18,
Philadelphia,: WB Saunders Elsevier, 2007. h.18-24.
4. Frankel LR, Goldworth A, Rorty MV, Silverman WA. Ethical dilemmas in
pediatrics: Cases and commentaries. N Engl J Med.2006;18:1965-6.
5. Kodish W, Weise KL. Ethics in pediatric care. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE,
Stanton BF, Geme III JWS, Schor NF, penyunting, Nelson Textbook of Pediatrics,
edisi ke-20, Philadelphia, Elsevier,2016,h.27-32.
6. Tambunan T. Masalah pemakaian antibiotik pada kasus pediatric rawat jalan.
Dalam: Trihono PT, Syarif DR, Amir I, Kurniati N, penyunting. Buku Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan XLVI Departemen IKA FKUI-RSCM: Current
management of pediatric problems. Departemen IKA FKUI-RSCM, Jakarta,
2004,h.43-9.
7. De Vries TPGM, Henning RH, Hogerzeil HV, Fresle DA. Guide to good
prescribing. A practical manual. World Heakth Orgaization, 1994.
8. Ilic K, Jakovljevic E, Skodric-Trifunovic. Social-economic factors and irrational
antibiotic use as reasons for antibiotic resistance of bacteria causing common
childhood infections in primary healthcare. Eur J Pediatr.2011.DOI 10.1007/
s00431-011-1592-5.
9. Paluck E, Katzenstein D, Frankish J, Herbert CP, Milner R, Speert D, dkk.
Prescribing practices and attitudes toward giving children antibiotics. Can Fam
Physician. 2001;47:521-527.
10. Dwiprahasto I. Penggunaan obat yang rasional sebagai dasar medication safety
practices. Dalam: Trihono PT, Djer MM, Sjakti H, Hendrarto TW, Prawitasari,
penyunting. Buku Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan X IDAI DKI Jakarta:
Best Practices in Pediatrics, IDAI DKI Jakarta, Jakarta, 2013,h,35-45.
11. Tambunan T. Antimicrobial resistance control program. Dalam: Hadinegoro SR,
Kadim M, Devaera Y, Idris NS, Ambarsari CG, penyunting. Buku Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan LXIII Departemen IKA FKUI-RSCM: Update
management of infectious diseases and gastrointestinal disorders. Departemen
IKA FKUI-RSCM, Jakarta, 2012,h.132-41.
12. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Peraturab Menteri Kesehatan Republik
Indonesia nomor 2046/Menkes/Per/XII/2011 tentang Pedoman umum
penggunaan antibiotik. Jakarta, 2011.
13. Akinyandenu O, Akinyandenu A. Irrational use and non-prescription sale
antibiotics in Nigeria: A need for change. J Sci Innovative Research,2014;3:251-7.
14. Hashemi S, Nasrollah A, Rajabi M. Irrational antibiotic prescribing: A local issues
or global concern? EXCLI J. 2013;12:384-95.
15. Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2013 tentang Pendidikan
Kedokteran, Jakarta, 2013.
106
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
16. Bertens K. Apakah itu etika? Dalam: Bertens K, penyunting. Etika. Cetakan ke-10,
Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2007,h.3-40.
17. Attard-Montalto S. Ethical issues in paediatric practice - part I: General principles.
Pediatr Cardiol.2001;3:1-3.
107
Anemia Penyakit Kronis dan Inflamasi: The Great
Mimicker dari Anemia Defisiensi Besi
Pustika Amalia Wahidiyat
Tujuan:
1. Memahami apa yang dimaksud dengan anemia pada penyakit kronik.
2. Mengetahui penyebab dan tanda/gejala dari anemia pada penyakit
kronik.
3. Mampu membedakan anemia pada penyakit kronik dengan anemia
defisiensi besi dan anemia pada penyakit kronik yang disertai defisiensi
besi dalam situasi klinis.
108
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
109
Anemia Penyakit Kronis dan Inflamasi: The Great Mimicker dari Anemia Defisiensi Besi
110
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
111
Anemia Penyakit Kronis dan Inflamasi: The Great Mimicker dari Anemia Defisiensi Besi
Pada umumnya, gambaran sel darah merah pada AI/ACD adalah normositik
normokrom, namun bersamaan dengan progresifitas penyakit, dapat menjadi
mikrositik hipokrom. Pemeriksaan red cell distribution width (RDW) digunakan
utuk mengetahui heterogenitas eritrosit. Beberapa studi menyimpulkan bahwa
peningkatan RDW pada gagal jantung berhubungan dengan adanya stress
inflamasi dan gangguan mobilisasi besi.8 Pemeriksaan kadar neutrofil, monosit,
trombosit dan protein C-reaktif (CRP) juga dapat dilakukan untuk mengetahui
adanya proses inflamasi, dimana pada umumnya ditemukan peningkatan pada
kadar-kadar yang dimaksud. Pada AI/ACD juga didapatkan kadar zat besi
serum/plasma dan saturasi transferin yang menurun. Pemeriksaan hepsidin
juga mulai banyak tersedia, namun sampai saat ini belum ada standar atau
cut-offs yang diakui.7
112
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
Membedakan AI/ACD yang disertai defisiensi zat besi dengan yang tidak
disertai defisiensi zat besi sangat penting karena suplementasi zat besi dapat
bermanfaat pada pasien AI/ACD yang disertai defisiensi besi namun dapat
berbahaya pada pasien AI/ACD yang tidak disertai defisiensi besi, terutama
bila pasien tersebut mengalami infeksi atau keganasan yang mendasarinya.10
Namun, secara klinis terkadang sulit membedakan antara AI/ACD yang
disertai defisiensi besi dan yang tidak, karena pada kedua penyakit tersebut
terdapat adanya penurunan serum iron (kadar zat besi dalam sirkulasi) dan
saturasi transferin. Sebagai tambahan, kadar serum feritin terkadang sulit
diinterpretasikan pada kondisi inflamasi, karena ekspresi feritin dapat diinduksi
oleh kelebihan zat besi dan juga oleh sitokin inflamatorik.11 Rasio yang
membandingkan reseptor transferin solubel (sTfR)/log feritin dapat bermanfaat
dalam membedakan anemia pada penyakit kronik yang disertai defisiensi besi
dan yang tidak, akan tetapi belum digunakan secara rutin dalam praktek klinis.12
Transfusi
Transfusi rutin digunakan sebagai intervensi terapeutik yang cepat dan efektif,
terutama pada kasus anemia berat (kadar Hb < 8.0 g/dL) atau pada kasus
anemia yang mengancam jiwa (kadar Hb < 6.5 g/dL), terutama bila kondisi
pasien diperburuk oleh komplikasi yang mengakibatkan pendarahan. Namun,
tindakan transfusi tidak disarankan untuk penggunaan jangka panjang pada
pasien dengan anemia pada penyakit kronik karena peningkatan risiko untuk
kelebihan zat besi dan sensitisasi terhadap antigen human leukocyte antigen
(HLA).2,13 Walaupun transfusi dikatakan dapat menaikkan kadar Hb sementara,
namun jarang diindikasikan pada pasien dengan AI/ACD.4
113
Anemia Penyakit Kronis dan Inflamasi: The Great Mimicker dari Anemia Defisiensi Besi
Gambar 2. Algoritma untuk membedakan anemia pada penyakit kronik, anemia defisiensi besi, dan
anemia pada penyakit kronik yang disertai defisiensi besi.2
diakibatkan dari diversi zat besi oleh sitokin yang mengarahkan zat besi ke sistem
retikuloendotelial. Sebagai tambahan, terapi zat besi pada pasien dengan AI/
ACD masih kontroversial. Dari hasil penelitian, pasien dengan AI/ACD yang
disertai defisiensi besi dapat mendapatkan manfaat dari pemberian suplementasi
zat besi. Suplementasi zat besi juga dapat dipertimbangkan pada pasien yang
tidak menunjukkan respon terhadap terapi dengan agen eritropoietik akibat
114
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
defisiensi zat besi fungsional. Namun, pemberian suplementasi zat besi tidak
direkomendasikan pada pasien dengan AI/ACD yang memiliki kadar serum
feritin yang normal atau tinggi (di atas 100 ng per milliliter). Penggunaan
suplementasi zat besi untuk pencegahan ADB dapat dimulai dari usia 8-12
bulan, dan dosis 1-2 mg/kg/hari besi elemental dinilai adekuat untuk mencegah
timbulnya ADB.2,14 Di Indonesia, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)
merekomendasikan pemberian suplementasi besi pada semua anak, dengan
dosis 3 mg/kg/hari untuk bayi dengan berat badan lahir rendah (usia 1 bulan
hingga 2 tahun), 2 mg/kg/hari untuk bayi cukup bulan (usia 4 bulan hingga
2 tahun), dan 1 mg/kg/ hari untuk balita (usia 2 hingga 5 tahun, 2x/minggu
selama 3 bulan berturut-turut setiap tahun).15
Agen eritropoietik
Penggunaan agen eritropoietik pada pasien dengan AI/ACD saat ini merupakan
pilihan pada pasien dengan keganasan yang sedang menjalani kemoterapi, pasien
dengan penyakit ginjal kronik, dan pasien dengan infeksi HIV yang sedang
menjalani terapi mielosupresif. Efek terapeutik yang timbul dengan penggunaan
agen eritropoietik adalah dengan melawan efek antiproliferatif dari sitokin dan
juga stimulasi absorpsi zat besi dan biosintesis dari heme pada sel progenitor
eritroid. Ada 3 agen eritropoietik yang dapat digunakan sebagai pilihan, yakni
epoetin alfa, epoetin beta, dan darbepoetin alfa, yang dibedakan oleh modifikasi
farmakologis, afinitas untuk mengikat reseptor, dan paruh waktu serum.2
Simpulan
Anemia pada penyakit kronik dapat timbul sebagai respon dari penyakit
sistemik yang berlangsung lama atau dari proses inflamasi dan dapat timbul
sebagai akibat dari infeksi, keganasan, maupun penyakit autoimun.
Anemia pada penyakit kronik terkadang sulit dibedakan dari ADB dan AI/
ACD yang disertai defisiensi besi, yang dapat disebabkan oleh persamaan
115
Anemia Penyakit Kronis dan Inflamasi: The Great Mimicker dari Anemia Defisiensi Besi
gambaran dalam sel darah merah dan penurunan kadar zat besi dalam
plasma.
Diperlukan pemeriksaan klinis dan penunjang yang rinci untuk
membedakan ketiga jenis anemia tersebut.
Tata laksana utama untuk mengatasi AI/ACD adalah dengan mengatasi
penyakit primer yang mendasari, yang dapat ditunjang dengan penggunaan
agen eritropoietik, suplementasi zat besi, atau transfusi darah bila
diperlukan.
Daftar pustaka
1. Santosh HN, Nagaraj T, Sasidaran A. Anemia of chronic disease: a comprehensive
review. J Med Radiol Pathol Surg. 2015; 1: 13-6.
2. Weiss G, Goodnough LT. Anemia of chronic disease. N Engl J Med. 2005; 352:
1011-23.
3. Zarychanski R, Houston DS. Anemia of chronic disease: a harmful disorder or an
adaptive, beneficial response? CMAJ. 2008; 179: 333-7.
4. Lerner NB. Anemia of chronic disease and renal disease. Dalam: Kliegman RM,
Stanton BF, St. Geme JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson Textbook
of Pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: WB Saunders; 2011. h. 2015-6.
5. Means RT. Recent developments in the anemia of chronic disease. Curr Hematol
Rep. 2003; 2: 116-21.
6. Rodriguez RM, Corwin HL, Gettinger A, Corwin MJ, Gubler D, Pearl RG.
Nutritional deficiencies and blunted erythropoietin response as causes of the
anemia of critical illness. J Crit Care. 2001; 16: 36-41.
7. Roy CN. Anemia of inflammation. Hematology Am Soc Hematol Educ Program.
2010; 1: 276-80.
8. Allen LA, Felker GM, Mehra MR. Validation and potential mechanisms of red
cell distribution width as a prognostic marker in heart failure. J Card Fail. 2010;
16: 230-8.
9. Agarwal N, Prchal JT. Anemia of chronic disease (anemia of inflammation). Acta
Haematol. 2009; 122: 103-8.
10. Theurl I, Aigner E, Theurl M, Nairz M, Seifert M, Schroll A, dkk. Regulation
of iron homeostasis in anemia of chronic disease and iron deficiency anemia:
diagnostic and therapeutic implications. Blood. 2009; 113: 5277-86.
11. Arosio P, Levi S. Ferritin, iron homeostasis, and oxidative damage. Free Rad Biol
Med. 2002; 33: 457-63.
12. Punnonen K, Irjala K, Rajamaki A. Serum transferrin receptor and its ratio to
serum ferritin in the diagnosis of iron deficiency. Blood. 1997; 89: 1052-7.
13. Goodnough LT, Bach RG. Anemia, transfusion, and mortality. N Engl J Med.
2001; 345: 1272-4.
14. Auerbach M, Ballard H, Trout JR. Intravenous iron optimizes the response to
recombinant human erythropoietin in cancer patients with chemotherapy-related
anemia: a multicenter, open-label, randomized trial. J Clin Oncol. 2004; 22: 1301-7.
116
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
117
Penerapan Imunonutrisi Berbasis Bukti Ilmiah
Klara Yuliarti
Tujuan:
1. Memahami konsep imunonutrisi
2. Menelaah berbagai penelitian mengenai imunonutrien
3. Mengetahui aplikasi imunonutrisi pada praktik sehari-hari berdasarkan
kedokteran berbasis bukti
118
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
Sistem imun
Sindrom respons imun sistemik (systemic inflammatory response syndrome) adalah
respons pejamu abnormal yang memiliki karakteristik inflamasi umum,
baik disebabkan infeksi maupun non-infeksi. Sindrom ini didahului oleh
berbagai kejadian, antara lain syok, sepsis, perdarahan, luka bakar, trauma,
dan pembedahan. Bila respons sistemik terhadap syok terpicu, maka akan
terjadi kaskade berupa fase stabilitasi selama 48-72 jam, diikuti oleh keadaan
hipermetabolisme yang akan mencapai puncak dalam 3-4 hari dan pulih dalam 2
minggu. Namun, seringkali respons inisial berkembang progresif mengakibatkan
hipermetabolisme persisten dan selanjutnya gagal sistem organ multipel.3
Mediator syok dan inflamasi berupa sitokin berpertan penting dalam
patogenesis sakit kritis. Dua sitokin, yaitu tumor necrosis factor (TNF-) dan IL-1,
diproduksi oleh makrofag dan dianggap sebagai mediator utama syok, sepsis,
dan sindrom gagal multiorgan. Makrofag distimulasi untuk memproduksi
TNF- oleh berbagai stimulus inflamasi, mencakup bakteri dan sitokin lain.
TNF- memiliki banyak fungsi, yaitu menstimulasi sel darah putih untuk
melepaskan IL-1, IL-6, IL-8, platelet activating factor, leukotrien, tromboksan,
dan prostaglandin. TNF- juga menstimulasi produksi dan aktivitas leukosit
polimorfonuklear dan mempromosikan adhesi sel-sel imun ke endotelium
sehingga sistem koagulasi dan komplemen teraktivasi. Mekanisme ini menekan
kontraktilitas miokardium dan menstimulasi demam.3
Sakit kritis memiliki tantangan tertentu terhadap pasien yang harus
merespon secara efektif terhadap inflamasi sistemik, organisme infeksius,
perubahan imunitas dan hipermetabolisme. Ketidakmampuan mempertahankan
penghantaran nutrien secara adekuat selama periode katabolisme ini
menyebebkan pasien rentan terhadap defisiensi nutrien, sehingga meningkatkan
risiko infeksi, gagal organ, dan mortalitas. 3
Terdapat tiga target potensial imunonutrisi, yaitu fungsi barier mukosa,
pertahanan selular, dan inflamasi lokal atau sistemik.1 Imunonutrien yang telah
diteliti saat ini dapat dikelompokkan menjadi:4
Makronutrien: glutamine, arginin, leusin, asam lemak omega-3
Mikronutrien: vitamin C, selenium, seng, magnesium
Prebiotik, probiotik, dan sinbiotik
Nukleotida
Air susu ibu adalah contoh imunonutrien yang paling nyata. Berbagai
nutrien spesifik yang terkandung dalam ASI telah diidentifikasi (Tabel 1).5
Namun penelitian mengenai manfaat klinis nutrien spesifik dalam ASI pada
manusia masih terbatas karena kesulitan metodologi.5
119
Penerapan Imunonutrisi Berbasis Bukti Ilmiah
Glutamin
Glutamin merupakan asam amino yang paling banyak ditemukan dalam tubuh
dan diklasifikasikan sebagai asam amino yang tidak esensial karena dapat
disintesis dari glutamat dan asam glutamat dengan bantuan enzim glutamat-
amonia ligase.6 Namun, glutamin merupakan asam amino yang esensial pada
keadaan tertentu (conditionally essential) karena konsentrasinya turun pada kondisi
sakit kritis, paska-operasi, trauma multipel, luka bakar mayor, kanker, penyakit
gastrointestinal tertentu, dan latihan fisik ekstrim.4,7 Glutamin berperan penting
Gambar 1. Potensi mekanisme manfaat suplementasi glutamin pada pasien sakit kriƟs8
120
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
sebagai bahan bakar utama untuk limfosit dan enterosit, prekursor glutation,
sintesis DNA dan RNA pada proliferasi sel imun, merangsang respons heat
shock protein (HSP) dan modulasi regulasi gen terkait apoptosis dan transduksi
sinyal.6 Ekspresi glutation tinggi pada mukosa intestinal sehingga pengurangan
aktivitas antioksidan dapat menyebabkan degradasi mukosa , diare, malabsorpsi,
dan gagal tumbuh.4 Glutamin menstimulasi proliferasi sel-sel kripta di ileum,
kolon, dan yeyunum.6
121
Penerapan Imunonutrisi Berbasis Bukti Ilmiah
Gambar 2. Glutamin menstabilisasi fungsi barier mukosa usus melalui ght junc on7
NEC = necro zing enterocoli s, SIRS = systemic inflammatory response syndrome
122
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
Arginin
Arginin merupakan asam amino non-esensial, namun ketersediaannya
berkurang pada kondisi trauma dan sepsis sehingga digolongkan conditionally
essential.17 Arginin menstimulasi sekresi somatotropin dan prolaktin dari
hipofisis dan merangsang sekresi insulin pankreas. Arginin dimetabolisme
menjadi citrulin, sehingga L-arginin akan meningkatkan pembentukan nitrit
oksida (NO), nitrit, dan nitrat. Selain itu, arginin merupakan prekursor growth
factor seperti putresin, spermin, dan spermidin (Gambar 2). Nitrit oksida
dibentuk oleh enzim nitrit oksida sintase (NOS) yang terdapat dalam bentuk
constitutive (cNOS) dan inducible (iNOS). Produksi NO dikendalikan oleh tiga
123
Penerapan Imunonutrisi Berbasis Bukti Ilmiah
macam gen NOS. Tipe 1 dan 3 merupakan isoform konstitutif (cNOS) yang
selalu ada dan memproduksi NO secara intermiten. Sedangkan isoform tipe 2
(iNOS) merupakan tipe inducible yang diaktivasi oleh sitokin dan endotoksin.
Rangsangan terhadap iNOS akan mengaktivasi produksi NO dalam jumlah
besar untuk jangka waktu yang lama sehingga mengakibatkan kerusakan
integritas struktur dan fungsi mukosa usus, hati, dan ginjal.17
Penelitian mengenai suplementasi arginin tunggal pada anak belum ada
hingga kini. Metaanalisis terhadap 22 studi pada populasi dewasa yang menjalani
operasi elektif, pasien sakit kritis dengan trauma berat, sakit kritis dengan
luka bakar berat, dan sakit kritis di Unit Rawat Intensif menunjukkan bahwa
pemberian formula yang disuplementasi arginin tidak memiliki efek terhadap
mortalitas dan infeksi.18 Temuan metaanalisis ini berbeda dengan beberapa
metaanalisis sebelumnya yang mendapatkan bahwa imunonutrisi pada pasien
bedah dan sakit kritis dapat menurunkan komplikasi infeksi. Pasien sakit kritis
dengan syok, sepsis, atau gagal organ menunjukkan hasil terapi yang berbeda
bermakna dengan pasien bedah. Walaupun pemberian arginin berkaitan dengan
penurunan bermakna komplikasi infeksi pada pasien bedah, arginin tidak
memiliki efek terhadap mortalitas atau angka infeksi pada pasien sakit kritis,
bahkan menunjukkan kemungkinan kecenderungan membahayakan pasien.18
Hal ini kemungkinan disebabkan karena arginin dapat meningkatkan pelepasan
sitokin proinflamasi dan produksi nitrit oksida, sehingga memperburuk kondisi
pasien yang telah mengalami respons inflamasi berat. Pada pasien sepsis dan
SIRS berat, pemberian formula disuplementasi arginin dapat menyebabkan
hipotensi transien, peningkatan indeks kardiak, serta penurunan resistensi
sistemik dan pulmoner.18,19 Hasil dari studi lain juga mendukung hipotesis
bahwa imunonutrisi memiliki efek samping membahayakan untuk pasien sakit
kritis. Studi terdahulu menggunakan formula disuplementasi arginin pada 326
pasien sakit kritis menunjukkan bahwa lebih kematian lebih banyak terjadi pada
pasien yang mendapat formula disuplementasi arginin (15,7%) dibandingkan
kelompok kontrol (8,4%; p=0,055). Pada pasien sepsis, angka kematian tiga
kali lipat lebih tinggi pada kelompok yang mendapat formula disuplementasi
arginin dibandingkan kontrol.20
124
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
arginin pada bayi usia gestasi <32 minggu dimulai pada usia 2-5 hari dan
diteruskan sampai usia 28 hari menurunkan risiko kejadian EKN. 21
125
Penerapan Imunonutrisi Berbasis Bukti Ilmiah
tahun pertama kehidupan.24 Studi kohort retrospektif pada bayi yang mendapat
formula disuplementasi DHA/ARA (rasio 0,32%-0,36%/0,64%-0,72% dari
asam lemak total) selama satu tahun menunjukkan bahwa suplementasi DHA/
ARA berhubungan dengan penundaan onset dan pengurangan insidens infeksi
saluran napas atas dan penyakit alergi sampai usia 3 tahun.25
Seng
Seng merupakan trace mineral yang berperan sebagai kofaktor untuk protein
katalitik, struktural, dan regulatorik, serta penting dalam fungsi imun dan
penyembuhan luka. Seng merupakan kofaktor penting untuk DNA dan RNA
polymerase. Defisiensi seng dapat terjadi pada pemberian nutrisi parenteral tanpa
suplementasi seng atau diet rendah seng. Manifestasi klinis defisiensi seng dapat
berupa skin rash, abnormalitas fungsi penciuman dan rasa, penyembuhan luka
yang terlambat, dan gagal tumbuh pada anak.4
Seng merupakan second messenger untuk sel-sel imun. Kadar seng
intraselular yang rendah menyebabkan gangguan aktivasi sel T CD4+. Pada
sistem imun, manifestasi defisiensi seng dapat berupa berkurangnya jumlah
dan fungsi sel natural killer, serta penurunan rasio dan fungsi CD4/CD8. Pada
pasien sakit kritis ditemukan bahwa kadar seng plasma berhubungan terbalik
dengan sitokin IL-6 dan IL-8. Seng mempengaruhi aktivitas monosit/makrofag
melalui beberapa cara, yaitu terlibat dalam pembentukan monosit/makrofag
dan mengatur fungsi monosit/makrofag, yaitu fagositosis dan pembentukan
sitokin proinflamasi. Seng menghambat fosfodiesterase membran sehingga
second messenger guanosin siklik monofosfat meningkat, selanjutnya terjadi
supresi mRNA dari TNF-, IL-1, dan sitokin inflamasi lain.26
126
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
Nukleotida
Nukleotida adalah senyawa nitrogen non-protein yang berperan aktif dalam
proliferasi sel dan imunomodulasi.31 Nukleotida bersumber dari dua jalur, yaitu
sintesis de novo menggunakan asam amino dari makanan atau salvage pathway dari
asam nukleat dan nukleotida yang didegradasi oleh tubuh.31 Nutrien ini dapat
bersifat conditionally essential ketika kebutuhan tubuh lebih besar dari jumlah
nukleotida yang disintesis, baik melalui jalur de novo maupun salvage pathway,
contohnya pada kondisi pertumbuhan cepat, penyakit tertentu, asupan yang
kurang.32 Nukleotida beperan sebagai building blocks DNA dan RNA, komponen
koenzim NAD (nicotinamide adenine dinucleotide), FAD (flavin adenine dinucleotide),
dan koenzim A, bahan pembentuk ATP dan cAMP, serta sebagai substrat yang
dibutuhkan untuk proliferasi dan maturasi sel T.31,32
Penelitian terdahulu mengenai nukleotida menunjukkan bahwa
suplementasi nukleotida memiliki dampak klinis yang positif terhadap
pertumbuhan dan diferensiasi enterosit, pertumbuhan somatik, absorpsi besi,
dan fungsi imun.31 Namun penelitian yang lebih baru menunjukkan bahwa
dampak klinis tersebut masih inkonsisten. Uji klinis acak terkontrol pada
bayi sehat yang mendapat formula yang mengandung nukleotida pada kadar
alamiah 10 mg/L (n=102) dan formula disuplementasi nukleotida 33,5 mg/L
(n=98) menunjukkan bahwa suplementasi tidak mempengaruhi pertumbuhan
maupun fungsi imun. Terdapat sedikit peningkatan respons antibodi tetanus
pada kelompok nukleotida dibandingkan kontrol.33
127
Penerapan Imunonutrisi Berbasis Bukti Ilmiah
Kombinasi imunonutrien
Uji klinis acak pertama yang mengevaluasi manfaat pemberian imunonutrisi
pada anak dilakukan oleh Briassoulis dkk pada 50 anak sakit kritis di Unit Rawat
Intensif Anak dengan diagnosis sepsis, gagal napas, dan cedera kepala berat.
Pasien dirandomisasi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang mendapat
nutrisi enteral yang disuplementasi dengan glutamin, arginin, antioksidan,
dan asam lemak omega-3 dan kelompok yang mendapat formula enteral
standar. Nutrisi enteral dimulai dalam 12 jam pertama dan target pemenuhan
laju metabolisme basal (basal metabolic rate, BMR) tercapai pada hari kedua.
Balans nitrogen 24 jam pada hari ke-5 menjadi positif pada 40% pasien di grup
kontrol dan 64% pasien di grup intervensi. Rerata balans nitrogen pada grup
intervensi menjadi positif pada hari ke-5 (0,07±0,07 versus -0,25±0,03 g/kg pada
hari ke-1, p=0,001), sedangkan pada grup kontrol balans nitrogen tetap negatif
pada hari ke-5 (-0,06±0,04 versus -0,25±0,06 g/kg pada hari ke-1, p=0,001).
Mortalitas dan lama rawat tidak berbeda antara kedua grup. Pada kelompok
intervensi didapatkan kejadian diare lebih tinggi.37 Studi ini memiliki beberapa
keterbatasan, yang pertama dalam hal keamanan, karena formula intervensi yang
digunakan bukan formula yang didesain khusus anak. Formula intervensi ini
memiliki osmolaritas lebih tinggi serta kandungan protein (24% total energi)
dan natrium yang tinggi sehingga berpotensi meningkatkan potential renal solute
load yang selanjutnya membebani fungsi ginjal. Hal ini tercermin dari kadar
128
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
natrium dan urea pada hari ke-5 yang menunjukkan perbedaan bermakna antara
grup intervensi dan kontrol. Hal kedua yang perlu dianalisis lebih lanjut adalah
peningkatan respons inflamasi pada kelompok intervensi (CRP 56 mg/dL pada
hari ke-1 menjadi 86 mg/dL pada hari ke-5) dibandingkan grup kontrol (CRP
78 mg/dL pada hari ke-1 menjadi 76 mg/dL pada hari ke-5).38
Simpulan
Berbagai penelitian mengenai imunonutrisi menunjukkan hasil inkonsisten,
baik dalam hal infeksi, morbiditas, lama rawat, mortalitas, dan luaran lain.
Diskrepansi hasil tersebut mungkin disebabkan dosis, interaksi nutrien,
derajat penyakit, keadaan hipermetabolisme yang berbeda, serta faktor genetik
individual yang mempengaruhi kebutuhan metabolisme dan respons imun.
Penelitian yang cukup konsisten dan menjadi rekomendasi adalah
pemberian suplementasi glutamin pada pasien dewasa dengan operasi mayor
elektif, trauma, luka bakar, kanker kepala dan leher, dan pasien sakit kritis
yang menggunakan ventilasi mekanik. Pemberian arginin dapat memperkuat
fungsi limfosit namun di sisi lain merupakan prekursor nitrit oksida sehingga
arginin dapat memperbaiki luaran untuk pasien dengan kondisi tertentu namun
membahayakan pasien dengan kondisi lain. Sampai saat ini belum cukup bukti
untuk merekomendasikan pemberian suplementasi glutamin, arginin, omega-3,
seng, maupun nukleotida pada anak.
Daftar pustaka
1. Calder PC. Immunonutrition. BMJ. 2003;327:117-8
2. Mizock BA, Sriram K. Perioperative immunonutrition. Exp Rev Clin Immun.
2011;7:1-3
3. Stechmiller JK, Childress B, Porter T. Arginine immunonutrition in critically ill
patients: a clinical dilemma. Am J Crit Care. 2004;13:17-23
4. Pierre JF, Heneghan AF, Lawson CM, Wischmeyer P, Kizar RA, Kudsk KA.
Pharmaconutrition review: pyhsiological mechanisms. J Parenter Enteral Nutr.
2013;37:51S-65S
5. Levy J. Immunonutrition: the pediatric experience. Nutr. 1998;14:641– 47
6. Buchman AL. Glutamine: commercially essential or conditionally essential? A
critical appraisal of the human data. Am J Clin Nutr 2001;74:25–32.
7. Neu J. Glutamine supplementation in neonates: is there a future? Dalam: Makrides
M, Ochoa JB, Szajewska H, penyunting. The Importance of Immunonutrition.
Nestlé Nutr Inst Workshop Ser, vol 77. Nestec Ltd., Vevey/S. Karger
AG.:Basel;2013. Hal. 47-56.
8. Wischmeyer PE. Clinical applications of L-glutamine: past, present, and future.
Nutr Clin Pract. 2003;18:377–85.
129
Penerapan Imunonutrisi Berbasis Bukti Ilmiah
130
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
131
Menuju Unit Rawat Neonatal Bebas Sepsis
Neonatorum
Lily Rundjan, Miske Marsogi
Tujuan:
1. Mengetahui besaran masalah healthcare-associated infections di Unit
Perawatan Intensif Neonatus dan dampaknya.Mengetahui definisi
dan berbagai upaya pencegahan central line associated blood stream
infection.
2. Mampu menerapkan upaya pencegahan central line associated blood
stream infection dalam rangka mencapai zero tolerance to neonatal
sepsis.
132
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
133
Menuju Unit Rawat Neonatal Bebas Sepsis Neonatorum
untuk masuk ke dalam pembuluh darah. Hal ini mendasari mengapa CLABSI
dilaporkan menjadi penyebab IAD paling sering terutama pada neonatus. Selain
CLABSI, IAD dapat disebabkan sekunder dari fokus infeksi lain seperti VAP,
IDO dan ISK.12,13
134
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
Pencegahan CLABSI
Pencegahan CLABSI dapat dicapai dengan pendekatan proaktif melalui
penerapan sekumpulan metode yang telah terbukti secara evidence-based yaitu
bundel CLABSI. Setiap UPIN yang melakukan pemasangan jalur sentral
sebaiknya menerapkan prinsip bundel CLABSI pada aspek pemasangan,
perawatan dan pencabutan jalur sentral.3,12,13,16
135
Menuju Unit Rawat Neonatal Bebas Sepsis Neonatorum
berat dan risiko trombosis lebih besar.17 Ekstremitas atas dan area proksimal
mempunyai risiko infeksi lebih besar daripada ekstremitas bawah dan area
distal.18 Hal ini sesuai dengan laporan di Divisi Neonatologi FKUI-RSCM pada
tahun 2015 (Gambar 2).5
15 12,36
10 7,14
5
0
Ekstremitas bawah Ekstremitas atas
20 17,4
10
0
PICC Long-blue Longline surgical
2. Hand hygiene
Tangan pekerja kesehatan adalah jalur utama transmisi kuman patogen
di UPIN. Rantai penularan ini dapat dihentikan dengan melakukan hand
136
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
hygiene yang efektif sesuai dengan 5 momen (WHO). Hand hygiene telah
ditetapkan oleh WHO sebagai salah satu strategi yang efektif, sederhana
dan mudah untuk menurunkan angka infeksi. WHO menganjurkan angka
kepatuhan hand hygiene di atas 85%, namun kenyataannya angka kepatuhan
di kalangan pekerja kesehatan masih rendah berkisar 20-50%.20,21 Angka
kepatuhan hand hygiene di Divisi Neonatologi FKUI-RSCM sendiri pada
tahun 2011 hingga 2013 berfluktuasi dengan rerata 68%.22,23 Tingkat
kepatuhan hand hygiene berbanding terbalik dengan tingkat infeksi. Aplikasi
hand hygiene telah dikaitkan dengan penurunan angka CLABSI, MRSA
dan angka infeksi HAI secara keseluruhan pada beberapa negara.24-26
3. Penggunaan maximal barrier precaution dengan cara menjaga lapangan
kerja steril, penggunaan masker, topi, kacamata pelindung, gaun steril,
sarung tangan steril, troli dan duk steril dapat menurunkan risiko infeksi
pemasangan jalur sentral hingga 6 kali lebih kecil.19,27,28 Studi lain juga
membuktikan bahwa pemasangan tanpa penggunaan maximal barrier
precaution dapat meningkatkan risiko CRBSI (RR 2,1).28
137
Menuju Unit Rawat Neonatal Bebas Sepsis Neonatorum
138
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
139
Menuju Unit Rawat Neonatal Bebas Sepsis Neonatorum
saat ini masih tetap diberikan pelatihan untuk perawat, staf baru, ataupun
peserta didik baru.
Edukasi dan pelatihan: hand hygiene
Tingkat kepatuhan hand hygiene RSCM sebelum bulan Agustus 2014 masih di
bawah 85% walaupun pelatihan telah dimulai sejak Juni 2013. Usaha lain yang
dilakukan antara lain:
Melakukan pemasangan CCTV dan audit dilakukan melalui kombinasi
CCTV dan observasi langsung.
Setiap bulannya hasil audit tingkat kepatuhan pekerja kesehatan dipasang di
unit dan pekerja kesehatan dengan nilai kepatuhan hand hygiene tertinggi 3
bulan berturut-turut diberikan hadiah. Hal ini dilakukan untuk memotivasi
dan diharapkan menumbuhkan kebiasaan para pekerja kesehatan untuk
melakukan hand hygiene rutin pada praktek sehari-hari.
Sebagai hasilnya, nilai kepatuhan hand hygiene meningkat dari tahun 2014
dengan rerata 68% menjadi 86% pada tahun 2015 dan secara konsisten di atas
84% sejak bulan Agustus 2014.
140
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
80,00% 14
13
70,00% 12
60,00% 11
10
Tanpa sepsis
50,00%
8
40,00% 1x
6 2-3x
30,00%
4 >3x
20,00%
10,00% 2 NEC
1
0,00% 0 0
ASI eksklusif ASI ASI parsial Tanpa ASI
predominan
Gambar 6. Hubungan pemberian ASI dengan risiko sepsis dan enterokoliƟs nekroƟkanspada bayi
prematur di Unit Perawatan Intensif Neonatus RS Cipto Mangunkusumo bulan September 2014-Agustus
20155 (NEC: necroƟzing enterocoliƟs)
141
Menuju Unit Rawat Neonatal Bebas Sepsis Neonatorum
142
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
Sejak tahun 2010, WCH melakukan berbagai upaya yang dimuai dari
pre-audit, menyusun modul pelatihan dan menambah prasarana pelatihan,
menyusun bundel CLABSI, melakukan evaluasi dengan ujian dan audit, serta
memberikan insentif dan membentuk forum untuk umpan balik. Bundel
CLABSI yang diterapkan antara lain hand hygiene, maximal barrier precaution,
teknik sepsis antisepsis dengan klorheksidin, pemilihan tipe dan tempat kateter
yang baik, penyusunan checklist dan cara dokumentasi, pemantauan jalur sentral
rutin dan pencabutan jalur sentral segera setelah tidak diperlukan, penggantian
set administrasi dan cara pengambilan kultur darah.
Pada tahun 2013 tampak peningkatan kepatuhan hand hygiene dari 53,1%
menjadi 92%, penggunaan maximal barrier precautions dari 18% menjadi 50%
dan implementasi bundel CLABSI dari 54% menjadi 100%. Angka CLABSI di
WCH mengalami penurunan untuk semua golongan berat lahir dan mencapai
zero CLABSI setelah 3 tahun (2013).
Floating Hospital for Children at Tufts Medical Center (FHC) UPIN Boston,
Amerika10
UPIN FHC menerima pasien lebih dari 500 setiap tahun, termasuk kasus
rujukan dari rumah sakit jejaring. Pada tahun 2009, tim pengendalian infeksi
FHC menemukan angka CLABSI yang terus meningkat hingga mencapai 4.1
143
Menuju Unit Rawat Neonatal Bebas Sepsis Neonatorum
Simpulan
Zero tolerance to neonatal sepsis yaitu dengan pencapaian zero CLABSI tidak akan
terwujud hanya dengan sekedar meningkatkan angka pencapaian kepatuhan
cuci tangan. Divisi Neonatologi FKUI-RSCM sendiri telah membuktikan
dengan angka kepatuhan yang telah mencapai rekomendasi WHO namun
belum cukup untuk mencapai zero CLABSI. Berdasarkan pengalaman negara
lain dalam mencapai zero CLABSI, diperlukan adanya kombinasi pendekatan
multidisiplin disertai RCA, penerapan bundel CLABSI, edukasi dan audit
berkala serta meningkatkan kesadaran pekerja kesehatan dan tenaga non-
kesehatan seperti petugas kebersihan, pekarya kesehatan, farmasi, serta keluarga
pasien.
Kombinasi dari faktor-faktor di atas diharapkan dapat merubah cara
berpikir dan membentuk budaya yang baik agar penurunan infeksi tidak sekedar
menjadi tanggung jawab rumah sakit namun menjadi tujuan dan tanggung
jawab tiap pekerja kesehatan dan juga keluarga.
Daftar pustaka
1. Sohn AH, Garrett DO, Sinkowitz-Cochran RL. Prevalence of nosocomial infections
in neonatal intensive care unit patients: results from the first national point
prevalence survey. J Pediatr. 2001;139:821-7.
2. Adam D. Infection in neonates and prematures. Phil J Microbiol Infect Dis 1992;
22:332-45.
3. Polin RA, Denson S, Brady MT. Strategies for Prevention of Health Care Associated
144
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
145
Menuju Unit Rawat Neonatal Bebas Sepsis Neonatorum
21. Haas JP, Larson EL. Measurement of compliance with hand hygiene. J Hosp
Infect. 2007;66:6-14.
22. Paramita TN, Aufie A, Nur Aini P, Rohsiswatmo R. Hubungan cuci tangan dengan
kejadian infeksi aliran darah di unit neonatal RSCM. Sar Ped. 2014;16:60-67.
23. Data SEA-URCHIN Divisi Neonatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo. 2015.
24. Lam BC, Lee J, Lau YL. Hand hygiene practices in Neonatal Intensive Care Unit:
a multimodal intervention and impact on nosocomial infections. Pediatrics.
2004;114;e556-71.
25. Won SP. Handwashing Program for the prevention of nosocomial infections in
a Neonatal Intensive Care Unit. Infect Control Hosp Epidemiol. 2004;25;742-6.
26. Grayson ML. Significant reductions in methycillin resistant Staphylococcus aureus
bacteremia and clinical isolates associated with multisite, hand hygiene, culture-
change program and subsequent successful statewide roll out. Med J Australia.
2008;188;633-40.
27. Aitken LM, Williams G, Havey M. Nursing considerations to complement the
surviving sepsis campaign guidelines. Crit Care Med. 2011;39:1800-18.
28. Raad II, Hohn DC, Gilberath BJ. Prevention of central venous catheter related
infections by using maximal sterile barrier precautions during insertion. Infect
Control Hosp Epidemiol. 1994;15;231-8
29. Guzman JA. Infection Control Practices in the UPIN: What is Evidence-Based.
NeoRev. 2010;11;e419-24.
30. Mimoz O, Pieroni L, Lawrence C. Prospective randomized trial of two antiseptic
solutions for prevention of central venous or arterial catheter colonization and
infection in intensive care unit patients. Crit Care Med. 1996; 24;1818-23.
31. Neill S. Sustained reduction in bloodstream infections in infants at a large tertiary
care Neonatal Intensive Care Unit. Adv Neonat Care. 2016;16;52-9.
32. Kaler W, Chinn R. Successful disinfection of needleless access ports: a matter of
time and friction. J Assoc Vasc Access. 2007;12;140-2.
33. Rundjan L, Rohsiswatmo R, Paramita TN, Oeswadi CA. Closed catheter access
system Implementation in reducing bloodstream infection in preterm infants.
Frontiers in Pediatrics. 2015; 3:1-7.
34. Patel L, Johnson TJ, Engstrom JL, Fogg LF, Jegier BJ, Bigger HR, dkk. Impact
of early human milk on sepsis and health-care costs in very low birth weight
infants. J Perinatol. 2013. DOI:10.1038/jp.2013.2
35. Quigley M, Henderson G, Anthony MY, Mcguire W. Formula milk versus donor
breast milk for feeding preterm of low birth weight infants. Cochrane Database Syst.
Rev 2007; Issue 4. Art. No.: CD002971. Doi: 10.1002/14651858,CD002971.pub2
36. Schanler RJ, Lau C, Hurst NM, Smith EO. Randomized trial of donor human
milk versus preterm formula as substitutes for mother’s own milk in the feeding
of extremely premature infants. Pediatrics. 2005;116:400-6.
146
Infeksi Saluran Kemih pada Anak:
Tata laksana dan Pencegahan
Eka Laksmi Hidayati
Tujuan:
1. Mengetahui diagnosis yang akurat untuk ISK
2. Mengetahui tata laksana ISK pada anak
3. Mengetahui pencegahan ISK berulang
4. Mengetahui pencegahan morbiditas jangka panjang ISK
Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan penyakit yang bersifat akut, namun
seringkali dihubungkan dengan risiko morbiditas jangka panjang yang
bermakna, yaitu hipertensi dan penurunan fungsi ginjal. Bakteri merupakan
penyebab tersering ISK, virus jarang menjadi penyebab, dan umumnya hanya
di kandung kemih (sistitis). Sementara jamur sangat jarang, umumnya hanya
terjadi pada pasien imunokompromais. Tidak selalu mudah untuk mendiagnosis
ISK, terutama pada bayi dan anak berusia kurang dari 3 tahun karena gejala
dan tanda yang tidak spesifik dan kendala dalam mendapatkan sampel urin
yang baik untuk konfirmasi diagnosis.
Penelitian memperlihatkan hubungan antara ISK, refluks vesika-ureter
(RVU) dengan kerusakan ginjal yang menetap, sehingga dibuat panduan agar
dilakukan USG pada pasien ISK dan voiding cystourethrogram (VCUG).1-3 Hal
ini merupakan upaya mendeteksi secara dini kelompok anak risiko tinggi,
sehingga dapat dilakukan pencegahan. Makalah ini akan membahas diagnosis
yang akurat, tata laksana antibiotik dan pencegahan 2 aspek, yaitu ISK berulang
dan sekuele jangka panjang berdasarkan bukti penelitian. Berbagai aspek yang
dibahas dalam makalah ini berlaku untuk anak yang sebelum episode ISK tidak
diketahui adanya kelainan uro-nefrologi.
Diagnosis
Gejala ISK pada bayi dan anak sampai 2-3 tahun umumnya tidak spesifik,
tersering adalah demam tanpa gejala yang mengarah pada sumber infeksi
tertentu; gejala lain misalnya rewel, kuning, muntah, dan gagal tumbuh.1,2 Pada
147
Infeksi Saluran Kemih pada Anak: Tata laksana dan Pencegahan
anak besar gejala ISK lebih jelas seperti frekuensi, urgensi, polakisuria, sakit
pinggang, sakit perut bagian bawah, dengan atau tanpa demam.1 ISK disebut
atipikal bila terdapat satu dari gejala berikut: 1) tampak sakit berat, 2) gangguan
aliran urin, 3) teraba massa abdomen atau buli-buli, 4)kreatinin meningkat,
5) sepsis, 6) tidak perbaikan setelah antibiotik 48 jam, 7) disebabkan kuman
non E.coli.
Pemeriksaan urin dianjurkan setelah 24 jam timbul gejala, meliputi
urinalisis (dipstik dan mikroskopis) dan kultur. Bila ada keluhan berkemih,
terapi antibiotik dapat langsung dimulai tanpa melihat urinalisis maupun
menunggu hasil kultur. Untuk kelompok anak tanpa gejala spesifik, penilaian
terhadap derajat kondisi klinis menentukan tata laksana. Bila penampilan klinis
tampak sakit berat langsung diberikan antibiotik. Pada anak dengan penampilan
klinis sakit sedang, terapi antibiotik diberikan apabila didapatkan kelainan
dipstik atau mikroskopis urin. Untuk anak dengan penampilan klinis sakit
ringan, antibiotik sebaiknya baru dimulai setelah ada hasil kultur yang positif.1,2
Pemeriksaan urinalisis dapat dilakukan dengan menggunakan sampel
dari urine collector, namun urin harus segar (<1 jam penyimpanan suhu kamar
atau <4 jam dalam lemari es) untuk menjaga sensitivitas dan spesifisitas.
Komponen urinalisis yang memiliki nilai prediktif untuk diagnosis adalah
leukosit esterase dan nitrit pada analisis biokimia, serta hitung leukosit dan
bakteri pada pemeriksaan mikroskopis.2-4 Leukosit esterase merupakan petanda
adanya leukosit. Positif palsu leukosit urin dapat terjadi pada beberapa kondisi
misalnya demam pada infeksi streptokokus, penyakit Kawasaki, bahkan dapat
terjadi sesudah latihan fisik yang berat. ISK secara teoritis selalu disertai leukosit
urin, sehingga kultur positif tanpa disertai leukosit urin harus dipertimbangkan
kemungkinan kontaminasi.2
Nitrit merupakan produk nitrat dari makanan yang telah dikonversi oleh
kuman gram negatif. Konversi ini butuh waktu 4 jam sehingga tidak dapat
digunakan sebagai indikator pada bayi dengan pengosongan buli-buli yang cepat
dan pada ISK dengan gejala polakisuria.3
American Academy of Pediatrics membuat kajian sensitivitas dan spesifisitas
berbagai komponen dalam urinalisis dari beberapa penelitian. Ringkasan kajian
tersebut dapat dilihat pada tabel 1.2
148
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
Tata laksana
Dalam perencanaan tata laksana penting untuk dibedakan apakah ISK yang
terjadi merupakan pielonefritis akut (PNA) atau sistitis. Baku emas diagnosis
149
Infeksi Saluran Kemih pada Anak: Tata laksana dan Pencegahan
PNA adalah bukti adanya kerusakan akut parenkim ginjal dengan pemeriksaan
renogram Dimercaptosuccinic acid (DMSA).6 Pemeriksaan ini sulit dilakukan
secara rutin dalam praktek sehari-hari, maka gejala klinis yaitu demam lebih
dari 38°C dan beberapa pemeriksaan laboratorium dapat dipakai sebagai
petanda. Bukti penelitian memperlihatkan korelasi yang baik antara parut yang
diidentifikasi pada DMSA dengan leukosit darah yang tinggi, serta peningkatan
CRP dan prokalsitonin.7 Prokalsitonin lebih baik secara bermakna dibanding
CRP atau leukosit darah, dengan sensitivitas 71% dan spesifisitas 72% pada
batas 0,5ng/mL. Sensitivitas dan spesifisitas CRP pada nilai di atas 20 mg/L
adalah 87% dan 41 %, sedangkan untuk leukosit darah lebih dari 15.000/uL
adalah 63% dan 55%. Pemahaman adanya angka negatif palsu pada semua
uji diagnostik menempatkan klinisi pada posisi menentukan diagnosis
berdasarkan penilaian kriteria klinis sebagai hal utama bila pemeriksaan urin
tidak penunjang diagnosis.
Bukti dari penelitian yang membandingkan terapi antibiotik intravena
dibanding oral menunjukkan bahwa kedua kelompok tidak berbeda bermakna
dalam hal risiko kerusakan ginjal.7 Tidak didapatkan perbedaan bermakna
dalam risiko terjadinya parut ginjal dengan DMSA 6-12 bulan sesudah ISK pada
kelompok yang mendapat antibiotik oral 10-14 hari dengan yang mendapat
antibiotik intravena 3-4 hari kemudian dilanjutkan dengan antibiotik oral.
Hasil ini tidak dapat diaplikasikan pada semua anak dengan PNA karena bayi
kurang dari 3 bulan dan anak dengan penampilan klinis infeksi berat, umumnya
dikeluarkan dari penelitian. ISK pada neonatus lebih tinggi kemungkinannya
untuk berkembang menjadi sepsis sehingga dianjurkan untuk pemberian
antibiotik intravena yang lebih lama.
Pemberian antibiotik inisial untuk PNA dimulai setelah pengambilan
sampel untuk kultur urin. Jenis antibiotik untuk terapi empiris ini tergantung
pada pola resistensi lokal. Secara umum pertimbangannya adalah antibiotik
yang dapat mengatasi infeksi E.coli sebagai penyebab tersering ISK, sehingga
pilihannya adalah sefalosporin generasi ketiga, dapat pula diberikan amoksisilin
klavulanat atau trimetoprim-sulfametoksazol.7
Sesuai panduan terapi PNA, durasi yang dianjurkan adalah 7-14 hari.3
Untuk sistitis akut terapi antibiotik 2-4 hari sama efektif dengan durasi yang
lebih panjang yaitu 7-10 hari, dalam hal eradikasi bakteri.8
150
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
untuk mencegah ISK, di lain pihak pemberian ini dapat meningkatkan resistensi
terhadap antibiotik bila terjadi infeksi berulang. Lebih jauh tidak didapatkan
bukti bahwa antibiotik jangka panjang dapat menurunkan risiko terjadinya
parut ginjal.9 Berdasarkan hal ini maka pemberian antibiotik profilaksis tidak
diberikan secara rutin, namun hanya pada anak dengan risiko tinggi ISK
berulang. Anak yang mengalami ISK berulang saat dalam pemberian antibiotik
profilaksis, harus diberi terapi antibiotik yang berbeda dan tidak dianjurkan
untuk menaikkan dosis antibiotik profilaksis.
Resistensi antibiotik akibat profilaksis menyebabkan timbulnya
pemikiran alternatif profilaksis lain, di antaranya adalah kranberi, probiotik,
imunostimulan dan vaksin.10 Jus kranberi dianggap dapat mencegah ISK karena
mengandung proanthosianidin yang dapat mencegah adhesi uropatogenik
fimbriae E coli pada uroepitel. Penelitian mendapatkan hasil bahwa jus ini
tidak menurunkan jumlah anak yang ISK, tetapi hasil ini tidak lebih buruk dari
pemberian trimetoprim. Untuk probiotik, tidak ada perbedaan dalam angka
ISK pada anak yang mendapat Lactobacillus GG, namun ada probiotik lain
dalam penelitian in vitro yang menjanjikan hasil lebih baik namun masih perlu
bukti lebih lanjut. Imunostimulan untuk mencegah ISK telah dikembangkan
dalam penelitian tahap dengan subyek orang dewasa dengan hasil yang baik,
dapat menurunkan ISK. Imunostimulan oral yang disebut OM-89 (Uro-Vaxom)
ini merupakan ekstrak 18 serotipe E coli uropatogenik. Dalam hal vaksin, masih
dalam tahap pengembangkan, baik sistemik maupun mucosal.
Dalam upaya pencegahan ISK berulang, harus dilakukan pemeriksaan
pencitraan untuk mendeteksi anak dengan kelainan anatomis maupun fisiologis
yang dapat menganggu aliran urin.1,2 Pemeriksaan awal adalah USG ginjal,
namun terdapat perbedaan antar negara dalam penerapannya. National Institute
of Health and Care Excellence (NICE) merekomendasi USG hanya untuk ISK
pertama pada anak kurang dari 6 bulan atau pada ISK atipik1, sedangkan AAP
pada semua anak.2,3 Waktu pelaksanaan USG tergantung pada kondisi klinis.
Disarankan untuk USG dalam 2 hari untuk mencari abses renal atau perirenal
atau pionefrosis dengan uropati obstruktif, bila anak tampak sakit berat atau
tidak ada perbaikan.3
Kelainan pada USG yang bermakna adalah hidronefrosis, hidroureter,
dan parut. Berbagai kelainan ini dapat mengindikasikan kemungkinan RVU.
Bila didapat kelainan pada USG, pemeriksaan selanjutnya adalah voiding
cystourethrography (VCUG), untuk mencari RVU. VCUG juga dianjurkan untuk
dilakukan pada anak dengan ISK berulang, meskipun USG saat ISK pertama
normal.1-3
Isu lain terkait pencegahan adalah mengenai tindakan sirkumsisi. Bukti
penelitian memperlihatkan bahwa tidak disunat memiliki risiko ISK yang lebih
tinggi hingga 10 kali lipat pada anak berusia kurang dari 1 tahun, dan 7 kali
151
Infeksi Saluran Kemih pada Anak: Tata laksana dan Pencegahan
lipat pada usia 1-16 tahun. Keuntungan sirkumsisi ini terutama terlihat pada
anak dengan riwayat ISK sebelumnya atau RVU derajat III-V.11
Kelompok anak dengan masalah konstipasi dan pengosongan buli-buli
seperti inkontinensia, menahan berkemih, residu urin yang banyak, memiliki
risiko lebih tinggi untuk ISK. Terbukti bahwa tata laksana terhadap masalah
pengosongan feses dan urin akan menurunkan ISK.1
Simpulan
Diagnosis yang akurat terkait 2 hal penting yaitu 1) dapat mengidentifikasi,
memberikan tata laksana dan melakukan evaluasi anak dengan risiko kerusakan
ginjal, dan 2) menghindari terapi dan evaluasi yang tidak perlu pada anak tanpa
risiko sehingga tidak memakai sumber daya dan dana yang sia-sia.
Tata laksana antibiotik pada umumnya dapat diberikan oral, kecuali pada
keadaan tertentu seperti bayi usia kurang dari 3 bulan, tampilan klinis infeksi
berat, disertai muntah yang berakibat sulitnya asupan per oral. Antibiotik
profilaksis tidak terbukti dapat menurunkan kejadian ISK berulang. Pemeriksaan
USG dilakukan pada semua anak ISK untuk pertama kali. VCUG dilakukan
atas indikasi, yaitu didapatkan kelainan hidronefrosis atau hidroureter atau
parut ginjal pada USG.
152
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
Daftar pustaka
1. National Institute of Health and Care Excellence (NICE).Urinary tract infection
in children. 2007. Diunduh dari : http://guidance.nice.org.uk/CG054. Diakses
tanggal 26 Maret 2016.
2. Finnell SME, Carroll AE, Downs SM, and the Subcommittee on
Urinary Tract Infection. Technical report - Diagnosis and Management
o f a n I n i t i a l U T I i n Fe b r i l e I n f a n t s a n d Yo u n g C h i l d r e n .
Pediatrics, 2011; 128: e749 - e770.
3. Subcommittee on Urinary Tract Infection, Steering Committee on Quality
Improvement and Management. Urinary Tract Infection: Clinical Practice
Guideline for the Diagnosis and Management of the Initial UTI in Febrile
Infants and Children 2 to 24 Months. Pediatrics, 2011; 128: 595 - 610.
4. Shaw KN, McGowan KL, Gorelick MH, Schwartz JS. Screening for urinary tract
infection in infants in the emergency department: which test is best? Pediatrics.
1998;101(6). Diunduh dari: www.pediatrics. org/cgi/content/full/101/6/e1
5. Kemper K, Avner E. The case against screening urinalyses for asymptomatic
bacteriuria in children. Am J Dis Child. 1992;146: 343–346
6. Craig JC, Wheeler DM, Irwig L, Howman-Giles RB. How accurate is
dimercaptosuccinic acid scintigraphy for the diagnosis of acute pyelonephritis? A
meta-analysis of experimental studies. J Nucl Med.2000;41:986–93.
7. Strohmeier Y, Hodson EM, Willis NS, Webster AC, Craig JC. Antibiotics for acute
pyelonephritis in children. Cochrane Database of Syst Rev. 2014;7,CD003772.
8. Fitzgerald A, Mori R, Lakhanpaul M, Tullus K. Antibiotics for treating lower
urinary tract infection in children. Cochrane Database Syst Rev. 2012;8,CD006857.
9. Williams G, Craig JC. Long-term antibiotics for preventing recurrent urinary tract
infection in children. Cochrane Database Syst Rev. 2011;3, CD001534..
10. Hodson EM, Craig JC. Urinary tract infection in children. Dalam: Avner ED,
Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Emma F, Goldstein SL, penyunting.
Pediatric Nephrology, edisi ke-7. Berlin Heidelberg:Springer-Verlag, 2016:1695-714.
11. Morris BJ,Wiswell TE. Circumcision and lifetime risk of urinary tract infection:
a systematic review and meta-analysis. J Urol. 2013;189:2118–24.
12. Sureshkumar P, Jones M, Cumming RG, Craig JC. Risk factors for urinary tract
infection in children: a population-based study of 2856 children. J Paediatr Child
Health. 2009;45:87–97.
13. La Scola C, De Mutiis C, Hewitt IK, Puccio G, Toffolo A, Zucchetta P, et al.
Different guidelines for imaging after first UTI in febrile infants. Pediatrics.
2013;131:e665-71.
14. Martinell J, Lidin-Janson G, Jagenburg R, Sivertsson R, Claesson I, Jodal U. Girls
prone to urinary infections followed into adulthood. Indices of renal disease.
Pediatr Nephrol.1996;10:139–142
153
Target Keberhasilan Resusitasi
pada Renjatan Sepsis
Irene Yuniar
Tujuan :
1. Memahami terminologi renjatan sepsis
2. Memahami tata laksana emergensi pasien renjatan sepsis
3. Mengetahui target keberhasilan resusitasi pada renjatan sepsis
154
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
Pada bulan Januari 2014 dilakukan revisi kriteria diagnosis sepsis dan
renjatan sepsis oleh The Society of Critical Care Medicine (SCCM) dan The European
Society of Intensive Care Medicine (ESICM) melalui serangkaian studi kohort SSC.
Pada penelitian ini ditambahkan kriteria hipotensi, serum laktat, dan terapi
vasopresor yang diberikan pada 24 jam pertama untuk menegakkan diagnosis
renjatan sepsis. Penelitian ini menyimpulkan bahwa renjatan sepsis ditandai
dengan hipotensi yang memerlukan vasopresor untuk mempertahankan mean
arterial pressure (MAP) ≥65 mmHg dan kadar laktat serum ≥2 mmol/L meskipun
telah diberikan cairan resusitasi yang adekuat.6
Kriteria SIRS, sepsis berat, dan renjatan sepsis dapat dilihat pada Tabel 1.5, 7
155
Target Keberhasilan Resusitasi pada Renjatan Sepsis
jaringan tidak mendapatkan oksigen dan nutrisi yang adekuat. Hal itu
menyebabkan jaringan melakukan metabolisme anaerob. Dalam keadaaan
normal, oksigen yang dihantarkan oleh sistem sirkulasi (oxygen delivery/DO2 )
sangat bergantung kepada curah jantung (cardiac output/CO) dan konten oksigen
arterial (oxygen content / CaO2). Faktor-faktor yang memengaruhi DO2 dapat
dilihat pada Gambar 1.8
156
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
157
Target Keberhasilan Resusitasi pada Renjatan Sepsis
158
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
anak yang mengalami renjatan, sering ditemukan kondisi alaktemik yaitu tidak
didapatkan peningkatan kadar laktat sejak awal resusitasi. Alaktemik terjadi
pada sepertiga pasien renjatan akibat sepsis dengan mekanisme yang belum
jelas.22 Hal ini kemungkinan karena terdapatnya perbedaan metabolisme laktat
pada anak dan dewasa.23
Kondisi alaktemik dapat terjadi meskipun produksi laktat meningkat. Hal
tersebut kemungkinan karena peningkatan bersihan laktat di hati atau ginjal.
Sebanyak 70% laktat yang terbentuk akan dimetabolisme di hati. Proses ini
memerlukan fungsi hati yang baik. Bila aliran darah ke hati berkurang sampai
dengan 25%, terjadi penurunan metabolisme laktat di hati yang menyebabkn
kadar laktat meningkat.24
Penelitian yang dilakukan pada pasien anak menemukan bahwa laktat awal
tidak berbeda antara pasien yang hidup dan meninggal, tetapi nilai bersihan
laktat jam ke-6 lebih kecil pada pasien yang meninggal daripada yang hidup
(-4,0% dibanding 55,5%, p < 0,001). Hal ini sejalan dengan tingkat keparahan
penyakit yang dinilai dengan menggunakan pediatric risk of mortality (PRISM)
pada anak, yaitu lebih tinggi pada mereka yang meninggal (43,6) dibandingkan
dengan anak yang hidup (21,7) dengan p <0,01. Kesimpulan penelitian tersebut
adalah nilai bersihan laktat <30 % dan PRISM >30 dapat dipakai sebagai
perkiraan mortalitas pada pasien sepsis.25
Simpulan
Renjatan sepsis masih merupakan masalah besar pada pasien yang datang ke
ruang gawat darurat. Mortalitas renjatan sepsis cukup tinggi. Untuk itu, berbagai
usaha dilakukan untuk menurunkan angka mortalitas ini dari hari ke hari.
Surviving Sepsis Campaign mengeluarkan berbagai panduan dan rekomendasi
untuk membantu klinisi melakukan tata laksana renjatan sepsis. Rekomendasi
tersebut terus dikembangkan dari tahun ke tahun dengan revisi terakhir
dilakukan pada tahun 2015. Melalui pembaruan rekomendasi ini, diharapkan
keberhasilan resusitasi renjatan sepsis meningkat. Beberapa target keberhasilan
resusitasi dicapai baik secara klinis maupun laboratoris. Tentunya tidak semua
target ini dapat tercapai pada setiap individu mengingat adanya perbedaan
kondisi klinis pasien serta sarana dan prasarana penunjang yang tersedia.
159
Target Keberhasilan Resusitasi pada Renjatan Sepsis
Daftar pustaka
1. Fisher JD, Nelson DG, Beyersdorf H, Satkowiak LJ. Clinical spectrum of shock in
the pediatric emergency department. Pediatr Emer Care. 2010;26:622-5.
2. Mickiewicz B TG, Blackwood J, Jennie CN, Winston BW, Vogel Hj, et al.
Development of metavolic and inflammatory mediator biomarker phenotyping
for early diagnosis and triage of pediatric sepsis. Crit Care Med. 2015;19:1-13.
3. Schorr S ZS, Dellinger RP. Severe sepsis and septic shock management and
performance improvement. Virulence. 2014;5:190-9.
4. SSC. Update bundles in response to new evidence. [diakses tanggal 15 September
2015]. Tersedia di: htttp://www.survivingsepsis.org/sitecolletionDocuments/
SSC_Bundle.pdf.
5. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal SM, dkk. Surviving
sepsis campaign: international guidelines for management of severe sepsis and
septic shock. Crit Care Med. 2012;41:580-637.
6. Shankar-Hari M PG, Levy ML, Seymour CW, Liu VX, Deutschman CS, et al.
Developing a new definition and assessing new clinical criteria for septic shock.
JAMA. 2016;8:775-87.
7. Randolph AG, Mc Culloh RJ. Pediatric Sepsis. Virulence. 2014;5:179-89.
8. Gutierezz JA, Theodorou AA. Oxygen delivery and oxygen consumption in
pediatric critical care. Dalam: Lucking S, Maffei FA, Tamburro RF, Thomas NJ,
penyunting. Pediatric critical care study guide text and review. Edisi. London:
Springer-Verlag. h. 19-38.
9. Nadel S, Kissoon N, Ranjit S. Recognition and initial management of shock.
Dalam: Helfaer MA, Nichols DG, penyunting. Rogers’ handbook of pediatric
intensive care. Edisi ke- 4. Philadelphia: Wolters Kluwer Lippincott Williams &
Wilkins; 2009. h. 35-41.
10. Wilhelm M, Chung W. Inborn errors of metabolism. Dalam: Helfaer MA, Nichols
DG, penyunting. Rogers’ handbook of pediatric intensive care. Edisi ke- 4.
Philadelphia: Wolters Kluwer Lippincott Williams & Wilkins; 2009. h. 650-60.
11. Yager P, Noviski N. Shock. Pediatr in Review. 2010;31:311-9.
12. Tisherman SA, Barie P, Bokhari F, Bonadies J, Daley B, Diebel L, dkk. Clinical
practice guideline: endpoints of resuscitation. J Trauma. 2004;57:898-912.
13. Marik PE, Bellomo R. Lactate clearance as a target of therapy in sepsis: a flawed
paradigm. OA Critical Care. 2013;1:3.
14. Pasman EA WC. Shock in pediatrics treatment & management. http://
emedicinemedscapecom/article/1833578-treatment [internet]. 2015 Mar 20, 2016.
15. Scott HF, Donoghue AJ, Gaieski DF, Marchese RF, Mistry RD. The utility of
early lactate testing in undifferentiated pediatric systemic inflammatory response
syndrome. Academic Emerg Med. 2012;19:1276-80.
16. Agrawal S, Sachdev A, Gupta D, Chugh K. Role of lactate in critically ill. Indian
J Crit Care Med. 2004;8:173-81.
17. Jan Bakker J-LV. The oxygen supplay dependency phenomenon is associated with
increased blood lactate level. J Crit Care. 1991;6:8.
160
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX
18. Marecaux G PM, Dupont E, Kahn RJ, Vincent JL. Blood lactate levels are better
prognostic indicators than TNF and IL-6 levels in patients with septic shock.
Intens Care Med. 1996;22:5.
19. Nguyen HB, Rivers EP, Knoblich BP, Jacobsen G, Muzzin A, Ressler JA, dkk. Early
lactate clearance is associated with improved outcome in severe sepsis and septic
shock. Crit Care Med. 2004;32:1637-42.
20. Napoli AM, Seigel TA. The role of lactate clearance in the resuscitation bundle.
Crit Care. 2011;15:199.
21. Levinson AT, Casserly BP, Levy MM. Reducing mortality in severe sepsis and septic
shock. Semin Respir Crit Care Med. 2011;32:195-205.
22. Napoli AM, Seigel TA. The role of lactate clearance in the resuscitation bundle.
Crit Care. 2011;15:199.
23. Zhang Z, Xu X, Chen K. Lactate clearance as useful biomarker for the predicition
of all-cause mortality in critically ill patients: a systematic review study protocol.
BMJ Open. 2014;4:1-4.
24. Phypers B, Pierce J. Lactate physiology in health and disease. Anaes Crit Care
Pain. 2006;6:128-32.
25. Munde A, Kumar N, Beri RS, Puliyel JM. Lactate clearance as a marker of mortality
in pediatric intensive care unit. Indian Pediatr. 2014;51:565-7.
161