[go: up one dir, main page]

0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
72 tayangan177 halaman

Buku PKB 70

Diunggah oleh

Ivan
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online di Scribd
0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
72 tayangan177 halaman

Buku PKB 70

Diunggah oleh

Ivan
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online di Scribd
Anda di halaman 1/ 177

PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FKUI-RSCM - JAKARTA

XL Radiologi 26-27 Nop 1997 Pencitraan: Penggunaannya untuk Menunjang Diagnosis Penyakit
Saluran Napas dan Saraf pada Anak
XLI Hematologi 24-25 Jun 1998 Darah dan Tumbuh Kembang: Aspek Transfusi
XLII Gastroenterologi, 22-23 Feb 1999 Dari Kehidupan Intrauterin sampai Transplantasi Organ: Aktualisasi
Hepatologi dan Gizi Gastroenterologi-Hepatologi dan Gizi
XLIII Hepatologi 31 Mei 2000 Tinjauan Komprehensif Hepatitis Virus Pada Anak
XLIV Alergi-Imunologi, Infeksi 30-31 Juli 2001 Pendekatan Imunologis Berbagai Penyakit Alergi
dan Penyakit Tropis PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN LXX
XLV Dep.IKA FKUI-RSCM 18-19 Feb 2002Hot Topics and Pediatrics II
XLVI Dep. IKA FKUI-RSCM 5-6 Sep 2004 Current Management of Pediatrics Problems
XLVII Dep. IKA FKUI-RSCM 19-20 Sep 2005Penanganan Demam pada Anak Secara Profesional
XLVIII Dep. IKA FKUI-RSCM 13-14 Des 2005Update in Neonatal Infections
XLIX Dep. IKA FKUI-RSCM 5-7 Maret 2006Neurology in Children for General Practitioner in Daily Practice
L Dep. IKA FKUI-RSCM 24-25 Juli 2006
Strategi Pendekatan Klinis Secara Profesional Batuk pada Anak
LI Dep. IKA FKUI-RSCM 20-21 Nov 2006Pain Management in Children
LII Dep. IKA FKUI-RSCM 16-17 Juli 2007
Pendekatan Praktis Pucat: Masalah kesehatan yang terabaikan pada
bayi dan anak
LIII
LIV
LV
Dep. IKA FKUI-RSCM
Dep. IKA FKUI-RSCM
Dep. IKA FKUI-RSCM
12-13 Nov 2007 Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Anak dengan Gejala Kuning
27-28 Okt 2008 The 1st National Symposium on Immunization
22-23 Maret 2009 HIV Infection in Infants and Children in Indonesia: Current Challenges in
Common and
LVI Dep. IKA FKUI-RSCM 9-10 Agt 2009
Management
The 2nd Adolescent Health National Symposia:
Current Challenges in Management
Re-Emerging Infectious
LVII Dep. IKA FKUI-RSCM

LVIII Dep. IKA FKUI-RSCM


8-9 Nov 2009 Management of Pediatric Heart Disease for Practitioners: From Early
Detection to Intervention
20-21 Juni 2010 Pediatric Skin Allergy and Its Problems
Disease: Current
LIX

LX
Dep. IKA FKUI-RSCM & 19-20 Des 2010 The Current Management of Pediatric Ambulatory Patients
IDAI Jaya
Dep. IKA FKUI-RSCM & 9-10 Okt 2011
IDAI Jaya
Peran Dokter Anak dalam Diagnosis Dini dan Pemantauan Keganasan
pada Anak
Evidence
LXI Dep. IKA FKUI-RSCM 5-6 Feb 2012 Kegawatan Pada Bayi dan Anak
LXII Dep. IKA FKUI-RSCM 1-2 Apr 2012 Current Management in Pediatric Allergy and Respiratory Problems
LXIII Dep. IKA FKUI-RSCM 17-18 Juni 2012 Update Management of Infectious Diseases and Gastrointestinal
Disorders
LXIV Dep. IKA FKUI-RSCM 24-25 Maret 2013 Tata Laksana Berbagai Keadaan Gawat Darurat pada Anak
LXV Dep. IKA FKUI-RSCM 17-18 Nop 2013 Pelayanan Kesehatan Anak Terpadu
LXVI Dep. IKA FKUI-RSCM 22-23 Maret 2014 Pendekatan Holistik Penyakit Kronik pada Anak untuk Meningkatkan
Kualitas Hidup
LXVII Dep. IKA FKUI-RSCM 16-17 Nop 2014 Current Evidence in Pediatric Practices
LXVIII Dep. IKA FKUI-RSCM 12-13 April 2015 Current Evidences in Pediatric Emergencies Management
LXIX Dep. IKA FKUI-RSCM 6-7 Des 2015 Menuju diagnosis: pemeriksaan apa yang perlu dilakukan?
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA -
RS. CIPTO MANGUNKUSUMO

Jakarta, 3-4 April 2016


Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah
Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, senantiasa mengetengahkan perkembangan mutakhir dalam
bidang ilmu kesehatan anak di samping masalah pediatri praktis. Keterangan tentang program ini setiap saat dapat dimintakan
kepada: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, Jalan Diponegoro 71, Jakarta 10430, Telp. (021) 3161420, Fax. (021) 3161420
PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FKUI-RSCM JAKARTA

I Kardiologi 7-8 Juli 1980 Penataran Berkala Kardiologi Pediatrik


II Gawat Darurat 23 Jan 1982 Demam Berdarah Dengue
III Hematologi 5 Juni 1982 Beberapa Aspek Hematologi
IV Neurologi 11-16 April 1983 Kejang pada Anak
V Kardiologi 19-20 April 1983 Penataran EKG Bayi danAnak
VI Nefrologi 1 Juni 1983 Penanggulangan Penyakit Ginjal Kronik
VII Gizi 13 Nov 1983 Gizi dan Tumbuh Kembang
VIII Pulmonologi 9-10 Nov 1983 Bronkitis dan Asma pada Anak
IX Perinatologi 3-4 Des 1984 Ikterus pada Neonatus
X Penyakit Tropis 4 Mei 1985 Permasalahan dan Penatalaksanaan Mutakhir Beberapa Penyakit Tropis
XI Kardiologi 31 JuIi-1 Agt 1985Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Jantung Bawaan yang Dapat
Dikoreksi
XII Radiologi 1-2 Nov 1985 Radiologi Klinis dan Ultrasonografi pada Bayi dan Anak
XIII Endokrinologi 23 Febr 1986 Masalah penyimpangan Pertumbuhan Somatik dan Seksual pada Anak
dan Remaja
XIV Gawat Darurat 9 Agt 1986 Penanggulangan Terpadu Enterokolitis Nekrotikans Neonatal
XV Radiologi 20-21 Juni 1988 Radiologi dan Ortopedi Praktis pada Anak
XVI Gastroenterologi 30 Sept-1 Okt 1988Penanggulangan Mutakhir Beberapa Penyakit Gastrointestinal pada
Anak
XVII Pulmonologi 21-22 Okt 1988 Beberapa Masalah Klinis Praktis Pulmonologi Anak
XVIII Neurologi 27-28 Jan 1989 Kedaruratan Saraf Anak
XIX Gizi 8-9 Sept 1989 Beberapa Aspek Tentang Vitamin dan Mineral pada Tumbuh Kembang
Anak
XX Kardiologi 15-16 Des 1989 Penatalaksanaan Kedaruratan Kardio vaskular pada Anak
XXI Alergi-imunologi 9-10 Mar 1990 Meningkatkan Profesionalisme dalam Penatalaksanaan Penyakit Alergi-
Imunologi
XXII Nefrologi 7-8 Des 1990 Penatalaksanaan Penyakit Ginjal pada Anak
XXIII Perinatologi 8-9 Juli 1991 Sindrom Gawat Napas pada Neonatus
XXIV Hematologi 6-7 Sept 1991 Perkembangan Mutakhir Penyakit Hematologi Onkologi Anak
XXV Penyakit Tropis 26-27 Juni 1992 Tata Iaksana Penyakit Infeksi pada Anak Masa Kini dan Masa
Mendatang
XXVI Radiologi 11-12 Sept 1992 Pencitraan Traktus Urinarius pada Anak
XXVII Hepatologi 6-7 Nop 1992 Hepatologi Anak Masa Kini
XXVIII Endokrinologi 16-15 Feb 1993 Masalah Penyimpangan Pertumbuhan Somatik pada Anak dan Remaja
XXIX Nefrologi 24-25 Sept 1993 Penanggulangan Masalah Uronefrologi pada Anak
XXX Gawat Darurat 3-4 Des 1993 Pendekatan Farmakologi pada Pediatrik Gawat Darurat
XXXI Gastroenterologi 3-4 Feb 1994 Optimalisasi Tatalaksana Gagal Tumbuh Gastointestinal Guna
Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia
XXXII Kardiologi 1-2 Juli 1994 Pengenalan Dini dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan pada
Neonatus
XXXIII Pulmonologi 2-3 Des 1994 Perkembangan dan Masalah Pulmonologi Anak Saat ini
XXXIV Neurologi 24-25 Mar 1995 Neurologi Anak dalam Praktek Sehari-hari
XXXV Gizi 11-12 Agt 1995 Masalah Gizi Ganda dan Tumbuh Kembang Anak
XXXVI Alergi-Imunologi 10-11 Nop 1995 Strategi Pendekatan Klinis Berbagai Penyakit Alergi dan Reumatik pada
Anak
XXXVII Tumbuh Kembang 21-23 Nop 1996 Deteksi dan Intervensi Dini Penyimpangan Tumbuh Pediatri Sosial
Kembang Anak dalam Upaya Optimalisasi Kualitas Sumber Daya
Manusia
XXXVIII Perinatologi 7-8 Apr 1997 Penanganan Mutakhir Bayi Prematur: Memenuhi Kebutuhan Bayi
Prematur untuk Menunjang Peningkatan Kualitas Sumber Daya
Manusia
XXXIX Infeksi dan Pediatrik 25-26 Agt 1997 Strategi Pemilihan dan Penggunaan Vaksin serta Antibiotik dalam
Tropik Upaya Antisipasi Era Perubahan Pola Penyakit
PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN LXX

Common and
Re-Emerging Infectious Disease:
Current Evidence

Penyunting:
Hartono Gunardi
Nikmah Salamia
Fatima Safira Alatas
Klara Yuliarti

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau seluruh
buku dengan cara dan dalam bentuk apapun juga tanpa seizin penulis dan
penerbit

Diterbitkan oleh:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM

Cetakan Pertama 2016

ISBN 978-979-8271-53-3

ii
Kata Sambutan
Ketua Departemen IKA FKUI - RSCM

Ass Wr Wb, salam sejahtera untuk kita semua

Pada beberapa tahun terakhir ini topik penyakit non infeksi yang lebih dikenal
dengan Non Communicable Disease merupakan topik yang banyak mendapat
perhatian dalam seminar atau pertemual ilmiah kedokteran baik nasional
maupun internasional. Hal ini sangatlah wajar mengingat di negara maju
prevalensi penyakit infeksi sudah tidak terlalu banyak lagi.
Namun demikian berbeda dengan negara sedang berkembang seperti
Indonesia selain ancaman morbiditas dan mortalitas akibat penyakit Non
Communicable Disease harus sudah menjadi perhatian, namun kita belumlah
selesai dalam penanganan penyakit infeksi. Bahkan kini kita menghadapi re-
emerging beberapa penyakit infeksi yang selama ini tidak pernah diprediksi. Hal
ini menimbulkan kekuatiran bukan saja di kalangan profesi kedokteran tetapi
juga masyarakat khususnya yang mempunyai anak balita, kelompok yang kita
pahami bersama merupakan kelompok risiko tinggi terkena penyakit.
Sehubungan dengan hal tersebut Departemen Ilmu Kesehatan Anak
merasa terpanggil untuk berperan serta mengatasi kondisi di atas dengan
mengangkat re-emerging infectious disease sebagai tema di Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan (PIKB) kali ini. Disamping itu topik penyakit infkesi yang umum
ditemukan dalam prakter sehari-hari juga ikut dibahas agar para sejawat dapat
terus menerus terinformasi dengan keilmuan pediatri terkini. Melalui PKB
ini kami berharap dapat dimanfaatkan seluas-luasnya untuk mendiskusikan
berbagai topik penyakit infeksi sehingga penangan penyakit infeksi ke depan
akan makin menurunkan angka morbiditas dan mortalitasbpenyakit ini.
Kami ucapkan terima kasih kepada ketua Idai Jaya atas kerja sama
yang kondusif dalam pelaksaan PKB in. Apresiasi yang setinggi-tingginya
saya sampaikan kepada ketua panitia pelaksana beserta seluruh panitia atas
kinerjanya yang luar biasa, demikian pula kepada ketua dan seluruh anggota
Tim PKB Departemen IKA FKUI-RSCM. Ucapan terima kasih kami sampaikan

iii
kepada mitra kerja Departemen IKA FKUI-RSCM yang tidak dapat kami
sebutkan satu persatu atas kontribusinya yang elegan.
Semoga PKB ini memberikan kemaslahatan bagi profesi medis dan anak-
anak Indonesia

Wassalam

Aryono Hendarto
Ketua Departemen IKA FKUI-RSCM

iv
Kata Sambutan
Ketua Panitia PKB Departemen IKA FKUI-RSCM LXX

Assalamualaikum wr.wb.
Penyakit infeksi menjadi masalah utama di Indonesia. Angka kesakitan dan
kematian anak di Indonesia didominasi oleh penyakit infeksi yang mengenai
berbagai organ seperti saluran napas, saluran cerna dan hepatobilier, susunan
saraf pusat, disamping masalah perinatal. Selain itu, infeksi kronis juga
merupakan masalah yang belum tuntas penyelesaiannya sehinga mengancam
terganggunya tumbuh kembang anak. Oleh karena itu, sudah sepantasnya
pemberantasan penyakit infeksi tetap menjadi salah satu target utama dalam
era pasca Millenium Development Goals.
Untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan para praktisi
kesehatan mengenai infeksi pada anak, Departemen Ilmu KesehatanAnak
FKUI-RSCM menyelenggarakan Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB)
LXX dengan tema “Common re-emerging infectious disease: current evidence”.
Berbagai masalah infeksi yang sering didapatkan pada praktek sehari-hari akan
dibahas pada PKB kali ini, begitu pula dengan masalah ikutan terkait anemia,
nutrisi, dan tumbuh kembang anak.
Kami berharap para nara sumber dan peserta pada PKB kali ini akan saling
bertukar pengetahuan dan pengalaman, sehingga ilmu yang disampaikan oleh
nara sumber dapat dimplemenrasi secara optimal pada pasien.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada para nara sumber yang telah
meluangkan waktu dan tenaga untuk menyiapkan makalah buku PKB, sebagai
pelengkap materi presentasi dan menjadi rujukan bagi para peserta.
Atas nama panitia pelaksana, kami mengucapkan selamat dan terima
kepada semua peserta PKB LXX Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI -
RSCM, semoga ilmu yang disampaikan dapat memberikan manfaat, sehingga
meski minimal, kita dapat berkontribusi terhadap program pemerintah dalam
menurunkan angka kejadian infeksi

Wassalamualaikum wr. Wb.

Dr. Badriul Hegar S, PhD, SpA(K)


Ketua Panitia

v
vi
Kata Pengantar Tim Penyunting

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah yang Maha Kuasa atas selesainya
buku prosiding Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB) LXXI ini. Secara
berkala, Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo mengadakan acara pendidikan
kedokteran berkelanjutan dengan tujuan untuk berbagi pengetahuan dan
keterampilan terkini di bidang ilmu kesehatan anak. Topik yang diangkat pada
PKB LXXI kali ini adalah mengenai penyakit infeksi anak pada berbagai organ,
populasi khusus, dan tata laksana menyeluruh, mencakup aspek hematologi,
nutrisi, dan tumbuh kembang. Topik ini kami angkat mengingat saat ini
Indonesia, seperti juga negera berkembang lain, menghadapi double burdens
of disease, yaitu penyakit infeksi dan penyakit kronis sekaligus. Penyakit infeksi
pada anak masih menjadi penyebab utama mortalitas dan morbiditas, termasuk
konsekuensi jangka panjang yang berdampak pada kehidupan di masa dewasa.
Untuk itu, tata laksana yang tepat tidak hanya akan meningkatkan kualitas
hidup pada masa kanak tetapi juga di masa dewasa. Akhir kata, besar harapan
kami, buku ini membawa banyak manfaat bagi sejawat praktisi ilmu kesehatan
anak, termasuk mereka yang berada di lini terdepan sebagai penyedia pelayanan
primer demi tercapainya layanan kesehatan yang lebih baik bagi anak Indonesia.

Jakarta, 29 Maret 2015

Tim Penyunting

vii
viii
Tim PKB FKUI-RSCM

Ketua : Dr. Sudung O. Pardede, Sp.A(K)


Wakil Ketua : DR. Dr. Partini P. Trihono, Sp.A(K), MMed(Paed)
Sekretaris : Dr. Bernie Endyarni, Sp.A(K), MPH
Bendahara : Dr. Titis Prawitasari, Sp.A(K)
Anggota : 1. Prof. DR. Dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro, Sp.A(K)
2. DR. Dr. Hardiono D. Pusponegoro, Sp.A(K)
3. Prof. Dr. Jose RL Batubara, PhD, Sp.A(K)
4. Prof. DR. Dr. Bambang Supriyatno, Sp.A(K)
5. Dr. Endang Windiastuti, Sp.A(K), MMed(Paed)
6. DR. Dr. Hanifah Oswari, Sp.A(K)

ix
Susunan Panitia

Ketua Dr. Badriul Hegar S., PhD, Sp.A(K)


Wakil Ketua Dr. Ari Prayitno, Sp.A(K)
Sekretaris Dr. Dina Muktiarti, Sp.A(K)
Bendahara Dr. Nina Dwi Putri, Sp.A
Seksi Dana Prof. DR. Dr. Sri Rezeki Hadinegoro, Sp.A(K)
Prof. Dr. Jose RL Batubara, PhD, Sp.A(K)
DR. Dr. Hardiono D. Pusponegoro, Sp.A(K)
DR. Dr. Zakiudin Munasir, Sp.A(K)
Seksi Ilmiah DR. Dr. Hartono Gunardi, Sp.A(K)
Dr. Nikmah Salamia, PhD, Sp.A
Dr. Fatima Safira Alatas, PhD, Sp.A(K)
Dr. Klara Yuliarti, Sp.A(K)
Seksi Perlengkapan, Dr. Ratno M. Sidauruk, Sp.A
Dokumentasi & Dr. Adhi Teguh Perma Iskandar, Sp.A(K)
Pameran
Seksi Sidang Dr. Frida Soesanti, Sp.A(K)
Dr. Niken Wahyu Puspaningtyas, Sp.A
Dr. Madelaine Ramdhani Jasin, Sp.A
Dr. Henny Andriani Puspitasari, Sp.A
Seksi Konsumsi Dr. Amanda Soebadi, Sp.A
Dr. Fitri Primacakti, Sp.A

x
Daftar Penulis

Dr. Ari Prayitno, Sp.A(K)


Divisi Infeksi dan Pediatrik Tropis
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

Dr. Bambang Tridjaya, Sp.A(K), MMed.(Paed)


Divisi Endokrinologi
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

Dr. Bernie Endyarnie, Sp.A(K), MPH


Divisi Tumbuh Kembang-Pediatri Sosial
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

Dr. Dina Muktiarti, Sp.A(K)


Divisi Alergi Imunologi
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

Dr. Eka Laksmi Hidayati, Sp.A(K)


Divisi Nefrologi
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

Dr. Evita K. Ifran, Sp.A(K)


Divisi Pencitraan
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

Dr. Fatima Safira Alatas, PhD, Sp.A(K)


Divisi Gastro-Hepatologi
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

Dr. Irene Yuniar, Sp.A(K)


Divisi Pediatrik Gawat Darurat
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

xi
Dr. Klara Yuliarti, Sp.A(K)
Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

Dr. Lily Rundjan, Sp.A(K)


Divisi Neonatologi
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

Dr. Nastiti Kaswandani, Sp.A(K)


Divisi Respirologi
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

Dr. Nikmah Salamia Idris, PhD, Sp.A


Divisi Kardiologi
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

DR. Dr. RA. Setyo Handryastuti, Sp.A(K)


Divisi Neurologi
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

DR. Dr. Sudung O. Pardede, Sp.A(K)


Divisi Nefrologi
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

DR. Dr. Pustika Amalia, Sp.A(K)


Divisi Hematologi-Onkologi
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

xii
Daftar isi

Kata Sambutan Ketua Departemen IKA FKUI - RSCM ................................iii


Kata Sambutan Ketua Panitia PKB IKA FKUI-RSCM LXX .......................... v
Kata Pengantar Tim Penyunting .................................................................. vii
Tim PKB FKUI-RSCM ................................................................................ ix
Susunan Panitia............................................................................................. x
Daftar Penulis .............................................................................................. xi

Infeksi Berulang: Kunci Diagnosis Penyakit Imunodefisiensi Primer ............. 1


Dina Muktiarti
Ensefalitis pada Anak: Infeksi Versus Autoimun ...........................................11
Setyo Handryastuti
Sick Day Rules Penderita Diabetes Melitus (DM) Tipe 1 .............................. 25
Bambang Tridjaja
Panduan Terkini Pencegahan Endokarditis Infektif pada Anak .................... 30
Nikmah S Idris
Infeksi Cytomegalovirus pada Bayi dan Anak ............................................... 39
Ari Prayitno
Hepatitis C pada Anak: Apakah Sering Terjadi dan Dapat Disembuhkan? .... 55
Fatima Safira Alatas
Pertussis - A Re-Emerging Infection in Children and Adolescence ................. 66
Nastiti Kaswandani
Pemeriksaan Pencitraan pada Infeksi Paru ................................................... 78
Evita Karianni Bermanshah Ifran

xiii
Does Chronic Infection Put Children on Risks of Emotional and Behavioral
Problems? .................................................................................................... 87
Bernie Endyarni Medise
Ethics on Antibiotics Decision Making in Outpatient Setting ........................ 99
Sudung O. Pardede
Anemia Penyakit Kronis dan Inflamasi: The Great Mimicker dari Anemia
Defisiensi Besi ............................................................................................108
Pustika Amalia Wahidiyat
Penerapan Imunonutrisi Berbasis Bukti Ilmiah ..........................................118
Klara Yuliarti
Menuju Unit Rawat Neonatal Bebas Sepsis Neonatorum ............................132
Lily Rundjan, Miske Marsogi
Infeksi Saluran Kemih pada Anak: Tata laksana dan Pencegahan ................147
Eka Laksmi Hidayati
Target Keberhasilan Resusitasi pada Renjatan Sepsis ...................................154
Irene Yuniar

xiv
Infeksi Berulang: Kunci Diagnosis Penyakit
Imunodefisiensi Primer
Dina Muktiarti

Tujuan:
1. Peserta memahami tanda dan gejala anak dengan imunodefisiensi
primer
2. Peserta memahami pendekatan diagnosis imunodefisiensi primer

Infeksi berulang atau kronik adalah salah satu keluhan yang cukup sering
ditemukan di praktik sehari-hari dan merupakan suatu tantangan tersendiri
dalam menegakkan diagnosis.Anak di bawah usia 5 tahun dapat mengalami
infeksi saluran napas kurang lebih 3-8 kali per tahun. Infeksi yang berulang
dapat diakibatkan oleh suatu penyakit lain yang mendasarinya.1,2Suatu penelitian
menemukan dari 260 anak dengan riwayat infeksi berulang ternyata 47% adalah
anak sehat, 31% anak dengan penyakit alergi, 11% anak dengan kelainan
anatomi atau fungsi, dan 11% adalah anak dengan imunodefisiensi primer.1
Anak yang imunokompeten akan terlihat sehat di antara episode infeksi dengan
tumbuh kembang yang normal.1,2
Penyakit imunodefisiensi primer (PIP) adalah suatu kelompok penyakit
yang terdiri dari lebih dari 150 kelainan genetik yang mengakibatkan kelainan
pada sistem kekebalan tubuh baik kekebalan tubuh non-spesifik (innate
immunity) dan kekebalan tubuh spesifik/adaptif.Penyakit imunodefisiensi
primer ini mempunyai dampak jangka panjang terhadap tumbuh kembang
anak, membutuhkan biaya cukup besar, menurunkan kualitas hidup, dan pada
beberapa kasus bersifat fatal.3-6
Prevalens PIP bervariasi berdasarkan jenis kelainan genetiknya.Secara
umum, prevalens PIP di dunia bervariasi sekitar 1:10.000 sampai 1:12.000
pada populasi umum. Sebagian besar pasien PIP tidak terdiagnosis dengan baik,
bahkan di negara maju.4Hal yang sama terjadi di Indonesia dengan laporan
kasus PIP yang jarang. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan
kewaspadaan para dokter terhadap PIP, dan juga keterbatasan pada fasilitas
pemeriksaan penunjang. Hal ini dapat juga terlihat dari penelitian Al-Hammadi,
dkk7pada 263 dokter spesialis anak yang menemukan bahwa hanya 4% dokter
spesialis anak yang menjawab lebih dari 80% pertanyaan terkait PIP dengan

1
Infeksi Berulang: Kunci Diagnosis Penyakit Imunodefisiensi Primer

benar. Sebagian besar dari responden (76%) menjawab dengan benar hanya
60-79% pertanyaan terkait PIP.7
Untuk itu, perlu dilakukan beberapa upaya untuk meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan dokter spesialis anak dalam mengenali dan
mendiagnosis PIP. Makalah ini akan membahas mengenai pendekatan diagnosis
PIP berdasarkan pengenalan pola infeksi yang diderita pasien dan pemeriksaan
penunjang yang tersedia di Indonesia.

Penyakit imunodefisiensi primer


Penyakit imunodefisiensi primer terdiri dari berbagai kelainan genetik yang
menyebabkan gangguan perkembangan, fungsi atau keduanya dari sistem
imun.Sebagian besar PIP adalah kelainan monogenik yang mengikuti cara
pewarisan sifat berdasarkan Hukum Mendel, namun sebagian PIP terjadi akibat
penyebab poligenik yang kompleks.Interaksi antara genetik dan lingkungan
dapat berakibat bervariasinya PIP. Angka kejadian rata-rata PIP adalah 1: 10.000
populasi dengan angka kejadian yang lebih tinggi pada populasi dengan tingkat
konsanguinitas yang tinggi.3-5
Sistem imunitas melindungi manusia dari infeksi.Gangguan satu atau lebih
dari mekanisme ini dapat merupakan konsekuensi dari lesi genetik.Mekanisme
pertahanan tubuh dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu innate immunity (sistem
imun yang bekerja di permukaan tubuh seperti mukosa, jaringan lunak,
komplemen, dan elemen anti-mikrobial lain di dalam darah dan cairan tubuh,
sel fagosit, sel natural killer/NK) dan sistem imun adaptif (imunitas humoral
dan selular). Penyakit imunodefisiensi primer dikalsifikasikan berdasarkan
mekanisme imunologi yang terganggu dan juga berdasarkan manifestasi klinis
yang dominan terjadi pada pasien.4
Perkembangan pengetahuan mengenai PIP berkembang pesat dalam
beberapa dekade terakhir terutama dengan perkembangan teknologi di bidang
imunologi dan genetika. Saat ini terdapat 9 klasifikasi PIP (Tabel 1).4 Sebagian
besar kasus PIP di dunia adalah PIP dalam klasifikasi defisiensi antibodi.
Laporan di Eropa, Amerika Serikat, Afrika Selatan, maupun beberapa negara
di Asia (Jepang, Cina, Korea) menunjukkan sekitar 40-90% kasus PIP yang
dilaporkan adalah kasus defisiensi antibodi, dengan perbandingan lelaki dan
perempuan berkisar 2-3 berbanding 1.8-13
Defek pada sistem imun ini tidak hanya meningkatkan risiko kerentanan
terhadap infeksi, namun juga terhadap penyakit autoimun dan keganasan.
Beberapa jenis PIP sudah dapat dideteksi melalui skrining neonatal di beberapa
negara.Salah satu yang dapat dideteksi sejak awal adalah imunodefisinesi
kombinasi berat (severe combined immunodeficiency /SCID). Hal ini disebabkan

2
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

Tabel 1. Klasifikasi PIP3,4


Kelompok penyakit Contoh kelainan Inheritance Manifestasi klinis
imunodefisiensi
Imunodefisiensi kom- Imunodefisinesi kombinasi AR, XL Gagal tumbuh, diare berat, infeksi
binasi berat (severe combined im- oportunistik, rash.
munodeficiency /SCID)
Defisiensi CD40 ligand XL Infeksi piogenik serius berulang, infeksi
oportunistik.
Imunodefisinesi kombi- Sindrom Wiskott– Aldrich XL Trombositopenia, eksema, infeksi
nasi yang berhubungan berulang, autoimun
dengan gambaran Ataxia– telangiectasia AR
sindrom Anomali DiGeorge Mutasi de Penyakit sinopulmonar kronik, ataksia
novo, AD serebral, keganasan
Sindrom hiper-IgE (sindrom AD Kejang hipokalsemia akibat hipo-
Job) paratiroidism, kelainan jantung, wajah
dismorfik, infeksi
Infeksi paru (penumatocele), abses/
infeksi kulit, dermatitis
Defisiensi antibodi BTK (Bruton tyrosine kinase) XL Infeksi sinopulmonar bakteri, infeksi
deficiency (X-linked agam- saluran napas berulang akibar virus,
maglobulinemia) Bervariasi infeksi saluran cerna
Common variable immuno-
deficiency disorders (CVID) Bervariasi
Defisiensi IgA selektif Bervariasi
Hipogamaglobulinemia
transien masa bayi

Penyakit disregulasi Autoimmune lymphoprolif- AD, AR Penyakit autoimun


imun erative syndrome (ALPS)

Defek kongenital Neutropenia kongenital AD Infeksi berulang, kerentanan terhadap


jumlah dan/atau fungsi berat AR mielodisplasia/leukemia
fagosit Defisiensi adhesi lekosit Infeksi bakteri berat berulang,
(leukocyte adhesion defi- XL keterlambatan putusnya tali pusat, pe-
ciency/LAD) nyembuhan luka yang lama, produksi
Penyakit granulomatosa pus sedikit.
kronik (chronic granuloma- Infeksi jaringan, abses dengan pem-
tous disease/CGD) bentukan granuloma.
Defek pada imunitas Chronic mucocutaneous AR, AD Infeksi jamur kronik kulit dan mukosa
non spesifik (innate candidiasis
immunity)
Penyakit autoinflamasi Familial Mediterranean fever AR Demam berulang, serositis, vaskulitis,
Neonatal onset inflamma- AD inflammatory bowel disease
tory disease (NOMID) atau Ruam neonatal, meningitis, artropati.
chronic infantile neurologic
cutaneous and articular syn- AD
drome (CINCA) Uveitis, sinovitis
Sindrom Blau
Defisiensi komplemen Defisiensi C1q AR Lupus eritematosus, infeksi dengan
Defisiensi C3 AR patogen berkapsul
Defisiensi inhibitor C1 AD Infeksi, glomerulonefritis
Angiedema herediter
Phenocopies of PID Imunodefisiensi dengan
autoantibodi
Keterangan: AD: autosomal dominant; AR: autosomal recessive; XL: X-linked

3
Infeksi Berulang: Kunci Diagnosis Penyakit Imunodefisiensi Primer

karena SCID merupakan salah satu kondisi gawat darurat yang memerlukan
penanganan segera seperti pemberian imunoglobulin dan transplantasi sumsum
tulang.4,-6,14

Tanda dan gejala anak dengan penyakit imunodefisiensi


primer
Penyakit imunodefisiensi primer memberikan gambaran utama infeksi
berulang.Namun, beberapa jenis imunodefisiensi dapat memberikan gambaran
penyakit autoimun atau keganasan. Sepuluh tanda peringatan dari Jeffrey Modell
Foundation adalah salah satu alat bantu yang banyak diketahui oleh para dokter
untuk prediksi PIP (Tabel 2).6

Tabel 2. Jeffry Modell Foundation: 10 tanda peringatan PIP


1. ≥ 4 infeksi telinga baru dalam satu tahun
2. ≥ 2 infeksi sinus berat dalam satu tahun
3. ≥ 2 bulan dalam terapi antibiotik dengan luaran yang minimal
4. ≥ 2 pneumonia dalam satu tahun
5. Gagal tumbuh
6. Infeksi kulit berulang atau abses organ dalam
7. Trush persisten atau infeksi jamur pada kulit selama satu bulan
8. Memerlukan antibiotik intravena untuk mengeradikasi bakteri
9. ≥ 2 deep seated infetions, termasuk septikemia
10. Riwayat keluarga dengan PIP

Penelitian Subbarayan, dkk15 yang menelaah 10 tanda peringatan yang


dikeluarkan oleh Jeffry Modell Foundation menemukan bahwa riwayat keluarga
PIP mempunyai nilai prediksi yang paling kuat, diikuti dengan ≥ 2 bulan dalam
terapi antibiotik dengan luaran yang minimal dan gagal tumbuh. Sebuah
review dari Afrika Selatan juga memberikan komentar terhadap 10 tanda
peringatan ini.10 Beberapa poin harus dipertimbangkan benar-benar sebelum
diperhitungkan masuk dalam 10 tanda peringatan PIP. Seperti infeksi telinga
berulang yang bisa sering terjadi pada anak yang tinggal di daerah yang padat
penduduk. Namun, otitis media harus dicurigai PIP apabila terjadi pada usia
dini (di bawah usia 3-4 bulan), otitis berulang setelah penggunaan antibiotik,
terjadi mastoiditis, terkait dengan infeksi invasif lainnya. Poin pneumonia harus
sudah bisa disingkirkan kemungkinan benda asing, infeksi HIV.
Pneumonia harus dicurigai sebagai bagian dari PIP apabila terdapat
gangguan imun lainnya (seperti diare kronik, demam berulang, ruam yang
persisten), atau pneumonia yang mempunyai komplikasi pneumatocele atau
bronkiektasis.5,10

4
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

Untuk itu beberapa penulis memberikan panduan lain kapan suatu


infeksi harus dicurigai bagian dari suatu PIP (Tabel 3).2,16Jenis patogen dapat
juga menjadi panduan jenis kelainan imunodefisiensi yang dialami pasien
(Tabel 4).2 Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan kelainan gigi atau rambut,
ruam, petekie, teleangiektasis, gingivostomatitis berat, periodontitis, sariawan,
jamur di mulut, gigi susu yang menetap, tidak adanya tonsil atau kelenjar getah
bening, limfadenitis generalisata, asplenia, organomegali, gagal tumbuh atau
perawakan pendek.16

Tabel 3. Evaluasi anak dengan infeksi berulang


Penyebab ekstrinsik atau imunodefisiensi Kapan harus curiga PIP?2,16
sekunder2
• Gangguan barier fisik • Infeksi yang berulang/persisten dengan tingkat keparahan
• Saluran napas: rinitis alergi, disfungsi yang tidak biasa.
silier, kistik fibrosis, pneumonia • Infeksi berat yang melibatkan beberapa lokasi
aspirasi akibat disfungsi oromotor • Infeksi yang memburuk dengan cepat dan fatal.
atau refluks gastroesofagus • Penggunaan antibiotik yang sering dengan respons yang
• Kulit: dermatitis atopik, luka bakar suboptimal.
• Saluran kemih: refluks vesikoureter • Infeksi yang disebabkan oleh organisme oportunistik.
• Benda asing: kateter urin • Abses organ dalam
• Splenektomi/asplenia kongenital • Abses subkutan berulang
• Imunodefisiensi sekunder: terapi • Diare berulang atau kronik
imunosupresi, keganasan, malnutrisi, • Kandidiasis luas, oral thrush berulang pada anak di atas usia
protein-losing states (sindrom nefrotik, 1 tahun.
enteropati), dll • Molluscum contagiosum generalisata atau berulang
• Gagal tumbuh
• Komplikasi dari vaksinasi (contoh: limfadenitis BCG)
Riwayat keluarga:
• Imunodefisiensi primer pada keluarga, terjadi gejala yang
sama pada keluarga (laki-laki dari pihak wanita, atau pola
yang jelas dari keturunan).
• Kematian anak yang tidak bisa dijelaskan, kematian karena
infeksi.
• Konsanguinitas pada orangtua (atau kakek-nenek)
• Penyakit autoimun atau keganasan hematologis pada
beberapa anggota keluarga.

Pendekatan diagnosis penyakit imunodefisiensi primer


Untuk menegakkan diagnosis PIP, maka langkah pertama adalah melakukan
anamnesis riwayat penyakit.Kumpulkan data mengenai jenis infeksi yang pernah
dialami pasien dan juga patogennya.Telusuri riwayat penyakit keluarga yang
mengalami infeksi berulang, penyakit autoimun, atau keganasan. Lakukan
pemeriksaan fisis yang menyeluruh untuk mencari kelainan fisik yang terjadi.16
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan bertahap seperti pada Tabel 5.17
Tahapan ini adalah tahapan yang cukup sederhana untuk diikuti.Walaupun
demikian, pemeriksaan yang tersedia di Indonesia terbatas, namun tetap dapat

5
Infeksi Berulang: Kunci Diagnosis Penyakit Imunodefisiensi Primer

menjadi langkah awal pemeriksaan PIP.Mengingat angka kejadian infeksi HIV


di Indonesia masih cukup tinggi, maka skrining HIV tetap harus dilakukan
pada tahap pertama.

Tabel 4. Patogen dan kemungkinan jenis PIP2


Patogen PIP
Bakteri
• Bakteri berkapsul, gram positif: Streptococcus Imunodefisiensi antibodi, CVID, WAS
pneumonia, H. influenza
• Staphylococcus CGD, neutropenia, LAD, HIES
• Meningococcus Defisiensi komplemen
• Gram negatif: E.coli, Pseudomonas aeruginosa, SCID, neutropenia, CGD, LAD, agamaglobulinemia
Klebsiella sp, Salmonella
• Nocardia, Burkholderia sp CGD
• Mycobacteria SCID, CGD, defisiensi CD40 ligan
Virus
• Cytomegalovirus atau adenovirus SCID, WAS
• Enterovirus SCID, agamaglobulinemia
• Vaccine-associated poliomyelitis (vaksin polio oral) SCID, agamaglobulinemia
Jamur
• Pneumocystis jiroveci SCID, CVID, WAS
• Kandidiasis mukokutaneus kronik SCID, neutropenia kongenital, HIES
• Kandidiasis invasif, aspergilosis SCID, HIES, CGD, LAD
• Penicilium marneffei SCID
• Histoplasma capsulatum HIES
Parasit
• Giardia Agamaglobulinemia, CVID, defisiensi IgA
• Crytosporidium Defisiensi CD40 ligand
Keterangan: SCID: severe combined immunodeficiency, CVID: Common variable immunodeficiency disorders,
WAS: Wiskott– Aldrich syndrome, CGD: chronic granulomatous diseases, HIES: hyper IgE syndrome, LAD: leu-
kocyte adhesion deficiency

Dalam melakukan evaluasi pemeriksaan penunjang pada PIP perlu


diperhatikan 5 hal seperti tercantum di bawah ini:18
1. Jumlah sel. Langkah pertama yang sangat informatif dan efektif adalah
pemeriksaan darah perifer lengkap dengan hitung jenis. Nilai yang harus
diperhatikan adalah lekosit, hitung neutrofil absolut dan hitung limfosit
absolut. Angka-angka ini harus dibandingkan dengan nilai normal sesuai
usianya untuk menentukan ada atau tidaknya neutropenia dan limfopenia.
Pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL) ini perlu dilakukan beberapa kali
apabila ditemukan kecurigaan terhadap imunodefisiensi. Hal ini untuk
membedakan neutropenia dan limfopenia pada anak imunokompeten
yang sedang mengalami infeksi dengan anak yang menderita neutropenia
berat kongenital (severe congenital neutropenia/SCN) atau neutropenia
siklik (cyclic neutropenia). Pada anak yang imunokompeten, tentunya
pemeriksaan hitung jenis akan menunjukkan hasil yang normal saat anak
sedang dalam kondisi sehat, sementara pada anak dengan SCN akan

6
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

mengalami neutropenia terus menerus. Evaluasi terhadap morfologi darah


tepi juga diperlukan. Sebagai contoh, pada sindrom Wiskott-Aldrich akan
ditemukan trombositopenia dengan trombosit yang kecil.18
Langkah berikutnya adalah melakukan analisis limfosit subset dengan
flowsitometri untuk memberikan data imunitas adaptif pasien.Pada
pemeriksaan ini dapat diketahui nilai sel CD4 (sel T helper), sel CD8
(sel T sitotoksik), limfosit B (CD19 atau CD20), dan sel NK (CD16 atau
CD56).18

Tabel 5. Langkah pemeriksaan yang harus dilakukan pada kecurigaan PIP17


1. • Anamnesis, pemeriksaan fisis, status gizi
• Pemeriksaan darah tepi lengkap dengan hitung jenis leukosit
• Kadar imunogobulin kuantitatif Imunoglobulin (Ig)M, IgG, IgA, IgE dengan penilaian nilai normal
berdasarkan usia
2. • Respons antibodi spesifik (tetanus, difteri)*
• Respons terhadap vaksin pneumokokus (sebelum dan sesudah pemberian vaksin untuk pasien
dengan usia >3 tahun)**
• Analisis subkelas IgG*
3. • Uji kulit tetanus dan kandida***
• Pemeriksaan limfosit subset cluster of differentiation (CD)3/CD4/CD8/CD19/CD16/CD56
• Mononuclear lymphocyte proliferation studies (menggunakan stimulasi mitogen dan antigen)*
• Neutrophil oxidation burst (jika dibutuhkan)*
4. • Pemeriksaan komplemen CH50, C3, C4
• Pemeriksaan enzim (adenosine deaminase, purine nucleoside phosphorylase)*
• Phagocyte studies (surface glycoproteins, mobility, phagocytosis) *
• Pemeriksaan toksisitas sel natural killer (NK) *
• Pemeriksaan komplemen lanjutan AH50*
• Neo antigen to test antibody production*
• Pemeriksaan molekul sitoplasma dan molekul permukaan*
• Cytokine receptor studies*
• Pemeriksaan genetik*
Keterangan: * : tidak tersedia di Indonesia; ** : tersedia di Indonesia, terbatas di laboratorium penelitian, ***:
tidak tersedia di Indonesia, bisa digantikan dengan uji tuberkulin

2. Fungsi sel
Pada beberapa penyakit PID, walaupun jumlah sel normal, namun
fungsinya tidak optimal.Fungsi sel T dapat dinilai dengan cara in vivo
maupun in vitro.Cara in vivo adalah dengan menilai reaksi hipersensitivitas
tipe lambat misalnya dengan antigen Candida.Pemeriksaan dihydrorhodamine
(DHR) adalah salah satu cara menilai fungsi neutrofil (neutrophil oxidative
burst)secara in vitro dan merupakan salah satu langkah diagnosis penyakit
granuloma kronik.Pemeriksaan ini menggantikan pemeriksaan nitroblue
tetrazolium (NBT) dalam penilaian fungsi neutrofil karena nilai sensitivitas
yang lebih tinggi.Pemeriksaan fungsi neutrofil ini sangat bergantung pada
kestabilan sampel darah. Pemeriksaan DHR harus diperiksa dalam waktu
48 jam sesudah sampel darah diambil.18

7
Infeksi Berulang: Kunci Diagnosis Penyakit Imunodefisiensi Primer

3. Kadar antibodi
Penilaian imunoglobulin (Ig) baik IgG, IgA, IgM, dan IgE harus dilakukan
apabila terdapat kecurigaan terhadap gangguan imunitas humoral.Penilaian
lebih lanjut dapat dilakukan apabila diperlukan untuk evaluasi sub-kelas
IgG, yaitu IgG1, IgG2, IgG3, dan IgG4. 18

Tata laksana PIP


Tata laksana PIP harus disesuaikan dengan kelainan yang terjadi.Tata
laksana PIP cukup kompleks dan memerlukan biaya yang cukup besar.
Pada kelainan dengan defisiensi antibodi, maka imunoglobulin harus
diberikan secara teratur.Imunoglobulin dapat diberikan secara subkutan
atau intravena.Sediaan yang tersedia di Indonesia adalah sediaan
immunoglobulin intravena (IVIG).Pemberian IVIG diberikan tiap 3-4
minggu seumur hidup pada pasien dengan defisiensi antibodi.Pada pasien
dengan SCID, dapat diberikan imunoglobulin sebelum terapi definitif
(transplantasi sumsum tulang/sel punca hematopoetik) dapat dilakukan.
Pemberian profilaksis antibiotik dan anti-jamur dapat diberikan pada PIP
yang tidak memiliki tata laksana spesifik.14

Tabel 6. Rentang nilai normal imunglobulin berdasarkan usia (mg/dL)


Usia IgG IgA IgM
0-2 minggu 650-1260 <16 3-24
0,5-4 bulan 260-780 6-57 10-55
4-6 bulan 220-1130 8-90 7-65
6-24 bulan 260-1520 16-110 10-120
2-6 tahun 430-1340 19-220 21-180
6-16 tahun 520-1560 54-360 13-240
Dewasa 700-1600 70-400 40-230

4. Fungsi antibodi
Fungsi antibodi dinilai dengan cara pengukuran titer antibodi pasca
vaksinasi.Beberapa jenis vaksinasi yang dapat dinilai responsnya adalah
difteri, tetanus, pneumokokus, atau campak.Penilaian ini dapat dilakukan
minimal 4 minggu sesudah vaksinasi dilakukan. 18

5. Penilaian komplemen
Pemeriksaan komplemen baik C3, C4, dan CH50 harus dilakukan pada
pasien dengan kecurigaan PIP apabila didapatkan jumlah dan fungsi lekosit,
limfosit dan antibodi normal. 18

8
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

Simpulan
Penyakit imunodefisiensi primer belum banyak terdiagnosis di Indonesia.
Kewaspadaan dokter terhadap PIP harus ditingkatkan.Sepuluh tanda peringatan
PIP dari Jeffry Modell Foundation dapat digunakan sebagai awal kecurigaan
terhadap PIP.Beberapa kondisi yang dapat mengarahkan kecurigaan terhadap
PIP adalah infeksi yang berulang atau berat, infeksi oportunistik, gagal tumbuh,
adanya efek samping imunisasi yang berat, dan riwayat PIP pada keluarga.
Pemeriksaan penunjang di Indonesia terkait PIP terbatas, namun tetap dapat
digunakan sebagai langkah awal pemeriksaan untuk diagnosis PIP.

Daftar pustaka
1. Aghamohammadi A, Abolhassani H, Mohammadinejad P, Rezaei N. The
approach to children with recurrent infections. Iran J Allergy Asthma Immunol.
2012;11:89-109.
2. Lee PPW, Lau YL. Endemic infections in Southeast Asia provide new insights
to the phenotypic spectrum of primary immunodeficiency disorders. Asian Pac J
Allergy Immunol. 2013;31:217-26.
3. Al-Herz, Bousfiha A, Casanova JL, Chatila T, Conley ME, Cunningham-Rundles
C, et al. Primary immunodeficiency diseases: an update on the classification from
the International Union of Immunological Societies Expert Committee for Primary
Immunodeficiency. Front Immunol. 2014;5:162.
4. Bonilla FA, Khan DA, Ballas ZK, Chinen J, Frank MM, Hsu JT, et al. Practice
parameter for the diagnosis and management of primary immunodeficiency.
JAllergy Clin Immunol. 2015;136:1186-205.
5. Costa-Carvalho BT, Grumach AS, Franco JLF, Espinosa-Rosales FJ, Leiva LE, King
A, et al. Attending to warning signs of primary immunodeficiency diseases across
the range of clinical practice. J Clin Immunol. 2014;34: 10-22.
6. Modell V, Gee B, Lewis DB, Orange JS, Roifman CM, Routes JM, et al. Global
study of primary immunodeficiency diseases (PI) - diagnosis, treatment, and
economic impact: an updated report from the Jeffrey Modell Foundation. Immunol
Res. 2011;51:61-70.
7. Al-Hammadi S, Al-Reyami E, Al-Remeithi S, Al-Zaabi K, Al-Zir R, Al-Sagban H, et
al. Attentiveness of pediatricians to primary immunodeficiency disorders. BMC
Research Notes. 2012;5:393.
8. Gathmann B, Grimbacher B, Beaute J, Dudoit Y, Mahlaoui N, Fischer
A, et al. The European internet-based patient and research database for
primary immunodeficiencies: results 2006-2008. Clin Exp Immunol. 2009;
157(Suppl.1):3-11.
9. Boyle JM, Buckley RH. Population prevalence of diagnosed primary
immunodeficiency diseases in the United States. J Clin Immunol. 2007;27:497-502.
10. Esser M. Primary immunodeficiency - missed opportunities and treatment
challenges. Curr Allergy Clin Immunol. 2012;25:184-8.

9
Infeksi Berulang: Kunci Diagnosis Penyakit Imunodefisiensi Primer

11. Ishimura M, Takada H, Doi T, Imai K, Sasahara Y, Kanegane H, et al. Nationwide


survey of patients with primary immunodeficiency disease in Japan. J Clin
immunol. 2011;31:968-76.
12. Wang LL, Jin YY, Hao YQ, Wang JJ, Yao CM, Wang X. Distribution and clinical
features of immunodeficiency diseases in Chinese children (2004-2009). J Clin
Immunol. 2011;31:297-308.
13. Rhim JW, Kim KH, Kim DS, Kim BS, Kim JS, Kim CH, et al. Prevalence of primary
immunodeficiency in Korea. J Korean Med Sci. 2012;27:788-93.
14. Chapel H, Prevot J, Gaspar HB, Espanol T, Bonilla FA, Solis L, et al. Primary
immune deficiencies-principles of care. Front Immunol. 2014;5:627.
15. Subbarayan A, Colarusso G, Hughes SM, Gennery AR, Slatter M, Cant AJ, et al.
Clinical features that identify children with primary immunodeficiency diseases.
Pediatrics. 2011;127:810-6.
16. De Vries E. Patient-centred screening for primary immunodeficiency, a multi-
stage diagnostic protocol designed for non-immunologist: 2011 update. Clin Exp
Immunol. 2011;167:108-19.
17. Four stages of testing for primary immunodeficiency [cited 15 Mar 2016]. Diunduh
dari: URL:http://downloads.info4pi.org/pdfs/4StagesFINAL.pdf.
18. Varadhi A, Hageman JR, Yu KOA. The ‘five fingers’ of the diagnostic evaluation
for suspected immunodeficiency. Pediatr Ann. 2013;42:210-5.

10
Ensefalitis pada Anak:
Infeksi Versus Autoimun
Setyo Handryastuti

Tujuan:
1. Peserta dapat membedakan antara ensefalitis infeksi, ensefalitis pasca-
infeksi dan ensefalitis autoimun.
2. Peserta dapat menegakkan diagnosis dan memberikan tatalaksana
pada ensefalitis infeksi dan ensefalitis pasca infeksi.
3. Peserta dapat melakukan rujukan kasus ensefalitis autoimun dengan
tepat.

Ensefalitis atau radang otak yang selama ini kita kenal adalah suatu proses
inflamasi yang disebabkan invasi langsung ke jaringan otak akibat infeksi kuman
patogen seperti virus, bakteri dan parasit. Ensefalitis tersebut adalah bentuk akut
atau disebut sebagai ensefalitis primer, dengan gejala klasik seperti tanda infeksi
akut, defisit neurologi dan peningkatan tekanan inrakranial.1 Ensefalitis akut
merupakan suatu kedaruratan karena dapat menyebabkan kematian dan gejala
sisa yang berat. Setelah itu dikenal bentuk lain dari ensefalitis, yaitu ensefalitis
sekunder/para-infectious/post-infectious encephalitis.1Ensefalitis bentuk ini bukan
akibat infeksi kuman patogen, tetapi karena proses inflamasi yang dimediasi
oleh reaksi autoimun akibat penyakit akut atau kronik, seperti acute disseminated
encephalomyelitis (ADEM), serebral lupus dan sindrom paraneoplastik.1,2 Selain
itu dikenal ensefalitis tersier yang disebabkan kuman sifilis dan virus campak
dengan manifestasi gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang bersifat progresif
lambat.2
Selain bentuk-bentuk ensefalitis diatas, terdapat bentuk ensefalitis lain yang
tidak dapat ditentukan etiologi kuman patogen atau penyakit yang mendasari.
Penelitian terbaru menunjukkan pada ensefalitis jenis ini ditemukan antibodi
terhadap protein neuron. Antibodi terhadap reseptor target dan protein
permukaan sel ini mempengaruhi transmisi sinaps, plastisitas, eksitabilitas
neuron dan berkaitan dengan sekumpulan gejala neurologis yang berat dan
berespons baik dengan imunoterapi.3 Gejala yang timbul bervariasi, tergantung
dari jenis antibodi, dengan fenotip yang menyerupai antigen yang telah berubah
secara farmakologi maupun genetik. Ensefalitis inilah yang disebut sebagai
ensefalitis autoimun.4

11
Ensefalitis pada Anak: Infeksi Versus Autoimun

Sejawat dokter anak dan dokter umum mungkin belum mengenal


ensefalitis autoimun ini, sehingga makalah ini akan membahas bagaimana
membedakan ensefalitis infeksi, para-infeksi serta ensefalitis autoimun.

Ensefalitis infeksi
Definisi
Ensefalitis adalah inflamasi jaringan otak dengan manifestasi klinik demam, sakit
kepala, mual/muntah dan gangguan neurologi seperti penurunan kesadaran,
perubahan perilaku/kepribadian, gangguan motorik dan sensorik, bicara,
gangguan gerak dan kejang. Ensefalitis ini bersifat akut, suatu kedaruratan dan
dapat mengancam nyawa. 5,6

Etiologi
Virus merupakan etiologi terbanyak, penyebab lain bakteri, jamur dan parasit.
Suatu penelitian pada 1570 pasien ensefalitis yang menjalani pemeriksaan
mikrobiologi, 63% tidak ditemukan kuman penyebab, probable andconfirmed
infection teridentifikasi pada 16% pasien (69% virus, 20% bakteri, 7% prion, 3%
parasit dan 1% jamur), 13% possible infection, non infeksi sebanyak 8%.7 Virus
terbanyak sebagai etiologi adalah golongan enterovirus (poliovirus, echovirus,
enterovirus, coxsackie A dan B), paraechovirus, herpes simplex virus (HSV) tipe 1
dan 2, golongan lain virus herpes (Epstein-Barr, varisela-zoster, sitmegalovirus,
human herpes virus 6 (HHV-6), dan golongan arbovirus (La Crosse, West Nile, St.
Louis, Eastern and Western equine encephalitis virus, Colorado tick fever, Yelow fever).
Penyebab lain yang lebih jarang adalah influenza, virus Nipah, rabies dan
Japanese encephalitis yangtergantung dari geografi. 8

Patogenesis
Virus langsung menginvasi jaringan otak pada ensefalitis virus akut, yang
terbukti dari hasil kultur virus jaringan otak yang positif atau pada pemeriksaan
histologi. Selain itu infeksi dapat terjadi perkontinuitatum dari meningitis virus,
hematogen (viremia) atau penyebaran secara retrograde melalui saraf perifer
(rabies dan virus herpes simpleks)9

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat, manifestasi klinis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Riwayat kontak/gigitan unggas,nyamuk,
kelelawar, kucing. anjingterdapat pada infeksi arbovirus dan rabies.Infeksi

12
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

cytomegalovirus(CMV), Epstein-Barr virus (EBV), Human immunodeficiency virus


(HIV),diperoleh melalui transfusi darah/transplantasi organ, pasien dengan
imunodefisiensi mudah terkena virus CMV, enterovirus, HHV6, HSV dan
varisela zoster.Riwayat tidak mendapat imunisasi measles-mumps-rubella (MMR),
varisela, polio dan Japanese encephalitis menyebabkan seorang anak berisiko
terkena ensefalitis.5,9
Manifestasi klinis bervariasi tergantung dari lokasi SSP yang terkena,
etiologi dan faktor pejamu. Neonatus dan bayi memperlihatkan gejalaseperti
demam, kejang, malas minum, iritabel, letargi, fontanel membonjol, penurunan
kesadaran serta gangguan perfusi pada bayi yang disertai infeksi virus sistemik.
Pada anak dan remaja gejala ensefalitis dapat berupa demam, gejala psikiatri,
gangguan emosi, gangguan gerak, ataksia, kejang, peningkatan tekanan
intrakranial, penurunan kesadaran sampai koma serta defisit neurolgis seperti
hemiparesis dan paresis saraf kranial.9,10
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan fisik umum dan neurologis
meliputi penilaian kesadaran, motorik, sensorik, saraf kranial, fungsi serebelum,
refleks fisiologis dan patologis. Pemeriksaan fisik dapat mengarahkan kita
pada etiologi seperti ruam makulopapular pada morbili, lesi vesikel pada
varisela, HSV, enterovirus(hand-foot-mouth disease), defisit neurologi fokal seperti
hemiparesis, kejang fokal, gangguan perilaku,afasia pada HSV, ataksia, disartria
dan diplopia pada virus rabies dan Japanese encephalitis, serta penurunan
kesadaran yang bermakna pada arbovirus dan enterovirus.9,10
Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) merupakan pemeriksaan yang
harus dilakukan meliputi jumlah sel, hitung jenis sel, glukosa, protein,
polymerase chain reaction (PCR) virus sesuai kemampuan diagnostik masing-masing
laboratorium (HSV, enterovirus, HHV6, CMV,enterovirus dll).5,6Ditemukan
pleiositosis pada pemeriksaan CSS dengan jumlah sel berkisar anatar 0-500
sel/ul dengan predominan limfositer, pada fase awal (24-48 jam pertama )
ditemukan predominan netrofil. Tidak ditemukannya peningkatan jumlah
sel tidak menyingkirkan diagnosis ensefalitis, terutama pada fase awal penyakit
dan pada pasien imunokompromais. Sel darah merah dapat ditemukan pada
ensefalitis herpes simpleks setelah kemungkinan traumatic-tap disingkirkan.
Ditemukan sedikit peningkatan kadar protein CSS dan kadar glukosa yang
normal (> 50% gula darah serum). Pemeriksaan hematologi rutin, glukosa,
elektrolit, fungsi hati dan ginjal juga diperlukan.9,10
Pemeriksaan EEG tidak rutin dilakukan karena menunjukkan hasil yang
tidak spesifik berupa perlambatan umum. Pemeriksaan EEG dapat dikerjakan
untuk mendeteksi kejang non-konvulsi dan pada kecurigaan ensfealitis herpes
simpleks dimana ditemukan gambaran asimetri atau periodic lateralizing
epileptiform discharges (PLEDS) yang tampak di lobus temporalis.11,12

13
Ensefalitis pada Anak: Infeksi Versus Autoimun

Pemeriksaan pencitraan pada ensefalitis lebih diutamakan pemeriksaan


Magnetic Resonance Imaging (MRI) dibandingkan Computed Tomography Scan
(CT-scan), kecuali tidak tersedia pemeriksaan MRI. Pemeriksaan MRI dapat
menujukkan hasil yang normal, edema otak dan inflamasi pada korteks serebri,
gray-white matter junction, talamus dan ganglia basal.7,9 Pemeriksaan MRI
dapat menuntun kita kepada etiologi seperti : (1) Inflamasi di lobus temporal
pada HSV, (2) Hipodensitas pada T1, hiperdensitas pada T2 dan gambaran
Fluid-attenated inversion recovery (FLAIR) di talamus, ganglia basal dan midbrain
terdapat pada flavivirus, (3) Hiperdensitas di T2 dan FLAIR di midbrain, pons
dan medulla terdapat pada enterovirus 71, (4) Abnormalitas di talamus atau
ganglia basal terdapat pada virus influenza, parainfluenza, adenovirus dan
respiratory syncytial virus (RSV), (5) Kalsifikasi pada infeksi kongenital CMV dan
toksoplasma.13,14

Tata laksana
Terapi suportif adalah aspek terpenting pada tatalaksana ensefalitis akut, yang
meliputi : (1) stabilisasi airway, breathing, circulation, (2) Monitoring tanda vital,
keseimbangan cairan dan elektrolit serta nutrisi yang adekuat,(3) Tatalaksana
peningkatan tekanan intrakranial dengan elevasi kepala, pemberian cairan
hipertonis seperti manitol 20% atau NaCl 3%, meminimalkan tindakan invasif,
(4) Tatalaksana kejang dan hipertermia.15
Terapi empirisasiklovir dapat diberikan jika terdapat kecurigaan ensefalitis
herpes simpleks sebagai penyebab sambil menunggu hasil PCR HSVdari CSS.
Dosis yang dberikan adalah: (1) Neonatus dan bayi berusia < 3 bulan :20 mg/
kgBB/8 jam IV, (2) Usia >3 bulan sampai < 12 tahun : 10-15 mg/kgBB/8 jam
IV, (3) > 12 tahun : 10 mg/kgBB/8 jam IV. Jika terbukti virus herpes simpeks
sebagai penyebab maka terapi dilanjutkan sampai 14-21 hari.16Jika tidak terbukti,
maka terapi asiklovir dihentikan. Asiklovir dapat diberikan pada ensefalitis
dengan virus varisela-zooster dengan lama pemberian 10-14 hari. Ensefalitis
HHV-6 dapat diterapi dengan gansiklovir atau foskarnet, sedangkan pada
ensefalitis morbili dapat dipertimbangkan pemberian ribavirin.

Ensefalitis para-infeksi
Definisi
Acute disseminated encephalomyelitis (ADEM) adalah penyakit demielinisasi SSP
akibat reaksi imunologis yang mengenai otak dan medula spinalis.2,17

14
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

Patogenesis
Patogenesis ADEM adalah akibat reaksi imunologis pasca infeksi virus akut atau
imunisasi, 2 sampi 21 hari sebelum awitan tanda dan gejala ADEM. Bagian yang
terkena adalah substansia alba(white matter).18Pada keadaan ini virus tidak lagi
ditemukan di otak. Infeksi virus yang berkaitan adalah infeksi gastrointestinal
atau respirasi, kadang dapat diidentifikasi virus yang mendahului gejala ADEM
yaitu virus Ebstein-Barr, sitomegalovirus, HSV dan mikoplasma. Imunisasi yang
kerap berkaitan denagn ADEM adalah vaksin rabies, vaksin lain lebih jarang
yaitu DTP, campak, Japanese B, influenza, rubela, varisela, pneumokokus dan
poliomielitis.19

Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan adanya riwayat infeksi virus akut atau
imunisasi dalam jangka waktu 2 sampai 21 hari sebelum timbul gejala.
Manifestasi klinis ensefalopati diawali dengan letargi, sakit kepala dan muntah.
Setelah itu diikuti gejala neurologi seperti defisit neurologi fokal, penurunan
kesadaran atau keduanya.18 Neuritis optika yang ditandai dengan gangguan
penglihatan, atau mielitis transversa yang ditandai oleh kelumpuhan motorik,
gangguan sensorik atau otonom dapat mendahului gejala ensefalopati.
Mortalitas cukup tinggi pada minggu pertama. Beberapa anak dapat mengalami
episode relaps sehingga penyakit mempunyai perjalanan yang mirip dengan
sklerosis multipel.18
Pemeriksaan neurologi menunjukkan tanda dan gejala lesi upper motor
neuron serta gangguan penglihatan jika disertai neuritis optika. Pemeriksaan
CSS memperlihatkan pleiositosis ringan dengan hitung jenis limfositer serta
peningkatan kadar protein. Myelin basic protein dan immunoglobulin oligoclonal
band dapat ditemukan pada CSS, meskipun tidak spesifik untuk ADEM karena
proses inflamasi SSP lain juga menunjukkan hasil yang sama.15,18
Pemeriksaan CT scan memperlihatkan abnormalitas berupa hipodensitas
pada lebih dari separuh pasien, akan tetapi CT-scan kurang sensitif dibandingkan
MRI dalam mendeteksi jumlah dan luasnya lesi. Pemeriksaan MRI T2 dan
FLAIR adalah petunjuk diagnosis yang terpenting, dimana ditemukan
peningkatan intensitas signal di white matter. Lesi dapat ditemukan multipel,
asimetrik atau meluas di seluruh otak. Lesi spesifik yang ditemukan pada 90%
pasien anak adalah di perbatasan antara white matter dan gray matter, di white
matter,talamus dan ganglia basal (30-40%), batang otak (45-55%), serebelum
(30-40%) dan medula spinalis (16-28%).20

15
Ensefalitis pada Anak: Infeksi Versus Autoimun

Tata laksana
Terapi dengan metil prednisolon dosis tinggi merupakan pilihan terapi.
Dosis diberikan 20-30 mg/kgBB /hari IV selama 3-5 hari, untuk kemudian
diturunkan secara bertahap selama 4-6 minggu tergantung dari kondisi klinis.
Perbaikan dapat terjadi dalam beberapa jam sampai beberapa hari.21Jika terapi
kortikosteroid gagal, dapat diberikan intravena immunoglobulin (IVIG)dengan
dosis 2 gram/kgBB dosis tunggal atau terbagi dalam 3-5 hari. Kasus ADEM
yang berat dapat diberikan terapi: (1) Kombinasi kortikosteroid IV dan IVIG,
(2) Siklosporin, (3) Siklofosfamid , atau (4) Plasmaferesis.22

Ensefalitis Autoimun
Definisi
Ensefalitis autoimun adalah suatu proses infamasi di otak yang disebabkan
oleh antibodi terhadap protein neuron. Antibodi terhadap reseptor target
dan protein permukaan sel ini mempengaruhi transmisi sinaps, plastisitas,
eksitabilitas neuron dan berkaitan dengan sekumpulan gejala neurologis yang
berat dan berespons baik dengan imunoterapi.3
Ensefalitis autoimun adalah suatu diagnosis klinisyang sulit karena mirip
dengan penyakit autoimun lain serta ensefalitis infeksi dalam hal klinis,
laboratorium dan pencitraan. Pasien memperlihatkan gangguan memori dan
kognitif selama berhari-hari sampai berminggu-minggu. Pendekatan diagnosis
untuk menyingkirkan infeksi dan bermacam pemeriksaan antibodi neuronal
akan menghasilkan diagnosis yang tepat. 23

Etiologi dan patogenesis


Ensefalitis autoimun terdiri dari 2 kelompok dengan patogenesis yang berbeda.
Kelompok pertama adalah sindrom paraneoplastik yang berkaitan dengan
antibodi terhadap antigen intraselular yaitu anti-Hu. Kelompok ini berkaitan
erat dengan kanker dan melibatkan respons sel Tdengan target neuron.
Prognosis pada kelompok ini lebih buruk karena mekanisme kematian neuron
yang ireversibel, keparahan kanker dan kesulitan mengontrol respons imun.
Antibodi pada kelompok ini merupakan penanda tumor (tumor marker) dan
antibodi itu sendiri tidak bersifat patogen secara langsung.24
Kelompok kedua disebabkan reaksi autoantibodi terhadap protein
permukaan sel atau reseptor sinaps yang berperan penting dalam fungsi
neuron, termasuk transmisi sinaps atau plastisitas (-amino-3-hydroxy-5-methyl-
4-isoxazolepropionic acid/AMPA, Gamma amino butyric acid/GABA, metabotropic
glutamate receptor/mGluR5, mGluR1, N-methyl-D=Aspartate/NMDA, dopamin,

16
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

reseptor glisin, leusine-rich glioma inactivated 1/LGI1),kelompok kanal ion


(contactin associated protein-like 2/Caspr2) dan modulasi kanal kalium dan
integrasi sinyal somatodendrit.24Antibodi pada kelompok ini secara langsung
bersifat patogenik, menyebabkan efek yang reversibel terhadap fungsi sinaps di
neuron dengan efek kematian neuron yang lebih minim.23

Kriteria diagnostik untuk kemungkinan (possible) ensefalitis


autoimun25
Diagnosis dapat ditegakkan jika ditemukan ketiga kriteria di bawah ini:
 Awitan subakut (progresif cepat dalam waktu kurang dari 3 bulan) dengan
gejala defisit memori(ingatan jangka pendek), gangguan status mental
(gangguan kesadaran, letargi atau perubahan kepribadian), atau gejala
psikistari.
 Minimal satu gejala berikut: defisit neurologi fokal baru, kejang yang tidak
dapat dijelaskan penyebabnya, pleiositosis pada CSS (sel darah merah >
5/mm3)
 Gambaran MRI terdapat kecurigaan ensefalitis

Ensefalitis autoimun yang ditemukan pada anak


1. Ensefalitis reseptor anti-NMDAR
Jenis ini merupakan ensefalitis autoimun terbanyak pada anak dan remaja,
40% berusia kurang dari 18 tahun. Terdapat gejala prodromal berupa
demam, sakit kepala atau gejala infeksi virus yang luput dari perhatian.
Dalam bebrapa hari sampai minggu, gejala ini diikuti awitan problem
psikiatri, perilaku termasuk kecemasan, perilaku aneh, pikiran paranoid,
waham kebesaran/agama, dan insomnia yang berlanjut menjadi penurunan
kesadaran, kejang, diskinesia, gerak koreo-atetoid dan ketidakstabilan pola
napas dan fungsi otonom.26
Anak berusia kurang dari 12 tahun akan memperlihatkan gejala
perilaku yang abnormal, kejang dan gangguan gerak. Perubahan perilaku
termasuk temper-tantrum, agitasi/gaduh gelisah, agresif dan perubahan
mood/kepribadian. Beberapa kasus terdapat gejala berkurangnya kecepatan
bicara, mutism, atau ekolalia.27
Apapun manifestasi awal, lebih dari 90% pasien akan mengalami
minimal 3 gejala dalam waktu 1 bulan sejak awitan, yaitu : gejala psikiatri,
gangguan memori, gangguan bicara, kejang, diskinesia, penurunan
kesadaran, instabilitas otonom atau hipoventilasi. Gangguan otonom lebih
jarang pada anak-anak, yaitu inkontinensia urin, takikardi, hipertensi,
hipertermia. Hampir semua pasien akan mengalami gangguan pola tidur,
insomnia atau hipersomnia.26,27

17
Ensefalitis pada Anak: Infeksi Versus Autoimun

Pemeriksaan MRI kepala pada 100 pasien anak dan dewasa, 55%
menunjukkan hasil abnormal berupa abnormalitas signal T2 di korteks
dan subkorteks, kadang-kadang ditemukan penyangatan di meningeal dan
korteks. Gambaran yang sama dapat diemukan di serebelum dan batang
otak meskipun tidak berkorelasi dengan klinis. Penelitian yang melibatkan
32 pasien anak, 31% memperlihatkan abnormalitas pada pemeriksaan
MRI.28
Pemeriksaan CSS memperlihatkan abnormalitas pada 94% kasus
denagn gambaran pleiositosis limfositik, peningkatan kadar protein dan
oligoclonal bands. Pasien dengan gambaran CSS awal yang normal tetap
ditemukan oligoclonal bands, dan pemeriksaan CSS ulang akan menujukkan
pleiositosis.27
Hampir seluruh pasien menunjukkan gambaran EEG yang abnormal
berupa perlambatan umum dengan gelombang delta-teta, beberapa pasien
menunjukkan perlambatan fokal. Pemeriksaan EEG juga diperlukan
untukmendeteksi kejang elektrik yaitu kejang yang tidak tampak secara
klinis yang terdeteksi pada 60% pasien.29
Diagnosis pasti dengan ditemukannya antibodi reseptor NMDA di
serum dan CSS. Kadar antibodi di CSS lebih berkorelasi dengan gejala
klinis dibandingkan kadar antibodi serum. Pada pasien wanita, pemeriksaan
terhadap teratoma ovarium perlu dilakukan mengingat 30% ditemukan
pada anak berusia di bawah 18 tahun dan 9% pada anak dibawah usia 14
tahun. Kerap ditemukan pada pasien yang menunjukan perbaikan klinis,
tetap ditemukan kadar antibodi yang tinggi dalam serum dan CSS. Hal
ini menunjukkan kemungkinan relaps yang ditemukan pada 20% kasus.30

Kriteria diagnostik untuk ensefalitis anti NMDAR(probable)25


Diagnosis dapat ditegakkan jika ditemukan semua gejala di bawah ini ;
1. Awitan cepat (kurang dari 3 bulan) minimal 4 dari 6 kelompok mayor
gejala-gejala berikut ini :
a. Gangguan psikiatri atau kognitif
b. Gangguan bicara (bicara tertahan, menurunnya kemampuan
verbal, mutism)
c. Kejang
d. Gangguan gerak, diskinesia, rigiditas/postur abnormal
e. Penurunan kesadaran
f. Disfungsi otonom atau hipoventilasi sentral
2. Minimal satu dari pemeriksaan penunjang di bawah ini :

18
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

a. EEG abnormal (perlambatan fokal atau umum atau aktifitas yang


disorganised, aktifitas epileptik atau ditemukan gambaran delta
brush)
b. Pemeriksaan CSS menunjukkan pleiositosis dan oligoclonal bands
3. Kritera diagnostik lain telah dieksklusi
2. Ensefalitis limbik

Ensfealitis yang melibatkan sistem limbik termasuk lobus temporal


medial, amigdala dan girus singulata. Manifetasi klinis berupa kejang,
gangguan memori dan perilaku. Pada anak ensefalitis jenis ini kerap
berkaitan denagn tumor. Suatu penelitian multisenter di Eropa menemukan
10 pasien berusia kurang dari 18 tahun, 8 diantaranya mempunyai antibodi
terhadap protein neuron (1 anti-Hu, 1Ma2, glutamic acid decarboxylase 65
(GAD65), 2 mempunyai antibodi voltage-gated potassium channel-protein complex
(VGPCK), 2 mempunyai antibodi GAD65 dan VGPCK). Pasien dengan
anti-Hu berusia 3 tahun menderita ganglioneuroblastoma. Penelitian lain
menemukan antibodi GAD65 pada seorang anak perempuan berusia 16
tahun dengan ensefalitis limbik dengan berbagai macam defisiensi imun.
Penelitian lain menemukan seluruh (5 orang anak) berusia kurang dari
16 tahun dengan ensefalitis limbik semuanya juga mengalami sindrom
paraneoplastik (2 limfoma Hodgkin, 1 leukemia, 1 neuroblastoma dan 1
small-cell carcinoma ovarium).27

Diagnostik kriteria untuk ensefalitis limbik (definite)25


Diagnosis dapat ditegakkan jika ditemukan empat kriteria di bawah ini :
1. Awitan subakut (progresif cepat dalam waktu kurang dari 3 bulan)
dengan gejala: defisit memori, kejang, gejala psikiatri yang merupakan
gejala keterlibatan sistem limbik.
2. Abnormalitas otak bilateral pada pemeriksaan MRI T2dan FLAIR di
daerah lobus temporal medial
3. Minimal satu gejala berikut :
a. Pleiositosis CSS lekosit > 5 sel/mm3
b. Gambaran EEG epileptik atau aktifitas gelombang lambat di lobus
temporal.
4. Diagnosis lain dapat disingkirkan

3. Ensefalitis Rasmussen
Ensefalitis autoimun dengan gejala kejang parsial yang progresif dan

19
Ensefalitis pada Anak: Infeksi Versus Autoimun

refrakter, penurunan kognitif dan defisit fokal serta atrofi salah satu
hemisfer otak secara bertahap. Terjadi pada anak berusia 6-8 tahun.
Penyebab masih belum diketahui dengan pasti, terdapat beberapa antibodi
yang terlibat seperti antibodi GluR3 dan anti munc 18-1, suatu protein
yang terlibat dalam pelepasan neurotransmiter.27
Terapi dengan metil prednisolon dosis tinggi dan IVIG dapet
mengurangi gejala pada stadium awal penyakit. Hal ini menunjang
teori proses autoimun sebagai patogenesis. Rituksimab dan -interferon
intraventrikular juga efektif pada beberapa kasus. Takrolimus juga pada
beberapa kasus dikatakan efektif untuk perbaikan fungsi neurologis dan
memperlambat hemiatrofi serebri meskipun tidak memberikan perbaikan
pada kejang. Terapi definitif adalah adalah hemisferektomi fungsional yang
bertujuan memutus koneksi dengan hemisfer otak yang terkena.31,32

4. Ensefalitis yang berkaitan dengan epilepsi atau status epileptikus


Terdapatnya temuanterdapat respons yang baik terhadap imunoterapi pada
kasus ensefalitis dan kejang yang refrakter memperkuat dugaan adanya dasar
autoimun sebagai patogenesis. Akan tetapi belum terdapat bukti yang jelas
antibodi mana yang terkait. Suatu penelitian terhadap 10 pasien dengan
ensefalitis dan status epileptikus memperlihatkan 4 pasien mempunyai
antibodi terhadap kompleks protein yang berkaitan denagn voltage-gated-
potassium chanel(pemeriksaan anti LGI1 dan Caspr2 negatif) tanpa identifikasi
antigen target. Hanya 1 dari 4 pasien berespons terhadap imunoterapi
menunjukkan bahwa antibodi tersebut melawan epitop intraselular atau
secara patogen tidak berkorelasi dengan penyakit. Gejala sisa adalah gangguan
kognitif, epilepsi lobus temporal dan sklerosis mesial temporal.27

5. Opsoklonus-mioklonus
Sindrom ini timbul pada dua tahun pertama kehidupan, dengan gejala
iritabel, ataksia, drop attack, mioklonus, tremor dan drooling/mengiler.
Gejala lain yang menyertai adalah menolak untuk duduk atau berjalan,
problem bicara, hipotonia dan opsoklonus yaitu gerakan mata yang cepat,
tidak beraturan ke segala arah tanpa interval sakadik. Minimal 50% pasien
menderita tumor, terbanyak neuroblastoma. Dugaan kearah automimun
karena perjalanan penyakit yang cepat disertai abnormalitas pada CSS
yang menunjukkan aktivasi sel B. Terdapat respons inkomplit terhadap
berbagai macam imunoterapi seperti kortikosteroid, IVIG, rituksimab
dan siklofosfamid. Antibodi terhadap protein neuron ditemukan pada
beberapa penelitian, meskipun identifikasi autoantigen spesifik belum
dapat ditentukan.27,33

20
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

Terapi memperbaiki gejala klinis, namn tetap ditemukan gejala


sisa yaitu problem perilaku, bahasa, kognitif pada sebagian besar pasien.
Problem bahasa meliputi kesulitan memilih kata, afasia ekspresif dan
disartria. Pada suatu penelitian dengan jumlah sampel yang besar, 79%
mengalami episode mengamuk, 65% perilaku menentang, 58% obsesif
kompulsif, 47% hiperaktif, 29% depresi dan 19% defisit atensi. Insomnia
dan respons abnormal terhadap nyeri juga ditemukan. Relaps terjadi pada
50% kasus, yang dipicu oleh infeksi atau penurunan dosis obat.33

6. Hipoventilasi sentral awitan lambat dengan gangguan hipotalamus


Suatu sindrom yang ditandai rapid-onset obesity, hypothalamic disfunction,
hypoventilation, autonomic dysregulation (ROHHAD). Terjadi pada anak dengan
perkembangan yang normal sampai usia2-4 tahun, kemudian terdapat
gejala hiperfagia, penambahan berat badan, perilaku abnormal (disinhibisi
sosial, impulsif, letargi, letupan euforia dan tertawa, gangguan konsentrasi
diikuti gejala disfungsi otonom(respons pupil abnormal, gangguan regulasi
suhu, gangguan motilitas gastrointestinal) serta hipoventilasi. Gangguan
hipotalamus termasuk hiperprolaktinemia, hipernatremia karena
adipsia, hipotiroidisme, hipersomnia, defisiensi hormon pertumbuhan,
hipogonadotropik-hipogonadism dan defisiensi glukokortikoid.
Ditemukan juga tumor sebagai penyakit dasar, berkisar antara 33-100%
(ganglioneuroma, neuroblastoma atau ganglioneuroblastoma). Mortalitas
sebesar 25% pasien dengan ROHHAD disebabkan hipoventilasi sentral.27,34

7. Ensefalopati Hashimoto
Pada kasus ini sindrom dan temuan imunologis tidak jelas, oleh karena
itu terminologi ensefalopati berkaitan denagn penyakit tiroid autoimun
lebih tepat. Manifestasi klinis tidak spesifik, meliputi gejala stroke, tremor,
mioklonus, afasia sementara, perilaku abnormal dan gangguan tidur,
halusinasi, ataksia dan kejang. Ditemukan peningkatan kadar protein
CSS dan perlambatan umum pada pemeriksaan EEG. Peemriksaan MRI
biasanya normal, kadang ditemukan abnormalitas di white matter dan
penyangatan meningeal yang berespons denagn terapi steroid. Diagnosis
pasti ditegakkan dengan ditemukannya antibodi tiroid peroksidase.35,36

Kriteria diagnostik untuk ensefalopati Hashimoto25


Diagnosis dapat ditegakkan jika terdapat enam kriteria di bawah ini :
1. Ensefalopati disertai kejang, mioklonus,halusinasi atau gejala stroke
2. Penyakit tiroid subklinis atau ringan (biasanya hipotiroid)

21
Ensefalitis pada Anak: Infeksi Versus Autoimun

3. Pemeriksaan MRI kepala normal atau abnormalitas non spesifik


4. Ditemukan antibodi dalam serum terhadap tiroid (tiroid peroksidase,
tiroglobulin)
5. Tidak ditemukan antibodi neuronal lain dalam CSS
6. Diagnosis lain sudah diekklusi

Tata laksana
Tatalaksana bertujuan mengeliminasi antibodi berdasarkan patogenitasnya.
Pasien diberikan imunoterapi lini pertamayaitu kortikosteroid, immunoglobulin
intravena, plasmaferesis atau kombinasi. Belum ada data cukup yang
menunjukkan satu terapi lebih baik dari yang lain. Imunoterapi lini pertama ini
kurang efektif untuk menurunkan titer antibodi intratekal sehingga tambahan
imunoterapi lain diperlukan. Suatu penelitian pada 577 pasien menunjukkan,
lebih dari separuh pasien yang memperoleh imunoterapi lini pertama dan
terapi terhadap tumor menunjukkan perbaikan dalam waktu 4 minggu, dan
hampir semua pasien ini memperlihatkan luaran yang baik selama 24 bulan
pengamatan.23
Pasien yang tidak berespons terhadap imunoterapi lini pertama,dapat
diberikan imunoterapi lini kedua dengan rituksimab atau siklofosfamid atau
keduanya. Pemberian imunoterapi lini kedua memberikan hasil yang lebih
baik dibandingkan tetap memberikan imunoterapi lini pertama atau tidak
memberikan apapaun.
Oleh karena itu, identifikasi dan tatalaksana terhadap tumor (jika ada)
dan pemberian segera imunoterapi lini kedua ketika imunoterapi lini pertama
tidak menunjukkan hasil merupakan pendekatan tatalaksana terbaik. 23

Simpulan
Jika ditemukan gejala ensefalitis dengan etiologi yang tidak jelas dalam arti
kemungkinan infeksi sudah dapat disingkirkan, ensefalitis autoimun patut
dipikirkan terutama jika gejala memburuk dengan cepat dalam beberapa hari
sampai minggu disertai gejala inflamasi pada CSS atau pencitraan serta respons
yang baik terhadap imunoterapi.

22
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

Daftar pustaka
1. Lewis P, Glaser CA. Encephalitis. Pediatr in Rev. 2005;26:353-63.
2. Falchek SI. Encephalitis in the pediatric population. Pediatrics in Rev. 2012;33:122-
33.
3. Lancaster E, Martinez-Hernandez E, Dalmau J. Encephalitis and antibodies to
synaptic and neuronal cell surface proteins. Neurology. 2011; 77:179–89.
4. Dalmau J, Gleichman AJ, Hughes EG. Anti-NMDA-receptor encephalitis: case
series and analysis of the effects of antibodies. Lancet Neurol. 2008; 7:1091–98.
5. Bronstein DE, Shields WD, Glaser CA. Encephalitis and meningoencephalitis.
Dalam: Cherry JD, Harrison GJ, Kaplan SL, penyunting. Feigin and Cherry’s
Textbook of Pediatric Infectious Disease. Edisi ke-7. Philadelphia: Elseviers
Saunders. 2014. h. 492-500.
6. Venkatesan A, Tunkel AR, Bloch KC. Case definitions, diagnostic algorithms, and
priorities in encephalitis: consensus statement of The International Encephalitis
consortium. Clin Infect Dis. 2013;57:1114-34.
7. Glasser CA, Honarmand S, Anderson LJ. Beyond viruses: clinical profiles and
etiologies associated with encephalitis. Clin Infect Dis. 2006;43:1565-75.
8. Hadarson HS. Acute viral encephalitis in children and adolescents:pathogenesis
and etiology. Diunduh dari : www.uptodate.com. Last updated April 23,2015.
9. Glaser C, Long SS. Encephalitis. Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober CG,
penyunting.Principles and practice of pediatric Infectious Diseases. Edisi ke-4.
Edinburgh:Elseviers Saunders. 2012.h.297-307.
10. Thompson C, Kneen R, Riordan A. Encephalitis in children. Arch Dis Child.
2012;97:150-7.
11. Gold JJ, Crawford JR, Glaser C. The role of continuous electroencehalography in
childhood encephalitis. Pediatr Neurol. 2014;50:318-25.
12. Lai CW, Gargasin ME. Electroencephalography in herpes simplex encephalitis. J
Clin Neurophysiol. 1988;5:87-95.
13. Tunkel AR, Glaser CA, Bloch KC. The management of encephalitis:clinical
practice guideline by The Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis.
20018;47:303-33.
14. Beattle GC, Glaser CA , Sheriff H. Encephalitis with thalamic and basal ganglia
abnormalities: etiologies, neuroimaging, and potential role of respiratory viruses.
Clin Infect Dis. 2013;56:835-30.
15. Taylor DA, Ashwal S. Impairment of consciousness and coma. Dalam : Swaiman
KF, Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF, penyunting. Swaiman’s pediatric
neurology pronciples and practice. 2012. Edisi ke-5. Philadelphia : Elseviers
Saunders.h.1062-86.
16. Kimberlin DW. Aciclovir dosing in the neonatal period and beyond. J Pediatr
Infect Dis Soc.2013;2:179-86.
17. Dale RC. Acute Diseminated encephalomyelitis. Semin Pediatr Infect Dis.
2003;14:90-5.
18. GM Fenichel. Altered states of consciousness. Clinical pediatric neurology A signs
and symptoms approach. Edisi ke-6. 2009. Philadelphia: Saunders Elsevier.h.49-78.

23
Ensefalitis pada Anak: Infeksi Versus Autoimun

19. Kleimann M, Brunquell AP. Acute disseminated encephalomyelitis: respons to


intravenous immunoglobulin. J Child Neurol.1995;10:481-3.
20. Dale RC, de Sousa C, ChongWK, Cox TC, Harding B, Neville BG. Acute
Diseminated encephalomyelitis,multiphasic diseminated encephalomyelitis and
multiple sclerosis in children. Brain.2000;123:2407-22.
21. Benneto L, Scolding N. Inflammatory/post-infectious encephalomyelitis. J Neurol
Neurosurg Psychiatry.2004;75:22-8.
22. Keegan M, Pineda AA, Mc Clelland RL, Darby CH, Rodriguez M, Weinshenker
BG. Plasma exchange for severe attacks of CNS demyelination:predictor of
response. Neurology. 2002;58:143-6.
23. Lancaster E. The diagnosis and treatment of autoimmune encephalitis. J Clin
Neurol. 2016;12:1-13.
24. Dalmau J, Rosenfeld MR. Autoimmune encephalitis update. Neuro Oncol.
2014;16:771-8.
25. Grauss F, Titulaer MJ, Balu R, Benseler S, Bien CG, Celluci T, dkk. A clinical
approach to diagnosis of autoimmune encephalitis. Diunduh dari :www.thelancet.
com/neurology April 2016.
26. Armangue T, Mar-Petit-Pedrol BS, Dalmau J. Autoimmune encephalitis in children.
J Child Neurol. 2012;27(11):1460-9.
27. Titulaer MJ, Mc Craken L, Gabilondo I. Clinical features, treatment and outcome of
500 patients with anti –NMDA receptor encephalitis. Neurology.2012;78:PL.01.001
28. Dalmau J, Gleichman AJ, Hughes EG. Anti-NMDA-receptor encephalitis: case
series and analysis of effects of antibodies. Lancet Neurol.2008;7:1091-8.
29. Bayreuther C, Bourg V, Dellamonica J, Borg M, Bernardin G, Thomas P. Complex
partial status epilepticus revealing anti-NMDA receptor encephalitis. Epileptic
Disord. 2009; 11:261–65.
30. Frechette ES, Zhou L, Galetta SL, Chen L, Dalmau J. Prolonged follow-up and
CSF antibody titers in a patient with anti-NMDA receptor encephalitis. Neurology.
2011; 76(7 suppl 2):S64–S66.
31. Bien CG, Gleissner U, Sassen R, Widman G, Urbach H, Elger CE. An open study
of tacrolimus therapy in Rasmussen encephalitis. Neurology. 2004; 62:2106–9.
32. Bien CG, Schramm J. Treatment of Rasmussen encephalitis half a century after
its initial description: promising prospects and a dilemma. Epilepsy Res. 2009;
86:101–12.
33. Tate ED, Allison TJ, Pranzatelli MR, Verhulst SJ. Neuroepidemiologic trends in
105 US cases of pediatric opsoclonus-myoclonus syndrome. J Pediatr Oncol Nurs.
2005; 22:8–19.
34. Ludlow D, Gray JA, Sperling MA. Rapid-onset obesity with hypothalamic
dysfunction, hypoventilation, and autonomic dysregulation presenting in
childhood. Pediatrics. 2007; 120:e179–e88.
35. Castillo P, Woodruff B, Caselli R, et al. Steroid-responsive encephalopathy
associated with autoimmune thyroiditis. Arch Neurol. 2006; 63:197–202.
36. Bohnen NI, Parnell KJ, Harper CM. Reversible MRI findings in a patient with
Hashimoto’s encephalopathy. Neurology. 1997; 49:246–7.

24
Sick Day Rules Penderita
Diabetes Melitus (DM) Tipe 1
Bambang Tridjaja

Tujuan:
1. Menjelaskan manajemen sakit pada penderita DM tipe 1
2. Menjelaskan monitoring penderita DM tipe 1 yang sedang sakit

Pada orang yang sedang sakit, terjadi mekanisme fight and flight yang
membutuhkan enersi yang lebih banyak sehingga hormon-hormon stres yang
bersifat anti-insulin (misal adrenaline dan kortisol) akan meningkat. Pada
penderita diabetes, situasi ini akan menyebabkan terjadinya defisiensi insulin
relatif (walaupun pada penderita diabetes dengan kontrol metabolik baik) yang
meningkatkan risiko terjadinya ketoasidosis diabetikum (KAD). Peningkatan
gula juga akan terjadi akibat proses glikogenolisis maupun glukoneogenesis
yang disertai dengan peningkatan resistensi insulin. Patomekanisme ini
akan menyebabkan hiperglikemia pada penderita diabetes, walaupun yang
bersangkutan tidak ada asupan makanan.
Anak dan remaja dengan diabetes dengan kontrol metabolik yang baik
prevalensi sakit sama dengan anak dan remaja tanpa diabetes. Walaupun
demikian, setiap penderita diabetes yang menderita sakit (misal infeksi)
memerlukan tata laksana khusus agar tidak terjadi hiperglikemia, tidak terjadi
ketosis maupun ketoasidosis dan tidak juga terjadi hipoglikemia. Penderita
diabetes yang mengalami gastroenteritis seringkali hipoglikemia dengan ketosis.
Oleh karena itu setiap penderita diabetes perlu diberikan edukasi mengenai
manajemen saat sakit yang harus segera dilaksanakan sejak awal sakit. Edukasi
dilakukan sebagai bagian integral saat sebagai pasien baru dan perlu pengecekan
secara berulang dengan memperhatikan tingkat pengetahuan atau pendidikan
maupun dinamika penderita dan keluarganya.
Pada makalah ini akan dijelaskan mengenai manajemen sakit pada
penderita diabetes dengan dasar pilar-pilar tata laksana diabetes yaitu
 Pemakaian insulin
 Asupan nutrisi
 Gerak fisik
 Edukasi
disertai monitoring gula darah/keton yang adekuat.

25
Sick Day Rules Penderita Diabetes Melitus (DM) Tipe 1

Pemakaian insulin1,2
Rekomendasi pemakaian insulin saat sakit adalah sebagai berikut:
 Selama sakit jangan menghentikan insulin.
 Selama sakit, seringkali dosis insulin memerlukan penambahan ataupun
kadangkala pengurangan secara temporer.
 Muntah-muntah atau sakit perut pada anak diabetes harus selalu dianggap
sebagai gejala defisiensi insulin sampai terbukti tidak.
Pada keadaan sakit, sebagaimana telah diuraikan, tubuh membutuhkan
tambahan enersi dalam bentuk glukosa. Apabila insulin tidak adekuat, produksi
gula akan menghasilkan juga benda-benda keton sehingga meningkatkan
risiko terjadinya KAD. Dengan demikian tujuan utama tata laksana adalah
eliminasi keton. Petunjuk berikut memberikan pegangan kepada penderita
dan keluarganya untuk melakukan tindakan di rumah agar tidak memerlukan
perawatan lanjutan di rumah sakit.
Insulin tambahan dalam bentuk insulin kerja singkat analog (rapid) atau
cepat regular (short) diperlukan pada situasi sebagai berikut:
 Kadar gula darah tinggi (>250 mg/dl) tanpa ketonemia/ketonuria atau
minimal ketonemia/ketonuria (<0.6 mmol/L atau ketonuria - hingga +).
Dosis tambahan insulin sejumlah 5-10% dari dosis total harian (0.05-0.1
unit/kg) setiap 2-4 jam.
 Kadar gula darah tinggi (>250 mg/dl) dengan ketonemia/ketonuria
bermakna (>1.5 mmol/L atau ketonuria ++ hingga ++++). Dosis tambahan
sejumlah 10-20% dari dosis total harian (0.1 unit/kg) setiap 2-4 jam.
 Insulin basal perlu ditingkatkan, terutama yang menggunakan pompa
insulin, sesuai dengan berat ringannya penyakit, tingginya gula darah dan
hasil monitoring keton.
 Pada yang menggunakan regimen insulin basal bolus dapat memberikan
insulin sesuai dengan insulin sensitivity ratio yang digunakan selama ini.

Asupan nutrisi3
Pencegahan dehidrasi dan hipoglikemia saat sakit sangat perlu diperhatikan
untuk mencukupi kebutuhan cairan dan karbohidrat. Apabila masih dapat
makan biasa, sebaiknya dipertahankan dengan tambahan ekstra cairan ½ hingga
¾ gelas setiap jam. Pencegahan karbohidrat dilakukan dengan minuman tak
manis seperti air putih, the ringan atau kaldu.
Apabila tidak dapat makan seperti biasa sebaiknya mengkonsumsi
makanan atau minuman ringan yang mengandung karbohidrat. Pada tabel
1 dan 2 di bawah, diberikan contoh makanan dan minuman ringan yang
mengandung karbohidrat setara 15 gram.

26
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

Tabel 1. Minuman dengan kandungan 15 gram karbohidrat3


Susu 1 gelas (250ml)
Susu + perasa minuman ¾ gelas susu + 1 sendok makan Milo®, Actavite® or Quik®
Juice buah* ¾ gelas teh Tambahkan 1 sendok makan gula atau madu
Hot lemon juice Tambahkan 1 sendok makan gula atau madu
Herbal tea Tambahkan 1 sendok makan gula atau madu
Gastrolyte 4 sachet
Soft drink biasa* or cordial* (bukan untuk diet) ¾ gelas
Minuman olah raga (eg: Gatorade®) 1 gelas

Tabel 2.Makanan ringan dengan kandungan 15 gram karbohidrat3


Kue kering atau crispbread 3 Sao®/Ryvita® atau lainnya
Roti bakar kering 1 potong/lembar
Biskuit manis tanpa rasa 3 susu Arrowroot/kopi pagi atau lainnya
Kentang halus ½ gelas
Nasi ⅓ gelas
Sereal sarapan pagi ½ gelas Special K®, 2 Weetbix®
Bubur (dibuat dengan air putih) ⅓ gelas
Jelly atau custard ½ gelas
Es krim 3 sendok es krim
Es blok 1½ batang

Monitoring2
Yang dimaksud dengan monitoring pada penderita DM yang sedang sakit
adalah monitoring gula darah dan keton dengan pencatatan yang rapih dan
terbaca. Berbagai alat monitoring saat ini mempunyai kemampuan menyimpan
data (memory) sehingga alat ini harus dibawa apabila penderita memerlukan
perawatan di rumah sakit. Petunjuk monitoring yang sering digunakan adalah:
 Monitoring gula darah mandiri di rumah dilakukan setidaknya tiap 3-4
jam dan secara acak setiap 1-2 jam.
 Monitoring keton urin setidaknya setiap 4 jam, apabila menggunakan keton
darah (b-OH-butirat) dilakukan setiap 2-4 jam.
 Monitoring secara konsisten dilakukan (tanpa istirahat) sampai potensi
ketosis sudah terlampaui.
 Selain darah dan urin, maka sebaiknya memonitor berat badan juga untuk
mendeteksi dehidrasi sekaligus menentukan derajat dehidrasinya.

Pemeriksaan keton darah lebih diutamakan dibandingkan keton urin bila


memungkin, karena4,5
 Kadar keton darah yang didapatkan merupakan kadar keton dalam
tubuh saat itu (real time), sedangkan keton urin merupakan akumulasi

27
Sick Day Rules Penderita Diabetes Melitus (DM) Tipe 1

dari konsentrasi keton sejak pemeriksaan terakhir. Merupakan parameter


ketosis yang lebih tepat baik saat diagnosis maupun terapi.
 Pada situasi tidak mampu buang air kecil (gagal ginjal, dehidrasi berat)
kadar keton masih dapat diperiksa, tidak tergantung pada fungsi ginjal.
 Menggambarkan benda keton penyebab utama keto-asidosis (ß-OH-butriat),
sedangkan pemeriksaan keton urin terutama menggambarkan benda keton
lain (asam asetot-asetat)
 Kemungkinan memberikan hasil false positive maupun false negative yang
lebih kecil.
 Kemungkinan menghindari perawatan rumah sakit lebih besar karena
dapat mendeteksi dini ketosis sehingga dapat melakukan terapi secara
lebih dini.
 Keabsahan nilai strip keton urin diragukan apabila menggunakan strip
yang telah dibuka dalam 3 bulan terakhir

Edukasi4
Memberikan edukasi mengenai potensi komplikasi akut diabetes seperti
KAD, hipoglikemia maupun hiperglikemia mempunyai makna strategis dalam
tatalaksana diabetes. Dengan teknologi kedokteran yang ada saat ini maupun
tekonologi lainnya, maka keberadaan glukometer yang dapat memeriksa kadar
gula darah maupun keton sangat membantu penderita dan keluarga.
Edukasi mengenai gejala-gejala yang memerlukan perhatian (red flags)
kepada keluarga memberikan kemampuan untuk mendeteksi dini komplikasi
akut. Gejala klinis yang perlu ditekankan berulang kali adalah munculnya
kembali 3P (poliuria, polidipsia, dan polifagia) disertai berat badan yang
menurun atau tidak sesuai dengan yang seharusnya. Resistensi insulin yang
terjadi saat sakit sebenarnya sudah terjadi 24-48 jam sebelum gejala klinis muncul
sehingga apabla melakukan monitroing dan pencatatan dengan benar maka
pemikiran kemungkinan adanya penyakit perlu diperhatikan. Gejala lain yang
perlu diajarkan adalah gejala-gejala KAD mengancam seperti muntah-muntah,
sakit perut, ataupun sudah KAD seperti nafas sesak (Kussmaul), bau aseton dan
penurunan kesadaran.
Tentunya penderita maupun keluarga yang mengabaikan pemeriksaan
dan pencatatan rutin hasil monitoring gula darah akan menyulitkan penderita
dan keluarga untuk mengenali red flags tersebut. Di Indonesia dengan sebagian
penderita yang merasakan beban finasiil dengan monitroing dan pencatatan
teratur, perlu diberikan pengetahuan dan ketrampilan untuk menggunakan
cara-cara lain misal pemeriksaan urin reduksi.

28
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

Edukasi mengenai kapan menghubungi tenaga kesehatan atau pergi ke


rumah sakit yaitu (a) penyebab infeksi tidak jelas, (b) penurunan badan berlanjut
terus yang mengindikasikan dehidrasi, (c) muntah persisten, (d) kadar gula darah
terus meningkat walaupun telah diberikan insulin tambahan, (e) ketonuria
persisten atau memburuk walaupun telah mendapatkan insulin dan minum
ekstra, (f) nyeri perut (g) penderita terlihat lelah dengan nafas cepat, disertai
gejala 3P, (h) muncul gejala-gejala susunan saraf pusat (nyeri kepala, kesadaran
menurun, kejang), dan (i) keluarga lelah, tidak mampu melakukan monitoring.5

Simpulan
Protokol tata laksana sakit pada penderita diabetes perlu diajarkan kepada
penderita keluarga dan dokter yang merawatnya. Tindakan segera dan tepat
bertujuan menghindari terjadinya ketoasidosis diabetikum dengan segala
konsekuensinya.

Daftar pustaka
1. Brink S, Laffel L, Likitmaskul S, Liu L MA, Olsen B, Silink M HR. Sick day
management in children and adolescents with diabetes. Pediatr Diabetes.
2009;10:146–53.
2. Brink S, Joel D, Laffel L, Lee WWR, Olsen B, Phelan H, et al. Sick day management
in children and adolescents with diabetes. Pediatr Diabetes. 2014; 15(Suppl 20):
193-202.
3. Sick days and type 1 diabetic. Diunduh dari: http://www.aci.health.nsw.gov.au/
data/assets/pdf file/0019/154513/sick days type 1.pdf Diakses tanggal 17 Maret
2016.
4. Savage MW, Dhatariya KK, Kilvert A, et al. Joint British Diabetes Societies
guideline for the management of diabetic ketoacidosis. Diabet Med. 2011; 28:
508-15.
5. Cooke DW, Plotnick L. Type 1 diabetes mellitus in pediatrics. Pediatr Rev. 2008;
29: 374-84.

29
Panduan Terkini Pencegahan Endokarditis
Infektif pada Anak
Nikmah S Idris

Tujuan:
1. Makalah ini bertujuan untuk membahas upaya pencegahan IE yang
perlu diketahui oleh dokter spesialis anak atau pemberi layanan primer.

Endokarditis infektif (infective endocarditis - IE) atau infeksi mikroba pada


endokardium jantung merupakan penyakit serius yang potensial menyebabkan
kematian. Penyakit ini dahulu dikenal dengan istilah endokarditis bakterial,
namun IE saat ini menjadi terminologi baku yang mencakup infeksi bakteri
dan jamur pada endokardium, duktus arteriosus, pirau buatan hasil operasi
(Blalock-Taussig shunt, right-ventricular-to-pulmonary artery conduit, dll), dan infeksi
pada koarktasio aorta. Meskipun kejadian IE pada anak relatif jarang, yaitu
3.2% dari seluruh perawatan rumah sakit di negara berkembang,1 penyakit
ini bersifat fatal dengan angka mortalitas sebesar 13%.1,2 Penelitian di Kanada
menunjukkan bahwa risiko IE pada anak PJB adalah sebesar 6.1/1000 anak.
(3) Selain itu, anak dengan IE membutuhkan perawatan yang lama dan biaya
besar serta sewaktu-waktu memerlukan tindakan operasi evakuasi vegetasi dan
bedah korektif, seperti penutupan defek atau perbaikan/pengantian katup.
Di Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumo (RSCM), insidens IE hanya
sekitar 5-6 kasus per tahun, tetapi setiap pasien memerlukan perawatan minimal
selama 4 minggu dengan total biaya ratusan juta rupiah. Sekitar 1 dari 5-6
pasien mengalami kematian yang umumnya terkait dengan komplikasi akibat
embolisasi vegetasi.
Insidens IE pada anak diduga meningkat akibat membaiknya kesintasan
anak yang berisiko mengalami IE, yaitu anak dengan kelainan struktural jantung
yang belum atau telah menjalani tindakan intervensi atau operasi; neonatus
dengan akses vena sentral atau pemasangan peralatan invasif; dan anak dengan
infeksi HIV.4 Mengingat tingginya morbiditas penyakit ini, upaya pencegahan
merupakan aspek yang sangat penting dan perlu diketahui oleh dokter pemberi
layanan primer dan dokter spesialis anak yang kerap kali menangani masalah
kesehatan umum pada anak dengan kelainan jantung, termasuk memberikan
imunisasi ataupun menata laksana masalah non-kardiak lainnya.

30
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

Patofisiologi dan diagnosis endokarditis infektif


Pada kondisi normal, endotel endokardium yang intak bukan merupakan
faktor pemicu koagulasi dan bersifat non-reseptif terhadap perlekatan bakteri.
Namun, endotel yang rusak atau terkikis merupakan pemicu trombogenesis yang
sangat poten dan dapat menjadi nidus pelekatan kuman yang kemudian dapat
berkembang biak menjadi vegetasi. Oleh karena itu, dua kondisi diperlukan
untuk terjadinya IE, yaitu kerusakan endotel endokardium dan bakteremia.
Pada anak dengan kelainan jantung, gesekan (shear stress) pada endotel akibat
pirau atau aliran darah berkecepatan tinggi dapat menyebabkan kerusakan
endotel. Begitu pula dengan penempatan kateter intravena di jantung bagian
kanan; ujung kateter dapat menyebabkan trauma endotel sehingga kolagen
endokardium terpapar aliran darah. Pada endotel yang mengalami trauma,
terjadi trombogenesis yang selanjutnya memicu deposisi trombosit, fibrin, dan
terkadang sel darah merah sehingga terbentuk nonbacterial thrombotic endocarditis
(NBTE). Jika kuman yang beredar di dalam darah cukup banyak, kuman dapat
melekat pada NBTE untuk kemudian diselaputi oleh lapisan trombosit dan
fibrin. Akibatnya, kuman terlindung dari sel fagosit atau mekanisme pertahanan
tubuh lain dan dapat berkembang biak membentuk koloni atau vegetasi.
Mengingat faktor shear stress memegang peran penting dalam patogenesis
IE, terdapat PJB tipe tertentu yang lebih meningkatkan risiko IE ketimbang
jenis PJB lain.4 Secara umum, PJB dengan jet aliran darah berkecepatan tinggi
dan/atau terdapat material/benda asing berhubungan dengan peningkatan
risiko IE yang lebih besar. Sebaliknya lesi PJB yang tidak menyebabkan aliran
darah atau pirau berkecepatan tinggi, seperti defek septum atrium (ASD) atau
stenosis katup ringan, tidak meningkatkan risiko IE secara signifikan.3 Penelitian
menunjukkan bahwa di antara berbagai jenis PJB, PJB sianotik memiliki risiko
tertinggi untuk terjadinya IE, yaitu hampir mencapai 7 kali lipat dibandingkan
risiko IE pada pasien dengan ASD.3 Pada pasien dengan defek septum ventrikel
(VSD) atau patent ductus arteriosus (PDA), tindakan koreksi PJB dengan hasil
baik (tanpa pirau residual) menghilangkan risiko terjadinya IE terkait PJB setelah
6 bulan pascaoperasi.4
Diagnosis IE harus dicurigai pada anak dengan demam berkepanjangan
dan memiliki karakteristik berikut:
1. Memiliki kelainan struktural jantung, baik bawaan (PJB) ataupun didapat
(contoh, penyakit jantung reumatik) dan belum menjalani tindakan bedah
korektif atau intervensi kateter. Untuk anak dengan PJB, peningkatan
risiko terutama didapatkan pada anak dengan PJB sianotik.
2. Memiliki kelainan struktural jantung dan telah menjalani prosedur
terapeutik (operasi atau intervensi) yang melibatkan pemasangan device
(misalnya, device penutup VSD), graft (contoh, konduit buatan), patch,

31
Panduan Terkini Pencegahan Endokarditis Infektif pada Anak

atau katup buatan. Peningkatan risiko terutama didapatkan pada pasien


dengan lesi (defek atau stenosis) residual, pasca intervensi bedah kompleks,
atau dalam periode 6 bulan pasca tindakan.
3. Neonatus dengan riwayat pemasangan akses vena sentral dengan ujung
kateter berada di bagian jantung kanan
4. Anak dengan kondisi imunokompromais dan terdengar murmur baru
pada auskultasi.

Mengingat IE memiliki presentasi klinis yang bervariasi, penegakan


diagnosis masih menjadi tantangan. Temuan klinis IE didasari oleh empat
fenomena berikut: bakteremia (atau fungemia), valvulitis, respons imunologis,
dan emboli. Endokarditis dapat bermanifestasi sebagai infeksi akut dengan
progresivitas cepat, ataupun berupa infeksi subakut atau kronik dengan
demam ringan dan gejala non-spesifik. Hampir 90% pasien mengalami demam
disertai dengan gejala sistemik, seperti menggigil, penurunan nafsu makan dan
berat badan. Murmur terdengar pada 85% pasien yang biasanya disebabkan
oleh valvulitis. Hampir 25% pasien mengalami komplikasi emboli pada saat
diagnosis. Untuk itu, IE harus dicurigai pada setiap pasien dengan demam
dan fenomena emboli, seperti stroke, trombosis arteri perifer, emboli paru,
atau infark ginjal.(6) Manifestasi ekstrakardiak seperti petekie, Roth/s spots,
lesi, Janeway, splinter haemorrhages, Osler nodes, atau splenomegali jarang
ditemukan pada anak. Kelainan ginjal (glomerulonefritis atau infark) dapat
terjadi akibat emboli atau endapan kompleks imun. Kecurigaan klinis dapat
diperkuat dengan temuan laboratoris berupa peningkatan kadar C-reactive
protein (CRP), laju endap darah (LED), leukositosis, anemia, dan hematuria
mikroskopis akibat glomerulonefritis. Ekokardiografi transtorakal maupun
transesofageal memegang peranan penting untuk penegakan diagnosis, terutama
untuk visualisasi vegetasi. Ekokardiografi transesofageal harus dilakukan pada
kondisi kecurigaan IE yang besar tetapi ekokardiografi transtorakal menunjukan
hasil negatif atau memiliki kualitas suboptimal.7 Pada bakteremia karena
Staphylococcus aureus, ekokardiografi dianjurukan untuk dilakukan secara
rutin mengingat tingginya prevalensi EI pada infeksi ini dan perjalanan penyakit
yang progresif.6
Penegakan diagnosis IE didasarkan atas kriteria Duke (Table 1). Kriteria
ini mencakup temuan klinis, ekokardiografi, dan biologis, termasuk hasil
pemeriksaan kultur darah dan serologi dengan nilai sensitivitas sebesar 80%.

32
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

Tabel 1. Definisi endokarditis infektif menurut kriteria Duke6


Definite IE
Kriteria patologis:
• Ditemukan mikroorganisme pada kultur atau pemeriksaan histologi vegetasi, vegetasi yang telah
mengalami embolisasi atau spesimen abses intrakardiak; atau
• Lesi patologis; vegetasi atau abses intrakardiak menunjukkan tanda endokarditis aktif pada pemeriksaan
histopatologi
Kriteria klinis
• 2 kriteria mayor*; atau
• 1 kriteria mayor dan 3 kriteria minor#; atau
• 5 kriteria minor
Possible IE
• 1 kriteria mayor dan 1 kriteria minor; atau
• 3 kriteria minor
Rejected IE
• Terdapat diagnosis pasti lain; atau
• Resolusi gejala setelah terapi antibiotik selama 4 hari atau kurang;
• Tidak ada bukti patologis IE pada operasi atau autopsi setelah terapi antibiotik selama 4 hari atau kurang.
• Tidak memenuhi kriteria IE di atas

*Kriteria mayor:
1. Kultur darah positif untuk IE
– Mikroorganisme khas yang konsisten dengan IE dari dua kultur darah
berbeda:
 Viridans streptococci, Streptococcus gallolyticus (Streptococcus, bovis),
HACEK group, Staphylococcus aureus; atau
 Community-acquired enterococci, jika tidak terdapat fokus primer
lain; atau
– Mikroorganisme yang konsisten dengan IE dari kultur darah yang
positif persisten:
 > 2 kultur darah positif dari sampel terpisah yang diambil dalam
selang waktu >12 jam; atau
 Ketiga hasil kultur atau mayoritas >4 kultur (jarak pengambilan
sampel pertama dan terakhir >1 jam) menunjukkan hasil positif;
atau
– Kultur positif tunggal untuk Coxiella burnetti atau titer antibodi IgG
fase I >1:800
2. Pencitraan positif untuk IE
– Ekokardiografi positif IE:
– Aktivitas abnormal di sekitar tempat implantasi protesis katup
berdasarkan pemeriksaan F-FDG PET? CT (jika protesis telah dipasang
>3 bulan) atau SPECT/CT leukosit
– Lesi paravalvular definitif berdasarkan CT jantung.

33
Panduan Terkini Pencegahan Endokarditis Infektif pada Anak

#Kriteria minor
1. Terdapat predisposisi, seperti kelainan jantung atau penyalahgunaan obat
intravena.
3. Demam (temperatur >38oC).
4. Fenomena vaskular (termasuk yang terdeteksi hanya dengan pencitraan):
emboli arteri mayor, infark paru septik, aneurisma infeksiosa (mikotik),
perdarahan intrakranial, perdarahan konjungtiva, dan lesi Janeway.
5. Fenomena imunologis: glomerulonefritis, Osler’s node, Roth’s spots, dan
faktor reumatoid.
6. Bukti mikrobiologis: kultur darah positif namun tidak memenuhi kriteria
mayor seperti disebutkan diatas atau bukti serologis infeksi aktif organisme
yang konsisten dengan IE.

Pencegahan endokarditis infektif


Upaya pencegahan IE dilakukan terutama dengan pemberian antibiotik
profilaksis yang ditujukan untuk mencegah pelekatan bakteri pada endokardium
setelah suatu episode bakteremia transien akibat prosedur invasif tertentu. Sejak
tahun 2002, indikasi pemberian antibiotik profilaksis telah dibatasi karena
perubahan konsep patofisiologi dan analisis risiko-manfaat sebagai berikut:
 Bakteremia ringan berulang lebih sering terjadi pada aktivitas rutin sehari-
hari, seperti menyikat gigi, flossing, mengunyah, dan bahkan lebih sering
ditemukan pada pasien dengan higiene oral yang buruk. Oleh karena itu,
risiko IE mungkin lebih terkait dengan akumulasi bakteremia ringan akibat
aktivitas sehari-hari ketimbang bakteremia sporadis akibat prosedur invasif.
 Sebagian besar studi kasus-kontrol tidak menemukan hubungan antara
prosedure dental invasif dan IE. Estimasi risiko IE setelah tindakan dental
invasif tanpa proteksi antibiotik adalah 1:46000 kasus, sedangkan dengan
proteksi antibiotik adalah sebesar 1:150000 kasus.
 Pemberian antibiotik memiliki risiko anafilaksis meskipun sangat kecil dan
penggunaan secara luas dapat memicu berkembangnya mikroorganisme
resisten.
 Efikasi antibiotik profilaksis untuk mencegah bakteremia hanya terbukti
pada model binatang dan efek pada manusia masih bersifat kontroversial.
 Belum ada uji klinis dengan randomisasi yang meneliti efikasi pemberian
antibiotik profilaksis pada IE dan penelitian sangat kecil kemungkinannya
untuk dapat dilakukan karena jumlah subyek yang diperlukan sangat besar.

34
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

Menimbang fakta-fakta di atas, European Society of Cardiology (ESC) dan


American Heart Association (AHA) merekomendasikan restriksi pemberian
antibiotik profilaksis hanya pada populasi tertentu (population at-risk) dan situasi/
prosedur tertentu (situations and procedure at risks)

Siapa yang harus mendapatkan antibiotik profilaksis? -


population at risk
Anak dengan kelainan struktural jantung merupakan populasi berisiko untuk
mengalami IE. Namun, pemberian antibiotik profilaksis hanya diindikasikan
untuk anak dengan risiko tinggi untuk mengalami IE, yaitu:
 Anak dengan katup prostetik, termasuk katup yang dipasang dengan cara
transkateter atau mereka yang pernah menjalani operasi perbaikan katup
dengan material prostetik.
 Anak dengan riwayat IE sebelumnya.
 Anak dengan PJB sebagai berikut:
– Setiap jenis PJB sianotik
– Setiap jenis PJB yang telah ditata laksana dengan material prostetik
baik melalui prosedur operasi ataupun percutaneous hingga 6 bulan
setelah prosedur tersebut atau seumur hidup jika terdapat pirau atau
regurgitasi valvular residual.
Antibiotik profilaksis tidak direkomendasikan pada pasien risiko sedang
(intermedier), yaitu mereka dengan PJB jenis lain (selain yang telah disebutkan
di atas) atau pasien dengan kelainan katup native (contoh, PJR sebelum operasi).
Namun semua anak berisiko tinggi maupun sedang, bahkan populasi anak
umum, perlu mendapat nasihat mengenai pentingnya menjaga higiene gigi dan
mulut. Upaya pencegahan non-spesifik yang perlu diikuti oleh pasien risiko
sedang atau tinggi tercantum pada Tabel 2.

Tabel 2. Upaya pencegahan IE non-spesifik yang harus diikuti oleh populasi berisiko sedang dan tinggi
Upaya berikut ini idealnya diterapkan pada populasi umum, dan terutama ditekankan pada populasi berisiko
tinggi
• Menjaga higiene gigi dan kulit secara ketat. Cek rutin gigi harus dilakukan setahun dua kali pada pasien
berisiko tinggi dan setahun sekali pada populasi anak lainnya.
• Disinfeksi luka secara adekuat.
• Eradikasi atau penurunan karier bakteri kronik pada kulit dan urin.
• Antibiotik kuratif untuk setiap fokus infeksi bakteri
• Tidak diperbolehkan mengobati diri sendiri dengan antibiotik (self-medication)
• Upaya pengendalian infeksi yang ketat untuk setiap prosedur berisiko
• Tindik dan pembuatan tato tidak dianjurkan
• Pembatasan penggunaan kateter infus dan prosedur invasif jika memungkinkan. Akses vena perifer
lebih dianjurkan ketimbang keteter sentral dan harus diganti secara berkala setiap 3-4 hari. Prosedur
perawatan kanula sentral atau perifer harus dipatuhi secara ketat.

35
Panduan Terkini Pencegahan Endokarditis Infektif pada Anak

Kapan antibiotik profilaksis diberikan? - situations and


procedures at risk
Prosedur dental
Prosedur berisiko adalah tindakan manipulasi daerah gusi dan periapikal gigi
atau perforasi mukosa mulut, termasuk scaling dan prosedur perawatan akar
gigi. Antibiotik tidak dianjurkan untuk injeksi anestesi lokal pada jaringan
tidak terinfeksi, perawatan karies superfisial, pengangkatan jahitan, x-ray,
penempatan/penyesuaian braces atau alat ortodonti/prostodonti, copotnya
gigi susu, atau trauma bibir/mulut. Sejauh ini juga belum ada bukti untuk
mendukung pemberian antibiotik profilaksis pada implan gigi. Indikasi pada
implan gigi harus dipertimbangkan kasus-per-kasus dan didiskusikan dengan
pasien.

Prosedur invasif lain


Pemberian antibiotik profilaksis tidak dianjurkan pada prosedur-prosedur
berikut:8
 Prosedur traktus respiratorius: tidak dianjurkan pada bronkoskopi,
laringoskopi, atau intubasi transnasal atau endotrakeal.
 Prosedur gastrointestinal atau urogenital: antibiotik tidak dianjurkan
pada gastroskopi, kolonoskopi, sistoskopi, vaginal, operasi kaisar, atau
ekokardiografi transesofageal.
 Prosedur pada kulit atau jaringan lunak (termasuk sirkumsisi)

Antibiotik profilaksis pada tindakan dental


Seperti telah disebutkan di atas, antibiotik profilaksis hanya dianjurkan untuk
diberikan pada populasi berisiko tinggi yang menjalani prosedur tertentu,
dan tidak dianjurkan pada situasi lainnya. Target utama pemberian antibiotik
adalah untuk mencegah infeksi streptococcal oral. Jenis antibiotik yang dianjurkan
tercantum pada Tabel 3.

Tabel 3. Rekomendasi antibiotik profilaksis untuk prosedur dental invasif pada populasi berisiko tinggi
Situasi Antibiotik Dosis tunggal 30-60 menit sebelum
tindakan
Tidak ada alergi penisilin atau ampisilin Amoksisilin atau ampisilin* 50 mg/kg oral atau IV
Alergi terhadap penisilin atau ampisilin Klindamisin 20 mg/kg oral atau IV

Alternatif: cephalexin 50 mg/kg IV, cefazolin atau ceftriaxone 50 mg/kg IV. Sefalosporin tidak dianjurkan diberi-
kan pada anak dengan anafilaksis, angio-edema, atau urtikaria setelah konsumsi penisilin atau ampisilin karena
kemungkinan reaktivitas silang.

36
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

Antibiotik profilaksis pada tindakan non-dental


Secara umum, pemberian antibiotik profilaksis tidak dianjurkan pada prosedur
non-dental. Terapi antibiotik hanya diberikan jika prosedur invasif tersebut
dilakukan dalam kondisi infeksi atau untuk intervensi kardiovaskular tertentu.6
Hal ini termasuk kondisi yang tercantum pada Tabel 4.

Tabel 4. Rekomendasi pemberian antibiotik profilaksis dan pencegahan endokarditis pada prosedur non-
dental
Prosedur traktus respiratorius Jenis antibiotik
Prosedur untuk menangani infeksi, seperti drainase abses. Regimen yang sesuai untuk staphylococcus
Prosedur gastrointestinal atau genitourinarius
Jika terdapat infeksi atau antibiotik terindikasi untuk Regimen yang sesuai untuk eradikasi entero-
mencegah infeksi luka atau sepsis pada pasien berisiko cocci (contoh: ampisilin, amoksisilin, atau
tinggi. vancomycin)
Prosedur kulit atau muskuloskeletal
Prosedur yang melibatkan kulit terinfeksi (termasuk Regimen yang aktif terhadap staphylococci dan
abses rongga mulut), infeksi struktur kulit, atau jaringan streptococci beta-haemolyticus
muskuloskeletal.
Intervensi kardiovaskular
• Antibiotik profilaksis terindikasi pada Implantasi katup Regimen yang sesuai untuk coagulase-negative
prostetik, prosthetic graft, atau pacemaker Staphylococci (CoNS) dan Staphylococcus
• Skrining pre-operasi untuk karier Staphylococcus aureus aureus. Antibiotik diberikan sesaat sebelum
dianjurkan sebelum operasi jantung elektif. prosedur dimulai dan diulang jika prosedur
• Sumber potensial untuk terjadinya sepsis harus berkepanjangan hingga 48 jam pasca tindakan.
dieliminasi sedikitnya 2 minggu sebelum implantasi
katup prostetik atau materi asing lainnya, kecuali untuk
prosedur urgen
• Terapi lokal S. aureus tanpa skrining tidak dianjurkan

Mengingat insidens IE terkait pelayanan kesehatan (healthcare-associated


IE) mencakup kurang lebih 30% kasus IE dan terus meningkat disertai dengan
prognosis yang buruk, maka usaha pencegahan utama yang dianjurkan adalah
tindakan aseptik sebelum insersi atau manipulasi kateter intravena dan selama
dilakukannya prosedur invasif.

Simpulan
Endokarditis infektif merupakan penyakit yang bersifat fatal dengan angka
morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Pemberian antibiotik profilaksis saat
ini dilakukan secara selektif, yaitu hanya pada populasi berisiko tinggi yang
akan menjalani tindakan gigi invasif. Upaya pencegahan ditekankan pada
pentingnya menjaga higiene terutama di daerah rongga mulut dan kulit serta
pengendalian infeksi non-spesifik, termasuk tindakan aseptik. Pencegahan
non-spesifik tidak hanya ditujukan pada anak dengan kelainan jantung, tetapi

37
Panduan Terkini Pencegahan Endokarditis Infektif pada Anak

harus menjadi bagian dari pelayanan rutin karena IE pada pasien yang tidak
diketahui mengalami kelainan jantung sebelumnya mencakup proporsi kasus
terbesar dengan insidens yang terus meningkat. Meskipun pemberian antibiotik
profilaksis hanya dibatasi pada populasi berisiko tinggi dan situasi tertentu,
upaya pencegahan umum harus dilakukan pada semua anak dengan kelainan
jantung;

Daftar pustaka
1. Sadiq M, Nazir M, Sheikh SA. Infective endocarditis in children; incidence, pattern,
diagnosis and management in a developing country. Int J Cardiol.78(2):175-82.
2. Ahmadi A, Daryushi H. Infective endocarditis in children: A 5 year experience
from Al-Zahra Hospital, Isfahan, Iran. Advanced biomedical research. 2014;3:228.
3. Rushani D, Kaufman JS, Ionescu-Ittu R, Mackie AS, Pilote L, Therrien J, et
al. Infective endocarditis in children with congenital heart disease: cumulative
incidence and predictors. Circulation. 2013;128(13):1412-9.
4. Ferrieri P, Gewitz MH, Gerber MA, Newburger JW, Dajani AS, Shulman ST,
et al. Unique features of infective endocarditis in childhood. Circulation.
2002;105(17):2115-26.
5. Johnson JA, Boyce TG, Cetta F, Steckelberg JM, Johnson JN. Infective endocarditis
in the pediatric patient: a 60-year single-institution review. Mayo Clin Proc.
2012;87(7):629-35.
6. Habib G, Lancellotti P, Antunes MJ, Bongiorni MG, Casalta JP, Del Zotti F, et
al. 2015 ESC Guidelines for the management of infective endocarditis: The Task
Force for the Management of Infective Endocarditis of the European Society of
Cardiology (ESC). Endorsed by: European Association for Cardio-Thoracic Surgery
(EACTS), the European Association of Nuclear Medicine (EANM). Eur Heart J.
2015;36(44):3075-128.
7. Habib G, Badano L, Tribouilloy C, Vilacosta I, Zamorano JL, Galderisi M, et al.
Recommendations for the practice of echocardiography in infective endocarditis.
Eur J Echocardiogr. 2010;11(2):202-19.
8. Danchin N, Duval X, Leport C. Prophylaxis of infective endocarditis: French
recommendations 2002. Heart. 2005;91(6):715-8.

38
Infeksi Cytomegalovirus pada Bayi dan Anak
Ari Prayitno

Tujuan:
1. Meningkatkan pengetahuan mengenai manifestasi klinis, diagnosis,
dan tata laksana infeksi CMV pada bayi/anak.

Cytomegalovirus/Cytomegalovirus (CMV) telah dikenal sebagai virus patogen yang


menyerang manusia selama lebih dari satu abad. Histopatologi virus ini pertama
kali dijelaskan pada tahun 1904, namun baru bisa diisolasi pada tahun 1957
oleh Craig dkk.1 Pada tahun 1960, Weller memberi nama virus yang ditelitinya
sebagai CMV berdasarkan penampilan sel yang terinfeksi virus ini mengalami
pembengkakan dan disebut sebagai cytomegalia.2 Selama beberapa dekade
berikutnya, prevalensi dan pengetahuan tentang pentingnya CMV sebagai
patogen manusia menjadi semakin jelas. CMV menyebabkan infeksi perinatal
yang paling sering ditemukan di negara-negara maju. CMV menginfeksi
hampir 1% dari semua bayi yang baru lahir atau sekitar 40.000 bayi per tahun,
di Amerika Serikat. Infeksi CMV adalah penyebab utama dari penyakit tuli-
sensorineural non-herediter atau Sensory Neural Hearing Loss (SNHL).3 Selain
infeksi kongenital dan perinatal, CMV juga menyebabkan morbiditas yang
signifikan pada pasien imunokompromais, termasuk korioretinitis, pneumonia,
radang usus, dan neuropati

Cytomegalovirus (CMV)
CMV merupakan anggota keluarga delapan Herpesvirus yang menyerang
manusia. Ukurannya besar, berbentuk linier, berupa untai ganda DNA dengan
ukuran ~235 kb, mampu mengkoding 200 jenis protein. Genom virus dibagi
atas bagian unik yang panjang atau unique long (UL) dan bagian unik yang
pendek atau unique short (US). Wilayah UL berisi dua gen yang memproduksi
protein yang menjadi sasaran penting dalam terapi antiviral, termasuk terapi
dengan gansiklovir. Gen UL54 memproduksi protein polimerase DNA dan
merupakan target beberapa obat antivirus yang diindikasikan untuk pengobatan
infeksi CMV kongenital simtomatik. Adapun gen UL97 menghasilkan protein
ensim phosphotransferase, yang diperlukan untuk fosforilasi gansiklovir untuk

39
Infeksi Cytomegalovirus pada Bayi dan Anak

menjadi metabolit aktif secara in vivo. Respons kekebalan humoral terhadap


CMV difokuskan pada dua protein envelop, yaitu glikoprotein B dan glikoprotein
H. Beberapa jenis sel tubuh manusia yang paling sering terinfeksi CMV adalah
sel fibroblas, sel epitel, sel endotel, makrofag, dan miosit. Masa inkubasi virus
ini tidak diketahui secara pasti, tetapi diperkirakan antara 1 sampai 2 bulan

Patofisiologi
Replikasi CMV berjalan sangat lambat dalam sel kultur, dan menjadi cermin
betapa lambatnya pola pertumbuhan in vivo (berbeda dengan virus herpes
simpleks [HSV], yang pertumbuhannya berlangsung sangat cepat). Siklus
replikasi CMV dibagi menjadi 3 tahap: immediate early, early dan late.4 Transkripsi
gen pada fase immediate early, terjadi pada 4 jam pertama setelah infeksi virus,
yaitu ketika protein regulator sel diproduksi. Protein ini merupakan protein
penting yang memungkinkan virus untuk mengambil kendali dari mesin seluler
host.
Setelah sintesis gen fase immediate early, produk gen akan ditranskripsikan
dan produknya meliputi protein replikasi DNA dan beberapa protein struktural.
Ini terjadi pada fase early.
Produk gen pada fase late/akhir dibuat sekitar 24 jam setelah infeksi dan
protein yang dibentuk adalah protein struktural, terutama yang terlibat dalam
penyusunan virion. Sintesis gen akhir sangat tergantung pada replikasi DNA
virus dan dapat diblokir oleh inhibitor ensim polimerase DNA virus, seperti
pada obat gansiklovir. Pada envelop yang merupakan lapisan terluar lipid bilayer
berisi glikoprotein, yang merupakan target utama dari antibodi neutralisasi
dari host. Bagian glikoprotein ini merupakan kandidat untuk desain vaksin
CMV dimasa depan. Lapisan protein antara envelop dan kapsid bagian dalam,
terdapat tegument virus, yang merupakan protein yang merupakan target utama
dari respon imun selular.
Secara histopatologis, tanda klasik infeksi CMV adalah ditemukannya sel
inklusi cytomegalic. Sel-sel ini sangat besar ukurannya sehingga disebut ‘cytomegaly’
yang mengandung inklusi intranuklear yang memiliki penampilan histopatologi
mirip mata burung hantu. Kehadiran sel-sel ini menunjukkan infeksi yang aktif
atau produktif, meskipun infeksinya tidak tampak nyata.
Masih sedikit yang diketahui tentang mekanisme molekular yang
bertanggung jawab terhadap patogenesis kerusakan jaringan yang disebabkan
oleh CMV, terutama untuk infeksi CMV kongenital. Mekanisme CMV dalam
menyebabkan kerusakan pada janin sangatlah kompleks, mencakup kombinasi
cedera/kerusakan seluler janin secara langsung (terutama di otak janin) yang
dicetuskan oleh gen di dalam virus patogen tersebut, kekebalan maternal yang

40
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

belum mampu mengendalikan infeksi yang terjadi, dan dampak infeksi pada
fungsi plasenta, termasuk fungsi transportasi oksigen dan substrat-substrat
tertentu.

Imunologi CMV
Pada anak yang imunokompeten, sel T berperan penting dalam mengendalikan
replikasi virus dan penyakit walaupun tidak mengeliminasi virus secara sempurna.
Respons imun terhadap infeksi CMV dibuktikan dengan keterlibatan sel T-CD4
dan CD8 pada pejamu yang imunokompeten.5,6 Pada suatu studi, diketahui
bahwa pada individu yang seropositif CMV, sel T-CD4 dan CD8 yang terlibat
sekitar 10% dari total sel T, sedangkan pada individu yang seronegatif CMV,
yang terlibat hanya sel T-CD8 dan itupun jumlahnya sangat sedikit.6
Proses timbulnya kekebalan terhadap CMV sangat kompleks dan
melibatkan imunitas humoral dan respons imun seluler. Beberapa gen CMV
sangat menentukan kekebalan terhadap CMV. Lapisan envelop paling luar,
yang berasal dari membran nukleus sel inang, berisi beberapa glikoprotein
yang mengkode virus CMV. Glikoprotein B dan glikoprotein H merupakan
determinan utama terhadap imunitas humoral yang protektif.

Epidemiologi
Infeksi CMV bisa ditemukan dimanapun di seluruh dunia. Di Amerika
Serikat, seroprevalensi CMV adalah ~50%, sehingga cukup banyak wanita usia
reproduksi yang berisiko terinfeksi CMV selama kehamilan. Di seluruh dunia,
prevalensi CMV pada wanita di usia reproduksi adalah sekitar 45% di negara
maju dan hampir 100% di negara berkembang.7
Prevalensi antibodi spesifik CMV meningkat sesuai dengan usia.8 Sebagai
contoh, dalam sebuah penelitian di Finlandia, angka prevalensinya adalah 47%
pada anak kelompok usia 10 -12 tahun, 68% pada anak usia 15–35 tahun, dan
81% pada usia 36 – 60 tahun.9 Pada sebuah penelitian di Amerika Serikat,
prevalensi CMV meningkat dari 36% pada usia 6–11 tahun menjadi 91% pada
usia >80 tahun. Prevalensi CMV juga dipengaruhi oleh ras dan etnis. Dalam satu
penelitian di Amerika Serikat, antara individu berusia 6-49 tahun, prevalensi
CMV adalah 40% pada kulit putih non-Hispanik, 71% pada orang kulit hitam
non-Hispanik, dan 77% pada orang Meksiko-Amerika. Studi lain menunjukkan
bahwa kejadian infeksi baru CMV terjadi pada usia lebih dini pada orang
berkulit hitam non-Hispanik (16,3 tahun) dan Meksiko-Amerika (17,5 tahun)
dibandingkan pada orang kulit putih non-Hispanik (29,3 tahun).10 Pada
penelitian di Amerika Serikat tersebut, faktor lain yang berhubungan dengan

41
Infeksi Cytomegalovirus pada Bayi dan Anak

CMV seropositif adalah jenis kelamin perempuan, tempat melahirkan di luar


negara/negara lain, pendapatan rumah tangga yang rendah, tingkat kepadatan
rumah tangga, dan tingkat pendidikan anggota rumah tangga yang rendah.10

Transmisi
CMV dapat dibiak dari berbagai tempat di tubuh manusia, seperti dari urin,
darah, tenggorokan, serviks, sperma, tinja, air mata dan ASI. Transmisi dapat
terjadi melalui beberapa jalur/paparan :
 Hubungan seksual: didapatkan angka seroprevalensi yang tinggi pada
pasien yang mempunyai mitra seksual multipel. Selain itu, virus juga bisa
dideteksi di saluran genital.
 Kontak erat: serokonversi CMV sering ditemukan pada anggota keluarga
dan tempat penitipan anak. Kontak mungkin tertular dari pelepasan/
ekskresi virus dari saluran napas dan urin
 Darah dan jaringan: penularan CMV dapat terjadi setelah transfusi darah,11
melalui transplantasi organ dari donor dengan CMV seropositif dengan
perkiraan risiko transfusi per unit darah adalah 0,38 persen12
 Pekerjaan: para pekerja rentan adalah mereka yang bekerja di tempat-
tempat khusus dengan anak-anak seropositif CMV, contohnya pekerja
pada tempat penitipan anak
 Perinatal: neonatus dan bayi dapat terinfeksi CMV dalam rahim selama
viremia maternal, saat terpapar sekresi jalan lahir, atau pada periode
pascanatal melalui ASI.

Tipe infeksi CMV


Infeksi CMV Kongenital
CMV Kongenital adalah penyebab utama hilangnya pendengaran sensorineural
non herediter dan dapat menyebabkan ketidakmampuan perkembangan saraf
dalam jangka panjang, termasuk palsi serebral, kecacatan intelektual, gangguan
penglihatan, dan kejang. Saat lahir, sebagian besar bayi dengan CMV kongenital
tidak menunjukkan gejala, namun sekitar 10% memiliki gejala.

Manisfestasi klinis
Di dalam rahim, manifestasi infeksi dapat nyata maupun tersembunyi. Bila
dilakukan pemeriksaan USG pada janin, dapat ditemukan: kalsifikasi
periventrikular, ventrikulomegali cerebral, microsefal dan lain-lain. Kelainan
janin lainnya termasuk trombositopenia, anemia hemolitik, dan kadar

42
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

transaminase hati yang tinggi; terdeteksi bila dilakukan pengambilan sampel


darah janin
Pada neonatus, sekitar 10 persen neonatus dengan infeksi CMV kongenital
memiliki gejala saat lahir, antaral lain sebagai berikut:13
 Petechiae (54 - 76%)
 Jaundice at birth (38 -67%)
 Hepatosplenomegaly (39 -60%)
 Small size for gestational age (39 -50%)
 Microcephaly (36 -53 %)
 Sensorineural hearing loss (SNHL saat lahir 34%)
 Lethargy and/or hypotonia (27%)
 Poor suck (19%)
 Korioretinitis (11 to 14%)
 Seizures (4 to 11%)
 Hemolytic anemia (11%)
 Pneumonia (8%)

SNHL adalah gejala sisa yang paling umum terjadi pada infeksi CMV
kongenital dan terdeteksi pada sepertiga sampai setengah bayi dengan penyakit
CMV yang bergejala.
Korioretinitis adalah kelainan mata yang paling umum pada bayi dengan
gejala CMV dan berkorelasi dengan buruknya hasil perkembangan saraf jangka
panjang. Kelainan lain pada mata adalah skar di retina, atrofi optik, hilangnya
lapang pandang sentral, atau strabismus14
Penyakit mengancam nyawa: sekitar 8-10% dari bayi yang baru lahir
dengan infeksi CMV kongenital gejalanya berat dan mengancam nyawa. Bayi
prematur, bayi dengan gangguan imun primer sel T atau sel NK (natural killer),
mempunyai risiko yang lebih besar untuk menyebabkan kematian dari infeksi
CMV kongenital.
Pada bayi prematur, 25-35% bayi dengan CMV kongenital, lahir dengan
gestasi <37 minggu kehamilan.15 Bayi prematur <32 minggu kehamilan dengan
infeksi CMV kongenital memiliki risiko untuk memiliki pneumonitis, tanda-
tanda sepsis virus, trombositopenia, dan kemungkinan ko-infeksi, serta kecil
kemungkinannya terjadi mikrosefal atau kalsifikasi intrakranial dibanding
neonatus yang aterm.

Pemeriksaan laboratorium
 Kelainan pada laboratorium yang khas terkait dengan CMV kongenital
gejala termasuk :15
 Peningkatan kadar transaminase hati (50-83%)

43
Infeksi Cytomegalovirus pada Bayi dan Anak

 Trombositopenia (44-77%)
 Peningkatan bilirubin serum direk dan indirek (36-69%)
 Kelainan lainnya: anemia hemolitik, neutropenia, limfopenia, limfositosis,
atau reaksi leukemoid

Neuroimaging
Pencitraan otak dengan CT scan, MRI, atau ultrasonografi menunjukkan
kelainan pada 70 persen bayi dengan infeksi CMV kongenital simptomatik.16
Kelainan yang ditemukan pada neuroimaging antara lain:
 Kalsifikasi intrakranial, biasanya periventrikular (34-70 %)
 Lenticulostriate vasculopathy (27-68 persen)
 White matter disease (22-57 persen)
 Ventrikulomegali (10 sampai 53 persen)
 Kelainan migrational (10 sampai 38 persen)
 Leukomalacia periventrikel dan kelainan kistik (11 persen)

Kelainan pada pencitraan kranial, terutama mikrosefal dan kalsifikasi


intrakranial, berkorelasi dengan outcome jangka panjang yang kurang baik dari
perkembangan syarafnya.16

Infeksi CMV kongenital asimptomatik


Sebagian besar (90%) bayi baru lahir yang terinfeksi CMV kongenital tidak
menunjukkan gejala. Sepuluh sampai 15 persen dari bayi yang baru lahir tanpa
gejala tersebut dapat mengalami SNHL.17 Kelainan mata, termasuk lesi retina
dan strabismus, dapat terjadi pada 1 - 2 % dari bayi yang lahir dengan CMV
kongenital tanpa gejala.14 Pada bayi yang lahir tanpa gejala CMV kongenital
ini, 5-20%nya bisa disertai dengan kelainan pada pencitraan otaknya berupa
leukomalacia periventrikel, ventrikulomegali, dan kalsifikasi pungtata

Pendekatan diagnosis
Manifestasi klinis Infeksi CMV kongenital sangatlah lebar dan bervariasi. Bayi
dapat lahir dengan gejala yang jelas, sedikit gejala, atau bahkan tanpa gejala
sama sekali.

Kapan bayi memerlukan tes infeksi CMV?


Infeksi CMV kongenital harus selalu dicurigai bila ditemukan keadaan :
 Neonatus yang dengan gejala nyata CMV kongenital:
– Neonatus dengan ukuran kecil sesuai masa kehamilan (KMK)

44
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

– Mikrosefal
– Trombositopenia
– Hepatosplenomegali
– Hiperbilirubinemia saat lahir (bila sebab lain tidak ditemukan)
 Neonatus yang pada skrining pendengaran, ditemukan ketidaknormalan.
 Neonatus dengan pencitraan kranial yang abnormal dan konsisten dengan
CMV, terutama jika didapatkan salah satu dari gambaran berikut yang
tidak dapat dijelaskan oleh sebab yang lain:
– Kalsifikasi periventrikuler
– Kalsifikasi leukomalasia
– Ventrikulomegali
– Vaskulitis
– Polimikrogiria
 Janin yang pada USG ditemukan abnormalitas berikut:
– Usus yang echogenic
– Pertumbuhan janin terhambat
– Mikrosefal
– Hepatosplenomegali
– Hidrops fetalis
 Bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi atau diduga terinfeksi CMV
– Serokonversi maternal selama kehamilan
– Dugaan infeksi CMV primer pada ibu dengan serologi IgM dan IgG
CMV yang positif
– Neonatus yang lahir dengan imunodefisiensi primer

Pendekatan tes yang akan digunakan


Diagnosis ditegakkan dengan isolasi virus atau deteksi molekular virus dari
urin atau saliva dalam 1-3 minggu pertama awal kehidupan. Sampel urin lebih
disukai dibandingkan sampel saliva, karena, meskipun sampel mudah di dapat,
saliva mudah terkontaminasi dengan ASI di rongga mulut bayi pada ibu yang
terinfeksi CMV

Waktu pengujian
 Prenatal: kultur virus atau deteksi CMV DNA dalam cairan ketuban, atau
dengan pengukuran antibodi IgM CMV dari darah janin dengan gejala.
 Lahir s/d usia 3 minggu: deteksi CMV di urin dan saliva sesuai dengan
Tabel 1
 Usia 3 minggu s/d 1 tahun: setelah usia 3 minggu, deteksi CMV dalam urin
atau air liur mungkin menunjukkan infeksi CMV kongenital atau didapat/
pascanatal. Infeksi postnatal CMV biasanya lebih ringan gejala klinisnya.

45
Infeksi Cytomegalovirus pada Bayi dan Anak

Infeksi CMV kongenital didiagnosisi secara retrospektif berdasarkan


analisis PCR dari sampel darah kering (Guthrie card) yang diperoleh pada
saat skrining bayi baru lahir
 Lebih dari usia 1 tahun: menetapkan diagnosis infeksi CMV kongenital
>1 tahun tidak mungkin dilakukan

Tabel 1. Perbandingan uji deteksi CMV kongenital pada neonatus18


Metode laboratorium Sampel yang digunakan Sensitivitas (%) Spesifisitas (%)
Kultur virus Urin dan saliva dalam 3 minggu pertama 100 100
kehidupan
Rapid culture Urin dan saliva dalam 3 minggu pertama 92,3-100 100
kehidupan
PCR Urin dan saliva dalam 3 minggu pertama 97,4-100 99,9
kehidupan
PCR Dried blood spot 28-73 99,9
PCR kuantitatif Whole blood atau plasma N/A N/A
CMV Antigenemia Darah N/A N/A
Serologi Darah N/A N/A

N/A : not available : tidak dapat dinilai

Infeksi CMV didapat


Penyakit CMV yang bergejala akan timbul dikemudian hari dalam bentuk salah
satu dari dua kemungkinan: reaktivasi CMV laten atau reinfeksi dengan strain
eksogen yang baru.19
Infeksi CMV yang didapat pada manusia, secara teoritis bisa terjadi dalam
3 bentuk
 Infeksi: masuknya virus CMV kedalam tubuh manusia dan menimbulkan
respons imun dalam bentuk timbulnya antibodi yang spesifik
 Reinfeksi: masuknya kembali virus CMV ked lam tubuh manusia dan
menimbulkan respons imun dalam bentuk antibodi terhadap strain CMV
yang baru
 Reaktivasi: timbulnya kembali aktifitas CMV di dalam tubuh manusia,
setelah sebelumnya dalam masa laten, akibat kondisi imunosupresi sistemik

Ada pula yang membedakan antara infeksi CMV dan Penyakit CMV.
Infeksi CMV adalah adanya bukti-bukti replikasi virus CMV, terlepas dari gejala
dan tanda yang ada. Penyakit CMV adalah adanya bukti replikasi virus CMV
disertai gejala dan tanda CMV. Manifestasi Penyakit CMV ini bisa berupa
sindrom virus (demam, malaise, lekopenia, trombositopenia) atau penyakit
invasive jaringan.20-21

46
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

Infeksi pada pasien imunokompeten


Infeksi CMV pada anak-anak dan remaja yang imunokompeten paling sering
tidak menimbulkan gejala, namun, sekitar 10 persen memberikan gejala. Infeksi
CMV dapat menyebabkan sindrom seperti mononukleosis dengan manifestasi
yang paling umum berupa demam (prolonged fever), malaise, faringitis, adenopati
dan hepatitis. Sakit kepala, sakit perut, diare, artralgia, dan ruam juga dapat
terjadi. Kelainan laboratorium dapat berupa limfositosis atau limfopenia dengan
trombositopenia dan peningkatan transaminase.
Infeksi CMV dapat terjadi akibat penularan virus dari orang ke orang melalui
hubungan intim atau transfusi darah. Manifestasi yang tidak biasa atau komplikasi
dari infeksi CMV yang didapat pada individu imunokompeten meliputi
pneumonitis, perikarditis, anemia hemolitik, sindrom hemofagositik virus,
hepatitis granulomatosa, sindrom Guillain-Barré, dan meningoencephalitis.22
Kejadiannya sangat jarang terjadi.

Infeksi pada pasien imunokompromais


Anak dan remaja dengan imunokompromais sering mengalami infeksi CMV
dan beresiko tertular penyakit CMV yang berat. Infeksi dapat terjadi akibat
reaktivasi virus endogen, infeksi dari organ transplantasi, atau transfusi darah.
Yang termasuk faktor risiko untuk penyakit CMV adalah sebagai berikut:22
 Transplantasi organ dari donor CMV-seropositif kepada resipien yang
CMV-negatif
 Penurunan fungsi sel T atau gangguan kekebalan primer maupun didapat,
yang akan mempengaruhi limfosit T atau sel NK
 Transplantasi organ dengan viremia CMV atau viral load CMV yang
meningkat

Diagnosis
Uji diagnostik CMV mencakup pemeriksaan serologi, PCR DNA dan antigen
assay:

Pemeriksaan serologi
Pemeriksaan serologi memberikan bukti tidak langsung infeksi CMV yang baru
terjadi atau infeksi sebelumnya berdasarkan perubahan titer antibodi pada titik
waktu yang berbeda selama sakit. Tes serologi mengukur keberadaan IgM Anti
CMV dan IgG Anti CMV

47
Infeksi Cytomegalovirus pada Bayi dan Anak

Infeksi akut
Infeksi akut atau baru dianggap bila ditemukan:
 IgM Anti CMV terdeteksi
 Terjadi peningkatan titer antibodi IgG CMV 4 kali atau lebih dengan
jarak 2-4 minggu
Antibodi IgG CMV biasanya tidak terdeteksi hingga 2-3 minggu setelah
timbulnya gejala dan akan bertahan seumur hidup.23

Infeksi lampau
Uji serologik sangat membantu dalam menentukan pajanan infeksi CMV masa
lampau. Hasil serologi IgG CMV di atas nilai ambang dianggap positif. Nilai
ambang ini tergantung metode pemeriksaan yang digunakan. IgG CMV sangat
bermanfaat dalam pengelolaan pasien imunokompromais yang memiliki risiko
untuk terjadinya reaktivasi CMV.

Resiko akuisisi
Tes serologi juga membantu dalam menentukan risiko akuisisi CMV. Misalnya,
pasien seronegatif tidak berisiko mengalami reaktivasi CMV. Namun, pasien
yang sama, mempunyai risiko lebih besar untuk terjadinya akuisisi baru jika di
lakukan transplantasi dengan organ dari donor CMV-seropositif.

CMV DNA/PCR
Ada 2 jenis pemeriksaan yaitu RT-PCR yang bersifat kualitatif dan kuantitatif.
Kegunaan PCR kuantitatif adalah untuk memonitor pasien-pasien yang
mempunyai risiko untuk menjadi penyakit CMV, membuat diagnosis penyakit
CMV aktif, dan memantau respons terapi.24 PCR kualitatif sangat sensitif,
namun tidak bisa membedakan antara CMV yang laten, dengan CMV yang
sedang aktif bereplikasi.
Mengingat keterbatasan ini, PCR kualitatif memiliki peran yang terbatas
untuk diagnosis atau manajemen pasien dengan infeksi CMV. Beberapa senter
menggunakan PCR kualitatif untuk pemeriksaan awal dan hanya melakukan
PCR kuantitatif jika hasil PCR kualitatif positif

48
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

Tabel 2. Manifestasi klinis, tata laksana dan luaran infeksi CMV pada bayi, anak dan remaja25
CMV kongenital Infeksi peri- dan pas- Pasien imunokompeten Pasien imunokom-
canatal promais
Manifestasi Saat lahir, 90% asimto- Bayi cukup bulan : Kebanyakan asimto- Infeksi bisa berat
klinis matik kebanyakan asimto- matik dan mengancam
• Petekie matik • Demam nyawa :
• Kuning saat lahir • Demam • Lemah Demam
• Hepatosplenomegali • Hepatosplenomegali • Faringitis Malaise
• Ruam petekie • Pneumonitis ringan • Mononucleosis like Leukopenia
• Kecil masa kehamilan • Jumlah lekosit syndrome Hepatitis
(KMK) abnormal • Adenopati Pneumonitis
• Trombositopenia • LFG abnormal • Hepatitis Colitis
• Mikrosefal Prematur atau BBLR : • Sakit kepala Graft loss
• Kalsifikasi intrakranial infeksi dapat berat dan • Sakit perut Miokarditis
• Polimikrogria mengancam nyawa : • Diare Retinitis
• Ventrikulomegali • Sepsis like syndrome • Atralgia Ensefalitis atau
• Sensory hearing loss • Hepatosplenomegali • Rash ensefalopati
• Korioretinitis • Pneumonitis • Limfositosis atau
• Kejang • Jumlah lekosit limfopenia
abnormal • Trombositopenia
• LFG abnormal • Uji fungsi hati
abnormal
• Uji monospot
negative
Tata laksana Bayi yang asimptoma- Bayi aterm atau prema- Bukan indikasi antivirus. Gansiklovir atau
tik tidak memerlukan tur yang asimtomatik Hidrasi dan pengen- valgansiklovir
antivrus tidak memerlukan dalian panas yang
Gansiklovir dan Valgan- antivirus. diutamakan
siklovir hanya untuk Gansiklovir dan val-
yang simptomatik gansiklovir diberikan
untuk infeksi simtomatik
yang berat pada bayi
prematur
Luaran Mortalitas 4-8% Bayi aterm: tidak ada Tidak ada gejala sisa Morbiditas dan
Gejala sisa jangka gejala sisa permanen permanen mortalitas tinggi,
panjang: gangguan pen- Prematur dan BBLR: dan tergantung
dengaran, palsi serebral, angka mortalitas 5-10% kondisi yang men-
disabilitas intelektual, Gejala sisa jangka dasarinya
gangguan penglihatan panjang belum diketahui
dan kejang pasti. Tidak ada risiko
gangguan pendengaran
atau palsi serebral.

CMV antigenemia assay


Uji antigen CMV di dalam darah memungkinkan deteksi cepat dan langsung
protein CMV (pp65) di leukosit darah perifer. Teknik ini menggunakan
fluoresensi berlabel antibodi monoklonal spesifik terhadap pp65 di leukosit
polimorfonuklear darah tepi. Hasil positif dilaporkan sebagai jumlah sel yang
terwarnai per jumlah sel dihitung. Hasil biasanya tersedia dalam waktu 24 jam
dan tes cukup akurat untuk pasien terinfeksi HIV dan penerima transplantasi

49
Infeksi Cytomegalovirus pada Bayi dan Anak

organ padat. Pada pasien ini, antigenemia nampaknya berhubungan dengan


viremia

Skrining CMV pada bayi baru lahir


Skrining CMV pada bayi baru lahir tidak rutin dilakukan, namun mengingat
dampak kesehatan masyarakat CMV kongenital yang cukup besar, kebanyakan
para ahli mendukung skrining pada bayi baru lahir baik berupa skrining universal
maupun terarah. Tujuan skrining CMV kongenital ini meliputi identifikasi
awal bayi terinfeksi yang masih mungkin mendapatkan manfaat terapi antivirus,
identifikasi bayi tanpa gejala yang berisiko untuk mengalami gangguan
pendengaran awitan lambat, serta menjamin evaluasi audiologik yang lebih baik.26
Terdapat dua jenis skrining:
 Targeted: skrining yang dilakukan pada semua bayi baru lahir yang gagal
dalam skrining pendengaran
 Universal: skrining yang dilakukan pada semua bayi baru lahir, tidak
tergantung hasil skrining pendengaran

Tata laksana
Antivirus
Gansiklovir intravena (IV) dan valgansiklovir, adalah antivirus pilihan lini
pertama untuk pengobatan penyakit CMV kongenital. Antiviral yang lain
adalah Foskarnet dan Sidofovir sebagai obat alternatif untuk kasus penyakit
CMV yang refrakter atau resistens terhadap gansiklovir atau bila didapatkan
toksisitas gansiklovir, serta adanya ko-infeksi adenovirus

Sasaran terapi:
 Infeksi CMV simtomatik: direkomendasikan pengobatan antivirus untuk
bayi dengan infeksi CMV kongenital yang bergejala (bayi dengan konfirmasi
virologi untuk CMV kengenital)
 Infeksi CMV asimtomatik dengan kegagalan pada skrining pendengaran
 Immunodefisiensi primer: terapi antivirus juga diberikan untuk bayi
dengan imunodefisiensi primer, terlepas dari derajat gejalanya.

Dosis:
 Gansiklovir: neonatus, bayi dan anak: CMV kongenital bergejala:
gansiklovir 6 mg/kgBB/dosis setiap 12 jam selama 6 minggu28
 Valgansiklovir: neonatus (usia gestasi ≥32 minggu and BB lahir ≥1.8 kg),
bayi dan anak: oral: 16 mg/kgBB/kali setiap 12 jam selama 6 bulan29

50
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

Gambar 1. Pendekatan tata laksana anƟvirus pada CMV kongenital27

Efek samping obat Gansiklovir dan Valgansiklovir :


 Netropenia : terjadi pada pemberian Gansiklovir (25-60%) dan
Valgansiklovir (20%)
 Bila ANC <500/microL, periksa ulang esok harinya, bila tetap <500/
microL, antivirus dihentikan sambil dicari penyebab netropenia lainnya
 Bila antivirus dihentikan, ANC dimonitor 2-3 kali seminggu, begitu ANC
>1000/microL, terapi dimulai kembali
 Bila dalam pemantauan setelah penghentian antivirus, ANC tidak kembali
normal, digunakan antivirus alternatif yaitu Foscarnet atau Cidovofir
 Trombositopenia: trombositopenia (trombosit <50.000 sel/ microL)
dilaporkan terjadi pada 6 persen bayi yang mendapat terapi gansiklovir
 Gangguan fungsi hati: pada bayi yang menerima
gansiklovir, terut ama pada dosis lebih tinggi dari 6 mg/
kg terjadi peningkatan ringan transaminase (<100 int. unit / L).
Gansiklovir atau valgansiklovir harus dihentikan jika transaminase naik
>250 IU/L tanpa adanya sebab yang lain.
 Gangguan fungsi ginjal: (kreatinin serum naik pada <1% neonates)
 Masalah kateter IV: selama pengobatan gansiklovir dapat terjadi ekstravasasi
gansiklovir sehingga menyebabkan reaksi lokal, ulkus dan jaringan parut

51
Infeksi Cytomegalovirus pada Bayi dan Anak

Pemantauan jangka panjang


Anak dengan CMV kongenital, harus dipantau selama masa kanak hingga
dewasa, untuk memantau timbulnya efek jangka panjang infeksi CMV antara
lain berupa:
 Gangguan pendengaran: evaluasi pendengaran yang direkomendasikan
adalah setiap 3 – 6 bulan selama tiga tahun pertama kehidupan, dan setiap
tahun sampai setidaknya mencapai usia 18 tahun.
 Manifestasi SSP: manifestasi SSP (disabilitas intelektual, CP dan kejang)
membutuhkan layanan edukasi khusus, terapi wicara, bahasa, terapi
okupasi dan/atau terapi fisik.
 Penyakit mata: korioretinitis, retinopati, atrofi optik, dan strabismus
memerlukan penanganan khusus.
 Penyakit gigi: CMV kongenital berhubungan dengan hipoplasia dan
hipokalsifikasi enamel gigi, mempengaruhi pertumbuhan gigi terutama
gigi primer.30
 Penyakit hati: hepatitis kronik sebagai akibat CMV kongenital, jarang
terjadi. Fungsi hati yang abnormal biasanya akan membaik dalam beberapa
minggu awal kehidupan.

Simpulan
Infeksi CMV pada bayi/anak memiliki manifestasi yang sangat bervariasi
menurut usia ada status imun pasien. Sistem yang sering terkena adalah sistem
saraf pusat termasuk fungsi pendengaran, hepatobilier, serta hematologi.
Pengetahuan mengenai manisfestasi klinis dapat menuntun diagnosis dini dan
tata laksana yang sesuai.

Daftar pustaka
1. Craig JM, Macauley JC, Weller TH, Wirth P. Isolation of intranuclear inclusion
producing agents from infants with illnesses resembling cytomegalic inclusion
disease. Proc Soc Exp Biol Med. 1957;94(1):4–12
2. Kluge RC, Wicksman RS, Weller TH. Cytomegalic inclusion disease of the
newborn: report of case with persistent viruria. Pediatrics. 1960;25:35–39
3. American Academy of Pediatrics, Joint Committee on Infant Hearing. Year 2007
position statement: principles and guidelines for early hearing detection and
intervention programs. Pediatrics. 2007;120(4):898–921
4. Schleiss MR. Congenital Cytomegalovirus infection: molecular mechanisms
mediating viral pathogenesis. Infect Disord Drug Targets. 2011;11(5):449-65
5. Gillespie GM, Wills MR, Appay V, O’Callaghan C, Murphy M, Smith N, et al.
Functional heterogeneity and high frequencies of Cytomegalovirus-specific CD8(+)
T lymphocytes in healthy seropositive donors. J Virol 2000; 74:8140.

52
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

6. Sylwester AW, Mitchell BL, Edgar JB, Taormina C, Pelte C, Ruchti F, et al. Broadly
targeted human Cytomegalovirus-specific CD4+ and CD8+ T cells dominate the
memory compartments of exposed subjects. J Exp Med. 2005; 202:673.
7. Coats DK, Demmler GJ, Paysse EA, Du LT, Libby C. Ophthalmologic findings in
children with congenital Cytomegalovirus infection. J AAPOS. 2000;4(2):110–116
8. Klemola E, Kääriäinen L. Cytomegalovirus as a possible cause of a disease
resembling infectious mononucleosis. Br Med J. 1965;2:1099.
9. Staras SA, Dollard SC, Radford KW, Flanders WD, Pass RF, Cannon MJ.
Seroprevalence of Cytomegalovirus infection in the United States, 1988-1994.
Clin Infect Dis. 2006; 43:1143.
10. Colugnati FA, Staras SA, Dollard SC, Cannon MJ. Incidence of Cytomegalovirus
infection among the general population and pregnant women in the United States.
BMC Infect Dis. 2007;7:71.
11. Prince AM, Szmuness W, Millian SJ, David DS. A serologic study of Cytomegalovirus
infections associated with blood transfusions. N Engl J Med. 1971;284:1125.
12. Preiksaitis JK, Brown L, McKenzie M. The risk of Cytomegalovirus infection in
seronegative transfusion recipients not receiving exogenous immunosuppression.
J Infect Dis. 1988;157:523.
13. Istas AS, Demmler GJ, Dobbins JG, Stewart JA. Surveillance for congenital
cytomegalovirus disease: a report from the National Congenital Cytomegalovirus
Disease Registry. Clin Infect Dis. 1995;20:665.
14. Ghekiere S, Allegaert K, Cossey V, Van Ranst M, Cassiman C, Casteels I.
Ophthalmological findings in congenital Cytomegalovirus infection: when to
screen, when to treat? J Pediatr Ophthalmol Strabismus. 2012;49:274.
15. Rivera LB, Boppana SB, Fowler KB, Britt WJ, Stagno S, Pass RF. Predictors of
hearing loss in children with symptomatic congenital Cytomegalovirus infection.
Pediatrics. 2002;110:762.
16. Boppana SB, Fowler KB, Vaid Y, Hedlund G, Stagno S, Britt WJ, et al.
Neuroradiographic findings in the newborn period and long-term outcome in
children with symptomatic congenital Cytomegalovirus infection. Pediatrics.
1997;99:409.
17. Goderis J, De Leenheer E, Smets K, Van Hoecke H, Keymeulen A, Dhooge
I. Hearing loss and congenital CMV infection: a systematic review. Pediatrics.
2014;134:972.
18. Demmler-Harrison G. Congenital cytomegalovirus infection: Clinical features
and diagnosis [Internet]. Uptodate.com. 2016 [cited 25 March 2016]. Available
from: http://www.uptodate.com/contents/congenital-cytomegalovirus-infection-
clinical-features-and-diagnosis?source=search_result&search=cytomegalovirus&se
lectedTitle=6~150
19. Ross SA, Arora N, Novak Z, Fowler KB, Britt WJ, Boppana SB. Cytomegalovirus
reinfections in healthy seroimmune women. J Infect Dis. 2010;201:386.
20. Ljungman P, Griffiths P, Paya C. Definitions of Cytomegalovirus infection and
disease in transplant recipients. Clin Infect Dis. 2002;34:1094.
21. Razonable RR, Humar A, AST Infectious Diseases Community of Practice.
Cytomegalovirus in solid organ transplantation. Am J Transplant. 2013;13 Suppl
4:93.

53
Infeksi Cytomegalovirus pada Bayi dan Anak

22. Harrison GJ. Cytomegalovirus. In: Cherry JD, Harrison GJ, Kaplan SL, et
al,editors. Feigin and Cherry’s Textbook of Pediatric Infectious Diseases, 7th ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2014. p.1969.
23. Chou S. Newer methods for diagnosis of Cytomegalovirus infection. Rev Infect
Dis. 1990;12 Suppl 7:S727.
24. Razonable RR, Hayden RT. Clinical utility of viral load in management of
Cytomegalovirus infection after solid organ transplantation. Clin Microbiol Rev.
2013;26:703.
25. Demmler-Harrison G. Acquired cytomegalovirus infection in infants, children,
and adolescents [Internet]. Uptodate.com. 2016 [cited 25 March 2016]. Available
from: http://www.uptodate.com/contents/acquired-cytomegalovirus-infection-in-
infants-children-and-adolescents?source=search_result&search=cytomegalovirus+
virus&selectedTitle=4~150
26. Nishida K, Morioka I, Nakamachi Y, et al. Neurological outcomes in symptomatic
congenital Cytomegalovirus-infected infants after introduction of newborn urine
screening and antiviral treatment. Brain Dev. 2016;38:209.
27. Treatment algorithm for congenital CMV infection [Internet]. Uptodate.com. 2016
[cited 25 March 2016]. Available from: http://www.uptodate.com/contents/imag
e?imageKey=PEDS%2F100748&topicKey=PEDS%2F98188&rank=6~150&sour
ce=see_link&search=cytomegalovirus+virus&utdPopup=true
28. Amir J, Wolf DG, and Levy I. Treatment of Symptomatic Congenital
Cytomegalovirus Infection With Intravenous Ganciclovir Followed by Long-Term
Oral Valganciclovir. Eur J Pediatr. 2010;169(9):1061-7.
29. Schornagel FA, Oudesluys-Murphy AM, Vossen AC. Valganciclovir for Congenital
Cytomegalovirus. N Engl J Med. 2015;372:2462.
30. Stagno S, Pass RF, Thomas JP, Navia JM, Dworsky ME.. Defects of tooth structure
in congenital cytomegalovirus infection. Pediatrics 1982; 69:646.

54
Hepatitis C pada Anak: Apakah Sering Terjadi
dan Dapat Disembuhkan?
Fatima Safira Alatas

Tujuan:
1. Mengetahui epidemiologi infeksi virus hepatitis C pada anak
2. Mengetahui faktor risiko infeksi virus hepatitis C pada anak
3. Mengetahui metode transmisi infeksi virus hepatitis C pada anak
4. Mengetahui tatalaksana infeksi virus hepatitis C pada anak

Infeksi Virus hepatitis C (VHC) merupakan salah satu masalah kesehatan


dan ekonomi yang besar baik pada anak maupun dewasa di negara maju dan
berkembang. Di dunia diperkirakan 150-180 juta orang terinfeksi VHC dengan
3-4 juta kasus baru dan 350 juta orang diperkirakan meninggal dunia disebabkan
oleh komplikasi infeksi VHC.1
Virus hepatitis C (VHC) merupakan bagian dari keluarga flaviviridae yang
meliputi flavivirus klasik penyebab demam kuning & dengue. Infeksi ini cukup
sering menimbulkan penyakit hati kronik, sirosis hepatis serta gagal hati dan
merupakan salah satu indikasi transplantasi hati. VHC merupakan virus RNA
rantai tunggal dengan diameter 30-60 nm yang disebarkan melalui darah serta
dapat menginfeksi manusia & simpanse.2
Pada orang dewasa, risiko penyebarannya adalah penggunaan obat-obatan
intravena, hubungan seksual dengan pasangan yang menggunakan obat-obatan
intravena, hemodialisis kronik dan transfusi darah.1,2 Sedangkan pada anak, saat
ini transmisi ibu ke bayi merupakan infeksi yang paling sering menyebabkan
infeksi pada bayi di negara maju yang disebabkan oleh tidak adanya metode
untuk pencegahan transmisi. Metode pencegahan yang sampai saat ini dianggap
cukup efektif adalah deteksi dini dan pengobatan infeksi secara efektif.3 Oleh
karena itu pada makalah ini akan diuraikan tentang diagnosis infeksi VHC
serta tatalaksananya pada anak.

Epidemiologi
Prevalensi Infeksi VHC di berbagai belahan dunia berbeda-beda. Di Eropa
dilaporkan bahwa sekitar 19 juta orang terinfeksi VHC, dengan prevalensi

55
Hepatitis C pada Anak: Apakah Sering Terjadi dan Dapat Disembuhkan?

bervariasi antar Negara yaitu antara 6%-20%. 4,5 Di Amerika Serikat yaitu
sekitar 1.3% dari populasi, insidensnya meningkat sejak tahun 2006 dengan
perkiraan terdapat 2500 kasus baru tiap tahunnya, sedangkan sebagian besar
kasus tidak terdiagnosis.6 Sedangkan di Asia sendiri seroprevalens antibodi
Hepatitis C (anti-HCV) hampir sama dengan di negara-negara lain yaitu rata-
rata 2.5% dari orang dewasa.7
Berbeda dengan infeksi VHC pada dewasa, pada anak prevalensinya relatif
lebih sedikit. Rendahnya jumlah kasus tersebut mungkin berkaitan dengan
tidak dilakukannya skrining untuk mendeteksi infeksi, serta infeksi VHC
yang biasanya asimtomatik. Prevalensi infeksi pada anak berbeda-beda antar
negara yaitu 0.05%-0.36% di Amerika Serikat dan Eropa, sedangkan di negara
berkembang dapat mencapai 1.8%-5.8%. Prevalensi tertinggi yaitu di Mesir,
Afrika sub-sahara, Amazon dan Mongolia. Sedangkan di Indonesia sendiri
diperkirakan 2% dari jumlah penduduk menderita Hepatitis C. Pada anak
prevalensi VHC sangat bervariasi yaitu sekitar 0,5% sampai 3,37% bergantung
pada letak geografis & faktor risiko.8
Walaupun prevalensi infeksi hepatitis C di dunia telah mengalami
penurunan yang signifikan sejak dilakukannya skrining pada donor darah,
namun penyebaran VHC tetap berjalan di beberapa daerah di Asia. Daerah-
daerah tersebut yaitu yang tidak melakukan skrining rutin pada donor darah,
praktek pengobatan tradisional, tatalaksana medis yang kurang bersih terutama
yang berhubungan dengan kontaminasi darah serta praktek tatto.7
Angka kematian pada orang-orang yang menderita infeksi VHC
diperkirakan 3 kali lebih tinggi daripada yang tidak terinfeksi. Sedangkan angka
harapan hidup dari orang yang terinfeksi VHC dilaporkan 22 tahun lebih muda
dibandingkan dengan yang tidak terinfeksi. Kelompok ini juga mempunyai
risiko lebih tinggi untuk menderita sirosis hepatis dan gagal ginjal.9

Genotipe VHC
Filogenetik dan analisis sekuens genom virus membagi VHC menjadi 7 genotipe
utama. Masing-masing genotype berbeda pada urutan asam amino sekitar 31%-
34%. Genotipe 1 dan 3 adalah yang terbanyak di dunia, yaitu meliputi 46%
dan 30% dari seluruh kasus VHC. Genotipe 2, 4 dan 6 mencakup 23% dari
seluruh jumlah kasus sedangkan genotipe 5 kurang dari 1%. Genotipe 1-3 dapat
ditemukan di seluruh dunia, namun yang terbanyak di Amerika dan Eropa.
Genotipe 4 terutama terdapat di Mesir, Timur Tengah dan Afrika, 5 lebih banyak
di Afrika Selatan sedangkan 6 di Asia. Genotipe 7 adalah genotipe terbaru
yang ditemukan pada pasien yang berasal dari sentral Afrika.10-13

56
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

Transmisi VHC pada anak


Transmisi VHC kronik pada anak terbanyak (30%-60%) disebarkan melalui
ibu ke anak.14 Jumlah virus yang tinggi pada ibu (≥ 106 kopi/mL) pada periode
perinatal, aktivitas inflamasi pada hati ibu, infeksi Human Immunodeficiency
Virus (HIV), partus lama, ketuban pecah dini, lamanya ketuban pecah dini,
bayi terpapar dengan darah atau cairan tubuh ibu, ibu yang pemakai narkoba,
penggunaan metode diagnostik invasif pada fetus dan penggunaan alat bantu
pada saat partus (forcep atau vakum).15-17 Risiko infeksi vertikal diperkirakan
sekitar 3%-10% yang biasanya dapat diturunkan dengan seksio sesarea.3
Peran menyusui sebagai salah satu faktor risiko untuk meningkatkan
transmisi VHC dari ibu ke anak juga masih banyak diteliti oleh berbagai
senter.18 Menyusui tidak dianggap harus dilarang pada ibu-ibu yang terinfeksi
VHC. Namun data mengenai transmisi VHC melalui Air Susu Ibu (ASI) masih
sangat terbatas, sehingga American Academy of Pediatrics (AAP) mengajurkan bila
ibu-ibu yang terinfeksi VHC ingin menyusui bayinya sebaiknya harus diberikan
konseling terlebih dahulu agar dapat mencegah transmisi virus ke bayi. 19,20

Faktor risiko serta metode transmisi VHC lain pada anak dan remaja
hampir sama dengan pada orang dewasa pada umumnya yaitu melalui
obat-obatan intravena dan intranasal, penggunaan obat-obatan terlarang,
hemodialisis kronik dan transfusi darah yang tidak melalui proses skrining,
penggunaan tindakan medis dan operasi yang tidak menggunakan prinsip-
prinsip pencegahan penularan infeksi (standard precaution), lahir dari ibu
penderita VHC, menderita HIV, hepatitis atau peningkatan enzim transaminase
kronik, penyakit hati kronik yang tidak diketahui penyebabnya, akupuntur, dan
penggunaan tatto serta transplantasi organ. Saat ini skrining pada produk darah
terhadap virus hepatitis C dengan enzyme immunoassays dan nucleic acid testing
(NAT) telah menurunkan angka infeksi VHC melalui transfusi darah secara
drastis, terutama bagi anak-anak dengan penyakit kronik yang memerlukan
transfusi berulang.21

Perjalanan penyakit infeksi VHC


Virus hepatitis C secara umum menyebar melalui kontak langsung dengan
produk darah yang terkontaminasi/terinfeksi. Masa inkubasi dari VHC dapat
sampai beberapa bulan, namun rata-rata 6-8 minggu sejak terinfeksi yang
biasanya asimtomatik sehingga sangat sulit untuk melakukan deteksi dini. Oleh
karena itu hepatitis C sering disebut sebagai “silent disease”.22
Pada saat awal infeksi VHC biasanya terjadi peningkatan enzim
transaminase yaitu alanine aminotransferase (ALT/SGPT) yang menandakan
onset gejala klinis hepatitis telah berlangsung antara 6 sampai 8 minggu.

57
Hepatitis C pada Anak: Apakah Sering Terjadi dan Dapat Disembuhkan?

Antibodi terhadap VHC (anti-hepatitis C virus/anti-HCV) dapat di deteksi


dengan radioimmunoassay (RIA) yang ditandai dengan peningkatan titer antibodi.
Sedangkan metode polymerase chain reaction (PCR) dikatakan lebih cepat dan
sensitif mulai dari 1-2 minggu setelah terpapar sebelum antibodi terhadap
VHC terdeteksi, yang biasanya terdeteksi antara 10-12 minggu pasca paparan
virus. Anti-HCV tidak menandakan kekebalan terhadap virus, oleh karena
itu anti-HCV ini dapat terdeteksi pada sebagian besar pasien yang mengalami
progresifitas penyakit menjadi infeksi kronik. Pada pasien-pasien yang dapat
mengalami klirens infeksi, enzim transaminase lama kelamaan menjadi normal
kembali dan kadar Hepatitis C virus ribonucleic acid (HCV RNA) menjadi tidak
terdeteksi. Dengan berjalannya waktu anti-HCV menurun pada saat infeksi virus
sembuh. Di lain pihak kadar HCV RNA berfluktuasi selama berlangsungnya
infeksi akut dan kronik (Gb.1).10,23
Pada sebagian besar pasien, infeksi VHC tidak dapat membaik secara
alami, antibodi penetral biasanya diproduksi selama infeksi berlangsung, namun
sebagian virus dapat bermutasi sehingga luput dari klirens. Infeksi hati akut
ini kemudian akan berubah menjadi infeksi kronik pada hampir 80% kasus.
Pada 80% kasus tersebut respon dari masing-masing individu sangat berbeda,
mulai dari gejala klinis yang ringan sampai dengan berat. Infeksi kronik tersebut
perlahan-lahan akan menyebabkan sirosis yang pada akhirnya pada sebagian
kasus menimbulkan karsinoma hepatoselular dan kematian (Gb. 2).24,25
Infeksi yang di dapat saat bayi biasanya dapat sembuh secara spontan
dibandingkan dengan yang didapat saat dewasa. Pada studi multisenter di Eropa,

Anti-HCV

HCV RNA

Gejala Klinis

SGPT

SGPT

40 IU/L

Bulan Tahun
Waktu setelah terpapar

Gambar 1. Titer anƟbody, kadar virus dan fungsi haƟ selama kurun waktu infeksi VHC10

58
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

Virus Hepatitis C

Infeksi hati akut


Klirens/
sembuh 20%

Infeksi kronik 80%

Berat Sedang Ringan

Sirosis hepatis

Kanker hati Penyakit hati tahap akhir

Gambar 2. Perjalanan penyakit virus hepaƟƟs C25

266 anak dengan infeksi vertikal diikuti selama 4.2 tahun. Pada anak-anak
dengan HCV RNA polymerase chain reaction (PCR) positif sampai lebih dari usia
1 tahun lebih banyak yang tidak dapat sembuh secara spontan bila dibandingkan
dengan HCV RNA PCR negatif pada usia 1 tahun. Pada anak-anak ini, sembuh
secara spontan biasanya ditemukan pada anak dengan genotipe Rs12979860
CC dengan polimorfisme IL28B.26 Plasenta juga dianggap mempunyai efek
imunoprotektif terhadap infeksi perinatal VHC pada neonatus. Selain itu,
bayi-bayi dengan human leukocyte antigen (HLA) DR13 juga dikatakan lebih kecil
kemungkinannya untuk mengidap infeksi VHC kronik melalui infeksi vertikal.27
Sesuai dengan kasus-kasus pada orang dewasa dengan infeksi VHC kronik,
fibrosis hati pada anak biasanya meningkat seiring dengan berjalannya usia
yang menunjukkan bahwa progresifitas dari kerusakan hati pada VHC lambat
dan jarang menjadi sirosis pada masa anak-anak.28 Namun pada studi di Itali
dengan prevalensi infeksi VHC yang cukup tinggi, ditemukan 1.8% anak dengan
anti-HCV positif yang didapat melalui infeksi vertikal menderita sirosis dalam
kurun waktu 2-9 tahun. Faktor risiko untuk terjadinya sirosis tersebut adalah
genotipe 1a dan steatosis.29
Data yang dilaporkan oleh the Studies of Pediatric Liver Transplantation
(SPLIT) Registry, yang mengambil data dari 37 pusat transplantasi hati anak

59
Hepatitis C pada Anak: Apakah Sering Terjadi dan Dapat Disembuhkan?

di Amerika, didapatkan bahwa dari 941 anak yang menjalani transplantasi


hati pada tahun 1995-2001, 9 diantaranya disebabkan oleh infeksi hepatitis
C kronik.30

Gejala klinis
Gejala klinis dari VHC akut maupun kronik biasanya ringan dan tidak spesifik
(Tabel 1). Progresifitas untuk menjadi gagal hati kronik sangat jarang ditemukan
pada anak. Pertumbuhan juga biasanya tidak terganggu pada anak-anak yang
lebih kecil dengan infeksi kronik31 dan gangguan fungsi hati yang terjadi
biasanya berfluktuasi. Enzim transaminase dapat tetap normal atau sedikit
meningkat dan sebagian kasus terjadi peningkatan yang persisten walaupun
anti-HCV negatif.32

Tabel 1. Gambaran klinis umum infeksi Virus Hepatitis C31,32

Gejala Klinis Karakteristik


Tanda dan Gejala Kuning
Lemas
Nafsu makan menurun
Mual
Demam
Diare
Sakit perut
Kulit kemerahan/pruritus

Tabel 2. Manifestasi ekstrahepatik infeksi Virus Hepatitis C33

Manifestasi ekstrahepatik terkait sistem imun


• Cryoglobulinemia campuran
• Vaskulitis Cryoglobulinemia
• Limfoma non-Hodgkin’s tipe sel B
• Sindrom Sicca
• Artralgia/mialgia
• Produksi autoantibodi (cryoglobulins, rheumatoid factor, antinuclear, anticardiolipin, antithyroid
• dan anti-smooth muscle antibodies)
• Poliarteritis nodosa
• Monoklonal gammopati
• Imun trombositopenia
Manifestasi ekstrahepatik terkait inflamasi
• Diabetes melitus tipe 2
• Insulin resistance
• Glomerulonefritis
• Insufisiensi ginjal
• Gangguan kognitif
• Depresi
• Gangguan kualitas hidup
• Poliartritis/fibromialgia
• Kelainan jantung (stroke, penyakit jantung iskemik)

60
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

Selain dari gejala klinis hepatitis yang khas seperti demam, lemas, nafsu
makan menurun, mual, sakit perut, terdapat pula manifestasi ekstrahepatik
yang berkaitan dengan infeksi VHC, contohnya : Serum sickness–like disease,
aterosklerosis, liken planus, porfiria kutanea tarda, dan lain-lain (Tabel 2).32,33

Tata laksana Infeksi VHC


Tujuan utama tatalaksana adalah mengeliminasi virus yang didefinisikan
sebagai tidak terdeteksinya RNA virus pada plasma 24 minggu setelah selesai
pengobatan. Respons virus yang terkendali (sustained virologic response/SVR)
mencegah terjadinya sirosis hepatis. Sedangkan pada pasien yang telah menjadi
sirosis sendiri SVR ini menurunkan risiko terjadinya gagal hati dan karsinoma
hepatoselular.34
Terapi infeksi VHC kronik pada anak dan remaja sampai saat ini masih
kontroversial. Pemantauan tahunan sampai dengan dewasa yang sudah
mempunyai obat-obatan lebih superior dibandingkan dengan obat-obatan
yang diperbolehkan pada anak dianggap lebih baik untuk anak-anak yang
tidak menunjukkan progresifitas penyakit. Namun bila terdapat persistensi
peningkatan enzim transaminase atau ditemukan gambaran fibrosis yang
signifikan pada biopsi hati, terapi anti-viral dapat dimulai. Terapi standar
yang telah disetujui & dianggap aman untuk diberikan pada anak dan remaja
adalah pegylated interferon 1 kali seminggu dikombinasi dengan ribavirin 2
kali sehari. Beberapa penelitian multisenter telah membuktikan bahwa terapi
kombinasi antara 2 obat tersebut dapat memberikan respons virus terkendali
(sustained virologic response /SVR) dibandingkan dengan terapi interferon saja
(Tabel 3). SVR didefinisikan sebagai HCV RNA negatif sampai dengan 6 bulan
setelah terapi anti viral. Prediktor tingginya SVR meliputi >80% SVR (genotipe
2 dan 3) serta rendahnya jumlah virus (viral load) < 60000 IU/mL (genotipe 1).
Penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa perbaikan parameter biokimiawi
dan SVR tersebut biasanya diikuti dengan perbaikan gambaran histopatologi,
serta interferon cukup aman untuk diberikan pada anak.29

Tabel 3. Rangkuman uji klinis terapi kombinasi antara pegylated interferon/ribavirin pada anak dengan
infeksi hepatitis C kronik 29
Studi Tahun N Terapi Respons virus terkendali
Seluruh tipe VHC tipe 1 VHC tipe 2/3/6
Wirth et al 2002 41 IFN-2b-ribavirin 25 (61) 18 (53) 7 (100)
González-Peralta et al 2005 118 IFN-2b-ribavirin 54 (46) 33 (36) 21 (84)
Wirth et al 2005 62 PEG-IFN-2b-ribavirin 36 (59) 22 (48) 13 (100)
Wirth et al 2010 107 PEG-IFN-2b-ribavirin 70 (65) 38 (53) 28 (93)
Schwarz et al 2011 55 PEG-IFN-2a-ribavirin 29 (53) 21 (47) 8 (80)
Schwarz et al 2011 59 PEG-IFN-2a 12 (21) 8 (17) 4 (36)

61
Hepatitis C pada Anak: Apakah Sering Terjadi dan Dapat Disembuhkan?

Sebagian besar anak dan remaja mempunyai toleransi yang baik selama
pengobatan PEG-interferon dan ribavirin bila dibandingkan dengan dewasa.
Namun hampir seluruh pasien biasanya pernah mengalami 1 kali episode yang
berkaitan dengan efek samping kombinasi obat tersebut. Kejadian-kejadian
yang pernah dilaporkan pada saat pemberian terapi (adverse event) dapat dilihat
pada tabel 4 yaitu gejala-gejala influenza (demam, penurunan nafsu makan,
lemas, kulit kering dan rambut rontok). Anemia berat dan gangguan jiwa berat
merupakan efek samping yang sangat jarang terjadi. Pada beberapa pasien yang
mengalami penurunan jumlah leukosit sebaiknya dilakukan penurunan dosis
PEG-interferon.34

Tabel 4. Efek yang paling sering terjadi (adverse event) selama terapi PEG-interferon kombinasi dengan
ribavirin34,35

Terapi Interferon α:
Leukopenia, trombositopenia
Gejala menyerupai flu
Alopesia
Autoimun tiroiditis
Psikosis akut, depresi
Hambatan pertumbuhan
Anoreksia, penurunan berat badan

Ribavirin:
Anemia

Efek samping lain yang dapat terjadi pada anak adalah gangguan
pertumbuhan. Gangguan pertumbuhan ini cukup signifikan sampai dapat jatuh
di bawah persentil 3, namun dapat kembali mengalami percepatan pertumbuhan
setelah terapi selesai. Oleh karena itu vila memungkinkan sebaiknya pemberian
terapi pada saat percepatan pertumbuhan/pubertas dihindari.35 Walaupun
demikian, terapi kombinasi polyethylene glycol (PEG)-interferon dan ribavirin
masih dianggap mempunyai toleransi yang baik pada anak. Tidak ada gangguan
yang signifikan dalam hal kualitas hidup, perkembangan perilaku, emosi dan
kognitif sebelum dan sesudah terapi.29
Di masa mendatang diharapkan dapat dilakukan program tatalaksana
infeksi VHC secara menyeluruh yang meliputi skrining infeksi VHC berkala,
edukasi & konseling berkala untuk menurunkan transmisi VHC, pengembangan
& implementasi koordinasi global dari program pemberantasan, adanya tes
diagnostik untuk mendeteksi VHC yang cepat, akurat & murah, tersedianya
obat antiviral direct-acting dengan harga terjangkau untuk mendapatkan terapi
VHC secara luas, tersedianya metode untuk mendeteksi resistensi terhadap
obat VHC, serta program pengembangan dan penelitian yang berkaitan dengan
vaksin VHC serta obat-obatan yang dapat mempercepat regenerasi sel hati dan
mengurangi fibrosis hati dapat ditingkatkan.2

62
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

Simpulan
Infeksi virus hepatitis C sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan
dan ekonomi pada dewasa maupun anak di negara-negara berkembang maupun
maju. Pada anak, transmisi tersering melalui ibu ke anak terutama pada ibu-
ibu dengan risiko tinggi. Pengobatan anti-viral pada anak masih kontroversi,
terapi kombinasi PEG-interferon dan ribavirin direkomendasikan pada anak
dengan peningkatan enzim transaminase persisten, serta histopatologi yang
menunjukkan derajat fibrosis yang signifikan pada biopsi hati. Walaupun
toleransi pengobatan kombinasi PEG-interferon dan ribavirin masih cukup
baik pada anak, namun pencegahan transmisi virus dengan cara melakukan
standard precaution pada tindakan medis dan operasi, edukasi & konseling
berkala tentang pencegahan infeksi VHC, merupakan cara yang efektif untuk
menurunkan transmisi VHC.

Daftar pustaka
1. Webster DP, Klenerman P, Dusheiko GM. Hepatitis C. Lancet. 2015; 385: 1124-35.
2. Barth H. Hepatitis C virus: Is it time to say goodbye yet? Perspectives and challenges
for the next decade. World J Hepatol. 2015; 7: 725-37.
3. Pawlowska M, Domagalski K, Pniewska A, Smok B, Halota W, Tretyn A. What’s
new in hepatitis C virus infections in children?. World J Gastroenterol. 2015; 21:
10783-9.
4. Negro F. Epidemiology of hepatitis C in Europe. Dig Liver Dis. 2014; 46 (Suppl
5): S158-64.
5. Madali ski K, Zakrzewska K, Ko akowska A, Godzik P. Epidemiology of HCV
infection in central and eastern Europe. Przegl Epidemiol. 2015; 69: 459-64.
6. Lee J, Conniff J, Kraus C, Schrager S. A Brief clinical update on hepatitis C - the
essentials. WMJ. 2015; 114: 263-9.
7. Kao JH, Chen DS. Transmission of hepatitis C virus in Asia: past and present
perspectives. J Gastroenterol Hepatol. 2000; Suppl S2: E91-6.
8. Arief S. Hepatitis virus. Dalam: Juffrie M, Soenarto SSY, Oswari H, Arief S,
Rosalina I, Mulyani NS, editor. Buku ajar gastroenterologi hepatologi. Edisi
pertama. Jakarta: Balai Penerbit IDAI; 2010. h. 306-17.
9. Ly KN, Xing J, Klevens RM, Jiles RB, Holmberg SD. Causes of death and
characteristics of decedents with viral hepatitis, United States, 2010. Clin Infect
Dis. 2014; 58: 40-9.
10. Hochmanan JA, Balistreri WF. Acute and chronic viral hepatitis. Dalam: Suchy
FJ, Sokol RJ, Balistreri WF, penyunting. Liver disease in children. Edisi ketiga.
New York: Cambridge University Press; 2007. h. 369-446.
11. Global surveillance and control of hepatitis C. Report of a WHO Consultation
organized in collaboration with the Viral Hepatitis Prevention Board, Antwerp,
Belgium. J Viral Hepat.1999; 6: 35-47.

63
Hepatitis C pada Anak: Apakah Sering Terjadi dan Dapat Disembuhkan?

12. Esteban JI, Sauleda S, Quer J. The changing epidemiology of hepatitis C virus
infection in Europe. J Hepatol. 2008; 48:148-62.
13. El-Shabrawi MH, Kamal NM. Burden of pediatric hepatitis C. World J
Gastroenterol. 2013; 19: 7880-888.
14. Méndez-Sánchez N, Ridruejo E, Alves de Mattos A, Chávez-Tapia NC, Zapata R,
Paraná R, et al. Latin American Association for the Study of the Liver (LAASL)
clinical practice guidelines: management of hepatocellular carcinoma. Ann Hepatol
2014; 13 Suppl 1: S4-40.
15. Abdel-Hady M, Bunn SK, Sira J, Brown RM, Brundler MA, Davies P, et al.
Chronic hepatitis C in children--review of natural history at a National Centre. J
Viral Hepat. 2011; 18: e535-40
16. Benova L, Mohamoud YA, Calvert C, Abu-Raddad LJ. Vertical transmission of
hepatitis C virus: systematic review and metaanalysis. Clin Infect Dis. 2014; 59:
765-73.
17. Sood A, Midha V, Bansal M, Sood N, Puri S, Thara A. Perinatal transmission
of hepatitis C virus in northern India. Indian J Gastroenterol. 2012; 31: 27-29
18. Centers for Disease Control and Prevention. Recommendations for prevention
and control of hepatitis C virus (HCV) infection and HCV-related chronic disease.
MMWR.1998; 47: 1-39.
19. National Institutes of Health. National Institutes of Health consensus development
conference statement: management of hepatitis C 2002. Hepatology. 2002; 36:(5
suppl 1): S3-20.
20. American Academy of Pediatrics. Hepatitis C. Dalam: Pickering LK, ed. Red book:
2003 report of the Committee on Infectious Diseases. Edisi ke-26. Elk Grove
Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2003. h.336-40.
21. European Association for the Study of the Liver. EASL Clinical Practice Guidelines:
management of hepatitis C virus infection. J Hepatol. 2011; 55: 245-64.
22. Von Hahn T, Yoon JC, Alter H, Rice CM, Rehermann B, Balfe P, et al. Hepatitis C
virus continuously escapes from neutralizing antibody and t-cell responses during
chronic infection in vivo. Gastroenterology. 2007; 132: 667-78.
23. Hochman JA, Balistreri WF. Chronic hepatitis: always be current. Pediatr Rev.
2003; 24: 399–409.
24. Nathans R, Chu CY, Serquina AK, Lu CC, Cao H, Rana TM. Cellular microrna
and p bodies modulate host-hiv-1 interactions. Mol Cell. 2009; 34: 696-709.
25. Sharma SD. Hepatitis C virus: Molecular biology & current therapeutic options.
Indian J Med Res. 2010; 131: 17-34.
26. Ruiz-Extremera A, Muñoz-Gámez JA, Salmerón-Ruiz MA, de Rueda PM, Quiles-
Pérez R, Gila-Medina A, et al. Genetic variation in interleukin 28B with respect
to vertical transmission of hepatitis C virus and spontaneous clearance in HCV-
infected children. Hepatology. 2011; 53: 1830-8.
27. Jara P, Resti M, Hierro L, Giacchino R, Barbera C, Zancan L, et al. Chronic
hepatitis C virus infection in childhood: clinical patterns and evolution in 224
white children. Clin Infect Dis. 2003; 36: 275-80.
28. Guido M, Rugge M, Jara P, Hierro L, Giacchino R, Larrauri J, et al. Chronic
hepatitis C in children: the pathological and clinical spectrum. Gastroenterology.
1998; 115: 1525-9.

64
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

29. Khaderi S, Shepherd R, Goss JA, Leung DH. Hepatitis C in the pediatric
population: Transmission, natural history, treatment and liver transplantation.
World J Gastroenterol. 2014; 20: 11281-6.
30. Jonas MM. Children with hepatitis C. Hepatology. 2002; 36: S173–8.
31. England K, Pembrey L, Tovo PA, Newell ML. Growth in the first 5 years of life is
unaffected in children with perinatally acquired hepatitis C infection. J Pediatr.
2005; 147: 227-32.
32. Chang MH, Ni YH, Hwang LH, Lin KH, Lin HH, Chen PJ, et al. Long term
clinical and virologic outcome of primary hepatitis C virus infection in children:
a prospective study. Pediatr Infect Dis J. 1994; 13: 769-73.
33. Cacoub P, Comarmond C, Domont F, Savey L, Desbois AC, Saadoun D.
Extrahepatic manifestations of chronic hepatitis C virus infection. Ther Adv
Infect Dis. 2016; 3: 3-14.
34. Wirth S. Current treatment options and response rates in children with chronic
hepatitis C. World J Gastroenterol. 2012; 18: 99-104.
35. Wirth S, Kelly D, Sokal E, Socha P, Mieli-Vergani G, Dhawan A, et al. Guidance
for clinical trials for children and adolescents with chronic hepatitis C. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2011; 52: 233-7.

65
Pertussis - A Re-Emerging Infection
in Children and Adolescence
Nastiti Kaswandani

Tujuan:
1. Memahami beban kesehatan masyarakat karena pertusis
2. Memahami manifestasi klinis pertusis pada anak dan remaja
3. Memahami tata laksana pertusis

Pertusis (whooping cough) atau dahulu juga dikenal sebagai batuk rejan adalah
penyakit pada saluran pernapasan yang disebabkan oleh bakteri Bordetella
pertussis yang hidup di mulut, hidung, dan tenggorok. Anak-anak yang terkena
pertusis dapat mengalami batuk panjang yang bisa berlangsung empat sampai
delapan minggu, oleh sebab itu di masyarakat penyakit ini dahulu juga disebut
dengan batuk seratus hari. Pertusis menyebar dengan mudah dari satu anak ke
anak lain melalui droplet yang dihasilkan oleh batuk atau bersin.1,2
Data WHO pada tahun 2014 menunjukkan bahwa terdapat 139.786
kasus pertusis selama tahun 2014, dengan estimasi mortalitas kasus sebanyak
89.000 kematian.3 Cakupan imunisasi DPT (difteri pertussis tetanus) yang
sudah mencapai batas proteksi secara global semestinya bisa mengurangi angka
infeksi bahkan meminimalkan angka kematian akibat pertusis. Beberapa studi
mendapatkan terjadinya peningkatan infeksi pertusis pada anak sekolah, remaja
maupun dewasa. Transmisi yang masih terjadi dipikirkan sebagai penyebab
meningkatnya kembali angka kematian dan kesakitan bayi dan balita akibat
pertusis, terutama pada bayi yang belum sempat mendapat imunisasi atau
yang orangtuanya menolak untuk dilakukan imunisasi. Peralihan penggunaan
vaksin DPT sel utuh (whole-cell) menjadi DPT aselular juga menjadi wacana
berkurangnya imunitas terhadap pertusis terutama pada anak di atas usia 5
tahun.2,4,5,6 Oleh karena itu WHO maupun institusi kesehatan lain menganggap
serius pertusis sebagai ancaman kembali bagi kesehatan anak di dunia. Makalah
ini akan membahas pertusis sebagai penyakit infeksi yang kembali menjadi
masalah kesehatan bagi anak, termasuk manajemen dan pencegahannya.

66
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

Etiologi
Pertusis disebabkan oleh kuman Bordetella pertussis (95%) dan kadang-kadang
oleh Bordetella parapertusis, terdapat 9 spesies kuman dengan genus bordetella
namun hanya 5 jenis saja yang diketahui dapat menyebabkan infeksi di saluran
napas atas.1,2,4-6 Kuman Bordetella pertussis merupakan kuman Gram negatif
berukuran kecil yang menginfeksi sel epitel bersilia pada saluran napas manusia
dan memiliki berbagai komponen antigen yang secara biologis aktif. Bakteri ini
mengekspresikan beberapa faktor penentu virulensi, di antaranya : pertussis toxin
(PT), filamentous haemagglutinin (FHA), pertactin (PRN), fimbriae (FIM) tipe 2 and
tipe 3, adenylate cyclase toxin (ACT), tracheal cytotoxin (TCT) and lipopolysaccharide
(LPS). Beberapa bakteri dan virus seperti mycoplasma, respiratory syncytial virus
(RSV) dan virus parainfluenzae bisa menyebabkan gejala pertussis-like diseases.5,7

Epidemiologi
Manusia merupakan satu-satunya host (pejamu) kuman Bordetella pertusis. Pertusis
merupakan penyakit infeksi saluran napas yang menyebar di seluruh dunia dan
dapat menyerang semua usia, namun demikian semakin muda usia saat terkena
akan semakin berat gejala klinisnya terutama pada bayi. 1,2,5,6 Pertusis telah
merupakan endemi di seluruh dunia dan mempunyai siklus epidemik yaitu
kejadiannya berulang sekitar 2-5 tahun (terutama 3-4 tahun) sekali bahkan di
era vaksinasi sekali pun.
Epidemiologi pertusis sangat dipengaruhi oleh imunisasi. Angka kejadian
dan kematian penyakit pertusis menurun di negara maju maupun berkembang
di dunia sejak diperkenalkannya vaksin difteri, pertusis, tetanus (DPT) tahun
di 1940-an. Jika imunisasi DPT tidak tersedia, diperkirakan akan terdapat lebih
dari 1,3 juta angka kematian akibat pertusis pada tahun 2001.3
Dalam beberapa tahun terakhir, di berbagai negara dengan angka cakupan
imunisasi yang tinggi, dilaporkan terjadinya peningkatan insidens pertusis
terutama pada kelompok usia remaja dan dewasa. Suatu studi di Inggris
mendapatkan bahwa 56 dari 215 anak usia sekolah yang berobat di layanan
primer dengan keluhan batuk persisten ternyata terinfeksi pertusis. Risiko
pertusis tiga kali lebih tinggi pada anak dengan imunisas pertusis terakhir 7
tahun sebelumnya atau lebih, dibandingkan dengan yang kurang dari 7 tahun.8
Peningkatan insiden pertusis pada beberapa negara yang cakupannya baik
menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas vaksin DPT. Hal yang mungkin
dapat menjelaskan laporan kenaikan kasus pertusis di negara maju adalah
adaptasi patogen terhadap vaksinasi, surveilans yang semakin baik, kemajuan
dalam fasilitas diagnostik, berkurangnya imunitas pejamu, dan kualitas vaksin
yang buruk. Pertusis yang tadinya dianggap sebagai penyakit bayi dan anak, kini

67
Pertussis – A Re-Emerging Infection in Children and Adolescence

umum dijumpai pada anak-anak dan remaja. Banyak studi mendapatkan bahwa
kekebalan yang diberikan oleh vaksin DPT baik yang aselular maupun yang
berupa sel utuh telah menurun dalam beberapa tahun terakhir. Menurunnya
kekebalan yang diinduksi oleh vaksin terhadap pertusis telah menjadi kendala
utama dalam menghadapi pertusis sebagai masalah kesehatan masyarakat.9
Di Asia Tenggara angka kejadian pertusis pada 5 tahun terakhir
menunjukkan fluktuasi.10 WHO melaporkan bahwa pada tahun 2014 cakupan
imunisasi DPT3 mencapai 86% dan jumlah bayi di bawah usia 1 tahun yang
tidak menerima DPT3 di seluruh dunia berjumlah 18,7 juta bayi. Lebih dari
60% kasus terjadi di 10 negara yaitu Kongo, Ethiopia, India, Indonesia, Irak,
Nigeria, Pakistan, Filipina, Uganda and Afrika Selatan. Hal ini menunjukkan
masih terjadinya transmisi pertusis oleh anak, remaja dan dewasa terhadap bayi
yang belum terlindung imunisasi. Peluang transmisi terhadap bayi yang belum
mencapai usia untuk mendapatkan imunisasi pertama juga menjadi potensi
tingginya angka kematian akibat pertusis.11

Patogenesis
Transmisi kuman pertusis terjadi melalui percik renik (droplet) yang berasal
dari percikan batuk atau bersin pasien pertusis yang terhirup ke saluran napas
atas oleh seseorang yang rentan. Proses transmisi ini terutama terjadi pada saat
awal penyakit yaitu pada fase kataral dan fase paroksismal awal. Masa inkubasi
pertusis umumnya 7-10 hari namun dapat berkisar antara 4-21 hari. Pada kasus
dengan kontak serumah seringkali didapatkan gejala klinis mulai timbul hingga

Gambar 1. Sinergi toksin pertusis dan hemagluƟnin filamentosa pada sel epitel respiratorik 12

68
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

4 minggu setelah awitan gejala pada sumber penularan. 1,2,5,6


Faktor virulensi kuman pertusis ada 2 yaitu adhesin dan toksin. Adhesin
memfasilitasi perlekatan bakteri pada epitel dan memfagositosis sel pejamu.
Toksin akan menghancurkan sel saluran napas dan sel fagosit untuk membantu
invasi bakteri ke dalam sistem imun pejamu. Adhesin yang utama terdiri dari 2
protein fimbrial (FIM2 dan FIM3), hemaglutinin filamentosa (FHA), pertactin
(PRN) sedangkan toksin terdiri dari tracheal cytotoxin (TCT) yang beraksi secara
sinergis dengan lipopolysaccharide (LPS), toksin pertusis (PT) dan toksin adenilate
cyclase (ACT).5-7 Secara skematis hal ini tersaji pada Gambar 1.
Setelah terpapar dengan kuman Bordetella pertusis, terdapat 4 tahapan
penting dalam patogenesis infeksi pertusis yaitu proses perlekatan (attachment),
perubahan mekanisme pertahanan host (evasion of host defenses), kerusakan lokal
dan penyakit sistemik. Infeksi dimulai dengan perlekatan kuman di saluran
napas yaitu pada silia sel epitel bersilia. Faktor adhesin yang dihasilkan kuman
misalnya hemaglutinin filamentosa akan memfasilitasi proses perlekatan ini.
ACT dan PT akan mempengaruhi fungsi sel imun sehingga infeksi akan berjalan
terus dan berlanjut. PT berfungsi mencegah migrasi limfosit dan makrofag ke
daerah infeksi dan mempengaruhi fungsi fagositosis. ACT akan memasuki
sel fagosit dan mengkatalisasi produksi cAMP yang berlebihan sehingga akan
menyebabkan intoksikasi netrofil dan menurunkan kemampuan fagositosis.
Proses selanjutnya adalah terjadinya kerusakan lokal di saluran napas yang
utamanya dilakukan oleh TCT.2,5,7

Gejala pertusis
Manifestasi klinis infeksi Bordetella pertusis sangat bervariasi tergantung usia,
riwayat imunisasi atau infeksi sebelumnya. Gejala klasik pertusis umumnya
terjadi pada infeksi primer yang mengenai anak usia 1-10 tahun yang tidak
diimunisasi (tidak mempunyai kekebalan). Gejala ini akan berlangsung 6-20
minggu dan terdiri dari 3 tahap/fase: 1,2,5,6
1. Fase kataral (1-2 minggu)
Karakteristik fase kataral adalah adanya pilek, mata merah, lakrimasi,
malaise dan batuk ringan yang menyerupai selesma. Suhu tubuh dapat
normal atau demam ringan. Intensitas dan frekuensi batuk akan semakin
memberat dalam 1-2 minggu
2. Fase paroksismal (1-4 minggu)
Fase ini didominasi oleh gejala batuk yang berat dan terjadi secara
paroksismal. Setiap serangan batuk terdiri dari 5-10 kali batuk yang keras
tanpa diawali inspirasi dan diakhiri oleh satu tarikan napas (inspirasi) panjang
yang menyebabkan bunyi whoop. Selama episode batuk, mukus dalam jumlah

69
Pertussis – A Re-Emerging Infection in Children and Adolescence

besar akan dikeluarkan dan sering menimbulkan muntah. Sianosis, bulging


eyes, salivasi, protrusi lidah, lakrimasi dan distensi vena-vena leher terjadi
selama serangan batuk. Serangan ini dapat terjadi beberapa kali dalam
satu jam dan terjadi siang dan malam. Penurunan berat badan dapat terjadi
akibat muntah dan anak yang sulit makan dan minum. Di antara episode
serangan biasanya pasien tampak normal dan tidak ada sesak.
3. Fase konvalesen (1-2 minggu)
Fase ini ditandai dengan intensitas dan frekuensi batuk yang secara
bertahap berkurang, termasuk episode muntah dan suara whoop. Batuk
non paroksismal dapat menetap selama beberapa bulan.
Spektrum klinis pertusis pada bayi bervariasi tergantung usia, imunisasi
serta ada tidaknya antibodi yang didapat secara transplasenta. Gejala klinis non
klasik ringan cukup sering dijumpai pada infeksi kuman pertusis. Umumnya
hal ini terjadi pada anak yang telah diimunisasi sebelumnya, namun dapat
juga terjadi pada infeksi primer anak yang belum imunisasi. Angka kematian
tertinggi akibat pertusis umumnya terjadi pada saat neonatus atau pada awal
masa bayi. Pada usia neonatus, gejala pertusis diawali dengan kesulitan
minum, napas cepat dan batuk. Fase kataral sangat singkat atau bahkan tidak
ada. Umumnya neonatus tidak menunjukkan gejala batuk paroksismal atau
batuk yang khas untuk pertusis. Apnu, tampak seperti tersedak, sianosis dan
bradikardia seringkali menjadi gejala awal pertusis pada masa neonatus. Gejala
ini umumnya dapat muncul saat usia 1 minggu dan kemudian memerlukan
perawatan di rumah sakit saat usia 2-3 minggu dan kadang-kadang memerlukan
intubasi endotrakeal dan bantuan ventilasi mekanik.
Bayi yang berusia <3 bulan juga tidak menunjukkan gejala klasik. Fase
kataral biasanya berlangsung beberapa hari dan seringkali tidak diperhatikan.
Selanjutnya dipicu oleh suara, cahaya, gerakan menghisap atau gerakan stretching,
bayi yang awalnya normal akan tiba-tiba tampak seperti tersedak, gasping, dan
menunjukkan gerakan seperti mengayuh disertai wajah yang memerah. Gejala
batuk tidak dominan terutama pada fase awal penyakit. Suara whoop jarang
terjadi pada serangan paroksismal. Apnu dan sianosis dapat mengikuti gejala
batuk paroksismal, namun dapat juga apnu merupakan gejala tunggal yang tidak
berhubungan dengan batuk. Gejala apnu dan sianosis lebih sering dijumpai
pada pertusis dibandingkan dengan infeksi virus di saluran napas, termasuk
respiratory Syncitial Virus (RSV).13

Gejala pertusis pada anak dan remaja1-4


Remaja dan anak yang telah diimunisasi sebelumnya akan mengalami gejala
pertusis yang lebih singkat untuk setiap fase. Gejala klasik yang dijumpai pada

70
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

remaja dapat berupa rasa tercekik yang tiba-tiba diikuti oleh batuk yang terus
menerus (uninterrupted cough), rasa sufokasi, sakit kepala yang hebat, kehilangan
kesadaran tiba-tiba atau napas yang gasping, biasanya tanpa disertai suara whoop.
Muntah pasca batuk dan batuk paroksismal umumnya diselingi jeda waktu
beberapa jam. Remaja dengan pertusis biasanya tampak baik-baik saja. Sekitar
30% remaja dengan pertusis memiliki gejala batuk yang tidak spesifik, hanya
ditandai dengan lama batuk >21 hari.14 Selain post viral cough, pertusis merupakan
etiologi batuk yang berlangsung lebih dari 3 minggu.15 Keadaan inilah yang
seringkali membuat pertusis pada remaja tidak dikenali dan akhirnya remaja ini
menjadi sumber penularan bagi bayi dan anak usia muda.16 Pada pemeriksaan
fisis tidak dijumpai tanda infeksi saluran napas bawah, kecuali jika diperberat
dengan pneumonia bakterial sekunder. Perdarahan konjungtiva dan petekie
pada bagian atas tubuh lazim dijumpai.

Komplikasi pertusis
Komplikasi akibat pertusis juga sangat bervariasi dan umumnya terjadi pada
bayi usia muda. Komplikasi pada sistem respiratori adalah bronkopneumonia
dengan atau tanpa atelektasis, hipertensi pulmonal, otitis media (umumnya
disebabkan sekunder oleh patogen lain). Pertusis juga sering dihubungkan
dengan aktivasi tuberkulosis laten, apnu, asfiksia, bronkiektasis, emfisema
interstisial dan subkutan serta pneumotoraks. Komplikasi di susunan saraf pusat
mencapai 14% kasus meliputi ensefalopati dengan kejang, meningoensefalitis
yang dapat memburuk menjadi stupor atau koma. Perdarahan dan edema
serebral dapat terjadi. Gejala sisa jangka panjang dapat terjadi yaitu paralisis
spastik dan retardasi mental. Kematian umumnya disebabkan oleh pneumonia,
hipertensi pulmonal, atau kematian mendadak akibat hipoksemia berat. 1,2,5,6

Diagnosis pertusis
Pertusis harus dicurigai pada bayi usia muda dengan imunisasi 3 dosis DPT
yang tidak lengkap dan menunjukkan gejala klasik atau pada anak dengan gejala
mayor seperti batuk kronik paroksismal tanpa demam yang signifikan, keadaan
umum kurang baik, nyeri tenggorok tanpa gejala mengi atau ronki. Pada kasus
sporadik definisi kasus klinis adalah batuk >14 hari dengan minimal salah satu
gejala, paroksismal, suara whoop, atau muntah pasca batuk.1,2
Infeksi adenovirus memiliki gejala yang mirip dengan pertusis, namun
dapat dibedakan dengan adanya demam, nyeri menelan dan kojungtivitis.
Infeksi mycoplasma dapat menyebabkan episode batuk yang protracted namun
pasien umumnya memiliki gejala demam, sakit kepala dan gejala sistemik

71
Pertussis – A Re-Emerging Infection in Children and Adolescence

sejak awal penyakit hingga timbul gejala batuk yang terus menerus serta pada
pemeriksaan fisis sering ditemukan ronki basah pada auskultasi dada. Walaupun
demikian seringkali sulit membedakan infeksi pertusis dengan mikoplasma
hanya berdasarkan gejala klinis saja. Infeksi Chlamydia trachomatis juga menjadi
diagnosis banding pertusis.2,4 Pada infeksi Chlamydia didapatkan batuk staccato,
konjungtivitis purulen, napas cepat, ronki atau mengi.2
Pada pertusis didapatkan lekositosis (15.000-100.000 sel/ul) yang
disebabkan oleh limfositosis terutama pada fase kataral. Limfositosis yang
terjadi merata antara sel T dan sel B dengan bentuk sel normal, berbeda
dengan limfositosis akibat infeksi virus yang umumnya jenis limfositnya atipikal
dengan sel yang besar.2 Peningkatan netrofil menunjukkan adanya infeksi
bakterial sekunder. Kematian biasanya berhubungan dengan jumlah lekositosis
maupun trombositosis yang sangat tinggi. Gambaran foto dada umumnya hanya
menunjukkan kelainan minimal atau infiltrat perihilar (butterfly appearance)
dan gambaran atelektasis yang bervariasi.1,2 Gambaran konsolidasi parenkim
umumnya jika disertai infeksi bakterial sekunder , gambaran komplikasi
dapat ditemukan berupa pneumothorax, pneumomediastinum, dan emfisema
subkutan.2

Gambar 2. Manifestasi dan komplikasi pertusis17

72
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

Berbagai metode untuk konfirmasi pasti infeksi B.pertusis memiliki


keterbatasan dalam sensitivitas, spesifisitas maupun kepraktisan. Metode
diagnostik yang menjadi baku emas adalah kultur kuman. Kesulitan metode
ini adalah harus memperhatikan cara pengambilan, transportasi, dan tehnik
isolasi sampel.2,5 Spesimen diambil dengan aspirasi nasofaring atau swab
nasofaring. Spesimen dimasukkan ke media transpor khusus dan di kultur
(hasil kultur 7 hari). Polymerase chain reaction (PCR) terhadap spesimen bilasan
nasofaring memiliki sensitivitas yang sama dengan kultur. Rapid test dengan
menggunakan Direct Fluorescent Antibody (DFA) cukup baik untuk mendeteksi
antibodi B.pertussis dan B.parapertussis.2 Hasil positif pada PCR dan DFA
umumnya didapatkan fase kataral dan awal fase paroksismal untuk anak yang
belum diimunisasi. Tes serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen
pertusis pada fase akut dan konvalesen merupakan metode diagnostik yang
paling sensitif untuk dilakukan pada anak yang sudah diimunisasi.2 Manifestasi
gejala dan komplikasi serta pemeriksaan penunjang yang bisa ditegakkan dalam
mendiagnosis pertusis berdasarkan waktu ditampilkan secara skematis pada
gambar 2.

Tata laksana pertusis


Penatalaksanaan pertusis bertujuan untuk mengurangi jumlah serangan
paroksismal, mengevaluasi derajat keparahan batuk, memberikan bantuan saat
serangan paroksismal, memaksimalkan asupan nutrisi, istirahat yang cukup,
dan proses penyembuhan tanpa gejala sisa.2,4 Secara umum indikasi rawat
inap pada pertusis adalah semua bayi usia <3 bulan, usia 3-6 bulan kecuali
jika gejala saat paroksismal tidak berat, pasien dengan komplikasi, dan pasien
dengan penyakit dasar tertentu seperti kelainan jantung, kelainan neromuskular
dan kelainan paru.1,2,5,6 Selama perawatan di rumah sakit dokter menilai
progresivitas penyakit, dan ancaman kematian saat serangan paroksismal,
mencegah serta mengatasi komplikasi, serta mengedukasi orangtua mengenai
perjalanan penyakit dan perawatan yang akan diberikan di rumah.2,4,6 Selama
perawatan perlu pemantauan laju nadi, laju napas dan pulse oxymetry, sehingga
derajat keparahan serangan paroksismal dapat dinilai. Karakteristik serangan
paroksismal yang tidak mengancam jiwa adalah lama <45 detik, pasien tidak
tampak biru, takikardia, bradikardia (tidak < 60x/menit pada bayi), desaturasi
yang secara spontan membaik di akhir serangan, adanya kemampuan untuk
whooping atau melakukan inspirasi yang adekuat di akhir serangan, dan mampu
mengeluarkam sputum/mucus plug.1,2,6
Pemberian antibotik terindikasi pada pasien tersangka pertusis atau
pertusis yang telah terbukti secara laboratoris. Antibiotik pilihan untuk pertusis
adalah golongan makrolid. Pasien yang dirawat dapat dipulangkan jika dalam

73
Pertussis – A Re-Emerging Infection in Children and Adolescence

periode 48 jam derajat keparahan penyakit membaik atau tidak bertambah


buruk, tidak ada intervensi yang perlu dilakukan saat serangan, asupan nutrisi
baik, tidak ada komplikasi dan orangtua telah dipersiapkan untuk perawatan di
rumah. Pasien pertusis sebaiknya dirawat di ruang isolasi hingga 5 hari setelah
pemberian antibiotik. Rekomendasi pemberian antibiotik tercantum pada tabel
1. Pemberian antibiotik profilaksis pada kontak serumah masih kontroversial,
namun American Academy of Pediatric menganjurkan pemberian profilaksis pada
semua kontak serumah tanpa memandang usia atau status imunisasi.18

Tabel 1. Rekomendasi Terapi Antibiotik pada Pertusis berdasarkan Usia19


Usia Azitromisin Eritromisin Klaritromisin TMP-SMZ (Alternatif)
< 1 bulan 10 mg/kg/hari;dosis Berhubungan dengan Tidak direkomen- Kontraindikasi pada <
tunggal; 5 hari hipertrofi stenosis dasikan 2 bulan
pilorik, gunakan jika
azitromisin tidak terse-
dia. 40-50 mg/kg/hari
dibagi 4 dosis;14hari
1-5 bulan 10 mg/kg/hari;dosis 40-50 mg/kg/hari dibagi 15 mg/kg/hari Kontraindikasi pada
tunggal; 5 hari 4 dosis;14 hari dibagi2 dosis;7 <2 bulan. Pada bayi ≥2
hari bulan: TMP 8 mg/kg/hari
plus SMZ 40 mg/kg/hari
dibagi 2 dosis;14 hari
≥ 6 bulan 10 mg/kg/hari dosis 40-50 mg/kg/hari (maks 15 mg/kg/hari TMP 8 mg/kg/hari plus
dan anak tunggal pada hari 2 g/hari) dibagi 4 dosis;14 dibagi2 dosis;7 SMZ 40 mg/kg/hari
pertama dan selan- hari hari (maks 1g/ dibagi 2 dosis;14 hari
jutnya 5 mg/kg/hari hari)
(maks 250 mg) pada
hari 2-5

Prognosis
Prognosis pertusis tergantung usia pasien, pada anak besar dan remaja prognosis
pertusis baik, sedangkan pada bayi memiliki risiko tinggi kematian dan terjadinya
ensefalopati. Adanya apnu dan kejang selama proses penyakit menimbulkan
gangguan intelektual pada pengamatan jangka panjang. Anak yang mengalami
pertusis sebelum usia 2 tahun dilaporkan mengalami abnormalitas pada fungsi
parunya hingga saat dewasa.

Imunisasi pertusis
Tujuan utama imunisasi pertusis adalah untuk menurunkan risiko pertusis berat
pada bayi. Semua anak di dunia termasuk HIV positif harus diimunisasi DPT.
Semua negara harus memiliki jadwal imunisasi dasar yang mencakup pertusis
dan mempertahankan angka cakupan imunisasi sebesar 90% skala nasional

74
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

maupun subnasional (propinsi). Perlindungan terhadap pertusis akan diperoleh


dari vaksin setelah imunisasi dasar pertusis sel utuh maupun aselular. Meskipun
reaktogenisitas lokal maupun sistemik lebih sering dijumpai pada vaksin sel utuh
namun keduanya terbukti memiliki profil keamanan vaksin yang meyakinkan.
Peralihan dari vaksin pertusis sel utuh ke aselular pada imunisasi dasar
dipertimbangkan jika imunisasi booster atau maternal dapat dipertahankan
dan dijamin secara nasional. WHO position paper pada tahun 2015 membuat
rekomendasi sebagai berikut:20
 merekomendasikan 3 serial imunisasi dasar pertusis, dosis pertama paling
awal usia 6 minggu
 dosis selanjutnya diberikan jarak 4-8 minggu; yaitu usia 10-14 minggu dan
14-18 minggu
 dosis terakhir atau ketiga imunisasi dasar idealnya sudah lengkap sebelum
usia 6 bulan
 bayi atau anak yang belum lengkap imunisasinya harus diberikan pada usia
berapapun pada kesempatan pertama
 program nasional yang menggunakan jadwal berbeda dengan panduan
WHO direkomendasikan untuk melakukan surveilans untuk mengevaluasi
jadwal tersebut dan memonitor pola penyakit secara lokal

Apabila imunisasi pertusis sel utuh diberikan sesuai jadwal, imunisasi


tersebut akan melindungi anak sampai usia 6 tahun, sedangkan pertusis aselular
perlindungan mungkin berkurang sampai sebelum usia 6 tahun. Anak yang
berusia 7 tahun atau lebih maka sebaiknya diberikan vaksin aselular.
Meskipun booster satu dosis pada remaja telah terbukti menurunkan angka
kejadian pertusis pada remaja, hal ini belum menjadi rekomendasi umum
dalam perlindungan pertusis terhadap bayi. Implementasi booster remaja dan/
atau dewasa hanya disarankan setelah analisis epidemiologi lokal. Bila negara
telah mengimplementasikan pemberian imunisasi pada orang dewasa, imunisasi
terhadap tenaga kesehatan harus diprioritaskan terutama yang kontak dengan
wanita hamil dan bayi. Imunisasi wanita hamil merupakan strategi tambahan
yang efektif untuk memberikan proteksi bagi bayi yang masih terlalu muda untuk
diimunisasi. Strategi ini juga dianggap lebih baik dibandingkan dengan cocoon
strategy (cocooning) yaitu suatu strategi memberikan imunisasi pada orangtua
atau kontak terdekat untuk melindungi bayi sebelum usia imunisasi.21 WHO
menyarankan untuk memberikan 1 dosis TdaP pada semester 2 atau 3 atau
paling lambat 15 hari sebelum kelahiran. Pemberikan DPT aselular maupun
sel utuh tidak menimbulkan masalah jika 2 injeksi diberikan bersamaan dan
dapat diberikan pada 2 ekstremitas yang berbeda. WHO juga mengingatkan
adanya kebutuhan mendesak dilakukannya surveilans penyakit terutama pada

75
Pertussis – A Re-Emerging Infection in Children and Adolescence

negara ekonomi menengah ke bawah untuk mengevaluasi dampak imunisasi


pada bayi dengan fokus fatalitas pertusis pada bayi usia kurang dari 1 tahun
dengan melakukan survey-survey di rumah sakit. Selain identifikasi masalah
epidemiologi, penelitian untuk mendapatkan tata laksana terbaik berbasis bukti
juga sangat diperlukan terutama pada kondisi sakit berat yang memerlukan
perawatan intensif.22

Simpulan
Morbiditas dan mortalitas akibat pertusis masih merupakan masalah kesehatan
global di seluruh dunia terutama di negara berkembang. Peningkatan insidens
pada remaja dan dewasa dipikirkan akibat menurunnya proteksi vaksin pertusis
seiring dengan bertambahnya usia. Transmisi dari anak besar dan dewasa
memiliki potensi berbahaya bagi bayi yang belum mencapai usia imunisasi
ataupun yang orangtuanya menolak imunisasi. Selain gejala klasik pertusis, perlu
dikenali gejala non klasik pada bayi muda maupun remaja dan dewasa. Tata
laksana pertusis adalah pemberian antibiotik pilihan yaitu golongan makrolid
dan terapi suportif. Upaya penegakan diagnosis pertusis secara definitif penting
dilakukan untuk memperoleh gambaran besaran masalah pertusis sebagai
ancaman kesehatan bagi bayi dan anak.

Daftar pustaka
1. Tozzi AE, Celentano LP, degli Atti MLC, Salmaso S. Diagnosis and management
of pertussis. CMAJ 2005;172:509-15.
2. Guiso N. How to fight pertussis? Ther Adv Vaccines. 2013;1:59–66.
3. World Health Organization. Global and regional immunization profile 2014.
4. Syed MA, Bana NF. Pertussis; A reemerging and an underreported infectious
disease. Saudi Med J. 2014;35:1181-7.
5. Bamberger ES, Srugo I. What is new in pertussis ? Eur J Pediatr. 2008;167:133-9.
6. Hong JY. Update on pertussis and pertussis immunization. Korean J Pediatr
2010;53:629-33.
7. Melvin JA, Scheller EV, Miller JF, Cotter PA. Bordetella pertussis pathogenesis:
current and future challenges. Nat Rev Microbiol. 2014;12: 274–88.
8. Wang K, Fry NK, Campbell H, Amirthalingam, Harrison TG, Mant D, Harnden
A. Whooping cough in school age children presenting with persistent cough in
UK primary care after introduction of the preschool pertussis booster vaccination:
prospective cohort study. BMJ 2014;348:g3668doi: 10.1136/bmj.g3668 (Published
24 June 2014)
9. Della Torre JAG, Benevides GN, Melo AMAGP, Ferreira CR. Pertussis: the
resurgence of a public health threat. Autopsy Case Rep [Internet]. 2015; 5(2):9-16.
http://dx.doi.org/10.4322/acr.2015.006

76
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

10. WHO South East Asia. Global and regional immunization profile 2014.
11. Sáfadi MAP. Pertussis in young infants: a severe vaccine-preventable disease
[editorial]. Autopsy Case Rep [Internet]. 2015; 5(2):1-4. http://dx.doi.org/10.4322/
acr.2015.010
12. Kerr JR, Matthews RC. Bordetella pertussis infection: pathogenesis, diagnosis,
management, and the role of protective immunity. Eur J Clin Microbiol Infect
Dis. 2000;19:77-88
13. Nicolai A, Nenna R, Stefanelli P, Carannante A, Schiavariello C, Pierangeli A, et al.
Bordetella pertussis in infants hospitalized for acute respiratory symptoms remains
a concern. BMC Infectious Diseases 2013, 13:526 http://www.biomedcentral.
com/1471-2334/13/526
14. Philipson K, Goodyear-Smith F, Grant CC, Chong A, Turner N, Stewart J. When
is acute persistent cough in school-age children and adults whooping cough? Br
J Gen Pract 2013; e573-9.
15. Shields MD, Thavagnanam S. The difficult coughing child: prolonged acute cough
in children. Cough. 2013; 9:11-5.
16. Althouse BM, Scarpino SV. Asymptomatic transmission and the resurgence of
Bordetella pertussis. BMC Medicine. 2015. DOI 10.1186/s12916-015-0382-8
17. Cherry JD, Brunell PA, Golden GS. Report of the task force on pertussis and
pertussis immunization-1988. Pediatrics. 1988;81[Suppl]:939-84.
18. American Academy of Pediatrics: Active immunization. Pertussis. Dalam: Pickering
LK, penyunting: 2003 Red Book. Report of the Committee on Infectious Disease.
Elk Grove Village, III: American Academy of Pediatrics, 2003. h.472-86.
19. Shehab ZM. Pertussis. Dalam: Taussig LM, Landau LI, penyunting. Pediatric
respiratory medicine. Edisi ke-2. Philadelphia PA: Elsevier Mosby;2008.h.589-97.
20. World Health Organization: Pertussis vaccines: WHO position paper-August 2015.
Weekly epidemiological record 2015;90:443-60.
21. Urwyler P, Heininger U. Protecting newborns from pertussis – the challenge of
complete cocooning. BMC Infectious Diseases 2014, 14:397
22. Burr JS, Jenkins TL, Harrison R, Meert K, Anand KJS, Phil D, et al.The
Collaborative Pediatric Critical Care Research Network (CPCCRN) Critical
Pertussis Study: Collaborative Research in Pediatric Critical Care Medicine. Pediatr
Crit Care Med. 2011 July ; 12(4): 387–392. doi:10.1097/PCC.0b013e3181fe4058.

77
Pemeriksaan Pencitraan pada Infeksi Paru
Evita Karianni Bermanshah Ifran

Tujuan:
1. Mengetahui cara mengevaluasi foto toraks dan gambaran normal
foto toraks.
2. Mengetahui gambaran abnormal pada foto toraks.
3. Mengetahui gambaran foto toraks pada infeksi paru karena virus.
4. Mengetahui gambaran foto toraks pada infeksi paru karena bakteri.
5. Mengetahui gambaran foto toraks pada infeksi paru karena penyebab
lainnya.

Infeksi saluran napas bawah akut merupakan penyebab morbiditas dan


mortalitas terbanyak infeksi paru pada anak. Sebanyak 50-60% infeksi saluran
napas bawah akut disebabkan oleh virus atau virus-like organism.1 Penyebab infeksi
pada anak dapat disebabkan oleh lebih dari satu mikroorganisme. Pemeriksaan
pencitraan merupakan salah satu pemeriksaan penunjang untuk mencari
penyebab infeksi. Perbedaan pemeriksaan pencitraan pada anak dan dewasa
adalah anak masih dalam proses tumbuh kembang sehingga gambaran yang
terlihat dapat bervariasi sesuai perkembangan dan maturitas organ pada anak.
Pemeriksaan secara sistematis sangat diperlukan untuk menemukan kelainan.
Infeksi merupakan salah satu indikasi pemeriksaan pencitraan. Pemilihan
modalitias pencitraan didasarkan pada usia anak serta besarnya risiko akibat
radiasi pada anak di kemudian hari. Pada neonatus, pemeriksaan konvensional
foto toraks masih merupakan pilihan pertama pada kecurigaan adanya kelainan
pada saluran napas atau distres pernapasan. Modalitas pencitraan ini banyak
tersedia, dapat dibawa ke tempat perawatan anak, dan tidak memerlukan
sedasi. Kekurangan pemeriksaan pencitraan lain seperti magnetic resonance
imaging (MRI) dan computed tomography scan (CT scan) adalah ketersediaan di
pusat kesehatan yang tidak selalu ada, memerlukan mobilisasi serta sedasi.
Kelebihan dan kekurangan masing-masing modalitas pencitraan harus diketahui
sebagai pertimbangan dalam memilih pemeriksaan pencitraan yang sesuai.
Harus dipertimbangkan kelebihan dan kekurangan masing-masing modalitas
pencitraan, hasil yang didapat, serta berpegang pada prinsip ALARA (as low as
reasonably achievable).1,2

78
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

Foto toraks
Sebelum menilai kelainan pada pemeriksaan pencitraan kita harus mengingat
proses tumbuh kembang pada anak. Gambaran yang dapat dijumpai sebagai
bagian normal dari pertumbuhan anak jangan diinterpretasikan sebagai
abnormalitas. Selain itu, dalam membuat interpretasi pencitraan anak harus
diperhatikan usia anak saat dilakukan pemeriksaan. Sebagai contoh, terlihatnya
gambaran massa opak di mediastinum pada hari-hari pertama kehidupan
bayi merupakan gambaran timus yang normal dijumpai pada usia tersebut.
Gambaran ini sering disalahartikan sebagai massa tumor mediastinum,
pneumonia, atau adanya pembesaran jantung pada neonatus. Sebaliknya,
ditemukan adanya gambaran massa opak di medistinum pada anak besar atau
usia remaja bukanlah gambaran normal dan membutuhkan evaluasi lebih
lanjut (Gambar 1).

Gambar 1. Gambaran klasik Ɵmus di mediasƟnum pada neonatus merupakan gambaran abnormal
bila dijumpai pada anak remaja. (a) Timus menyerupai pneumonia, (b) Timus menyerupai pembesaran
jantung atau massa, (c) Pada foto lateral terlihat daerah retrosternal terisi oleh Ɵmus yang masih besar
pada neonatus.

79
Pemeriksaan Pencitraan pada Infeksi Paru

Gambar 2. Gambaran paru pada kondisi inspirasi kurang. (a) Paru kurang inspirasi sehingga jantung
terlihat besar serta kedua lapangan paru terlihat opak, gambaran ini sering disalah arƟkan sebagai
pneumonia. (b) Pada foto pasien yang sama dengan inspirasi cukup, terlihat kedua lapangan paru
terlihat bersih.

Penilaian paru harus dilakukan secara sistematis, yaitu saluran napas,


mediastinum, parenkim paru, vaskular paru, jantung, pleura, diafragma, dan
tulang-tulang. Pada paru dilihat adakah perubahan densitas yang terlihat lebih
hitam (lusen) atau lebih putih (opak). Keadaan yang dapat menyebabkan
perubahan pada densitas foto toraks antara lain adalah pengembangan paru,
peningkatan atau penurunan gambaran vaskular paru, kelainan pada parenkim
paru, atau adanya udara atau cairan di rongga pleura. Pengambilan foto asimetris
menyulitkan interpretasi, kurangnya inspirasi menyebabkan kedua lapangan
paru terlihat lebih opak (putih) sehingga sering diinterpretasikan sebagai
pneumonia.1 Kecukupan inspirasi pada foto toraks dinilai dari letak diafragma
antara iga posterior 8-10, tergantung dari usia anak (Gambar 2).
Pada anak dengan batuk dan demam, bila pada pemeriksaan foto toraks
didapatkan perubahan fokal densitas paru harus dipikirkan kemungkinan
pneumonia. Pada infeksi paru dapat ditemukan gambar abnormalitas pada foto
toraks berupa gambaran opak atau gambaran lusen. Berbeda dengan dewasa,
gambaran fokal opak berbatas tegas pada foto toraks yang terlihat menyerupai
massa, sering dijumpai pada pneumonia pada anak dan sering disalahartikan
sebagai massa tumor.

Pneumonia
Keluhan batuk, demam, dan sesak merupakan gejala klinis pneumonia. Pada
neonatus, pneumonia dapat tanpa disertai demam. Informasi yang penting
adalah adanya demam tinggi (39-40ºC) dan mengi.1 Demam tinggi ditemukan
pada pneumonia dengan konsolidasi. Pada pneumonia karena virus, derajat

80
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

demam lebih rendah, kecuali pada saat viremia didapatkan demam yang tinggi.
Demam tinggi pada infeksi virus tanpa disertai adanya gejala pernapasan tidak
akan menyebabkan kelainan pada foto toraks.3,4 Bila ditemukan mengi, akan
lebih mudah untuk membedakan etiologi virus, bakteri dan mikoplasma. Mengi
merupakan petanda adanya penyakit saluran napas reaktif, sehingga bila terdapat
mengi maka kemungkinan penyebab bukan konsolidasi bakterialis, melainkan
virus atau mikoplasma.
Pada pemeriksaan fisis pneumonia ditemukan frekuensi napas yang cepat,
napas cuping hidung, sianosis, retraksi dinding dada, serta terdapat ronki halus
pada auskultasi. Pemeriksaan fisis yang cermat dapat menegakkan diagnosis
pneumonia. Peranan pemeriksaan pencitraan adalah untuk memastikan
diagnosis pada keadaan pemeriksaan fisis meragukan atau sulit dilakukan,
khususnya pada bayi dan anak kecil atau bila pengobatan tidak memberikan
perbaikan, serta kecurigaan adanya komplikasi yang memerlukan tindakan
bedah.5
Pneumonia komunitas merupakan penyakit yang umum dijumpai
pada anak. Bakteri, virus atau kombinasi keduanya merupakan penyebab
tersering. Keterbatasan pemeriksaan laboratorium yang cepat dan akurat untuk
menentukan patogen penyebab pneumonia menyebabkan pemberian antibiotik
pada pneumonia dilakukan secara empiris. Hampir 60% penyebab pneumonia
adalah virus. Pada kondisi ini, pemberian antibiotik tidak diperlukan dan tidak
bermanfaat.
Bila ditemukan perubahan densitas parenkim paru pada foto toraks,
perlu dipikirkan adanya pneumonia. Gambaran foto toraks dapat membantu
memperkirakan mikroorganisme penyebab pneumonia. Penelitian lain
menyatakan usia anak lebih dapat memperkirakan penyebab pneumonia.9

Gambaran pencitraan foto toraks


Foto toraks merupakan pemeriksaan pencitraan pertama yang dilakukan untuk
memastikan adanya pneumonia. Foto toraks terindikasi dilakukan bila terdapat
keluhan batuk, demam dan pada pemeriksaan fisis ditemukan takipnu, napas
cuping hidung, retraksi dinding dada, merintih, melemahnya suara napas,
ronki, atau distres pernapasan. Pada anak yang lebih besar dan remaja, diagnosis
dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan pencitraan sering
tidak diperlukan.
Dalam menilai foto toraks, perlu perhatian khusus pada sinus kostofrenikus,
rongga pleura, diafragma, bayangan kardiotimik, vaskular paru, fisura mayor
kanan, gambaran air bronchogram diatas bayangan jantung, ekspansi paru, dan
pola aerasi paru. Pemeriksaan foto toraks memiliki spesifisitas 42-73% dalam

81
Pemeriksaan Pencitraan pada Infeksi Paru

menentukan penyebab pneumonia.5 Kelainan yang dijumpai dapat berupa


infiltrat alveolar pada satu lobus atau multilobar, gambaran infiltrat interstisial,
hiperaerasi paru, pembesaran hilus, atelektasis, efusi pleura, baik pada satu
atau kedua hemitoraks.5
Penelitian Virkki dkk mendapatkan bahwa gambaran pneumonia alveolar
sangat mungkin disebabkan bakteri, sedangkan pneumonia dengan infiltrat
interstisial masih dapat disebabkan bakteri atau virus.6 Penelitian Korppi dkk
menunjukkan korelasi yang baik antara infiltrat alveolar dengan etiologi bakteri
dan infiltrat interstisial dengan etiologi virus,7 sehingga dapat digunakan sebagai
panduan untuk pemberian antibiotik pada pneumonia. Pada penelitian ini
didapatkan korelasi antara infeksi pneumokokus dengan peningkatan LED (laju
endap darah) dan CRP (C-reactive protein) sebagai petanda aktivitas inflamasi,
yang tidak didapatkan pada infeksi virus.8 Wahlgren dkk mendapatkan korelasi
yang lebih baik antara usia anak dengan etiologi pneumonia. Pada anak usia
muda, pola infiltrat peribronkial berhubungan dengan etiologi virus, sedangkan
pada anak yang lebih besar gambaran infiltrat alveolar berhubungan dengan
etiologi bakteri.9

Infeksi paru karena virus


Infeksi paru komunitas dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme.
Pada anak di bawah 5 tahun umumnya disebabkan oleh virus. Dengan
bertambahnya usia, bakteri dan mikoplasma sebagai penyebab semakin
meningkat. Respiratory syncytial virus (RSV) merupakan penyebab terbanyak
infeksi paru pada bayi dan anak di bawah 3 tahun. Virus lainnya adalah

Gambar 3. Infeksi paru karena virus, tampak infiltrat perihilar dan peribrochial cuffing

82
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

parainfluenza, influenza dan adenovirus. Infeksi virus sebagian besar mengenai


trakeobronkus dan menyebabkan bronkiolitis dan bronkitis yaitu pada ruang
interstisial.
Infeksi virus menyebabkan bronkitis, bermanifestasi sebagai peribronchial
cuffing (penebalan peribronkial), hilus tebal yang lebih jelas dilihat pada foto
toraks lateral, serta hiperinflasi paru (Gambar 3). Inflamasi pada bronkus
akan memperlihatkan daerah yang mengalami plak oleh mukus dan atelektasis
serta daerah lainnya yang mengalami air trapping sehingga terjadi hiperinflasi
paru yang akan terlihat sebagai meluasnya daerah lusen retrosternal anterior
dan mendatarnya diafragma. Bila infeksi virus mengenai parenkim paru akan
memperlihatkan gambaran retikulonodular atau diffussely hazzy lung disebut
intersitial pneumonitis.1

Infeksi paru karena bakteri


Infeksi bakteri akan bermanifestasi sebagai perpadatan pada lobus paru dan
dapat ditemukan efusi pleura. Bakteri penyebab antara lain streptokokus grup
beta, Staphylococcus aerius, Haemophilus influenza tipe b, dan pneumokokus.
Haemophilus influenza lebih sering ditemukan pada bayi dan anak antara usia 2
bulan-3 tahun.1 Belakangan infeksi ini berkurang dikarenakan adanya program
pencegahan dengan vaksinasi. Penyebab tersering di suatu daerah bergantung
dari bakteri yang terbanyak di daerah tersebut. Perlu mengetahui pola bakteri
yang sering ditemukan di daerah masing-masing agar pemberian antibiotik secara
empiris pada keadaan tidak tersedia fasilitas pemeriksaan terhadap etiologi
dapat memberikan hasil yang memuaskan.

Gambar 4. Bayangan opak (puƟh) bulat berbatas tegas pada parakardial dan retrokardial kiri, (a) Pada
foto lateral terletak superimpose dengan vertebra, berbatas tegas, merupakan gambaran pneumonia
bakterialis, (b) Gambaran ini sering disalah arƟkan sebagai massa tumor.

83
Pemeriksaan Pencitraan pada Infeksi Paru

Gambaran foto toraks dapat membantu menegakkan diagnosis pneumonia


tetapi tidak dapat membedakan jenis organisme penyebabnya. Gambaran foto
toraks yang tersering adalah gambaran pneumonia lobaris atau konsolidasi fokal
dengan air bronchogram, dapat berbentuk bulat berbatas tegas sehinga menyerupai
massa paru. Perubahan densitas fokal parenkim paru berbatas tegas merupakan
gambaran pneumonia bakterial yang sering ditemukan pada anak (Gambar 4).
Pneumatocele sering bersama infeksi staphylococcus dan harus dibedakan
dengan abses. Pada pneumatocele didapatkan dinding yang tipis dan regular,
sedangkan pada abses didapatkan dinding yang tebal, iregular, dengan air
fluid level, dan anak terlihat sakit berat. Pneumatocele merupakan bentuk lokal
emfisema paru yang menghilang sendiri, namun bila ukurannya sangat besar
terkadang diperlukan tindakan bedah.
Efusi pleura sering ditemukan pada pneumonia, biasanya transudat,
yang akan membaik dengan pemberian antibiotik. Terjadinya empiema
disebabkan penyebaran infeksi ke rongga pleura. Membedakan efusi pleura dan
empiema sulit dilakukan dengan foto toraks, namun dapat dilakukan dengan
ultrasonografi. Pungsi pleura diperlukan untuk mengetahui penyebab.

Infeksi paru karena mikroorganisme lain


Pada makalah ini, pembahasan dibatasi hanya pada beberapa penyebab lain
infeksi paru. Infeksi lain yang perlu dipikirkan dan belakangan meningkat
kejadiannya selain klamidia dan mikoplasma adalah infeksi pertusis. Sebagian
besar pertusis menunjukkan gambaran viral-like perihilar-peribronchial
infiltrates, dahulu dikenal dengan istilah shaggy heart appearance yaitu kaburnya

Gambar 5. Infiltrat sentral parenkimal paru bilateral serta atelektasis bergaris mengaburkan batas
jantung sehingga jantung terlihat “shaggy”

84
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

batas jantung dan mediastinum tertutup infiltrat perihilar dan peribronkial


(Gambar 5).10 Belakangan gambar ini juga banyak ditemukan pada infeksi virus,
mikoplasma, dan klamidia. Pada pertusis terlihat gambaran infiltrat perihilar
peribronkial yang jelas dengan paru hiperaerasi. Gambaran konsolidasi hanya
terlihat bila terjadi superimposed bacterial infection. Klamidia juga memberikan
gambaran menyerupai infeksi pertusis atau infeksi virus lainnya sehingga disebut
pertussoid pneumonia.1 Mycoplasma pneumoniae memberikan gambaran yang
lebih bervariasi, sebagian besar juga menunjukkan viral-like bronchitis peribronchitis
dengan atau tanpa adanya atelektasis atau konsolidasi.

Simpulan
Infeksi saluran napas bawah akut pada anak merupakan penyebab morbiditas
dan mortalitas yang tinggi pada bayi dan anak. Keterbatasan pemeriksaan
penunjang untuk menentukan mikroorganisme penyebab menyebabkan
pengobatan didasarkan pada terapi empiris. Gejala klinis pneumonia pada
anak bervariasi tergantung pada penyebab dan usia. Dalam interpretasi foto
pada anak perlu pengetahuan akan tumbuh kembang anak agar tidak terjadi
salah interpretasi. Pemeriksaan foto toraks dapat digunakan untuk membantu
menentukan etiologi pneumonia dengan mempertimbangkan gejala klinis, usia
saat pemeriksaan dilakukan, dan gambaran yang terlihat.

Daftar pustaka
1. Effmann EL. Pulmonary infection. Dalam: Kuhn JP, Slovis TL, Haller JO,
penyunting. Caffey’s Pediatric Diagnostic Imaging. Edisi ke-10. Philadephia:
Mosby; 2004. Hal. 982-1039.
2. Brody AS, Frush DP, Huda W, Brent RL. Radiation Risk for children from
computed tomography. Pediatrics. 2007;120:677-8.
3. Bramsin RT, Meyer TL, Silbiger ML, Blickman JG, Halpern E. The futility of the
chest radiograph in the febrile infant without respiratory symptoms. Pediatrics.
1993; 92:524-6.
4. Crainj EF, Bulas D, Bijur PE, Goldman HS. Is a chest radiograph necessary in the
evaluation of every febrile infants less than 8 weeks? Pediatrics. 1991;88:821-4.
5. Donnely LF. Maximizing the usefulness of imaging in children with community-
acquired pneumonia. Am J Radiol. 1999;172:505-12.
6. Virkki R, Juven T, Rikalainn H, Svedstorm E, Metsola J, Ruuskanen O.
Differentiation of bacterial and viral pneumonia in children. Thorax. 2002;57:438-
41.
7. Korppi M, Kiekara O, Heiskanen-Kosma T, Soimakallio S. Comparison of
radiological findings and microbial aetiology of childhood pneumonia. Acta
Paediatr. 1993;82:360–3.

85
Pemeriksaan Pencitraan pada Infeksi Paru

8. Korppi M, Leinonen M. Pneumococcal pneumonia in children: new data from


circulating immune complexes. Eur J Pediatr. 1996;156:341–2.
9. Wahlgreen H, Mortensson W, Eriksson M, Finkel Y, Forsgren M, & Leinonen M.
Radiological findings in children with acute pneumonia: age is more important
than infectious agent. Acta Radiologica. 2005;46:431-6.
10. Barnhard HJ. Kniker WT. Roentgenologic findings in pertussis with particular
emphasis on the “shaggy heart” sign. Am J Radiol. 1960; 84: 445-50.

86
Does Chronic Infection Put Children on Risks of
Emotional and Behavioral Problems?
Bernie Endyarni Medise

Tujuan:
1. Mengetahui masalah emosi dan perilaku pada anak penyakit kronis
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan emosi dan
perilaku pada anak penyakit kronis
3. Mengetahui deteksi dini gangguan emosi dan perilaku pada anak
penyakit kronis

Kemajuan bidang kedokteran khususnya dalam penanganan masalah penyakit


kronis pada anak, baik penyakit kronis infeksi maupun non-infeksi telah
membawa perubahan dalam ranah klinis kesehatan anak. Berbagai penyakit yang
dulunya bersifat fatal dengan tingkat mortalitas yang tinggi, kini telah berhasil
ditangani sehingga mortalitas mengalami penurunan dan angka kesintasan
anak dengan penyakit kronis meningkat.1,2
Saat ini, jutaan anak hingga remaja hidup dengan penyakit kronis maupun
masalah medis lain seperti HIV, diabetes melitus tipe 1 atau 2, keganasan, asma
dan lainnya yang merupakan faktor risiko terjadinya gangguan atau masalah
perilaku.1-3 Prevalensi penyakit kronis pada anak dan remaja terus meningkat
dalam jumlah dan jenis kasusnya. Sekitar 1 dari 4 anak atau 15 hingga 18 juta
anak usia di bawah 17 tahun di Amerika Serikat menderita penyakit kronis baik
yang disebabkan infeksi dan non-infeksi. 1,4 Berbagai penyakit kronis beserta
terapinya ternyata juga memberikan permasalahan baru bagi anak dan orang
tua mereka. Anak dan orang tua kerap mengalami stres yang berulang atau terus
menerus yang disebabkan baik oleh penyakitnya itu sendiri maupun pengobatan
maupun terapi, sehingga dapat menyebabkan munculnya permasalahan emosi
dan perilaku serta kepatuhan terhadap pengobatan dan terapi.1,2
Dengan mengetahui faktor-faktor yang berperan pada penyakit kronis akan
membantu tenaga kesehatan untuk mengerti dampak psikososial dan perilaku
anak dengan penyakit kronis, memahami pentingnya melakukan deteksi dini
gangguan perilaku sehingga anak dengan segera mendapatkan penanganan
sedini mungkin.1-3

87
Does chronic infection put children on risks of emotional and behavioral problems?

Penyakit kronis pada anak dan remaja


Penyakit kronis atau kondisi medis kronis adalah masalah kesehatan yang muncul
dan berlangsung selama setidaknya tiga bulan atau lebih, yang dapat mengganggu
aktifitas anak, dan membutuhkan rawat inap berulang, perawatan home-care, dan/
atau perawatan medis khusus.1,5 Menurut Van Cleave dkk., “kondisi kronis pada
anak adalah setiap kondisi fisik, emosi, atau mental yang dapat menghalanginya
mengikuti kegiatan sekolah secara teratur, melakukan tugas sekolah teratur, atau
melakukan aktifitas seperti anak lainnya atau membutuhkan perhatian atau
penanganan khusus dari dokter atau tenaga kesehatan lainnya, mendapatkan
pengobatan atau menggunakan alat kesehatan khusus” 1,4
Beberapa kepustakaan menggunakan istilah kondisi kronis (chronic
condition) untuk mencakup penyakit (disease) maupun disabilitas (disability)
kronis. Contoh beberapa penyakit kronis adalah antara lain asma, penyakit
Crohn, diabetes, HIV, tuberkulosis, dan epilepsi. Disabilitas meliputi palsi
serebral, gangguan pendengaran dan disabilitas intelektual. Penyakit dan
disabilitas dapat terjadi bersamaan pada seorang anak dan dapat memiliki
manifestasi yang berbeda pada perubahan tahapan penyakitnya. Anak dan
remaja dengan kondisi kronis, bisa saja tidak memperlihatkan keadaan klinis
sakit atau disabilitas saat pemeriksaan. Contoh pada bayi asimptomatis dengan
hasil tes positif infeksi HIV dapat terlihat sehat dan terus mendapatkan
pengobatan anti-virus; atau pada anak dengan penyakit kronis yang sedang
tidak bergejala.2
Berdasarkan suatu metaanalisis gangguan perilaku pada anak dan remaja
dengan penyakit kronis, didapatkan bahwa urutan tiga terbesar penyakit kronis
yang diderita adalah asma, epilepsi dan keganasan3, sedangkan sumber lain
menyebutkan bahwa penyakit kronis pada anak tersering adalah asma, cystic
fibrosis, diabetes dan obesitas.6 Adapun penyakit kronis yang disebabkan infeksi
yang cukup sering ditemukan secara global adalah HIV.3
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan RI 2013,
penyakit infeksi atau menular diklasifikasikan menjadi penyakit yang ditularkan
melalui udara (contoh infeksi saluran pernapasan akut/ISPA, pneumonia dan
tuberkulosis), penyakit yang ditularkan oleh vektor (malaria, filariasis), penyakit
yang ditularkan melalui makanan, air dan lewat penularan lainnya (diare dan
hepatitis). Di Indonesia, beberapa penyakit kronis infeksi antara lain HIV/
AIDS, tuberkulosis, dan hepatitis B.7
Secara umum, penyakit kronis ditandai oleh setidaknya tiga karakteristik
yaitu lamanya penyakit kronis berlangsung, penyembuhan yang tidak dapat
berlangsung secara spontan dan jarang dapat sembuh total. Luaran keberhasilan
penanganan sangat dipengaruhi oleh deteksi dini gejala dan diagnosis, serta
metode penanganan dan terapi penyakit.1-3

88
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

Berdasarkan kombinasi awitan, perjalanan penyakit, luaran dan kecacatan,


Rolland dkk telah membuat suatu tipologi gangguan psikososial dari berbagai
penyakit pada anak dan dewasa. Penyakit secara garis besar dibagi berdasarkan
progresifitas, kejadian relaps, atau konstan. Penyakit juga dibagi menurut akut
atau terjadi secara gradual. Penyakit kronis dapat masuk dalam bentuk akut
atau terjadi gradual, serta dapat terjadi secara progresif, relaps maupun konstan8

Masalah pada anak dengan penyakit kronis


Pada penyakit kronis, terdapat fase akut yaitu umumnya saat diagnosis pertama
kali ditegakkan. Fase akut akan diikuti dengan pemanjangan keadaan kronis
sehingga dapat menyebabkan stress yang berkepanjangan yang disebabkan
pemanjangan pengobatan dan terapi, namun fase ini juga dapat diikuti dengan
proses penyembuhan dan kesintasan.1-3
Adanya masalah kesehatan fisik yang dapat menyebabkan perbedaan secara
fisik, terbatasnya aktifitas fisik anak, proses pengobatan dan bentuk terapi lain
yang berlangsung terus menerus, dapat menyebabkan munculnya gangguan
psikososial, perubahan emosi dan perilaku pada anak, serta menurunnya
kepercayaan diri anak.2,3,9
Five stages of grief atau lima tahapan kedukaan merupakan tahapan yang
dialami seseorang dalam menerima dan menghadapi penyakit yang dapat
mengubah kehidupannya, atau yang dapat menyebabkan kematian, seperti
halnya penyakit kronis. Tahapan-tahapan ini diperkenalkan oleh Elisabeth
Kubler Ross yang terdiri atas:10
1. Denial (Penyangkalan)
Penyangkalan untuk menerima informasi dan kenyataan terhadap keadaan
dapat disadari atau tidak disadari. Penyangkalan merupakan bentuk
pertahanan diri yang wajar terjadi. Contoh keadaan penyangkalan: “Saya
merasa baik-baik saja.”; “Hal ini tidak mungkin terjadi, tidak pada saya.”
2. Anger (Marah)
Seseorang yang sedang mengalami kesedihan atau masalah emosional dapat
marah kepada dirinya sendiri, dan/atau dengan orang lain, terutama orang
terdekatnya. Dengan mengetahui adanya tahapan ini pada anak dengan
penyakit kronis, dapat membantu orang terdekat untuk mengerti perasaan
yang dialami oleh anak. Contoh kemarahan: “Kenapa saya? Ini tidak adil!”;
“Bagaimana mungkin hal ini dapat terjadi pada saya?”; “Siapa yang harus
dipersalahkan?”
3. Bargaining (Menawar)
Tahapan ini melibatkan harapan anak dan keinginannya untuk ‘menawar’

89
Does chronic infection put children on risks of emotional and behavioral problems?

kepada Tuhannya untuk membuat perubahan misalnya gaya hidup. Contoh


penawaran: “Saya akan melakukan apapun untuk beberapa tahun.”; “Saya
mengerti saya akan mati, tetapi jika saja saya memiliki lebih banyak waktu...”
4. Depression (Depresi)
Tahapan ini dapat merupakan tahapan penerimaan dengan melibatkan
emosi anak, suatu perasaan kesedihan atau penyesalan dan dapat
merupakan tahapan bahwa ia mulai mengerti kenyataannya. Contoh
depresi: “Saya akan mati .. Apa keuntungannya?”
5. Acceptance (Penerimaan)
Tahapan ini merupakan tahapan terakhir. Contoh penerimaan: “Semuanya
akan baik-baik saja.”; “Saya tidak dapat melawannya, Saya sebaiknya bersiap
untuk hal itu.”

Secara umum, masalah dan gangguan psikologis, emosi dan perilaku pada
anak dengan penyakit kronis terdiri dari masalah ekternalisasi (externalizing
behavior) seperti kenakalan remaja dan perilaku agresif, serta masalah internalisasi
(internalizing behavior) seperti masalah somatik, kecemasan, depresi, mudah putus
asa, menyalahkan diri sendiri, dan menarik diri dari lingkungan sosial. Pada
anak dengan penyakit kronis, kedua masalah ini mengalami peningkatan yang
dapat diperberat dengan perilaku tidak adil dari teman sebaya. Gangguan
mental emosional seringkali membuat anak terlihat marah tanpa sebab yang
berarti dan mudah tersinggung. Beberapa anak dapat mengalami kemunduran
perilaku menjadi lebih manja, gangguan atensi, sulit berkonsentrasi, tampak
kebingungan hingga sulit berkomunikasi.1-3
Masalah eksternalisasi merupakan respon terhadap rasa frustasi yang
disebabkan oleh penyakit (diolok-olok teman sebaya) atau dapat pula
disebabkan oleh penyakit kronisnya yang memengaruhi fungsi otak sehingga
memengaruhi perilaku anak (seperti pada anak dengan epilepsi). Gangguan
eksternalisasi memiliki dampak langsung atau tidak langsung terhadap orang
lain seperti perilaku agresif, membangkang, tidak patuh, berbohong, mencuri
dan kurangnya kendali diri.1-3
Masalah internalisasi dapat meningkat disebabkan oleh kurangnya
kemampuan anak untuk mengontrol keadaan, gejala dan berat penyakitnya
(keadaan ini dapat terjadi seperti pada epilepsi, sickle cell disease); ketakutan
terhadap gejala yang muncul (pada asma atau epilepsi); keterbatasan melakukan
aktifitas fisik (seperti pada hemofilia, rawat inap berulang); dikucilkan oleh
teman sebaya (pada kasus dengan kelainan anatomis yang jelas misalnya bibir
sumbing), maupun akibat efek samping terapi (misalnya kemo atau radioterapi).
Selain itu, keluhan somatik dapat meningkat yang disebabkan oleh nyeri dan
gejala penyakit itu sendiri. Penyebab masalah internalisasi pada anak dengan

90
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

penyakit kronis lebih sering terjadi dan berperan penting pada munculnya
gangguan emosi dan perilaku pada anak dengan penyakit kronis.1-3
Pada anak dengan penyakit kronis, masalah perilaku secara menyeluruh
meningkat secara bermakna dibandingkan dengan teman sebaya yang normal
(g=0,42, 95% CI 0,38-0,45, Z = 24,93, p<0,001). Pada suatu penelitian
dibuktikan bukan masalah internalisasi saja yang meningkat (g=0,47, CI 0,44-
0,50, Z = 29, 73, p<0,001), namun masalah eksternalisasi juga meningkat
dibandingkan anak normal yang sebaya (g=0,22, CI 0,19-0,25, Z = 14,76,
p<0,001). Pada anak penyakit kronis, masalah perilaku, masalah internalisasi,
sosial, atensi, dan pemikiran, lebih besar dibandingkan dengan masalah
eksternalisasi. Selain itu, anak dengan penyakit kronis di negara berkembang
memiliki masalah internalisasi dan eksternalisasi yang lebih tinggi dibandingkan
anak di negara maju.3
Berdasarkan studi pada anak dengan penyakit kronis keganasan, stres yang
terjadi saat diagnosis ditegakkan meliputi tiga domain yaitu gangguan pada
peran atau fungsi sehari-hari, efek pengobatan atau terapi penyakit terhadap
fisik anak, dan ketidakpastian tentang penyakit dan kesembuhannya. Gangguan
fungsi sehari-hari meliputi masalah kehadiran ke sekolah, kegagalan dalam
pelajaran, ketidakmampuan beraktifitas, keharusan berulang kali ke rumah
sakit dan kekhawatiran mengenai respon keluarga dan teman. Stres terhadap
pengobatan meliputi efek samping obat seperti nausea, muntah, perubahan
fisik (moon face), nyeri dan ketidaknyamanan saat dilakukan prosedur terapi.
Adapun stres akibat ketidakpastian mengenai penyakit sering berhubungan
dengan kurangnya pemahaman pasien atau keluarga tentang penjelasan dokter
mengenai penyakitnya, ketidakpahaman tentang penyakit dan prognosis.1,11
Gangguan perilaku dan emosi dapat mengakibatkan perubahan terhadap
konsep diri. Konsep diri dalam pembentukan identitas diri merupakan aspek
yang sangat penting pada kesehatan mental dan psikososial anak terutama saat
remaja. Konsep diri menggambarkan karakteristik personal seperti interaksi
sosial, tingkah laku, kemampuan fisik, penampilan dan tingkat akademis.
Konsep diri yang baik menggambarkan luaran kondisi fisik dan mental yang
baik pula. Pada kelompok anak dan remaja yang memiliki penyakit kronis
didapatkan gangguan konsep diri saat proses pembentukan identitas diri.9
Studi pada anak dengan infeksi hepatitis C kronis didapatkan bahwa
mereka memiliki fungsi kognitif yang lebih buruk dibanding anak normal,
namun lebih baik dibandingkan anak dengan gangguan pemusatan perhatian
dan hiperaktifitas (GPPH). Secara klinis anak dengan hepatitis C memiliki
masalah internalisasi (masalah somatik, depresi, ansietas) dan masalah
eksternalisasi yang lebih tinggi (perilaku agresif, masalah sosial). Masalah lebih
banyak muncul pada pengasuh dan orang tua, yang mengalami stress karena
kondisi anaknya.11

91
Does chronic infection put children on risks of emotional and behavioral problems?

Pada anak dengan HIV, tingkat kepatuhan untuk minum obat


berhubungan dengan usia anak. Usia anak yang lebih besar, tanggung jawab
terhadap pengobatan, hubungan yang kurang baik dengan pengasuh, dan/atau
kurangnya kontrol, merupakan hal yang perlu diwaspadai dalam ketidakpatuhan
anak HIV minum obat.12

Faktor-faktor yang memengaruhi perubahan perilaku


dan emosi pada anak dengan penyakit kronis
Penyakit kronis yang dialami oleh anak dapat berpotensi menimbulkan masalah
emosi, perilaku serta depresi. Hal ini dapat dipengaruhi baik oleh penyakitnya,
karakteristik anak, faktor keluarga, faktor sosial dan lingkungan (Tabel 2).2,13

Tabel 1. Faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan dan perilaku anak dengan kondisi kronis2
Karakteristik penyakit atau kondisi Derajat beratnya penyakit/kondisi
(selain diagnosis) Durasi sakit
Usia saat didiagnosis
Gangguan beraktifitas sesuai usia
Harapan hidup
Perjalanan penyakit (stabil atau progresif)
Dampak terhadap mobilitas
Kepastian prognosis (dapat diprediksi atau tidak)
Dampak terhadap kognitif dan komunikasi
Nyeri
Komplikasi
Pengobatan atau terapi
Efek samping terapi
Faktor anak Jenis kelamin
Tingkat intelegensia
Kemampuan berkomunikasi
Temperamen/kepribadian
Coping skills
Usia anak
Faktor keluarga Fungsi keluarga
Kesehatan mental orang tua
Struktur keluarga (jumlah orang dewasa dan anak)
Status sosio-ekonomi
Keharmonisan keluarga
Faktor sosial Budaya
Akses ke pusat kesehatan
Fasilitas di komunitas/masyarakat
Geografi
Sistem sekolah dan tempat penitipan anak
Faktor lingkungan Sekolah
Teman sebaya
Sumber: Thyen U. Chronic Health Condition. Dalam: Carey WB et.al. Developmental-Behavioral Pediatrics: Ex-
pert Consult. 4th ed. 2008 dengan modifikasi

92
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

Cara anak menerima berita mengenai penyakit kronisnya dipengaruhi


salah satunya oleh usia dan tahapan perkembangannya. Dengan berjalan-
nya waktu, anak akan memahami kondisinya14
1. Usia bayi dan balita
Pada kelompok usia ini, anak akan mengalami perkembangan terhadap rasa
percaya, aman, dan nyaman, serta masih sulit untuk memahami kondisi
penyakitnya. Orang tua harus selalu mendampingi anakc baik selama
tindakan maupun perawatan di rumah sakit.
2. Usia pra-sekolah
Saat usia pra sekolah mulai timbul rasa kemandirian. Anak mulai
memahami kondisi sakit, namun belum dapat mengerti dengan jelas sebab
dan akibat penyakitnya. Orang tua harus berperan aktif dalam memberikan
kontrol terhadap anak, karena anak cenderung akan menunjukkan sikap
perlawanan atau pertentangan terutama terhadap pengobatan dan terapi.
3. Anak usia sekolah
Pada usia sekolah, anak sudah mulai dapat memahami mengenai kondisi
penyakitnya, namun respons dan sikap yang ditunjukkan terhadap penyakit
masih belum dapat disamakan dengan orang dewasa. Pada fase ini terdapat
kerentanan terhadap hubungan atau interaksi. Anak mulai sering tidak
masuk sekolah dan sulit beraktifitas dengan teman sebayanya.
4. Remaja
Dalam usia remaja mulai terjadi pembentukan identitas diri. Anak mulai
lebih mandiri dalam pengambilan keputusan. Remaja sering mengalami
fase penolakan (denial phase) dan masalah kepatuhan (compliance) seperti
anak tidak mau minum obat, menolak pemeriksaan rutin dan lainnya.

Deteksi dini gangguan emosi dan perilaku anak dengan


penyakit kronis: penggunaan alat skrining gangguan
psikososial dan perilaku
Berbagai alat skrining gangguan emosi dan perilaku telah banyak digunakan
untuk mendeteksi gangguan emosi dan perilaku pada anak dan remaja.
Beberapa alat skrining yang telah dipakai secara luas antara lain mulai dari
yang paling sederhana yaitu Kuesioner Masalah Mental Emosi (KMME), Child
Depression Inventory (CDI), Child Behavior Checklist (CBCL), Youth Self Report (YSR),
Pediatric Symptoms Checklist (PSC)3,15 dan Strength and Difficulties Questionnaire
(SDQ)16-18 serta lainnya. Selain itu, kondisi penyakit kronis dapat memengaruhi
perkembangan fisik kognitif, sosial dan emosional sehingga menyebabka
penurunan kualitas hidup. Pemantauan kualitas hidup pasien dengan penyakit

93
Does chronic infection put children on risks of emotional and behavioral problems?

kronis merupakan salah satu strategi tata laksana yang optimal. Salah satu
penilaian kualitas hidup anak dengan penyakit kronis dapat dilakukan dengan
menggunakan Pediatric Quality of Life (PedsQL) yang meliputi domain fungsi
fisik, fungsi sosial, dan fungsi sekolah.1,19
Alat skrining gangguan psikososial SDQ (Gambar 1) digunakan pada
penelitian yang dilakukan pada orangtua, diketahui bahwa anak dengan penyakit
kronis memiliki lebih banyak masalah antara lain masalah emosi, conduct,
hiperaktifitas, masalah dengan teman sebaya dan masalah pada prososial.16,17
Pada penelitian di Irlandia, berdasarkan SDQ, nilai abnormal ditemukan pada
20% anak dengan penyakit kronis, sedangkan pada anak tanpa penyakit kronis
hanya 5,5 %. Pandangan dan persepsi orang tua mengenai penyakit kronis
merupakan faktor bermakna terhadap nilai skor SDQ.17 Penelitian lain pada
anak asma menggunakan perangkat SDQ memperlihatkan bahwa gangguan
perilaku lebih sering terjadi pada anak dengan asma dibandingkan anak sehat
serta berhubungan dengan derajat asma.20
Pada suatu analisis multivariat anak dan remaja dengan HIV menggunakan
CBCL menunjukkan bahwa anak dengan infeksi HIV memiliki masalah
perilaku lebih tinggi yaitu 80,7% dibandingkan pada kelompok kontrol yang
hanya 18,3%. Perilaku psikiatrik pada anak dengan HIV positif berbeda dengan
kelompok kontrol secara bermakna (P<0,0001).21

Peran lingkungan dalam penanganan masalah emosi


dan perilaku
Keluarga memiliki peran yang sangat besar baik dalam hal pemenuhan
kebutuhan biologis, psikologis dan sosial (biopsikososial) dalam penanganan
penyakit kronis pada anak seperti yang digambarkan dalam family systems-
illness model. Model ini diharapkan dapat membantu anak dan keluarga
dalam mengoptimalkan fungsi mereka menghadapi penyakit kronis, mengerti
kebutuhan dalam kondisi kronis, dan bagaimana kebutuhan ini dapat berubah
setiap saat. Setiap anggota keluarga diharapkan dapat siap untuk selalu berubah
menyesuaikan keadaan anak.8
Suatu konsep fase waktu (time phases) dapat digunakan oleh klinisi
untuk mengerti bahwa konsep penyakit kronis merupakan suatu proses
yang terus berlangsung. Setiap fase memiliki fase psikososial yang unik yang
membutuhkan sikap, kekuatan dan perubahan dari keluarganya. Secara garis
besar, perjalanan penyakit kronis terdiri dari tiga fase mayor: krisis, kronis dan
terminal. Hubungan di antaranya digambarkan dalam diagram di bawah ini
(Gambar 2).8

94
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

Gambar 1. Formulir kekuatan dan kesulitan pada anak (Sumber: Robert Goodman, 2005. Diterjemahkan
oleh: Wiguna T, HestyanƟ Y).

95
Does chronic infection put children on risks of emotional and behavioral problems?

FASE Krisis Kronis Terminal

URUTAN diagnosis kematian


WAKTU

Pra diagnosis Periode Penerimaan Pra terminal Peratapan dan


dengan gejala penyesuaian lama/kronik resolusi
awal kehilangan

Gambar 2. Diagram fase waktu dalam penyakit kronis8

Dalam menjalin hubungan sosial, anak cenderung menarik diri dari


pergaulan dengan teman sebaya mereka. Pada penyakit infeksi kronis yang
menular seperti HIV terdapat stressor signifikan seperti ketakutan anak untuk
sulit diterima dan ditolak di kalangan teman sebayanya. Banyak yang menarik
diri dari kehidupan sosial termasuk tidak hadir dalam kegiatan sekolah
dan bahkan berhenti melanjutkan sekolah. Hal ini banyak terjadi saat anak
diberitahukan mengenai kondisi penyakitnya. Membentuk support group bagi
anak dapat membantu menghadapi masalah interaksi sosial dengan teman
sebaya.22
Penelitian menunjukkan bahwa terapi kognitif dan perilaku memiliki efek
positif terhadap terapi pada anak berpenyakit kronis dengan gangguan cemas
dan depresi.23 Keluarga sebaiknya tidak terlalu melindungi anak dan memantau
terlalu ketat anak dalam menjalankan pengobatan karena dapat membuat anak
tertekan dan depresi. Orang tua sebaiknya memberikan kesempatan agar anak
dapat menjalankan kehidupan sehari-hari senormal mungkin.14,22
Pengaruh psikososial terhadap kondisi penyakit kronis bukan hanya terjadi
pada anak saja, melainkan pada lingkungan terdekat seperti saudara kandung
bahkan orang tua sekalipun. Keutuhan dan keharmonisan yang terjalin dalam
sebuah keluarga menjadi salah satu kunci keberhasilan dalam memberikan
dukungan psikososial pada anak. Saudara kandung pasien dengan penyakit
kronis terkadang akan merasa tersisihkan karena perhatian seluruh keluarga
akan teralihkan pada anggota keluarga yang sakit. Orang tua harus memberikan
pengertian kepada seluruh anak-anaknya. Kejenuhan dapat sewaktu-waktu
terjadi pada anggota keluarga sehingga konseling atau komunikasi dengan
orang lain atau support group dapat membantu untuk mengatasinya. Adanya
dukungan dari seluruh anggota keluarga, sekolah, dan lingkungan terdekat
akan membantu anak dengan penyakit kronis untuk dapat coping terhadap
kondisinya sehingga dapat membantu dalam peningkatan kualitas hidup.14,22

96
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

Daftar pustaka
1. Compas BE, Jaser SS, Dunn MJ, Rodriguez EM. Coping with Chronic Illness in
Childhood and Adolescence. Annu Rev Clin Psychol. 2012;8:455–480.
2. Thyen U, Perrin JM. Chronic health Conditions. Dalam: Carey WB, Crocker AC,
Elias ER, Feldman HM, Coleman WL. Developmental-Behavioral Pediatrics. Edisi
ke-4. Philadelphia:Saunders;2008.
3. Pinquart M1, Shen Y. Behavior problems in children and adolescents with chronic
physical illness: a meta-analysis. J Pediatr Psychol. 2011;36:1003-16.
4. Van Cleave J, Gortmaker SL, Perrin JM. Dynamics of Obesity and Chronic Health
Conditions Among Children and Youth. JAMA. 2010;303:623-630.
5. Mokkink LB, van der Lee JH, Grootenhuis MA, Offringa M, Heymans HSA.
Defining chronic diseases and health conditions in childhood (ages 0–18 years
of age): National consensus in the Netherlands. Eur J Ped. 2008;167:1441–1447.
6. Torpy JM. Chronic diseases of children. JAMA. 2010;303:682.
7. Badan penelitian dan pengembangan kesehatan kementerian kesehatan RI. Riset
kesehatan dasar 2013.
8. Rolland JS. Mastering family challenges in serious illness and disability. Dalam:
Walsh F. Normal family processes. Edisi ke-4. New York: Guilford press;2012.
h.452-482.
9. Ferro MA1, Boyle MH. Longitudinal invariance of measurement and structure
of global self-concept: a population-based study examining trajectories among
adolescents with and without chronic illness. J Pediatr Psychol. 2013;38:425-37.
10. Elisabeth kübler-ross - five stages of grief. Diakses tanggal 16 Maret 2016. Diunduh
dari: http://www.businessballs.com/elisabeth_kubler_ross_five_stages_of_grief.
htm
11. Rodrigue JR1, Balistreri W, Haber B, Jonas MM, Mohan P, Molleston JP, Murray
KF, Narkewicz MR, Rosenthal P, Smith LJ, Schwarz KB, Robuck P, Barton
B, González-Peralta RP. Impact of hepatitis C virus infection on children and
their caregivers: quality of life, cognitive, and emotional outcomes. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2009;48:341-7.
12. Nichols SL, Montepiedra G, Farley JJ, Sirois PA, Malee K, Kammerer B dkk.
Cognitive, Academic and Behavioral Correlates of Medication Adherence in
Children and Adolescents with Perinatally Acquired HIV Infection. J Dev Behav
Pediatr. 2012;33:298–308.
13. Soetjiningsih. Tumbuh kembang anak dengan kondisi kesehatan kronik. Dalam:
Narendra MB, dkk. Tumbuh kembang anak dan remaja. Edisi pertama. Jakarta:
Sagung seto, 2005.h61-70.
14. Boyse K, Boujaoude L. Children with chronic conditions. Univerisity of Michigan.
Diakses tanggal 15 Maret 2016. Tersedia di: http://www.med.umich.edu/
yourchild/topics/chronic.htm.
15. Departemen Kesehatan RI. Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh
Kembang Anak di tingkat pelayanan kesehatan dasar. Kemenkes RI 2005.
16. Brøndbo PH, Mathiassen B, Martinussen M, Heiervang E, Moe TF, Sæther G,
dkk. The Strengths and Difficulties Questionnaire as a Screening Instrument for
Norwegian Child and Adolescent Mental Health Services, Application of UK

97
Does chronic infection put children on risks of emotional and behavioral problems?

Scoring Algorithms. Child and Adolescent Psychiatry and Mental Health.2011;5:32.


17. Reulbach U, O’Dowd, McCrory, Layte R. Chronic illness and emotional and
behavioural strengths and difficulties in Irish children. J Epidemiol Community
Health. 2010:64; Suppl 1.
18. Wiguna T, Hestyanti Y. Strength and difficulties questionnaire. Diakses
tanggal 5 Maret 2016. Tersedia di http://www.sdqinfo.com/py/sdqinfo/
b3.py?language=Indonesian.
19. Varni JW. The PedsQLTM Measurement model for the pediatric quality of life
inventory. Diakses tanggal 16 Maret 2016. Tersedia di: http://www.pedsql.org/.
20. Damanik DM, Sutomo R, Setyati A. Hubungan Asma dengan Gangguan Perilaku
pada Anak. Sari Pediatri 2015;16:391-6.
21. Banerjee T, Phil M, Pensi T, Manohar R, Grover G. Behavioral Disorders In Human
Immunodeficiency Virus (HIV) Infected Adolescents In The Age Group 12-16
Years In India. Diakses tanggal 16 Maret 2016. Tersedia di: http://www.priory.
com/psychiatry/Behavioral_Disorders_HIV_Teenager.htm.
22. Martinez J, Chakraborty R; American Academy of Pediatrics Committee on
Pediatric Aids. Psychosocial support for youth living with HIV. Pediatrics.
2014;133:558-62.
23. Bennet S, Shafran R, Coughtrey A, Walker S, Heyman I. Psychological interventions
for mental health disorders in children with chronic physical illness: a systematic
review. Arch Dis Child. 2015;100:308–316.

98
Ethics on Antibiotics Decision Making in
Outpatient Setting
Sudung O. Pardede

Tujuan:
1. Mengingatkan kembali indikasi pemberian antibiotik yang rasional
2. Meningkatkan pemahaman bahwa pemberian antibiotik yang tidak
rasional dan tidak sesuai dengan etika

Pelayanan kesehatan modern telah memunculkan masalah etika yang kompleks


dan banyak sisi pandang. Sebagai dokter, kita tahu bahwa hubungan antara
dokter dengan pasien merupakan hubungan unik yang memfasilitasi pertukaran
ilmu pengetahuan dan perawatan yang didasarkan pada kepercayaan dan etika.
Hubungan dokter-pasien merupakan hubungan kesepakatan terapeutik antara
dokter dan penderita atau pasien yang dilakukan dalam suasana saling percaya
mempercayai serta senantiasa diliputi oleh emosi, harapan, dan kekhawatiran
makhluk insani.1 Dengan demikian, hubungan dokter-pasien merupakan
pondasi dalam praktek kedokteran dan juga etika kedokteran. Seperti
disebutkan dalam Deklarasi Jenewa, dokter menyatakan:”Kesehatan pasien
akan selalu menjadi pertimbangan pertama saya” dan Kode Etik Kedokteran
Internasional menyebutkan:”Dokter harus memberikan kepada pasiennya
loyalitas penuh dan seluruh pengetahuan yang dimilikinya”.
Dokter hendaknya menyadari bahwa di dalam kebijakan pokoknya,
secara etis, kepentingan terbaik pasienlah yang menjadi pertimbangan pertama
pada setiap keputusan yang diambil dalam perawatan, sehingga dalam praktik
keseharian harus menentukan sikap untuk ”menempatkan pasien di urutan
pertama”. Namun sering sekali dokter tidak disiapkan untuk mengelola hal-
hal tersebut secara baik.2 Dalam kaitannya dengan pasien anak, pendekatan
masalah etik pada anak perlu memperhatikan tanggung jawab orangtua terhadap
hidup dan kesehatan anak serta perkembangan kemampuan dan autonomi
anak. Masalah ini akan lebih kompleks lagi jika dikaitkan dengan aspek sosial,
budaya, agama, serta peran keluarga, otoritas orangtua.3,4,5

99
Ethics on Antibiotics Decision Making in Outpatient Setting

Layanan rawat jalan


Pelayanan rawat jalan pediatrik (pediatric out patient) merupakan bagian dari
pelayanan kesehatan untuk pasien yang tidak memerlukan rawat inap atau
karena alasan tertentu tidak memungkinkan untuk rawat inap. Layanan di
unit rawat jalan sangat bervariasi, dapat berupa layanan kesehatan pada tingkat
primer, sekunder, dan tersier yang meliputi upaya diagnostik, terapeutik,
rehabilitatif. Karena sifat layanan berupa rawat jalan, maka upaya diagnostik
umumnya ditunjang oleh pemeriksaan penunjang dasar atau sederhana sehingga
tidak mudah menyimpulkan diagnosis definitif dalam satu kali kunjungan.
Tidak jarang diperlukan beberapa kali kunjungan untuk menegakkan diagnosis
definitif. Pemeriksaan penunjang yang memerlukan waktu membuat dokter
sering memberi terapi secara empiris sambil menunggu hasil pemeriksaan
penunjang, atau bahkan memberi terapi tanpa pemeriksaan penunjang.6
Tata laksana lebih lanjut juga sering sulit dilakukan karena pasien sering
tidak datang lagi untuk kontrol karena sudah sembuh atau merasa sembuh.
Jika tidak ada perbaikan, kemungkinan pasien tidak akan datang untuk kontrol
karena pengobatan tidak efektif, pengobatan tidak aman misalnya timbul
efek samping, atau obat tidak menyenangkan misalnya sulit mengikuti jadual
pemberian dan dosis obat atau rasa obat yang tidak enak. Oleh karena itu, sangat
diperlukan ketajaman klinis dalam menentukan diagnosis yang menjadi dasar
memberikan terapi. Dalam memberikan terapi, ada beberapa kemungkinan
tata laksana yang dapat kita lakukan yakni memberikan informasi atau nasihat,
terapi tanpa obat, terapi dengan obat, dan merujuk atau kombinasi.7

Pemberian antibiotik pada rawat jalan


Antibiotik merupakan salah satu obat yang sering diberikan kepada pasien
selain obat simtomatik analgetik-antipiretik, obat batuk, atau vitamin. Antibiotik
adalah antimikroba yang berfungsi mematikan bakteri yang diberikan untuk
kesembuhan pasien.
Upaya diagnostik yang tidak mudah dan keterbatasan penggunaan
pemeriksaan penunjang menyebabkan dokter sering mengobati pasien dengan
terapi empiris. Keluhan sebagian besar pasien anak di layanan rawat jalan adalah
manifestasi klinis infeksi sehingga dokter sering mengarahkan pengobatan untuk
mengatasi infeksi, dan salah satunya adalah pemberian antibiotik. Infeksi yang
paling sering pada pasien pediatrik adalah infeksi saluran napas atas, diare,
dan infeksi saluran kemih,8 yang sering disalah artikan sebagai penyakit yang
membutuhkan antibiotik.
Pemberian antibiotik sering menjadi andalan utama terapi pasien rawat
jalan, karena tidak mudah membedakan infeksi bakteri dengan non bakteri

100
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maupun dengan pemeriksaan


penunjang sederhana. Selain itu, anggapan atau pengalaman dokter yang
menyebutkan bahwa infeksi saluran napas atas dan diare lebih cepat sembuh
jika mendapatkan antibiotik, juga ikut berperan. Kadang-kadang pasien juga
meminta untuk diberikan antibiotik. Dalam keadaan infeksi seperti ini,
para dokter atau petugas medis sering memberikan antibiotik, meskipun
sesungguhnya tidak semua penyakit tersebut membutuhkan antibiotik, sehingga
pemberian antibiotik sering tidak tepat atau tidak rasional pemberian antibiotik
sering tidak tepat atau tidak rasional. Infeksi saluran napas atas dan diare lebih
sering disebabkan virus yang tidak membutuhkan antibiotik.9
Pemberian antibiotik dapat dilakukan dengan terapi empiris, terapi
definitif, atau profilaksis. Pemberian antibiotik secara empiris biasanya dilakukan
sebagai terapi awal sebelum memperoleh hasil biakan dan uji kepekaan. Terapi
secara empiris dilakukan dengan memperkirakan jenis bakteri penyebab dan
antibiotik yang peka berdasarkan manifestasi klinis, perkiraan organ yang
terinfeksi, pemeriksaan penunjang sederhana, pola resistensi kuman setempat
(kalau ada), atau data epidemiologis bakteri penyebab yang sering ditemukan.
Terapi definitif adalah terapi yang diberikan berdasarkan hasil pemeriksaan
biakan spesimen dan uji kepekaan, namun terapi ini membutuhkan waktu
untuk menunggu hasil biakan. Pada pemilihan antibiotik di antara bakteri yang
sensitif, pilihlah antibiotik yang bersifat bakterisid serta mempertimbangkan
safety, suitability, dan cost (murah). Terapi profilaksis merupakan pemberian
antibiotik untuk mencegah infeksi, namun dalam pelaksanaanya masih sering
kontroversi.6,7
Semakin sering penggunaan antibiotik, semakin besar kemungkinan
penggunaan yang kurang tepat. Sudah barang tentu pemberian antibiotik
seperti ini akan merugikan pasien. Data penelitian menunjukkan bahwa
antibotik merupakan obat yang sering disalah gunakan oleh dokter atau petugas
kesehatan, bahkan oleh pasien sendiri.8
Pada tahun 1994, WHO telah menerbitkan paduan pemberian obat untuk
tata laksana pasien. Sebagai langkah pertama adalah menentukan diagnosis dan
masalah pasien ((Steps 1. Define the patient’s problems) sehingga dapat ditentukan
pengobatan yang diberikan apakah memerlukan antibiotik atau tidak. Meskipun
sebagian besar kasus rawat jalan adalah penyakit infeksi (infeksi saluran napas
atas, diare, infeksi saluran kemih, infeksi kulit), tetapi penyakit tersebut belum
tentu memerlukan antibiotik. Untuk itu diperlukan anamnesis dan pemeriksaan
yang teliti dan kalau perlu pemeriksaan laboratorium. Langkah berikut adalah
menentukan tujuan pengobatan (Steps 2. Specify the therapeutics objective (What
do you want to achieve with the treatment). Pengobatan bertujuan untuk mengobati
penyakit pasien dan memberi kenyamanan, sehingga indikasi pemberian
antibiotik mesti jelas. Pemberian antibiotik yang tidak tepat akan menyebabkan

101
Ethics on Antibiotics Decision Making in Outpatient Setting

kerugian pada pasien, dan bukan menolong pasien. Langkah selanjutnya


adalah menentukan apakah terapi yang diberikan efektif, aman, suitable, dan
murah. (Step 3: Verify the suitability of your P-treatment (check effectiveness and
safety). Kemudian diikuti langkah 4 yaitu memulai pengobatan (Step 4. Start the
treatment). Dalam memulai terapi, yang pertama dilakukan adalah memberikan
informasi dan nasihat, kemudian berikan obatnya. Langkah 5: memberikan
informasi yang akurat dan adekuat (Step 5. Give information, instructons, and
warnings,). Langkah 6: memantau pengobatan dan bila perlu menghentikan
pengobatan (Step 6. Monitor (and stops?) the treatment).7
Terhadap pasien harus diinformasikan manfaat antibiotik dan berapa
hari tampak efeknya. Selain itu perlu disampaikan efek samping yang mungkin
timbul. Pasien dianjurkan untuk kontrol beberapa hari kemudian jika tidak
ada perbaikan atau jika terdapat efek samping. Kepada pasien perlu dijelaskan
cara minum obat, dosis, dan jadual pemberian obat.
Pemberian antibiotik dikatakan rasional jika digunakan tepat secara medik
dan didasarkan pada kaidah terapeutik yang benar. Persyaratan tersebut antara
lain sesuai dengan indikasi penyakit; diberikan dengan dosis, interval waktu
pemberian, dan lama pemberian yang tepat; obat harus efektif, mutu terjamin,
dan aman; tersedia setiap saat, dan harga terjangkau.10 Selain faktor yang
disebutkan di atas, perlu diperhatikan pengambilan spesimen untuk biakan dan
uji kepekaan, kuman etiologi yang paling mungkin, antibiotik sebagai pilihan
pertama untuk kuman penyebab, kombinasi antibotik, dan faktor host.11 Dengan
demikian, pemberian antibiotik hendaklah mencakup tepat diagnosis, tepat
indikasi, tepat pemilihan obat dan sediaan, tepat dosis- lama-cara pemberian,
tepat penilaian terhadap kondisi pasien, serta tepat dalam melakukan tindak
lanjut.10,11 WHO menekankan bahwa dalam pemilihan antibiotik ini, perlu
memperhatikan 4 hal yakni efficacy (efikasi), safety (keamanan), suitability
(kenyamanan dan kecocokan obat) dan cost (biaya atau harga).7
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia juga telah mengeluarkan
pedoman pemberian antibiotik yang rasional. Pemberian antibiotik yang rasional
ini bertujuan untuk kesembuhan pasien dengan segera tanpa meninggalkan
kecatatan atau komplikasi, aman dan nyaman, dan terjangkau oleh pasien.12
Pemberian antibiotik adalah upaya terapeutik yang dilakukan oleh dokter
terhadap pasien sebagai kelanjutan hubungan dokter-pasien yang didasari pada
kepercayaan dan etika. Dengan demikian, dalam pemberian antibiotik perlu
diperhatikan prinsip umum etika, yaitu beneficence, non maleficence, respect for
persons (autonomi, privacy, telling the truth, confidentiality) dan justice. Beneficence,
berorientasi pada kebaikan pasien; non maleficence, tidak memperburuk keadaan
pasien, menghormati pasien (respect for person: autonomy, privacy, telling the truth,
confidentiality), serta tidak diskriminasi (justice).2

102
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

Kerugian pemberian antibiotik yang tidak rasional


Antibiotik merupakan obat yang paling banyak digunakan di seluruh dunia.13
Sekitar 65-70% pemberian antibiotik dilakukan pada pasien rawat jalan.
Di Teheran, sekitar 35,5% antibiotik diberikan pada infeksi saluran napas,
sedangkan di Inggris sekitar 15%. 14
Meskipun antibiotik memberikan manfaat yang besar karena kesembuhan,
namun antibiotik dapat menyebabkan berbagai kerugian atau efek samping,
apalagi kalau pemberiannya tidak rasional. Berbagai dampak akibat pemberian
antibiotik antara lain efek samping dan komplikasi, perpanjangan lama
pengobatan, beban psikologis untuk orangtua, biaya yang tinggi, meningkatnya
risiko superinfeksi, mematikan flora normal saluran cerna dan vagina,11 rasa tidak
nyaman bagi pasien, dan dapat menghilangkan atau mengurangi manifestasi
klinis penyakit yang dapat menyulitkan menegakkan diagnosis sesungguhnya.13
Efek samping antibiotik dapat terjadi segera setelah mengonsumsi antibiotik atau
timbul setelah beberapa lama, dapat berupa efek samping ringan hingga berat,
dan bahkan dapat menyebabkan kematian. Efek samping jangka lama dapat
mengenai berbagai organ tubuh yang menyebabkan kerusakan dan penurunan
fungsi organ seperti kerusakan hati, gangguan pendengaran, kerusakan ginjal,
atau organ lain. Hal lain yang menjadi masalah akibat pemberian antibiotik
yang tidak tepat adalah meningkatnya resistensi kuman terhadap antibiotik atau
perubahan komposisi bakteri usus yang didominasi bakteri patogen resisten
antibiotik akibat matinya bakteri menguntungkan atau komensal. Belakangan
ini terdapat berbagai kuman yang resisten seperti multi resistance Staphylococcus
aureus, multi resistance Streptococcus pneumonia.11 WHO telah menyebutkan
bahwa resistensi antibiotik sudah merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang besar di dunia.13
Resistensi bakterial secara bermakna dapat memperpanjang lama
pengobatan, terjadi efek samping, dan menambah biaya pengobatan.8,13
Pada tahun 2005, World Heaalth Assembly telah menyatakan bahwa resistensi
terhadap antibiotik meningkat dengan cepat. Pada lietratur disebutkan bahwa
resistensi terhadap antibiotik lini pertama untuk penyakit disentri, pneumonia,
gomorhoe, dan infeksi rumah sakit meningkat sekitar 70-90%. Diperkirakan
bahwa resistensi gonorhoe terhadap golongan penisilin antara 5-98%, dan
sekitar 12% dan 55% untuk pneumonia dan meningitis bakterialis, dan 0-17%
tuberkulosis dilaporkan multi resisten.13

Etik pada pemberian antibiotik


Berdasarkan UU nomor 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, pada
pasal 4 disebutkan bahwa pendidikan kedokteran bertujuan menghasilkan

103
Ethics on Antibiotics Decision Making in Outpatient Setting

dokter dan dokter gigi yang berbudi luhur, bermartabat, bermutu, berkompeten,
berbudaya menolong, beretika, berdedikasi tinggi, profesional, berorientasi
pada keselamatan pasien, bertanggung jawab, bermoral, humanistis, sesuai
dengan kebutuhan masyarakat, mampu beradaptasi dengan lingkungan sosial,
dan berjiwa sosial tinggi.15 Pada mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia
disebutkan bahwa sifat mendasar yang melekat pada diri dokter adalah baik
dan bijaksana, sifat ketuhanan, kemurnian niat, keluhuran budi, kerendahan
hati, kesungguhan kerja, integritas ilmiah dan sosial, serta kesejawatan.1 Hal
ini menggambarkan bahwa dalam menjalankan praktik kedokteran, dokter
harus menjunjung tinggi etika dan bekerja dengan memperhatikan etika, dan
berorientasi pada keselamatan pasien.
Sebagaimana diketahui, etika adalah nilai dan norma moral yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Etika disebut juga sebagai “sistem nilai” dalam hidup manusia perseorangan
atau hidup bermasyarakat, atau kumpulan asas atau nilai moral. Etika adalah
ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral (akhlak), kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, atau
nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.16
Pada mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia, disebutkan bahwa
hubungan kesepakatan terapeutik dokter dan pasien dan saling percaya.
Aspek hubungan etika antara dokter dan pasien adalah itikad baik kedua
belah pihak dan kepercayaan. Hubungan saling percaya ini menyebabkan
pasien dengan senang hati menguraikan hal-ikhwalnya kepada dokter dan
menyerahkan dirinya untuk diperiksa oleh dokter dengan maksud agar dokter
dapat dengan bebas menegakkan diagnosis dan memilih cara pengobatan
terhadap penyakitnya.1 Pada Kode Etik Kedokteran Indonesia disebutkan
bahwa seorang dokter wajib melakukan pengambilan keputusan professional
secara independen, dan mempertahankan perilaku profesional dalam ukuran
yang tertinggi. Selain itu, dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang
dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya
kebebasan dan kemandirian profesi. Pasal 10 menyebutkan bahwa seorang
dokter wajib menghormati hak-hak pasien, dan pada penjelasannya disebutkan
bawa pasien berhak memperoleh informasi dari dokternya dan mendiskusikan
tentang manfaat, risiko, dan pengobatan yang tepat untuk dirinya, serta wajib
mendapatkan tuntunan dan arahan professional dari dokter dalam membuat
keputusan.1
Pemberian antibiotik pada pasien pediatrik tentu bertujuan untuk
pengobatan pasien untuk kesembuhan penyakitnya dan untuk kepuasan
pasien (beneficence), bukan untuk kepuasan dokternya atau produsen obat.
Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu dipertimbangkan berbagai faktor agar
pengobatan berorientasi pada kebaikan pasien (beneficence), dan jangan sampai

104
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

menyebabkan kerugian terhadap pasien (non maleficence). Dokter hendaknya


menghargai dan menghormati pasien (respect for persons) dengan memperhatikan
autonomi dan privacy pasien, menceritrakan yang benar (telling the truth) dan
bersifat confidentiality, serta tidak diskriminatif (justice).2 Untuk itu, dalam
pemberian antibiotik perlu memperhatikan prinsip dasar pengobatan dan
langkah sistematis seperti yang telah disusun oleh WHO.3
Pemberian antibiotik yang tidak rasional bertentangan dengan etik karena
tidak memenuhi prinsip umum etika. Asas beneficence (menguntungkan) sebagai
prinsip umum etika tidak terpenuhi karena pemberian antibiotik tidak rasional
tidak memberikan manfaat, dan malah merugikan. Prinsip tidak merugikan
(non-maleficence) tidak dipenuhi dan malah merugikan pasien. Berbagai bukti
melaporkan kerugian akibat pemberian antibiotik yang tidak rasional.8,14,17
Berbagai kerugian tersebut dapat berupa timbulnya berbagai efek samping
antibiotik seperti kelainan kulit, kelainan mukosa, kelainan saliran cerna,
dan bahkan dapat menyebabkan kematian. Efek samping jangka lama dapat
menyebabkan kerusakan berbagai organ tubuh, perpanjangan lama pengobatan,
rasa tidak nyaman bagi pasien, beban psikologis untuk orangtua, biaya yang
tinggi, meningkatnya resistensi kuman terhadap antibiotik. Asas keadilan (justice)
tidak terpenuhi karena pemberian antibiotik tersebut di luar kehendak pasien
atau orangtua yang sering hanya menerima saja obat yang diberikan dokter
tanpa memahami efek dan akibat pemberian obat tersebut. Asas otonomi
(autonomy) juga tidak terpenuhi karena anak tidak dimintakan persetujuan
untuk pemberian antibiotik tersebut. Hal lain yang tidak memenuhi etika
adalah tidak terpenuhinya asas respect for persons (telling the truth), karena tidak
diberikan penjelasan yang sesungguhnya terutama tentang indikasi pemberian
antibiotik.

Simpulan
Pemberian antibiotik yang tidak tepat di layanan rawat jalan dapat menyebabkan
berbagai kerugian pada pasien, baik berupa efek samping, pemberian obat yang
lebih lama, biaya tinggi, dan ketidak nyamanan, dan meningkatkan resistensi
bakteri terhadap antibiotik. Pemberian antibiotik yang tidak rasional tidak
sesuai dengan etika karena tidak memperbaiki pasien (non beneficence) dan
malah memperburuk keadaan pasien (maleficence). Untuk itu, dalam pemberian
antibiotik pada anak di unit rawat jalan, perlu memperhatikan indikasi serta
efficacy (efikasi), safety (keamanan), suitability (kenyamanan dan kecocokan obat)
dan cost (biaya atau harga).

105
Ethics on Antibiotics Decision Making in Outpatient Setting

Daftar pustaka
1. Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta, 2012.
2. Cummings CL, Mercurio MR. Autonomy, beneficence, and rights. Pediatr Rev.
2010;6:252-5.
3. Nelson MR. Ethics in pediatric care. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE,
Jenson HB, Stanton BF, penyunting, Nelson Textbook of Pediatrics, edisi ke-18,
Philadelphia,: WB Saunders Elsevier, 2007. h.18-24.
4. Frankel LR, Goldworth A, Rorty MV, Silverman WA. Ethical dilemmas in
pediatrics: Cases and commentaries. N Engl J Med.2006;18:1965-6.
5. Kodish W, Weise KL. Ethics in pediatric care. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE,
Stanton BF, Geme III JWS, Schor NF, penyunting, Nelson Textbook of Pediatrics,
edisi ke-20, Philadelphia, Elsevier,2016,h.27-32.
6. Tambunan T. Masalah pemakaian antibiotik pada kasus pediatric rawat jalan.
Dalam: Trihono PT, Syarif DR, Amir I, Kurniati N, penyunting. Buku Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan XLVI Departemen IKA FKUI-RSCM: Current
management of pediatric problems. Departemen IKA FKUI-RSCM, Jakarta,
2004,h.43-9.
7. De Vries TPGM, Henning RH, Hogerzeil HV, Fresle DA. Guide to good
prescribing. A practical manual. World Heakth Orgaization, 1994.
8. Ilic K, Jakovljevic E, Skodric-Trifunovic. Social-economic factors and irrational
antibiotic use as reasons for antibiotic resistance of bacteria causing common
childhood infections in primary healthcare. Eur J Pediatr.2011.DOI 10.1007/
s00431-011-1592-5.
9. Paluck E, Katzenstein D, Frankish J, Herbert CP, Milner R, Speert D, dkk.
Prescribing practices and attitudes toward giving children antibiotics. Can Fam
Physician. 2001;47:521-527.
10. Dwiprahasto I. Penggunaan obat yang rasional sebagai dasar medication safety
practices. Dalam: Trihono PT, Djer MM, Sjakti H, Hendrarto TW, Prawitasari,
penyunting. Buku Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan X IDAI DKI Jakarta:
Best Practices in Pediatrics, IDAI DKI Jakarta, Jakarta, 2013,h,35-45.
11. Tambunan T. Antimicrobial resistance control program. Dalam: Hadinegoro SR,
Kadim M, Devaera Y, Idris NS, Ambarsari CG, penyunting. Buku Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan LXIII Departemen IKA FKUI-RSCM: Update
management of infectious diseases and gastrointestinal disorders. Departemen
IKA FKUI-RSCM, Jakarta, 2012,h.132-41.
12. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Peraturab Menteri Kesehatan Republik
Indonesia nomor 2046/Menkes/Per/XII/2011 tentang Pedoman umum
penggunaan antibiotik. Jakarta, 2011.
13. Akinyandenu O, Akinyandenu A. Irrational use and non-prescription sale
antibiotics in Nigeria: A need for change. J Sci Innovative Research,2014;3:251-7.
14. Hashemi S, Nasrollah A, Rajabi M. Irrational antibiotic prescribing: A local issues
or global concern? EXCLI J. 2013;12:384-95.
15. Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2013 tentang Pendidikan
Kedokteran, Jakarta, 2013.

106
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

16. Bertens K. Apakah itu etika? Dalam: Bertens K, penyunting. Etika. Cetakan ke-10,
Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2007,h.3-40.
17. Attard-Montalto S. Ethical issues in paediatric practice - part I: General principles.
Pediatr Cardiol.2001;3:1-3.

107
Anemia Penyakit Kronis dan Inflamasi: The Great
Mimicker dari Anemia Defisiensi Besi
Pustika Amalia Wahidiyat

Tujuan:
1. Memahami apa yang dimaksud dengan anemia pada penyakit kronik.
2. Mengetahui penyebab dan tanda/gejala dari anemia pada penyakit
kronik.
3. Mampu membedakan anemia pada penyakit kronik dengan anemia
defisiensi besi dan anemia pada penyakit kronik yang disertai defisiensi
besi dalam situasi klinis.

Anemia pada penyakit kronik (anemia of chronic disease/ACD) didefinisikan


sebagai anemia yang didapat pada kondisi infeksi dan inflamasi yang kronik
atau kelainan neoplastik, yang tidak disebabkan oleh defisiensi sumsum tulang
dan dapat terjadi walaupun kadar zat besi dan vitamin yang tersimpan dalam
jaringan dinilai adekuat.1 Anemia pada penyakit kronik adalah jenis anemia
dengan prevalensi kedua tersering yang ditemukan pada pasien, setelah anemia
defisiensi besi (ADB). Kondisi ini juga dikenal dengan istilah anemia pada
inflamasi (anemia of inflammation/AI) karena umumnya juga ditemukan aktivasi
abnormal dari sistem imun yang bersifat kronik.2

Etiologi anemia pada penyakit kronik


Anemia of Inflammation/Anemia of Chronic Diseases merupakan anemia
hipoproliferatif yang timbul sebagai respon dari penyakit sistemik atau proses
inflamasi. Berbagai kondisi klinis dapat memicu timbulnya anemia pada
penyakit kronik, termasuk infeksi, keganasan, maupun kondisi autoimun.3
Beberapa jenis penyakit yang dapat diasosiasikan dengan AI/ACD mencakup
penyakit sistemik yang diasosiasikan dengan infeksi (termasuk infeksi Human
Immunodeficiency Virus/HIV, bronkiektasis, osteomielitis), autoimunitas
(termasuk artritis reumatoid, sistemik lupus eritematosus, inflammatory bowel
disease/IBD), maupun beberapa kelainan hematologi atau keganasan. Walaupun
penyebab yang mendasarinya dapat bervariasi, abnormalitas dari eritroid
yang terjadi pada anemia jenis ini cukup serupa, namun belum diteliti secara
menyeluruh.4

108
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

Patofisiologi anemia pada penyakit kronik


Pada dasarnya, ada tiga proses utama yang mendasari patogenesis AI/ACD,
yakni 1). Gangguan produksi eritrosit pada sumsum tulang, 2). Pemendekan
usia eritrosit, dan 3). Gangguan metabolisme besi.
Seperti yang sudah diketahui, AI/ACD melibatkan proses dari sistem
imun. Sitokin dan sel dari sistem retikuloendotelial menimbulkan perubahan
pada homeostasis zat besi, proliferasi dari sel progenitor eritroid, produksi
eritropoietin, dan masa hidup sel darah merah, dimana semua faktor-faktor
tersebut berkontribusi pada patogenesis dari anemia. Eritropoiesis dapat
dipengaruhi oleh penyakit yang mendasari anemia pada penyakit kronik tersebut,
baik dari infiltrasi sel tumor ke sumsum tulang, maupun dari mikroorganisme,
seperti yang dilihat pada infeksi HIV, hepatitis C, dan malaria. Selain itu, sel
tumor juga dapat memproduksi sitokin proinflamatorik dan radikal bebas yang
dapat mendestruksi sel progenitor eritroid.5 Episode pendarahan, defisiensi
vitamin (seperti kobalamin dan asam folat), hipersplenisme, hemolisis
autoimun, disfungsi renal, dan intervensi radioterapeutik dan kemoterapeutik
dapat memperparah kondisi anemia.6
Berkurangnya masa hidup eritrosit yang terjadi sebagian disebabkan
oleh terjadinya eritrofagositosis oleh sel makrofag yang teraktivasi. Namun,
kegagalan relatif dari sumsum tulang untuk merespon secara adekuat terhadap
peningkatan destruksi eritrosit merupakan faktor utama yang menjadi penyebab
anemia. Kadar eritropoietin (EPO) cenderung meningkat namun seringkali
tidak adekuat. Selain itu, inflamasi dapat juga menyebabkan penurunan respon
tubuh dan peningkatan resistensi terhadap EPO.4
Faktor lain yang berkontribusi terhadap terjadinya AI/ACD adalah
penurunan availabilitas zat besi. Inflamasi dapat menyebabkan retensi zat besi
pada sistem retikuloendotelial, yang mengakibatkan berkurangnya potensi untuk
eritropoiesis. Kadar zat besi dalam serum menjadi rendah, walaupun makrofag
dalam jaringan memiliki zat besi yang mencukupi. Availabilitas zat besi juga
menurun akibat berkurangnya absorpsi dari saluran pencernaan. Salah satu
hipotesis untuk menjelaskan hal ini adalah bahwa penyakit yang mendasari
terjadinya anemia menginduksi pengeluaran dari sitokin inflamatorik, seperti
interleukin-1 (IL-1), tumor necrosis factor (TNF), interleukin-6 (IL-6), yang
menyebabkan diproduksinya interferon- (IFN-) dan interferon- (IFN-).
Hipotesis ini didukung oleh penelitian yang membuktikan bahwa peningkatan
kadar IFN- dan IFN- menyebabkan gangguan pada hewan, menimbulkan
kelainan yang serupa dengan anemia pada penyakit kronik. Interleukin-6 juga
menginduksi produksi dari hepsidin, protein yang meregulasi dan berperan
dalam homeostasis kadar zat besi. Hepsidin diproduksi di hati, dan berperan
dalam menghambat pengeluaran zat besi dari makrofag dan juga menurunkan

109
Anemia Penyakit Kronis dan Inflamasi: The Great Mimicker dari Anemia Defisiensi Besi

absorpsi zat besi dari saluran pencernaan. Peningkatan produksi hepsidin


yang disertai dengan penurunan availabilitas zat besi menyebabkan gangguan
dalam sintesis heme dan menyebabkan berkurangnya proliferasi dari prekursor
eritroid.4

Gambar 1. Ilustrasi patofisiologi yang mendasari anemia pada penyakit kronik.2

110
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

Gambar 1 menunjukkan gambaran mengenai mekanisme patofisiologi


yang mendasari terjadinya anemia pada penyakit kronik. Pada Panel A, dapat
dilihat adanya invasi dari mikroorganisme, timbulnya sel keganasan, atau
disregulasi autoimun yang menyebabkan aktivasi dari sel T (CD3+) dan monosit.
Sel tersebut menginduksi produksi sitokin seperti IFN- (dari sel T) dan TNF-,
IL-1, IL-6, dan IL-10 (dari monosit atau makrofag). Pada Panel B, dapat dilihat
IL-6 dan lipopolisakarida yang menstimulasi ekskresi hepatik dari protein fase
akut hepsidin, yang menginhibisi absorpsi zat besi dari duodenum. Pada Panel
C, IFN-, lipopolisakarida, atau keduanya meningkatkan ekspresi transporter
metal divalent 1 pada makrofag dan menstimulasi pengambilan zat besi ferrous
(Fe2+). Makrofag yang teraktivasi memfagositosis dan menghancurkan eritrosit
untuk mendaur ulang zat besi, suatu proses yang dipercepat oleh TNF- dengan
mendestruksi membran sel eritrosit dan menstimulasi fagositosis. Pada dasarnya,
mekanisme yang terjadi pada fase ini menimbulkan penurunan konsentrasi zat
besi dalam darah dan dengan demikian berkurangnya availabilitas zat besi untuk
sel eritroid. Pada Panel D, TNF- dan IFN- menginhibisi produksi eritropoietin
di ginjal. Pada Panel E, TNF-, IFN-, dan IL-1 menginhibisi diferensiasi dan
proliferasi dari sel progenitor eritroid.2

Gejala dan tanda anemia pada penyakit kronik


Pasien dengan AI/ACD pada umumnya datang dengan gejala dan tanda akibat
anemia, yakni anak tampak pucat, lemas, lesu, dan dapat disertai dengan gejala
sesak napas pada kondisi anemia berat. Namun, akibat kondisi penyakit kronik
yang diderita, umumnya gejala yang dialami akan tampak lebih ringan karena
sistem kardiovaskular dari tubuh pasien telah melakukan kompensasi dalam
jangka waktu yang lama.1

Pendekatan diagnosis anemia pada penyakit kronik


Untuk menegakkan diagnosis anemia pada penyakit kronik di negara
berkembang masih cukup sulit dan menantang karena banyak factor yang dapat
berkontribusi terhadap terjadinya anemia, sedangkan fasilitas kesehatan untuk
diagnostik dan terapi masih minim. Untuk itu, diperlukan kemampuan untuk
melakukan pemeriksaan klinis yang lebih rinci oleh tenaga medis.7
Pemeriksaan hematologi sederhana yang mencakup kadar hemoglobin
(Hb), indeks eritrosit, gambaran darah tepi, dan pemeriksaan status besi (kadar
besi plasma, serum feritin, serum transferin, saturasi transferin, unsaturated iron
binding capacity/UIBC, total iron binding capacity/TIBC, reseptor transferin/
TfR) dapat dilakukan untuk penegakan diagnosis dan penyebab anemia.

111
Anemia Penyakit Kronis dan Inflamasi: The Great Mimicker dari Anemia Defisiensi Besi

Pada umumnya, gambaran sel darah merah pada AI/ACD adalah normositik
normokrom, namun bersamaan dengan progresifitas penyakit, dapat menjadi
mikrositik hipokrom. Pemeriksaan red cell distribution width (RDW) digunakan
utuk mengetahui heterogenitas eritrosit. Beberapa studi menyimpulkan bahwa
peningkatan RDW pada gagal jantung berhubungan dengan adanya stress
inflamasi dan gangguan mobilisasi besi.8 Pemeriksaan kadar neutrofil, monosit,
trombosit dan protein C-reaktif (CRP) juga dapat dilakukan untuk mengetahui
adanya proses inflamasi, dimana pada umumnya ditemukan peningkatan pada
kadar-kadar yang dimaksud. Pada AI/ACD juga didapatkan kadar zat besi
serum/plasma dan saturasi transferin yang menurun. Pemeriksaan hepsidin
juga mulai banyak tersedia, namun sampai saat ini belum ada standar atau
cut-offs yang diakui.7

Membedakan anemia pada penyakit kronik dengan


anemia defisiensi besi
Terkadang, AI/ACD sulit dibedakan dengan ADB. Hal ini dapat terjadi karena
pada kedua jenis anemia tersebut, terdapat penurunan kadar Hb disertai dengan
rendahnya kadar zat besi yang bersirkulasi di dalam darah.9
Zat besi pada tubuh manusia dapat berupa yang bersirkulasi di dalam darah
dan yang tersimpan dalam jaringan. Zat besi dalam serum dibutuhkan untuk
produksi sel darah merah. Kadar zat besi dalam serum yang rendah ditemukan
pada ADB dapat disebabkan oleh terjadinya deplesi pada zat besi yang tersimpan
dalam jaringan. Sedangkan pada AI/ACD, kadar zat besi yang tersimpan dalam
jaringan umumnya normal atau cenderung tinggi. Namun, pada AI/ACD tetap
didapatkan kadar zat besi dalam darah yang rendah, karena proses inflamasi dan
perjalanan penyakit kronik tersebut memengaruhi kemampuan tubuh untuk
menggunakan zat besi yang disimpan dan juga menghambat penyerapan zat
besi dari diet yang dikonsumsi.9
Tabel 1. Perbedaan kadar serum pada anemia pada penyakit kronik, anemia defisiensi besi, dan anemia
pada penyakit kronik yang disertai defisiensi besi.2
Anemia pada Penyakit Anemia De- Anemia pada Penyakit Kro-
Kronik fisiensi Besi nik yang disertai Defisiensi
Besi
Zat Besi Menurun Menurun Menurun
Transferin Menurun atau normal Meningkat Menurun
Saturasi Transferin Menurun Menurun Menurun
Serum Feritin Normal atau meningkat Menurun Menurun atau normal
Reseptor Transferin Solubel Normal Meningkat Normal atau meningkat
Rasio Reseptor Transferin Solubel Rendah (<1) Tinggi (>2) Tinggi (>2)
per Log Feritin
Kadar Sitokin Meningkat Normal Meningkat

112
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

Membedakan AI/ACD yang disertai defisiensi zat besi dengan yang tidak
disertai defisiensi zat besi sangat penting karena suplementasi zat besi dapat
bermanfaat pada pasien AI/ACD yang disertai defisiensi besi namun dapat
berbahaya pada pasien AI/ACD yang tidak disertai defisiensi besi, terutama
bila pasien tersebut mengalami infeksi atau keganasan yang mendasarinya.10
Namun, secara klinis terkadang sulit membedakan antara AI/ACD yang
disertai defisiensi besi dan yang tidak, karena pada kedua penyakit tersebut
terdapat adanya penurunan serum iron (kadar zat besi dalam sirkulasi) dan
saturasi transferin. Sebagai tambahan, kadar serum feritin terkadang sulit
diinterpretasikan pada kondisi inflamasi, karena ekspresi feritin dapat diinduksi
oleh kelebihan zat besi dan juga oleh sitokin inflamatorik.11 Rasio yang
membandingkan reseptor transferin solubel (sTfR)/log feritin dapat bermanfaat
dalam membedakan anemia pada penyakit kronik yang disertai defisiensi besi
dan yang tidak, akan tetapi belum digunakan secara rutin dalam praktek klinis.12

Tata laksana anemia pada penyakit kronik


Pendekatan terapeutik yang paling baik untuk pasien dengan AI/ACD adalah
mengobati penyakit primer yang mendasari. Pada kasus-kasus dimana penyakit
primer tersebut tidak dapat ditatalaksana secara optimal, beberapa strategi
alternatif dapat diimplementasikan, termasuk transfusi, suplementasi zat besi,
dan agen eritropoietik.2

Transfusi
Transfusi rutin digunakan sebagai intervensi terapeutik yang cepat dan efektif,
terutama pada kasus anemia berat (kadar Hb < 8.0 g/dL) atau pada kasus
anemia yang mengancam jiwa (kadar Hb < 6.5 g/dL), terutama bila kondisi
pasien diperburuk oleh komplikasi yang mengakibatkan pendarahan. Namun,
tindakan transfusi tidak disarankan untuk penggunaan jangka panjang pada
pasien dengan anemia pada penyakit kronik karena peningkatan risiko untuk
kelebihan zat besi dan sensitisasi terhadap antigen human leukocyte antigen
(HLA).2,13 Walaupun transfusi dikatakan dapat menaikkan kadar Hb sementara,
namun jarang diindikasikan pada pasien dengan AI/ACD.4

Suplementasi zat besi


Hanya sebagian dari asupan zat besi secara oral yang diserap, disebabkan
terjadinya penurunan absorpsi duodenum pada pasien dengan AI/ACD.
Hanya sedikit dari zat besi tersebut yang dapat sampai pada lokasi eritropoiesis,

113
Anemia Penyakit Kronis dan Inflamasi: The Great Mimicker dari Anemia Defisiensi Besi

Gambar 2. Algoritma untuk membedakan anemia pada penyakit kronik, anemia defisiensi besi, dan
anemia pada penyakit kronik yang disertai defisiensi besi.2

diakibatkan dari diversi zat besi oleh sitokin yang mengarahkan zat besi ke sistem
retikuloendotelial. Sebagai tambahan, terapi zat besi pada pasien dengan AI/
ACD masih kontroversial. Dari hasil penelitian, pasien dengan AI/ACD yang
disertai defisiensi besi dapat mendapatkan manfaat dari pemberian suplementasi
zat besi. Suplementasi zat besi juga dapat dipertimbangkan pada pasien yang
tidak menunjukkan respon terhadap terapi dengan agen eritropoietik akibat

114
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

defisiensi zat besi fungsional. Namun, pemberian suplementasi zat besi tidak
direkomendasikan pada pasien dengan AI/ACD yang memiliki kadar serum
feritin yang normal atau tinggi (di atas 100 ng per milliliter). Penggunaan
suplementasi zat besi untuk pencegahan ADB dapat dimulai dari usia 8-12
bulan, dan dosis 1-2 mg/kg/hari besi elemental dinilai adekuat untuk mencegah
timbulnya ADB.2,14 Di Indonesia, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)
merekomendasikan pemberian suplementasi besi pada semua anak, dengan
dosis 3 mg/kg/hari untuk bayi dengan berat badan lahir rendah (usia 1 bulan
hingga 2 tahun), 2 mg/kg/hari untuk bayi cukup bulan (usia 4 bulan hingga
2 tahun), dan 1 mg/kg/ hari untuk balita (usia 2 hingga 5 tahun, 2x/minggu
selama 3 bulan berturut-turut setiap tahun).15

Agen eritropoietik
Penggunaan agen eritropoietik pada pasien dengan AI/ACD saat ini merupakan
pilihan pada pasien dengan keganasan yang sedang menjalani kemoterapi, pasien
dengan penyakit ginjal kronik, dan pasien dengan infeksi HIV yang sedang
menjalani terapi mielosupresif. Efek terapeutik yang timbul dengan penggunaan
agen eritropoietik adalah dengan melawan efek antiproliferatif dari sitokin dan
juga stimulasi absorpsi zat besi dan biosintesis dari heme pada sel progenitor
eritroid. Ada 3 agen eritropoietik yang dapat digunakan sebagai pilihan, yakni
epoetin alfa, epoetin beta, dan darbepoetin alfa, yang dibedakan oleh modifikasi
farmakologis, afinitas untuk mengikat reseptor, dan paruh waktu serum.2

Prognosis anemia pada penyakit kronik


Prognosis pada pasien dengan AI/ACD bergantung pada tata laksana penyakit
yang mendasarinya karena anemia yang terjadi merupakan anemia sekunder
atau komorbid dari penyakit primernya. Kematian akibat AI/ACD sangat jarang
dilaporkan karena adanya kemampuan adaptasi dari sistem kardiovaskular
tubuh pada penyakit kronik.16

Simpulan
 Anemia pada penyakit kronik dapat timbul sebagai respon dari penyakit
sistemik yang berlangsung lama atau dari proses inflamasi dan dapat timbul
sebagai akibat dari infeksi, keganasan, maupun penyakit autoimun.
 Anemia pada penyakit kronik terkadang sulit dibedakan dari ADB dan AI/
ACD yang disertai defisiensi besi, yang dapat disebabkan oleh persamaan

115
Anemia Penyakit Kronis dan Inflamasi: The Great Mimicker dari Anemia Defisiensi Besi

gambaran dalam sel darah merah dan penurunan kadar zat besi dalam
plasma.
 Diperlukan pemeriksaan klinis dan penunjang yang rinci untuk
membedakan ketiga jenis anemia tersebut.
 Tata laksana utama untuk mengatasi AI/ACD adalah dengan mengatasi
penyakit primer yang mendasari, yang dapat ditunjang dengan penggunaan
agen eritropoietik, suplementasi zat besi, atau transfusi darah bila
diperlukan.

Daftar pustaka
1. Santosh HN, Nagaraj T, Sasidaran A. Anemia of chronic disease: a comprehensive
review. J Med Radiol Pathol Surg. 2015; 1: 13-6.
2. Weiss G, Goodnough LT. Anemia of chronic disease. N Engl J Med. 2005; 352:
1011-23.
3. Zarychanski R, Houston DS. Anemia of chronic disease: a harmful disorder or an
adaptive, beneficial response? CMAJ. 2008; 179: 333-7.
4. Lerner NB. Anemia of chronic disease and renal disease. Dalam: Kliegman RM,
Stanton BF, St. Geme JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson Textbook
of Pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: WB Saunders; 2011. h. 2015-6.
5. Means RT. Recent developments in the anemia of chronic disease. Curr Hematol
Rep. 2003; 2: 116-21.
6. Rodriguez RM, Corwin HL, Gettinger A, Corwin MJ, Gubler D, Pearl RG.
Nutritional deficiencies and blunted erythropoietin response as causes of the
anemia of critical illness. J Crit Care. 2001; 16: 36-41.
7. Roy CN. Anemia of inflammation. Hematology Am Soc Hematol Educ Program.
2010; 1: 276-80.
8. Allen LA, Felker GM, Mehra MR. Validation and potential mechanisms of red
cell distribution width as a prognostic marker in heart failure. J Card Fail. 2010;
16: 230-8.
9. Agarwal N, Prchal JT. Anemia of chronic disease (anemia of inflammation). Acta
Haematol. 2009; 122: 103-8.
10. Theurl I, Aigner E, Theurl M, Nairz M, Seifert M, Schroll A, dkk. Regulation
of iron homeostasis in anemia of chronic disease and iron deficiency anemia:
diagnostic and therapeutic implications. Blood. 2009; 113: 5277-86.
11. Arosio P, Levi S. Ferritin, iron homeostasis, and oxidative damage. Free Rad Biol
Med. 2002; 33: 457-63.
12. Punnonen K, Irjala K, Rajamaki A. Serum transferrin receptor and its ratio to
serum ferritin in the diagnosis of iron deficiency. Blood. 1997; 89: 1052-7.
13. Goodnough LT, Bach RG. Anemia, transfusion, and mortality. N Engl J Med.
2001; 345: 1272-4.
14. Auerbach M, Ballard H, Trout JR. Intravenous iron optimizes the response to
recombinant human erythropoietin in cancer patients with chemotherapy-related
anemia: a multicenter, open-label, randomized trial. J Clin Oncol. 2004; 22: 1301-7.

116
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

15. Gatot D, Idjradinata P, Abdulsalam M, Lubis B, Soedjatmiko, Hendarto A, dkk.


Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia: Suplementasi zat besi untuk anak;
2011. h. 1-6.
16. Ioue S. Pediatric chronic anemia [Online]. Medscape 2014. Diunduh dari: http://
emedicine.medscape.com/article/954598-overview#a6 Diakses tanggal 14 Maret
2016.

117
Penerapan Imunonutrisi Berbasis Bukti Ilmiah
Klara Yuliarti

Tujuan:
1. Memahami konsep imunonutrisi
2. Menelaah berbagai penelitian mengenai imunonutrien
3. Mengetahui aplikasi imunonutrisi pada praktik sehari-hari berdasarkan
kedokteran berbasis bukti

Imunonutrisi adalah suatu konsep yang mengacu pada kemampuan nutrien


tertentu untuk memodifikasi aktivitas sistem imun.1 Konsep imunonutrisi dapat
diterapkan pada berbagai situasi dimana suplementasi nutrien tertentu diberikan
dengan tujuan memodulasi respon inflamasi atau imun.1 Penelitian mengenai
imunonutrisi pada manusia mulai berkembang pada tahun 1990, diawali oleh
Alexander dkk yang menemukan bahwa formula enteral disuplementasi arginin,
asam lemak omega, vitamin A, vitamin C, dan seng dapat menurunkan kejadian
infeksi dan lama perawatan pada pasien luka bakar.2 Studi penting lain adalah
oleh Daly yang mengeksplorasi potensi manfaat imunonutrisi pada pasien
yang menjalani operasi mayor elektif untuk keganasan traktus gastrointestinal
atas.2 Studi ini menemukan bahwa pemberian formula disuplementasi arginin,
asam lemak omega-3 dan nukleotida menurunkan komplikasi infeksi dan luka
serta meningkatkan mitogenesis limfosit.2 Sejak saat itu penelitian mengenai
imunonutrisi berkembang pesat, dengan hasil yang bervariasi. Hasil yang
bervariasi ini terutama disebabkan faktor karakteristik populasi studi yang
sangat bervariasi dan komponen imunonutrien yang juga beragam.
Tulisan ini bertujuan untuk mengulas nutrien yang berpotensi memberikan
manfaat terhadap sistem imun pada anak. Namun karena terbatasnya penelitian
mengenai imunonutrisi pada anak, maka tulisan ini juga merujuk pada
penelitian pada dewasa. Mengingat luasnya ruang lingkup imunonutrisi, maka
cakupan tulisan ini dibatasi pada imunonutrien yang banyak diteliti, yaitu
glutamin, arginin, omega-3, seng, dan nukleotida beserta dampak klinisnya
terhadap kondisi sakit kritis, paska-bedah, dan luka bakar. Tulisan ini tidak
membahas secara spesifik dampak imunonutrisi terhadap berbagai penyakit lain,
misalnya alergi, asma, diabetes melitus, kanker, pankreatitis, atau inflammatory
bowel disease.

118
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

Sistem imun
Sindrom respons imun sistemik (systemic inflammatory response syndrome) adalah
respons pejamu abnormal yang memiliki karakteristik inflamasi umum,
baik disebabkan infeksi maupun non-infeksi. Sindrom ini didahului oleh
berbagai kejadian, antara lain syok, sepsis, perdarahan, luka bakar, trauma,
dan pembedahan. Bila respons sistemik terhadap syok terpicu, maka akan
terjadi kaskade berupa fase stabilitasi selama 48-72 jam, diikuti oleh keadaan
hipermetabolisme yang akan mencapai puncak dalam 3-4 hari dan pulih dalam 2
minggu. Namun, seringkali respons inisial berkembang progresif mengakibatkan
hipermetabolisme persisten dan selanjutnya gagal sistem organ multipel.3
Mediator syok dan inflamasi berupa sitokin berpertan penting dalam
patogenesis sakit kritis. Dua sitokin, yaitu tumor necrosis factor (TNF-) dan IL-1,
diproduksi oleh makrofag dan dianggap sebagai mediator utama syok, sepsis,
dan sindrom gagal multiorgan. Makrofag distimulasi untuk memproduksi
TNF- oleh berbagai stimulus inflamasi, mencakup bakteri dan sitokin lain.
TNF- memiliki banyak fungsi, yaitu menstimulasi sel darah putih untuk
melepaskan IL-1, IL-6, IL-8, platelet activating factor, leukotrien, tromboksan,
dan prostaglandin. TNF- juga menstimulasi produksi dan aktivitas leukosit
polimorfonuklear dan mempromosikan adhesi sel-sel imun ke endotelium
sehingga sistem koagulasi dan komplemen teraktivasi. Mekanisme ini menekan
kontraktilitas miokardium dan menstimulasi demam.3
Sakit kritis memiliki tantangan tertentu terhadap pasien yang harus
merespon secara efektif terhadap inflamasi sistemik, organisme infeksius,
perubahan imunitas dan hipermetabolisme. Ketidakmampuan mempertahankan
penghantaran nutrien secara adekuat selama periode katabolisme ini
menyebebkan pasien rentan terhadap defisiensi nutrien, sehingga meningkatkan
risiko infeksi, gagal organ, dan mortalitas. 3
Terdapat tiga target potensial imunonutrisi, yaitu fungsi barier mukosa,
pertahanan selular, dan inflamasi lokal atau sistemik.1 Imunonutrien yang telah
diteliti saat ini dapat dikelompokkan menjadi:4
 Makronutrien: glutamine, arginin, leusin, asam lemak omega-3
 Mikronutrien: vitamin C, selenium, seng, magnesium
 Prebiotik, probiotik, dan sinbiotik
 Nukleotida

Air susu ibu adalah contoh imunonutrien yang paling nyata. Berbagai
nutrien spesifik yang terkandung dalam ASI telah diidentifikasi (Tabel 1).5
Namun penelitian mengenai manfaat klinis nutrien spesifik dalam ASI pada
manusia masih terbatas karena kesulitan metodologi.5

119
Penerapan Imunonutrisi Berbasis Bukti Ilmiah

Tabel 1. Komponen imunologis, protektif, dan trofik pada ASI5


IgA sekretorik Epidermal growth factor
IgG, IgM, IgE, IgD Nerve growth factor
Makrofag Insulin-like growth factor
Limfosit T dan B Kortisol
Lisozim Tiroksin
Interferon Taurin
Laktoferin Glutamin
Faktor bifidus Asam lemak dan musin terkait globul asam lemak
Substansi anti-adherens Gula amino

Penelitian mengenai imunonutrisi paling sering dilakukan pada pasien


sakit kritis, luka bakar, dan perioperatif. Berikut ini akan dibahas satu-persatu
imunonutrien yang banyak diteliti.

Glutamin
Glutamin merupakan asam amino yang paling banyak ditemukan dalam tubuh
dan diklasifikasikan sebagai asam amino yang tidak esensial karena dapat
disintesis dari glutamat dan asam glutamat dengan bantuan enzim glutamat-
amonia ligase.6 Namun, glutamin merupakan asam amino yang esensial pada
keadaan tertentu (conditionally essential) karena konsentrasinya turun pada kondisi
sakit kritis, paska-operasi, trauma multipel, luka bakar mayor, kanker, penyakit
gastrointestinal tertentu, dan latihan fisik ekstrim.4,7 Glutamin berperan penting

Gambar 1. Potensi mekanisme manfaat suplementasi glutamin pada pasien sakit kriƟs8

120
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

sebagai bahan bakar utama untuk limfosit dan enterosit, prekursor glutation,
sintesis DNA dan RNA pada proliferasi sel imun, merangsang respons heat
shock protein (HSP) dan modulasi regulasi gen terkait apoptosis dan transduksi
sinyal.6 Ekspresi glutation tinggi pada mukosa intestinal sehingga pengurangan
aktivitas antioksidan dapat menyebabkan degradasi mukosa , diare, malabsorpsi,
dan gagal tumbuh.4 Glutamin menstimulasi proliferasi sel-sel kripta di ileum,
kolon, dan yeyunum.6

Manfaat glutamin pada sakit kritis dan pembedahan


Terdapat banyak metaanalisis terhadap studi tentang glutamin pada sakit kritis
dan paskabedah, namun semua melibatkan populasi dewasa. Telaah sistematik
terhadap 14 studi pemberian glutamin pada pasien sakit kritis dan paska-bedah
menunjukkan bahwa pada pasien bedah, suplementasi glutamin berhubungan
dengan penurunan komplikasi infeksi dan lama rawat yang lebih singkat,
sedangkan pada pasien sakit kritis, suplementasi glutamin berhubungan dengan
penurunan angka infeksi dan mortalitas. Dampak terbesar didapatkan pada
pasien yang mendapat glutamin parenteral dosis tinggi.9
Metaanalisis yang melibatkan 21 penelitian mengenai penggunaan
glutamin enteral dan parenteral menunjukkan penurunan bermakna mortalitas,
pengurangan lama rawat dan komplikasi infeksi. Namun analisis subgrup
terhadap kelompok yang mendapat glutamin enteral tidak menunjukkan
pengurangan mortalitas ataupun infeksi. Hal ini disebabkan variasi populasi
pasien yang mendapat nutrisi enteral.10 American Society of Parenteral Enteral
Nutrition (ASPEN) merekomendasikan pemberian suplementasi glutamin
pada pasien dewasa dengan operasi mayor elektif, trauma, luka bakar, kanker
kepala dan leher, dan pasien sakit kritis yang menggunakan ventilasi mekanik,
sedangkan pemberian pada pasien dengan sepsis berat harus berhati-hati.11
Manfaat penggunaan glutamin parenteral pada pasien sakit kritis selain dari
diagnosis tersebut masih belum konklusif.4 Rute dan dosis pemberian glutamin
harus dipertimbangkan karena glutamin enteral dosis rendah dimetabolisme
secara cepat oleh bantalan splanknik sehingga mungkin tidak mencapai vena
portal.11
Studi mutakhir multisenter tentang pemberian glutamin, acak, tersamar
ganda terkini pada pasien dewasa setelah pembedahan gastrointestinal, vaskular,
atau jantung yang membutuhkan nutrisi parenteral menunjukkan pasien yang
mendapat nutrisi parenteral isokalorik isonitrogen (asam amino 1,5 g/kg/
hari) disuplementasi glutamin, sedangkan kelompok kontrol mendapat nutrisi
parenteral yang tidak mengandung glutamin. Hasil studi ini menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna dalam hal mortalitas dan infeksi
aliran darah.12

121
Penerapan Imunonutrisi Berbasis Bukti Ilmiah

Manfaat glutamin pada luka bakar


Glutamin merupakan imunonutrien yang paling sering digunakan pada kasus
luka bakar, baik tunggal maupun dalam kombinasi dengan imunonutrisi lain.13
Berbagai penelitian mengenai manfaat glutamin pada luka bakar menunjukkan
hasil inkonsisten.13,14 Metaanalisis Cochrane menunjukkan bahwa terdapat
penurunan bermakna lama rawat sebanyak 5,6 hari (IK 95% -3,2-8,1) dan
penurunan mortalitas (risk ratio 0,25; IK 95% 0,08 -0,78) pada kelompok
suplementasi glutamin dibandingkan dengan kontrol yang mendapatkan
nutrisi isonitrogen.13
Rekomendasi terkini dari European Society for Clinical Nutrition and
Metabolism menyatakan pemberian suplementasi glutamin pada luka bakar perlu
dipertimbangkan, namun belum terdapat cukup bukti untuk merekomendasikan
dosis, timing, rute, maupun durasi pemberian.14 Pemberian glutamin 0,3 g/kg/
hari secara bolus terpisah dari nutrisi enteral merupakan metode terpilih pada
beberapa studi. Rejimen ini ditujukan sebagai dosis sistemik dan bukan bahan
bakar usus. Pemberian dosis sistemik meningkatkan glutamin yang dihantarkan
ke lokasi luka bakar.13,14

Manfaat glutamin pada bayi prematur


Pada bayi prematur, hilangnya fungsi barier usus dapat menyebabkan infeksi
dan inflamasi sistemik (Gambar 1). Ketidakseimbangan antara respons pro-
dan anti-inflamasi dapat menyebabkan SIRS. Glutamin dapat menghambat
translokasi mikroorganisme dan menekan mediator inflamasi yang dihasilkan
dari usus akibat stimulasi agen pro-inflamasi.7

Gambar 2. Glutamin menstabilisasi fungsi barier mukosa usus melalui ght junc on7
NEC = necro zing enterocoli s, SIRS = systemic inflammatory response syndrome

122
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

Bayi berat lahir sangat rendah membutuhkan nutrisi parenteral pada


minggu-minggu pertama kehidupan sehingga berisiko mengalami defisiensi
glutamin karena cairan nutrisi parenteral standar tidak mengandung glutamin.7
Studi klinis acak tersamar pertama yang meneliti suplementasi glutamin pada
formula untuk bayi berat lahir sangat rendah (berat lahir <1500 g) menunjukkan
penurunan bermakna kejadian hospital acquired sepsis dan respons inflamasi
HLA-DR+ dan subset CD16. Kelompok glutamin juga menunjukkan toleransi
nutrisi enteral yang lebih baik, yaitu durasi nothing per oral lebih singkat
dibandingkan kelompok kontrol.15
Metaanalisis terkini dari Cochrane yang menelaah 12 uji acak terkontrol
mengenai suplementasi glutamin pada bayi prematur menunjukkan bahwa
suplementasi glutamin, baik enteral maupun parenteral, tidak memberikan
dampak terhadap mortalitas, insidens infeksi invasif, maupun enterokolitis
nekrotikans.16

Arginin
Arginin merupakan asam amino non-esensial, namun ketersediaannya
berkurang pada kondisi trauma dan sepsis sehingga digolongkan conditionally
essential.17 Arginin menstimulasi sekresi somatotropin dan prolaktin dari
hipofisis dan merangsang sekresi insulin pankreas. Arginin dimetabolisme
menjadi citrulin, sehingga L-arginin akan meningkatkan pembentukan nitrit
oksida (NO), nitrit, dan nitrat. Selain itu, arginin merupakan prekursor growth
factor seperti putresin, spermin, dan spermidin (Gambar 2). Nitrit oksida
dibentuk oleh enzim nitrit oksida sintase (NOS) yang terdapat dalam bentuk
constitutive (cNOS) dan inducible (iNOS). Produksi NO dikendalikan oleh tiga

Gambar 3. Efek arginin terhadap sintesis poliamin,


sekresi hormon, dan produksi senyawa nitrogen17

123
Penerapan Imunonutrisi Berbasis Bukti Ilmiah

macam gen NOS. Tipe 1 dan 3 merupakan isoform konstitutif (cNOS) yang
selalu ada dan memproduksi NO secara intermiten. Sedangkan isoform tipe 2
(iNOS) merupakan tipe inducible yang diaktivasi oleh sitokin dan endotoksin.
Rangsangan terhadap iNOS akan mengaktivasi produksi NO dalam jumlah
besar untuk jangka waktu yang lama sehingga mengakibatkan kerusakan
integritas struktur dan fungsi mukosa usus, hati, dan ginjal.17
Penelitian mengenai suplementasi arginin tunggal pada anak belum ada
hingga kini. Metaanalisis terhadap 22 studi pada populasi dewasa yang menjalani
operasi elektif, pasien sakit kritis dengan trauma berat, sakit kritis dengan
luka bakar berat, dan sakit kritis di Unit Rawat Intensif menunjukkan bahwa
pemberian formula yang disuplementasi arginin tidak memiliki efek terhadap
mortalitas dan infeksi.18 Temuan metaanalisis ini berbeda dengan beberapa
metaanalisis sebelumnya yang mendapatkan bahwa imunonutrisi pada pasien
bedah dan sakit kritis dapat menurunkan komplikasi infeksi. Pasien sakit kritis
dengan syok, sepsis, atau gagal organ menunjukkan hasil terapi yang berbeda
bermakna dengan pasien bedah. Walaupun pemberian arginin berkaitan dengan
penurunan bermakna komplikasi infeksi pada pasien bedah, arginin tidak
memiliki efek terhadap mortalitas atau angka infeksi pada pasien sakit kritis,
bahkan menunjukkan kemungkinan kecenderungan membahayakan pasien.18
Hal ini kemungkinan disebabkan karena arginin dapat meningkatkan pelepasan
sitokin proinflamasi dan produksi nitrit oksida, sehingga memperburuk kondisi
pasien yang telah mengalami respons inflamasi berat. Pada pasien sepsis dan
SIRS berat, pemberian formula disuplementasi arginin dapat menyebabkan
hipotensi transien, peningkatan indeks kardiak, serta penurunan resistensi
sistemik dan pulmoner.18,19 Hasil dari studi lain juga mendukung hipotesis
bahwa imunonutrisi memiliki efek samping membahayakan untuk pasien sakit
kritis. Studi terdahulu menggunakan formula disuplementasi arginin pada 326
pasien sakit kritis menunjukkan bahwa lebih kematian lebih banyak terjadi pada
pasien yang mendapat formula disuplementasi arginin (15,7%) dibandingkan
kelompok kontrol (8,4%; p=0,055). Pada pasien sepsis, angka kematian tiga
kali lipat lebih tinggi pada kelompok yang mendapat formula disuplementasi
arginin dibandingkan kontrol.20

Manfaat arginin pada enterokolitis nekrotikans


Enterokolitis nektrotikans (EKN) terjadi karena imaturitas saluran cerna,
kurangnya aliran darah ke traktus gastroinstestinal, dan kerusakan mukosa
akibat infeksi atau pemberian nutrisi hiperosmolar. Untuk melindungi traktus
gastrointestinal, tubuh memproduksi nitrit oksida dari arginin. Bayi prematur
dan bayi berat lahir sangat rendah (<1500 g) yang mengalami EKN dilaporkan
memiliki konsentrasi arginin plasma yang rendah. Telaah sistematik mengenai
supelementasi arginin untuk bayi prematur menunjukkan bahwa pemberian

124
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

arginin pada bayi usia gestasi <32 minggu dimulai pada usia 2-5 hari dan
diteruskan sampai usia 28 hari menurunkan risiko kejadian EKN. 21

Asam lemak omega-3


Asam lemak omega-3 adalah asam lemak tidak jenuh rantai panjang dengan
ikatan karbon rangkap pada rantai karbon ketiga. Sumber asam lemak omega-3
adalah ikan air laut, flaxseed, dan minyak canola. Asam lemak omega-3 yang
terpenting adalah asam -linoleat (ALA, 18 karbon, 3 ikatan rangkap), asam
eikosapentanoat (EPA, 20 karbon, 5 ikatan rangkap), dan asam dokosaheksanoat
(DHA, 22 karbon, 6 ikatan rangkap). Asam lemak omega-3 merupakan
komponen membran sel dan berperan penting untuk perkembangan otak.
Pada kondisi sehat, rasio asam lemak omega-3/omega-6 dari diet tidak memiliki
dampak bermakna pada kesehatan. Namun pada kondisi stres atau kerusakan
sel, asam lemak dilepaskan dari membran oleh fosfolipase dan dikonversi
menjadi enzim siklooksigenase dan lipoksigenase menjadi secondary messenger,
yaitu eikosanoid. Eikosanoid merupakan mediator respons tubuh terhadap jejas
dan patogen, dan dapat membahayakan bila diproduksi berkepanjangan atau
kronis. Setelah jaringan diperbaiki atau patogen dieliminasi, diproduksi senyawa
anti-inflamasi yang memulihkan proses inflamasi dan memulai homeostasis.
Senyawa anti-inflamasi ini mencakup resolvin dan protektin, yang merupakan
turunan dari asam lemak omega-3 EPA dan DHA. 4
Studi klinis acak terkontrol pada pasien dewasa dengan sepsis stadium
awal menunjukkan bahwa pasien yang diberikan suplementasi EPA/GLA
(gamma-linoleic acid) mengalami sepsis dan/atau syok sepsis yang lebih ringan
dibandingkan kontrol. Suplementasi APA/GLA juga menurunkan kebutuhan
ventilasi mekanik.22 Uji klinis acak terkontrol tersamar ganda multisenter pada
767 anak usia 11 sampai 29 bulan yang diberikan susu pertumbuhan (growing-up
milk) yang mengandung galaktooligosakarida (GOS), fruktooligosakarida (FOS),
asam lemak rantai panjang (LCPUFA) selama 52 minggu menunjukkan kejadian
infeksi saluran napas dan/atau gastrointestinal yang lebih rendah dibandingkan
kelompok yang mendapat susu pertumbuhan yang tidak mengandung GOS/
FOS/LCPUFA (risiko relatif 0,89; IK 05% 0,82-0,97).23 Namun perlu diperhatikan
bahwa formula yang diteliti pada studi ini mengandung LCPUFA bersama dengan
GOS/FOS sehingga tidak dapat ditentukan komponen nutrien manakah yang
menghasilkan dampak klinis. Selain itu, batasan operasional gejala respiratorik
dan/atau gastrointestinal yang digunakan tidak seragam sehingga hasil studi ini
sulit dibandingkan dengan studi lain. Studi kohort prospektif pada bayi yang
mendapat formula yang mengandung 17 mg DHA dan 34 ARA (asam arakidonat)
mengalami kejadian otitis media, eksim, dan diare yang lebih rendah selama satu

125
Penerapan Imunonutrisi Berbasis Bukti Ilmiah

tahun pertama kehidupan.24 Studi kohort retrospektif pada bayi yang mendapat
formula disuplementasi DHA/ARA (rasio 0,32%-0,36%/0,64%-0,72% dari
asam lemak total) selama satu tahun menunjukkan bahwa suplementasi DHA/
ARA berhubungan dengan penundaan onset dan pengurangan insidens infeksi
saluran napas atas dan penyakit alergi sampai usia 3 tahun.25

Seng
Seng merupakan trace mineral yang berperan sebagai kofaktor untuk protein
katalitik, struktural, dan regulatorik, serta penting dalam fungsi imun dan
penyembuhan luka. Seng merupakan kofaktor penting untuk DNA dan RNA
polymerase. Defisiensi seng dapat terjadi pada pemberian nutrisi parenteral tanpa
suplementasi seng atau diet rendah seng. Manifestasi klinis defisiensi seng dapat
berupa skin rash, abnormalitas fungsi penciuman dan rasa, penyembuhan luka
yang terlambat, dan gagal tumbuh pada anak.4
Seng merupakan second messenger untuk sel-sel imun. Kadar seng
intraselular yang rendah menyebabkan gangguan aktivasi sel T CD4+. Pada
sistem imun, manifestasi defisiensi seng dapat berupa berkurangnya jumlah
dan fungsi sel natural killer, serta penurunan rasio dan fungsi CD4/CD8. Pada
pasien sakit kritis ditemukan bahwa kadar seng plasma berhubungan terbalik
dengan sitokin IL-6 dan IL-8. Seng mempengaruhi aktivitas monosit/makrofag
melalui beberapa cara, yaitu terlibat dalam pembentukan monosit/makrofag
dan mengatur fungsi monosit/makrofag, yaitu fagositosis dan pembentukan
sitokin proinflamasi. Seng menghambat fosfodiesterase membran sehingga
second messenger guanosin siklik monofosfat meningkat, selanjutnya terjadi
supresi mRNA dari TNF-, IL-1, dan sitokin inflamasi lain.26

Manfaat seng pada diare


Suplementasi seng terbukti mencegah dan mengobati diare pada balita.27
Defisiensi seng juga berkaitan dengan risiko infeksi saluran napas, tetapi
manfaat suplementasi terbatas pada kasus berat dan populasi dengan insidens
defisiensi seng yang tinggi.26 Diare menyebabkan rusaknya mukosa sehingga
absorpsi nutrien berkurang, termasuk seng. Terdapat banyak bukti ilmiah yang
mendukung efikasi suplementasi seng untuk mencegah diare pada anak. Pada
tahun 2004, WHO mengeluarkan rekomendasi global untuk suplementasi seng
selama 10-14 hari untuk anak yang mengalami diare. Metaanalisis mengenai
suplementasi seng rutin selama 3 bulan menunjukkan penurunan insidens diare
sebanyak 18% dibandingkan kelompok yang mendapat plasebo.27

126
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

Manfaat seng pada infeksi berat


Studi klinis acak terkontrol tersamar ganda mengenai pemberian suplementasi
seng 10 mg/hari pada bayi usia 7-120 hari dengan kemungkinan infeksi bakterial
serius menunjukkan bahwa kegagalan terapi, didefinisikan sebagai penggantian
antibiotik setelah 7 hari, membutuhkan perawatan unit intensif, atau kematian
dalam kurun waktu 21 hari, terjadi lebih sedikit pada kelompok seng (10%)
dibandingkan kelompok plasebo (17%).28

Manfaat seng pada infeksi saluran pernapasan


Telaah sistematik dari Cochrane pada tahun 2013 menunjukkan pemberian
seng dalam waktu 24 jam sejak onset gejala dapat mengurangi durasi selesma
pada pasien dewasa sehat. Namun hasil ditarik pada tahun 2015 dengan alasan
dibutuhkan perhitungan dan analisis data ulang.29 Uji klinis acak tersamar ganda
pada 550 anak berusia 2-24 bulan dengan pneumonia berat atau pneumonia
sangat berat mengunjukkan bahwa tidak suplementasi seng tidak bermanfaat
untuk mengurangi durasi pneumonia.30

Nukleotida
Nukleotida adalah senyawa nitrogen non-protein yang berperan aktif dalam
proliferasi sel dan imunomodulasi.31 Nukleotida bersumber dari dua jalur, yaitu
sintesis de novo menggunakan asam amino dari makanan atau salvage pathway dari
asam nukleat dan nukleotida yang didegradasi oleh tubuh.31 Nutrien ini dapat
bersifat conditionally essential ketika kebutuhan tubuh lebih besar dari jumlah
nukleotida yang disintesis, baik melalui jalur de novo maupun salvage pathway,
contohnya pada kondisi pertumbuhan cepat, penyakit tertentu, asupan yang
kurang.32 Nukleotida beperan sebagai building blocks DNA dan RNA, komponen
koenzim NAD (nicotinamide adenine dinucleotide), FAD (flavin adenine dinucleotide),
dan koenzim A, bahan pembentuk ATP dan cAMP, serta sebagai substrat yang
dibutuhkan untuk proliferasi dan maturasi sel T.31,32
Penelitian terdahulu mengenai nukleotida menunjukkan bahwa
suplementasi nukleotida memiliki dampak klinis yang positif terhadap
pertumbuhan dan diferensiasi enterosit, pertumbuhan somatik, absorpsi besi,
dan fungsi imun.31 Namun penelitian yang lebih baru menunjukkan bahwa
dampak klinis tersebut masih inkonsisten. Uji klinis acak terkontrol pada
bayi sehat yang mendapat formula yang mengandung nukleotida pada kadar
alamiah 10 mg/L (n=102) dan formula disuplementasi nukleotida 33,5 mg/L
(n=98) menunjukkan bahwa suplementasi tidak mempengaruhi pertumbuhan
maupun fungsi imun. Terdapat sedikit peningkatan respons antibodi tetanus
pada kelompok nukleotida dibandingkan kontrol.33

127
Penerapan Imunonutrisi Berbasis Bukti Ilmiah

Suplementasi nukleotida meningkatkan respons imun non-spesifik


terhadap infeksi melalui perubahan lingkungan mikroflora usus halus.31 Studi
pertama (besar sampel 23 subjek) mengenai suplementasi nukleotida pada
bayi menunjukkan bahwa kelompok yang mendapat formula disuplementasi
nukleotida memiliki persentase Bifidobacterium spp. yang lebih tinggi di
tinja dibandingkan kontrol.34 Namun studi lain yang lebih besar (besar
sampel 55 subjek) menunjukkan hasil berbeda, yaitu pengurangan koloni
bifidobakteria pada kelompok nukleotida dibandingkan kontrol.35 Terdapat
beberapa keterbatasan studi ini, yaitu penentuan kelompok yang tidak acak,
teknik kultur yang kurang akurat, perbedaan usia saat pemeriksaan, dan
dosis suplementasi nukleotida. Studi terbaru yang melibatkan populasi yang
lebih besar (n=112), terbagi dalam 3 kelompok, yaitu formula disuplementasi
nukleotida, formula standar, dan ASI sebagai rujukan, menunjukkan bahwa
rasio Bacteroides-Porphyromonas-Prevotella (BPP) terhadap Bifidobacterium spp. pada
kelompok yang mendapat formula nukleotida lebih rendah bila dibandingkan
kelompok kontrol, namun tidak berbeda bila dibandingkan dengan kelompok
yang mendapat ASI. Hasil ini menunjukkan bahwa suplementasi nukleotida
memperbaiki komposisi mikrobiota usus pada bayi yang mendapat formula.36

Kombinasi imunonutrien
Uji klinis acak pertama yang mengevaluasi manfaat pemberian imunonutrisi
pada anak dilakukan oleh Briassoulis dkk pada 50 anak sakit kritis di Unit Rawat
Intensif Anak dengan diagnosis sepsis, gagal napas, dan cedera kepala berat.
Pasien dirandomisasi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang mendapat
nutrisi enteral yang disuplementasi dengan glutamin, arginin, antioksidan,
dan asam lemak omega-3 dan kelompok yang mendapat formula enteral
standar. Nutrisi enteral dimulai dalam 12 jam pertama dan target pemenuhan
laju metabolisme basal (basal metabolic rate, BMR) tercapai pada hari kedua.
Balans nitrogen 24 jam pada hari ke-5 menjadi positif pada 40% pasien di grup
kontrol dan 64% pasien di grup intervensi. Rerata balans nitrogen pada grup
intervensi menjadi positif pada hari ke-5 (0,07±0,07 versus -0,25±0,03 g/kg pada
hari ke-1, p=0,001), sedangkan pada grup kontrol balans nitrogen tetap negatif
pada hari ke-5 (-0,06±0,04 versus -0,25±0,06 g/kg pada hari ke-1, p=0,001).
Mortalitas dan lama rawat tidak berbeda antara kedua grup. Pada kelompok
intervensi didapatkan kejadian diare lebih tinggi.37 Studi ini memiliki beberapa
keterbatasan, yang pertama dalam hal keamanan, karena formula intervensi yang
digunakan bukan formula yang didesain khusus anak. Formula intervensi ini
memiliki osmolaritas lebih tinggi serta kandungan protein (24% total energi)
dan natrium yang tinggi sehingga berpotensi meningkatkan potential renal solute
load yang selanjutnya membebani fungsi ginjal. Hal ini tercermin dari kadar

128
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

natrium dan urea pada hari ke-5 yang menunjukkan perbedaan bermakna antara
grup intervensi dan kontrol. Hal kedua yang perlu dianalisis lebih lanjut adalah
peningkatan respons inflamasi pada kelompok intervensi (CRP 56 mg/dL pada
hari ke-1 menjadi 86 mg/dL pada hari ke-5) dibandingkan grup kontrol (CRP
78 mg/dL pada hari ke-1 menjadi 76 mg/dL pada hari ke-5).38

Simpulan
Berbagai penelitian mengenai imunonutrisi menunjukkan hasil inkonsisten,
baik dalam hal infeksi, morbiditas, lama rawat, mortalitas, dan luaran lain.
Diskrepansi hasil tersebut mungkin disebabkan dosis, interaksi nutrien,
derajat penyakit, keadaan hipermetabolisme yang berbeda, serta faktor genetik
individual yang mempengaruhi kebutuhan metabolisme dan respons imun.
Penelitian yang cukup konsisten dan menjadi rekomendasi adalah
pemberian suplementasi glutamin pada pasien dewasa dengan operasi mayor
elektif, trauma, luka bakar, kanker kepala dan leher, dan pasien sakit kritis
yang menggunakan ventilasi mekanik. Pemberian arginin dapat memperkuat
fungsi limfosit namun di sisi lain merupakan prekursor nitrit oksida sehingga
arginin dapat memperbaiki luaran untuk pasien dengan kondisi tertentu namun
membahayakan pasien dengan kondisi lain. Sampai saat ini belum cukup bukti
untuk merekomendasikan pemberian suplementasi glutamin, arginin, omega-3,
seng, maupun nukleotida pada anak.

Daftar pustaka
1. Calder PC. Immunonutrition. BMJ. 2003;327:117-8
2. Mizock BA, Sriram K. Perioperative immunonutrition. Exp Rev Clin Immun.
2011;7:1-3
3. Stechmiller JK, Childress B, Porter T. Arginine immunonutrition in critically ill
patients: a clinical dilemma. Am J Crit Care. 2004;13:17-23
4. Pierre JF, Heneghan AF, Lawson CM, Wischmeyer P, Kizar RA, Kudsk KA.
Pharmaconutrition review: pyhsiological mechanisms. J Parenter Enteral Nutr.
2013;37:51S-65S
5. Levy J. Immunonutrition: the pediatric experience. Nutr. 1998;14:641– 47
6. Buchman AL. Glutamine: commercially essential or conditionally essential? A
critical appraisal of the human data. Am J Clin Nutr 2001;74:25–32.
7. Neu J. Glutamine supplementation in neonates: is there a future? Dalam: Makrides
M, Ochoa JB, Szajewska H, penyunting. The Importance of Immunonutrition.
Nestlé Nutr Inst Workshop Ser, vol 77. Nestec Ltd., Vevey/S. Karger
AG.:Basel;2013. Hal. 47-56.
8. Wischmeyer PE. Clinical applications of L-glutamine: past, present, and future.
Nutr Clin Pract. 2003;18:377–85.

129
Penerapan Imunonutrisi Berbasis Bukti Ilmiah

9. Novak F, Heyland DK, Avenell A, Drover JW, Su XY. Glutamine supplementation


in serious illness: A systematic review of the evidence. Crit Care Med. 2002;
30:2022–9.
10. van Zanten ARH, Dhaliwal R, Garrel D, Heyland DK. Enteral glutamine
supplementation in critically ill patients: a systematic review and meta-analysis.
Crit Care. 2015;19:294. DOI 10.1186/s13054-015-1002-x
11. McClave SA, Martindale RG, Vanek VW, McCarthy M, Roberts P, taylor B,
dkk. Guidelines for the provision and assessment of nutrition support therapy
in the adult critically ill patient: Society of Critical Care Medicine and American
Society for Parenteral and Enteral Nutrition: Executive Summary. Crit Care Med.
2009;33: 277-316
12. Ziegler TR, May AK, Hebbar G, Easley KA, Griffith DP, Dave N, dkk. Efficacy
and Safety of Glutamine-supplemented Parenteral Nutrition in Surgical ICU
Patients. An American Multicenter Randomized Controlled Trial. Ann Surg.
2016;263:646–55.
13. Tan HB, Danilla S, Murray A, Serra R, El Dib R, Henderson TOW, dkk.
Immunonutrition as an adjuvant therapy for burns. Cochrane Database of
Systematic Reviews 2014, Issue 12. Art. No.: CD007174. Doi: 10.1002/14651858.
CD007174.pub2.
14. Rousseau AF, Losser MR, Ichai C, Berger MM. ESPEN endorsed recommendations:
Nutritional therapy in major burns. Clin Nutr. 2013;32:497e-502e.
15. Neu J, Roig JC, Meetze WH, Veerman M, Carter C, Millsaps M, dkk. Enteral
glutamine supplementation for very low birth weight infants decreases morbidity.
J Pediatr. 1997;131:691-9.
16. Moe-Byrne T, Brown JVE,McGuireW. Glutamine supplementation to prevent
morbidity and mortality in preterm infants. Cochrane Database of Systematic
Reviews 2016, Issue 1. Art. No.: CD001457. DOI: 10.1002/14651858.CD001457.
pub5.
17. Suchner U, Heyland DK, Peter K. Immune-modulatory actions of arginine in the
critically ill. Br J Nutr. 2002;87:S121-32
18. Heyland DK, Novak F, Drover JW, Jain M, Su X, Suchner U. Should
immunonutrition become routine in critically ill patients? A systematic review of
the evidence. J Am Med Assoc. 2001;286:944-53.
19. Heyland DK, Samis A. Does immunonutrition in patients with with sepsis do
more harm than good? Intensive Care Med. 2003;29:667-10.
20. Bower RH, Cerra FB, Bershadshy B. Early enteral administration of formula
(Impact) supplemented with arginine, nucleotides, and fish oil in intensive care
unit patients: results of a multicenter, prospective, randomized, clinical trial. Crit
Care Med. 1995;23:436-49.
21. Shah PS, Shah VS. Arginine supplementation for prevention of necrotising
enterocolitis in preterminfants. Cochrane Database of Systematic Reviews 2007,
Issue 3. Art. No.: CD004339. DOI: 10.1002/14651858.CD004339.pub3.
22. Pontes-Arruda A, Martins LF, de Lima SM. Enteral nutrition with eicosapentaenoic
acid, -linolenic acid and antioxidants in the early treatment of sepsis: results from
a multicenter, prospective, randomized, double-blinded, controlled study: the
INTERSEPT study. Crit Care. 2011;15:R144

130
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

23. Chatchatee P, Lee WS, Carrilho E, Kosuwon P, Simakarchon N, Yavuz Y, dkk.


Effects of growing-up milk supplemented with prebiotics and LCPUFAs on
infections in young children. J Parenter Gastroenterol Nutr. 2014;58: 428–37.
24. Lapillonne A, Pastor N, Zhuang W, Scalabrin DMF. Infants fed formula with
added long chain polyunsaturated fatty acids have reduced incidence of respiratory
illnesses and diarrhea during the first year of life. BMC Pediatrics. 2014, 14:168.
25. Birch EE, Khoury JC, Berseth CL, Castañeda YS, Couch JM, Bean J, dkk. The
impact of early nutrition on incidence of allergic manifestations and common
respiratory illnesses in children. J Pediatr. 2010;156:902-4.
26. Prasad AS. Discovery of human zinc deficiency: its impact on human health and
disease. Adv Nutr. 2013;4:176–90.
27. Sazawal S, Black RE, Bhan MK, Bhandari N, Sinha A, Jalla S. Zinc supplementation
in young children with acute diarrhea in India. N Engl J Med. 1995;333:839–44.
28. Bhatnagar S, Wadlora N, Areja S, Lodha R, Kabra SK, Natcha UCM, dkk. Zinc
as adjunct treatment in infants aged between 1 and 120 d with probable serious
bacterial infection: a randomized, double-blind, placebo controlled trial. Lancet.
2012;379:2072–8.
29. Singh M, Das RR. Zinc for the common cold. Cochrane Database of Systematic
Reviews 2013, Issue 6. Art. No.: CD001364. DOI: 10.1002/14651858.CD001364.
pub4
30. Wadhwa N, Chandran A, Aneja S, Lodha R, Kabra SK, Chaturvedi MK, dkk.
Efficacy of zinc given as an adjunct in the treatment of severe and very severe
pneumonia in hospitalized children 2–24 mo of age: a randomized, double-blind,
placebo-controlled trial. Am J Clin Nutr. 2013 doi: 10.3945/ajcn.112.052951.
31. Santora R, Kozar RA. Molecular mechanisms of pharmaconutrients. J Surg Res.
2010;161:288-94.
32. Lerner A, Shamir R. Nucleotides in infant nutrition: a must or an option. IMAJ.
2000;2:772-4.
33. Hawkes JS, Gibson RA, Roberton D, Makrides M. Effect of dietary nucleotide
supplementation on growth and immune function in term infants: a randomized
controlled trial. Eur J Clin Nutr. 2006;60: 254–64
34. Gil A, Corral E, Martinez A, Molina JA. Effects of dietary nucleotides on the
microbial pattern of faeces of at term newborn infants. J Clin Nutr Gastroenterol
1986;1:127–32.
35. Balmer SE, Hanvey LS, Wharton BA. Diet and faecal flora in the newborn:
nucleotides. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. 1994;70:F137– 40.
36. Singhal A, Macfarlane G, Nacfarlane S, Lanigan J, Kennedy K, Eloas-Jones A, dkk.
Dietary nucleotides and fecal microbiota in formula-fed infants: a randomized
controlled trial. Am J Clin Nutr. 2008;87:1785-92.
37. Briassoulis G, Filippou O, Hatzi E, Papassotiriou I, Hatzis T. Early enteral
administration of immunonutrition in critically ill children: results of a blinded
randomized controlled clinical trial. Nutr. 2005;21:799–807
38. Leite HP. Iglesias SB. Are immune-enhancing diets safe for critically ill children?
Nutrition. 2006;22:579–80.

131
Menuju Unit Rawat Neonatal Bebas Sepsis
Neonatorum
Lily Rundjan, Miske Marsogi

Tujuan:
1. Mengetahui besaran masalah healthcare-associated infections di Unit
Perawatan Intensif Neonatus dan dampaknya.Mengetahui definisi
dan berbagai upaya pencegahan central line associated blood stream
infection.
2. Mampu menerapkan upaya pencegahan central line associated blood
stream infection dalam rangka mencapai zero tolerance to neonatal
sepsis.

Healthcare-associated infections (HAIs) atau dahulu dikenal sebagai infeksi


nosokomial merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas neonatus serta
masalah finansial utama di unit perawatan intensif neonatus (UPIN) di seluruh
dunia. Prevalensi HAI di UPIN berkisar antara 11,4% hingga 25%.1,2
Neonatus rentan mengalami infeksi karena bersifat relatif imunodefisiensi,
terutama pada bayi prematur dan bayi berat lahir rendah (BBLR). Selain itu
pada bayi prematur sakit harus menjalani berbagai prosedur yang diperlukan
untuk menunjang kehidupan seperti pemasangan jalur vena sentral, penggunaan
alat bantu ventilator, kateter urin, atau prosedur invasif lainnya. Infeksi aliran
darah (IAD) terkait jalur sentral / central line associated blood stream infection
(CLABSI) merupakan bentuk yang paling sering dijumpai di UPIN di antara
keempat tipe HAI.3
Bayi prematur yang mengalami IAD sering dikaitkan dengan risiko
luaran jangka panjang yang buruk seperti intraventricular hemorrhage (IVH),
palsi serebral dan gangguan neurodevelopmental. Luaran jangka panjang yang
buruk tersebut dilaporkan mencapai 20% di seluruh dunia, sedangkan Divisi
Neonatologi FKUI-RSCM tahun 2015 melaporkan angka kejadian IVH hingga
28%.4,5 Bayi dengan riwayat minimal 1 kali episode IAD dilaporkan memiliki
3 kali kemungkinan lebih besar untuk menderita palsi serebral, 2 kali lebih
besar untuk mengalami gangguan neurodevelopmental dan 8 kali lebih besar
mengalami IVH.6-9 Hal ini mendasari mengapa setiap UPIN di berbagai negara
terus berupaya agar mencapai zero CLABSI agar setiap bayi paska perawatan

132
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

UPIN mempunyai luaran yang lebih baik.


Pencegahan CLABSI dilakukan dengan penerapan bundel CLABSI,
yaitu dengan menerapkan sekumpulan metode yang telah terbukti secara
evidence-based. Namun pada kenyataannya tidaklah mudah mencapai dan
mempertahankan zero CLABSI. Kunci keberhasilan sesungguhnya adalah
kombinasi pendekatan multidisplin para pekerja kesehatan dalam menerapkan
bundel secara konsisten, dukungan keluarga dan diikuti oleh evaluasi serta
surveilans secara terus menerus. Pengalaman dari beberapa negara menunjukkan
bahwa untuk mencapai zero CLABSI dibutuhkan usaha yang tidak kenal lelah
selama 3 - 5 tahun. Sejak tahun 2007 Divisi Neonatologi RSCM-FKUI telah
menunjukkan kiprah dalam meningkatkan angka harapan hidup bayi berat lahir
sangat rendah (BBLSR), bayi dengan penyakit jantung bawaan dan kelainan
gastrointestinal yang memerlukan intervensi bedah. Namun angka CLABSI
di Divisi Neonatologi RSCM-FKUI masih berfluktuasi antara 3,13‰ hingga
18,82 ‰ pada tahun 2015.5,10 Sudah saatnya Divisi Neonatologi RSCM-FKUI
meningkatkan kualitas pelayanan neonatus dengan mencanangkan zero tolerance
terhadap sepsis untuk mencapai luaran jangka panjang lebih baik dari yang
sudah dicapai sekarang.

Healthcare-associated infections (HAIs)


Healthcare-associated infections (HAIs) mencakup semua infeksi pasien yang
berasal dari pekerja kesehatan. Pasien dinyatakan menderita HAI apabila klinis
infeksi muncul minimal 48 jam sejak mulai perawatan dan saat pertama mulai
dirawat di rumah sakit tidak sedang dalam masa inkubasi infeksi lain.11 HAIs
dapat bermanifestasi dalam beberapa bentuk, seperti infeksi aliran darah (IAD),
infeksi saluran kemih (ISK) terkait pemasangan kateter, infeksi daerah operasi
(IDO) dan pneumonia terkait ventilator/Ventilator Associated Pneumonia (VAP).
Di antara semua bentuk infeksi, IAD merupakan bentuk HAIs yang paling
utama dan hal ini sesuai dengan laporan Divisi Neonatologi RSCM-FKUI yang
mencatat IAD sebagai penyebab lebih dari 90% HAIs.5

Infeksi Aliran Darah (IAD)


Sepsis (atau sering disebut bergantian sebagai IAD) diartikan sebagai suatu
sindrom klinis yang terdiri dari tanda dan gejala infeksi yang dapat disertai
maupun tidak disertai bakteremia. Tujuh puluh persen penyebab IAD berasal
dari CLABSI. Jalur sentral merupakan prosedur invasif yang sering diperlukan
untuk pemberian obat, nutrisi parenteral dan cairan terutama pada neonatus
di UPIN. Prosedur invasif ini dapat menjadi port d’entrée mikroorganisme

133
Menuju Unit Rawat Neonatal Bebas Sepsis Neonatorum

untuk masuk ke dalam pembuluh darah. Hal ini mendasari mengapa CLABSI
dilaporkan menjadi penyebab IAD paling sering terutama pada neonatus. Selain
CLABSI, IAD dapat disebabkan sekunder dari fokus infeksi lain seperti VAP,
IDO dan ISK.12,13

Central line associated blood stream infection (CLABSI)


Central line associated blood stream infection (CLABSI) diartikan sebagai IAD
yang terjadi pada pasien terpasang jalur sentral dan bukan disebabkan oleh
fokus infeksi lain. Istilah CLABSI harus dibedakan dengan CRBSI (catheter
related blood stream infection) walaupun seringkali kedua istilah ini dipakai secara
bergantian. CLABSI adalah istilah yang diperkenalkan oleh CDC untuk tujuan
surveilans. CLABSI diartikan oleh CDC sebagai IAD primer yang terjadi dalam
kurun 48 jam setelah pemasangan jalur sentral dan dalam kurun 24 jam setelah
pencabutan jalur sentral. CRBSI adalah istilah yang lebih spesifik umumnya
digunakan untuk keperluan clinical reseach. Diagnosis CRBSI membutuhkan
bukti spesifik bahwa kateter adalah penyebab dari IAD dengan cara melakukan
kultur ujung kateter atau dengan metode differential time to positivity (DTP).12
Istilah CRBSI lebih spesifik untuk menentukan diagnosis dari IAD
terkait jalur sentral, namun lebih membutuhkan sarana dan prasarana lebih
banyak. Pengertian CLABSI dianggap lebih praktis untuk praktek sehari-hari
dibandingkan dengan CRBSI.13,14

134
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

Gambar 1. Patogenesis CLABSI3

Jalur sentral dapat mengalami kontaminasi oleh mikroorganisme melalui


2 mekanisme utama, antara lain:12,14,15
1. Ekstra lumen
– Flora normal maupun kuman patogen dari tangan pekerja kesehatan
dapat ikut bermigrasi melalui permukaan kateter dan masuk ke
pembuluh darah.
– Hub atau sambungan antara kateter jalur sentral dengan jalur infus
dapat terkontaminasi oleh flora normal maupun kuman patogen
yang terbawa dari tangan pekerja kesehatan. Mikroorganisme dapat
membentuk kolonisasi, bermigrasi ke ujung kateter di dalam pembuluh
darah dan dapat membentuk lapisan biofilm yang melekat erat pada
permukaan kateter. Lapisan ini menyebabkan kuman patogen relatif
resisten terhadap antibiotik dan sistem imun tubuh.
2. Intra lumen
– Kontaminasi langsung ke dalam lumen kateter dapat berasal dari cairan
infus yang terkontaminasi, atau kuman yang masuk akibat tindakan
desinfeksi hub tidak optimal.

CLABSI pada neonatus dapat memperpanjang lama rawat, meningkatkan


biaya perawatan, meningkatkan morbiditas dan mortalitas, serta memberikan
luaran jangka panjang yang buruk terutama pada bayi prematur. Bayi prematur
dengan CLABSI memiliki risiko intraventricular hemorrhage, periventricular
leukomalacia, meningitis, penyakit paru kronis, palsi serebral dan gangguan
neurodevelopmental lainnya.15 Divisi Neonatologi FKUI-RSCM melaporkan rerata
CLABSI sebesar 8,37‰ pada tahun 2015 yang masih jauh lebih tinggi dari
standar internasional yaitu di bawah 3,5‰.5

Pencegahan CLABSI
Pencegahan CLABSI dapat dicapai dengan pendekatan proaktif melalui
penerapan sekumpulan metode yang telah terbukti secara evidence-based yaitu
bundel CLABSI. Setiap UPIN yang melakukan pemasangan jalur sentral
sebaiknya menerapkan prinsip bundel CLABSI pada aspek pemasangan,
perawatan dan pencabutan jalur sentral.3,12,13,16

I. Pemasangan jalur sentral


Pemilihan lokasi pemasanganBeberapa penelitian melaporkan bahwa regio
femoralis memiliki risiko infeksi lebih tinggi,13,14,17 selain itu risiko sepsisnya lebih

135
Menuju Unit Rawat Neonatal Bebas Sepsis Neonatorum

berat dan risiko trombosis lebih besar.17 Ekstremitas atas dan area proksimal
mempunyai risiko infeksi lebih besar daripada ekstremitas bawah dan area
distal.18 Hal ini sesuai dengan laporan di Divisi Neonatologi FKUI-RSCM pada
tahun 2015 (Gambar 2).5
15 12,36
10 7,14
5

0
Ekstremitas bawah Ekstremitas atas

Gambar 2. Posisi ekstremitas dan persentase CLABSI


di Divisi Neonatologi RSCM-FKUI periode Januari-Desember 20155

1. Pemilihan jenis kateter


Kateter peripherally inserted cetral venous catheter (PICC) memiliki risiko lebih
rendah dibandingkan dengan kateter longblue dan kateter sentral surgikal
(2,1 ‰ vs 2,7 ‰, p < 0.001).19 Hasil yang sama didapatkan pada laporan
di Divisi Neonatologi RSCM-FKUI tahun 2015 (Gambar 3).5
40 33,33
30 27,27

20 17,4

10
0
PICC Long-blue Longline surgical

Gambar 3. Profil jenis kateter sentral dan angka CLABSI (%)


di Divisi Neonatologi RSCM-FKUI periode Januari-Desember 20155
PICC: peripherally inserted central catheter

2. Hand hygiene
Tangan pekerja kesehatan adalah jalur utama transmisi kuman patogen
di UPIN. Rantai penularan ini dapat dihentikan dengan melakukan hand

136
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

hygiene yang efektif sesuai dengan 5 momen (WHO). Hand hygiene telah
ditetapkan oleh WHO sebagai salah satu strategi yang efektif, sederhana
dan mudah untuk menurunkan angka infeksi. WHO menganjurkan angka
kepatuhan hand hygiene di atas 85%, namun kenyataannya angka kepatuhan
di kalangan pekerja kesehatan masih rendah berkisar 20-50%.20,21 Angka
kepatuhan hand hygiene di Divisi Neonatologi FKUI-RSCM sendiri pada
tahun 2011 hingga 2013 berfluktuasi dengan rerata 68%.22,23 Tingkat
kepatuhan hand hygiene berbanding terbalik dengan tingkat infeksi. Aplikasi
hand hygiene telah dikaitkan dengan penurunan angka CLABSI, MRSA
dan angka infeksi HAI secara keseluruhan pada beberapa negara.24-26
3. Penggunaan maximal barrier precaution dengan cara menjaga lapangan
kerja steril, penggunaan masker, topi, kacamata pelindung, gaun steril,
sarung tangan steril, troli dan duk steril dapat menurunkan risiko infeksi
pemasangan jalur sentral hingga 6 kali lebih kecil.19,27,28 Studi lain juga
membuktikan bahwa pemasangan tanpa penggunaan maximal barrier
precaution dapat meningkatkan risiko CRBSI (RR 2,1).28

Gambar 4. Maximal barrier precau on

5. Penggunaan antisepsis klorheksidin 2% dengan alkohol direkomendasikan


untuk desinfeksi kulit sebelum pemasangan dan saat penggantian
dressing.12,27,29 Tidak banyak studi yang membandingkan efektifitas
klorheksidin terhadap alkohol 70% dan povidon iodin 10% pada bayi
<2 bulan, namun beberapa studi melaporkan penggunaan klorheksidin
2% terbukti lebih unggul bila dibandingkan dengan povidon iodin 10%.
Studi lain juga melaporkan tidak ada perbedaan bermakna risiko dermatitis
pada pemakaian klorheksidin dan povidon iodin terhadap bayi prematur
dan BBLR.29,30

137
Menuju Unit Rawat Neonatal Bebas Sepsis Neonatorum

6. Pelaksanaan prosedur pemasangan sesuai checklist standar prosedur


operasional (SPO)
Beberapa negara yang sukses mencapai penurunan CLABSI menyebutkan
bahwa saat pemasangan jalur sentral perlu didampingi seseorang pekerja
kesehatan yang memegang checklist untuk mengingatkan operator agar senantiasa
bekerja sesuai SPO.10,31

II. Perawatan jalur sentral


1. Evaluasi harian keadaan jalur sentral oleh perawat dan dokter setiap
hari, diperlukan untuk melihat apakah terdapat komplikasi pemakaian
jalur sentral. Komplikasi dapat berupa trombosis, infeksi dan mekanik.
Dokumentasi lembar observasi dilakukan setiap harinya.
2. Penggunaan dan perawatan closed system.
Penggunaan closed system atau needleless connector (NC) menurunkan CLABSI
dengan mencegah masuknya mikroorganisme ke dalam pembuluh darah.12,14
Manfaat closed system dapat optimal apabila diikuti dengan pemilihan desain
alat, metode desinfeksi hub yang benar, serta penggantian set administrasi
sesuai waktu yang direkomendasikan.
• Hub atau sambungan antara kateter dan jalur infus dapat terkolonisasi
dan menjadi jalur masuk mikroorganisme. Oleh karena itu pembersihan
sambungan dengan antiseptik yang dianjurkan (klorheksidin 2%,
povidon iodin, alkohol 70%) (kategori 1A) harus dilakukan. Sampai
saat ini belum terdapat rekomendasi durasi yang dianjurkan, namun
sambungan yang dibersihkan dengan gerakan memutar yang cukup
kuat selama lebih dari 15 detik dengan menggunakan alkohol 70%
atau kombinasi klorheksidin 2% - alkohol 70% terbukti efektif untuk
mensterilisasi sambungan.13,32
• Kuman patogen dapat masuk ke dalam set administrasi melalui cairan
infus dan sambungan kateter yang terkolonisasi. Penggantian set
administrasi dianjurkan tidak lebih sering dari 72 jam..
• Desain NC tipe split septum (SS) lebih dipilih dari katup mekanik (MV)
karena memiliki risiko infeksi lebih rendah.12,14
Rundjan (2013) membuktikan bahwa kelompok yang menggunakan
set administrasi closed system mempunyai risiko IAD lebih kecil dan
angka CRBSI lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok
kontrol (3,3% versus 26,7%).33
3. Mengganti dressing sesuai indikasi12,13,15
Dressing berperan sebagai barrier antara kulit dan kateter untuk

138
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

meminimalisasi kontak antar kulit dan kateter sehingga mengurangi risiko


migrasi mikroorganisme ke permukaan kateter. Penggunaan dressing juga
membantu menahan posisi kateter pada tempatnya. Hal ini penting karena
kateter yang mudah bergerak dapat mempermudah migrasi mikroorganisme
ke dalam darah melalui permukaan kateter. Bahan dressing sebaiknya
steril, transparan dan semipermeable agar mempermudah untuk dilakukan
monitoring. Dressing tidak rutin diganti namun hanya diganti bila tampak
terangkat, kotor, atau basah.
4. Hand hygiene

II. Pencabutan jalur sentral 27


1. Evaluasi harian kebutuhan jalur sentral: evaluasi untuk menentukan apakah
pasien masih membutuhkan jalur sentral (Kategori 1B).
2. Melakukan prosedur pencabutan jalur sentral sesuai SPO Divisi
Neonatologi RSCM-FKUI dalam menuju zero CLABSI 5,22,23,33-36
Angka IAD di Divisi Neonatologi RSCM-FKUI pada tahun 2012 masih
tinggi yaitu berkisar antara 5,85‰ – 20,8‰ dengan angka mortalitas mencapai
30%. Sebagai pusat rujukan nasional, RSCM terus berusaha untuk menurunkan
angka infeksi antara lain dengan melakukan root cause analysis (RCA) untuk
menganalisis masalah yang ada, pelatihan dan edukasi rutin terhadap pekerja
kesehatan dan keluarga pasien serta melakukan audit secara berkala.

B.1. Edukasi dan pelatihan


Pada tahun 2012 Divisi Neonatologi RSCM-FKUI bergabung dalam penelitian
kerjasama dengan Australia dalam proyek SEA-URCHIN (South-East Asia Using
Research for Change Hospital Acquired Infection In Neonates) bersama 3 negara di
Asia Tenggara lainnya (Malaysia, Thailand, Filipina) dengan tujuan mengevaluasi
dampak strategi edukasi berbasis keterampilan terhadap angka infeksi. Sejak
bulan Juni 2013 diterapkan sistem pengajaran dan pelatihan pada kelompok
kecil dengan 5-7 orang / kelompok, lengkap dengan evaluasi tertulis maupun
bentuk Objective Structured Clinical Examination (OSCE), dengan memberi
kesempatan pada tiap peserta untuk mencoba melakukan semua tindakan
pada skill station. Semua pekerja kesehatan yaitu konsultan, perawat, peserta
didik, petugas farmasi, petugas laboratorium, pekarya kesehatan, cleaning service,
petugas gizi sampai saat ini telah mendapat pelatihan hand hygiene, breastfeeding,
kangaroo mother care (KMC), infection control in NICU, central line insertion and care,
antimicrobial guideline development, dan perinatal audit (jenis pelatihan disesuaikan
dengan kebutuhan pekerjaan masing-masing). Pencapaian cakupan pelatihan
100% untuk semua staf pada bulan September 2014, dan selanjutnya sampai

139
Menuju Unit Rawat Neonatal Bebas Sepsis Neonatorum

saat ini masih tetap diberikan pelatihan untuk perawat, staf baru, ataupun
peserta didik baru.
Edukasi dan pelatihan: hand hygiene
Tingkat kepatuhan hand hygiene RSCM sebelum bulan Agustus 2014 masih di
bawah 85% walaupun pelatihan telah dimulai sejak Juni 2013. Usaha lain yang
dilakukan antara lain:
 Melakukan pemasangan CCTV dan audit dilakukan melalui kombinasi
CCTV dan observasi langsung.
 Setiap bulannya hasil audit tingkat kepatuhan pekerja kesehatan dipasang di
unit dan pekerja kesehatan dengan nilai kepatuhan hand hygiene tertinggi 3
bulan berturut-turut diberikan hadiah. Hal ini dilakukan untuk memotivasi
dan diharapkan menumbuhkan kebiasaan para pekerja kesehatan untuk
melakukan hand hygiene rutin pada praktek sehari-hari.
Sebagai hasilnya, nilai kepatuhan hand hygiene meningkat dari tahun 2014
dengan rerata 68% menjadi 86% pada tahun 2015 dan secara konsisten di atas
84% sejak bulan Agustus 2014.

Gambar 5. Kepatuhan hand hygiene di Divisi Neonatologi FKUI-RSCM 2014-201522

Edukasi dan pelatihan: breastfeeding dan KMC


Pemberian ASI dikaitkan dengan penurunan risiko sepsis, enterokolitis
nekrotikans (EKN) dan mortalitas bayi. Setiap 10 ml/kg/hari ASI yang diberikan
dapat menurunkan risiko infeksi hingga 20%. Sedangkan KMC kontinu atau
intermiten terbukti menurunkan mortalitas, risiko sepsis, episode hipotermia,
dan durasi rawat inap.
Pada Gambar 6 terlihat bahwa penggunaan ASI yang meningkat dapat

140
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

80,00% 14
13
70,00% 12
60,00% 11
10
Tanpa sepsis
50,00%
8
40,00% 1x
6 2-3x
30,00%
4 >3x
20,00%
10,00% 2 NEC
1
0,00% 0 0
ASI eksklusif ASI ASI parsial Tanpa ASI
predominan

Gambar 6. Hubungan pemberian ASI dengan risiko sepsis dan enterokoliƟs nekroƟkanspada bayi
prematur di Unit Perawatan Intensif Neonatus RS Cipto Mangunkusumo bulan September 2014-Agustus
20155 (NEC: necroƟzing enterocoliƟs)

menurunkan risiko sepsis dan EKN. Usaha Divisi Neonatologi RSCM-FKUI


untuk meningkatkan penggunaan ASI antara lain konsisten melakukan
pelatihan untuk pekerja kesehatan disertai dengan edukasi ASI untuk keluarga
pasien setiap minggunya dan membentuk bank ASI donor untuk memfasilitasi
ibu yang ingin mendonorkan ASInya. Penggunaan ASI berhasil ditingkatkan
dari 10% di tahun 2012 menjadi lebih dari 25% di tahun 2015.
KMC intermiten untuk bayi di UPIN dan KMC kontinu (24 jam) telah
diterapkan sejak tahun 2008 oleh Divisi Neonatologi RSCM-FKUI dan terus
ditingkatkan dengan cara pelatihan dan penambahan tenaga bidan untuk
memfasilitasi keluarga dalam pelaksanaan KMC. Sebagai hasilnya, pencapaian
KMC kontinu meningkat dari 6% di tahun 2012 menjadi 80% di akhir tahun
2015, sedangkan KMC intermiten meningkat dari 20% di tahun 2012 menjadi
konsisten di atas 80% sejak tahun 2014.

Edukasi dan pelatihan: pengendalian infeksi dan CLABSI


Pelatihan pengendalian infeksi di UPIN dilakukan untuk setiap pekerja
kesehatan, termasuk petugas laboratorium, petugas kebersihan dan pekarya
kesehatan. Sedangkan pelatihan yang mencakup pemasangan, perawatan dan
pencabutan jalur sentral dilakukan terhadap semua perawat dan dokter dengan
penekanan terhadap bundel CLABSI. Pada akhirnya didapatkan penurunan
angka CLABSI sebesar 32% dari rerata 12,88 ‰ di tahun 2012 menjadi menjadi

141
Menuju Unit Rawat Neonatal Bebas Sepsis Neonatorum

8,65‰ di tahun 2015 (Gambar 7).

Gambar 7. Angka infeksi aliran darah di Divisi Neonatologi FKUI-RSCM 2012-20155

B.2. Audit dan surveilans


Audit terus dilakukan untuk memastikan kepatuhan pelaksanaan pengendalian
infeksi. Audit hand hygiene dilakukan rutin setiap bulan, namun audit
pengendalian infeksi belum dilakukan secara teratur karena kekurangan tenaga.
Berdasarkan hasil laporan dan audit, Divisi Neonatologi RSCM-FKUI pada
tahun 2015 telah mencapai perbaikan angka kepatuhan hand hygiene hingga
di atas 85%, peningkatan angka KMC, peningkatan penggunaan ASI dan
telah melaksanakan bundel CLABSI. Pencapaian tersebut menggembirakan
namun zero CLABSI masih juga belum tercapai, bahkan masih jauh di atas
standar angka infeksi internasional (< 3,5 ‰). Kenyataan ini menimbulkan
suatu pemikiran bahwa untuk mencapai zero CLABSI, diperlukan lebih dari
sekedar kepatuhan cuci tangan.

A. Pengalaman beberapa negara dalam menuju Zero CLABSI


Women’s & Children’s Hospital (WCH) UPIN Australia 16
WCH merupakan salah salah satu UPIN di Australia dengan total kelahiran
bayi 5044 dan melakukan 324 pemasangan jalur sentral setiap tahun. Pada
tahun 2010, WCH memiliki angka CLABSI 7‰ dan tingkat kepatuhan hand
hygiene yang buruk (53,1%).

142
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

Sejak tahun 2010, WCH melakukan berbagai upaya yang dimuai dari
pre-audit, menyusun modul pelatihan dan menambah prasarana pelatihan,
menyusun bundel CLABSI, melakukan evaluasi dengan ujian dan audit, serta
memberikan insentif dan membentuk forum untuk umpan balik. Bundel
CLABSI yang diterapkan antara lain hand hygiene, maximal barrier precaution,
teknik sepsis antisepsis dengan klorheksidin, pemilihan tipe dan tempat kateter
yang baik, penyusunan checklist dan cara dokumentasi, pemantauan jalur sentral
rutin dan pencabutan jalur sentral segera setelah tidak diperlukan, penggantian
set administrasi dan cara pengambilan kultur darah.
Pada tahun 2013 tampak peningkatan kepatuhan hand hygiene dari 53,1%
menjadi 92%, penggunaan maximal barrier precautions dari 18% menjadi 50%
dan implementasi bundel CLABSI dari 54% menjadi 100%. Angka CLABSI di
WCH mengalami penurunan untuk semua golongan berat lahir dan mencapai
zero CLABSI setelah 3 tahun (2013).

Duke University Medical Center (DUM) UPIN North Carolina, Amerika31


DUM adalah salah satu UPIN di North Carolina Amerika dengan jumlah
pasien baru mencapai 800 setiap tahun dan dihadapkan dengan angka CLABSI
5 ‰ di tahun 2007. Di tahun yang sama, DUM memulai pembentukan tim
multidisiplin yang terdiri dari neonatologis, perawat, staf farmasi, staf fisioterapi
dan staf pengendalian infeksi. Tim ini kemudian melakukan RCA dan
melakukan berbagai upaya pengendalian CLABSI dengan bundle CLABSI yang
serupa dengan WCH. Perbedaan dengan WCH, DUM menerapkan protokol
“safe zone”, yaitu pemasangan pembatasan di sekitar pasien dan setiap orang
di dalamnya harus memakai masker dan penutup kepala, sedangkan operator
menggunakan maximal barrier precaution. DUM juga menekankan pembersihkan
lingkungan setiap shift, dan edukasi terhadap keluarga setiap 2-4 minggu untuk
ikut serta menurunkan infeksi dengan hand hygiene dan pemberian ASI.
DUM menjadwalkan edukasi terhadap pekerja kesehatan baru dan lama
serta audit sebagai program rutin dan melakukan pertemuan tim multidisiplin
secara berkala. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan konsistensi program.
Sebagai hasil upaya selama 3 tahun, DUM mencapai zero CLABSI pada tahun
2010 dan angka CLABSI tidak pernah meningkat melebihi 0,5 ‰ hingga
akhir tahun 2013.

Floating Hospital for Children at Tufts Medical Center (FHC) UPIN Boston,
Amerika10
UPIN FHC menerima pasien lebih dari 500 setiap tahun, termasuk kasus
rujukan dari rumah sakit jejaring. Pada tahun 2009, tim pengendalian infeksi
FHC menemukan angka CLABSI yang terus meningkat hingga mencapai 4.1

143
Menuju Unit Rawat Neonatal Bebas Sepsis Neonatorum

‰, melakukan RCA dan melakukan perubahan kebijakan agar sesuai dengan


prinsip bundel CLABSI terkini. Perbedaan dengan rumah sakit sebelumnya
adalah selain melakukan edukasi terhadap semua staf, FHC juga membentuk
tim khusus untuk pemasangan dan perawatan jalur sentral.
Setelah 2 tahun, FHC mencapai prestasi zero CLABSI dan berhasil
mempertahankannya selama 373 hari, namun pada awal tahun 2013 angka
CLABSI kembali meningkat. Hasil RCA mendapatkan banyaknya staf ahli
dalam pemasangan jalur sentral pensiun. Hal ini membuat FHC berkesimpulan
bahwa untuk mempertahankan zero CLABSI tidak cukup hanya dengan rencana
dan implementasi bundel CLABSI yang terbukti secara evidence-based, namun
diperlukan peningkatan standar semua staf agar bundel dapat dilakukan
secara benar. Untuk mencapai target ini, FHC kembali memperbaiki checklist
agar mudah dimengerti, pelatihan dan audit. Pada akhirnya, setelah 5 tahun
angka CLABSI di FHC mengalami 77% penurunan dari 4,1 ‰ di tahun 2008
menjadi 0,94 ‰ di akhir tahun 2013

Simpulan
Zero tolerance to neonatal sepsis yaitu dengan pencapaian zero CLABSI tidak akan
terwujud hanya dengan sekedar meningkatkan angka pencapaian kepatuhan
cuci tangan. Divisi Neonatologi FKUI-RSCM sendiri telah membuktikan
dengan angka kepatuhan yang telah mencapai rekomendasi WHO namun
belum cukup untuk mencapai zero CLABSI. Berdasarkan pengalaman negara
lain dalam mencapai zero CLABSI, diperlukan adanya kombinasi pendekatan
multidisiplin disertai RCA, penerapan bundel CLABSI, edukasi dan audit
berkala serta meningkatkan kesadaran pekerja kesehatan dan tenaga non-
kesehatan seperti petugas kebersihan, pekarya kesehatan, farmasi, serta keluarga
pasien.
Kombinasi dari faktor-faktor di atas diharapkan dapat merubah cara
berpikir dan membentuk budaya yang baik agar penurunan infeksi tidak sekedar
menjadi tanggung jawab rumah sakit namun menjadi tujuan dan tanggung
jawab tiap pekerja kesehatan dan juga keluarga.

Daftar pustaka
1. Sohn AH, Garrett DO, Sinkowitz-Cochran RL. Prevalence of nosocomial infections
in neonatal intensive care unit patients: results from the first national point
prevalence survey. J Pediatr. 2001;139:821-7.
2. Adam D. Infection in neonates and prematures. Phil J Microbiol Infect Dis 1992;
22:332-45.
3. Polin RA, Denson S, Brady MT. Strategies for Prevention of Health Care Associated

144
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

Infections in the UPIN. Pediatrics. 2012;129;e1085-93.


4. World Health Organization. WHO Born Too Soon The Global Action Report on
Preterm Birth. Diunduh dari: http://www..who.int. Diakses pada 21 Maret 2015.
5. Data Fetomaternal. Divisi Neonatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo, 2015.
6. Linder N, Haskin O, Levit O. Risk factors for intraventricular hemorrhage in very
low birth weight premature infants: a retrospective case control study. Pediatrics.
2003;111;590-5.
7. Bassler D, Stoll BJ, Schmidt B. Using a count of neonatal morbidities to predict
poor outcome in extremely low birth weight infants: added role of neonatal
infection. Pediatrics. 2009;123;313-8.
8. Schlapbach LJ, Aebischer M, Adams M. Impact of Sepsis on Neurodevelopmental
Outcome in a Swiss National Cohort of Extremely Premature Infants. Pediatrics.
2011;128:e348–57 .
9. Stoll BJ, Hansen NL, Chapman IA. Neurodevelopmental and Growth Impairment
Among Extremely Low Birth Weight Infants with Neonatal Infection. J American
Med Assoc. 2004; 292; 2357-65.
10. Erdei C, McAvoy LL, Gupta M. Is zero central line associated bloodstream infection
rate sustainable? A 5 year persepective. Pediatrics. 2015;135;1487-93.
11. Horan TC, Andrus M, Dudeck MA. CDC/NHSN surveillance definition of
health care-associated infection and criteria for specific types of infections in the
acute care setting. Am J Infect Control. 2008; 36:309-32.
12. CDC. Guidelines for the Prevention of Intravascular Catheter Related Infections.
2011. Diunduh dari http://www.cdc.gov. Diakses pada 15 Maret 2015.
13. Joint Comission. Preventing Central Line Associated Bloodtsream Infections:
A Global Challenge and Perspective. 2012. Diunduh dari: http://www.
preventingclabsi.pdf. Diakses pada 15 Maret 2015.
14. Asia Pasific Society of Infection Control. APSIC Guide for Prevention of
Central Line Associated Bloodstream Infection. Diunduh dari http://apsic.info/
documents. Diakses pada 15 Maret 2015.
15. Vallance A, Brown C. Measures to reduce infection in the Neonatal Intensive
Care Unit. Infant. 2012;8;150-4
16. Mcphee WJ. Preventing UPIN Bloodstream Infection following implementation of
a central venous line bundel aim for zero. Diunduh dari: http://safetyandquality.
gov.au. Diakses pada 15 Maret 2015.
17. Merrer J, Jonghe BD, Golliot F. Complications of femoral and subclavian venous
catheterization in critically ill patients: a randomized controlled trial. JAMA.
2001;286;700-7.
18. Hoang V, Sills J, Chandler M. PICC for total parenteral nutrition in neonates.
Am J Ped. 2008;38:402-3 .
19. Safdar N, Kluger DM, Maki DG. A review of risk factor for catheter related
bloodstream infection caused by percutaneously inserted, non cuffed central
venous catheter: Implications for preventive strategies. Medicine. 2002;81;466-79.
20. World Health Organization. WHO Guidelines on Hand Hygiene in Health Care:
a Summary. Diunduh dari http://whqlibdoc.who.int. Diakses pada 27 Februari
2014.

145
Menuju Unit Rawat Neonatal Bebas Sepsis Neonatorum

21. Haas JP, Larson EL. Measurement of compliance with hand hygiene. J Hosp
Infect. 2007;66:6-14.
22. Paramita TN, Aufie A, Nur Aini P, Rohsiswatmo R. Hubungan cuci tangan dengan
kejadian infeksi aliran darah di unit neonatal RSCM. Sar Ped. 2014;16:60-67.
23. Data SEA-URCHIN Divisi Neonatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo. 2015.
24. Lam BC, Lee J, Lau YL. Hand hygiene practices in Neonatal Intensive Care Unit:
a multimodal intervention and impact on nosocomial infections. Pediatrics.
2004;114;e556-71.
25. Won SP. Handwashing Program for the prevention of nosocomial infections in
a Neonatal Intensive Care Unit. Infect Control Hosp Epidemiol. 2004;25;742-6.
26. Grayson ML. Significant reductions in methycillin resistant Staphylococcus aureus
bacteremia and clinical isolates associated with multisite, hand hygiene, culture-
change program and subsequent successful statewide roll out. Med J Australia.
2008;188;633-40.
27. Aitken LM, Williams G, Havey M. Nursing considerations to complement the
surviving sepsis campaign guidelines. Crit Care Med. 2011;39:1800-18.
28. Raad II, Hohn DC, Gilberath BJ. Prevention of central venous catheter related
infections by using maximal sterile barrier precautions during insertion. Infect
Control Hosp Epidemiol. 1994;15;231-8
29. Guzman JA. Infection Control Practices in the UPIN: What is Evidence-Based.
NeoRev. 2010;11;e419-24.
30. Mimoz O, Pieroni L, Lawrence C. Prospective randomized trial of two antiseptic
solutions for prevention of central venous or arterial catheter colonization and
infection in intensive care unit patients. Crit Care Med. 1996; 24;1818-23.
31. Neill S. Sustained reduction in bloodstream infections in infants at a large tertiary
care Neonatal Intensive Care Unit. Adv Neonat Care. 2016;16;52-9.
32. Kaler W, Chinn R. Successful disinfection of needleless access ports: a matter of
time and friction. J Assoc Vasc Access. 2007;12;140-2.
33. Rundjan L, Rohsiswatmo R, Paramita TN, Oeswadi CA. Closed catheter access
system Implementation in reducing bloodstream infection in preterm infants.
Frontiers in Pediatrics. 2015; 3:1-7.
34. Patel L, Johnson TJ, Engstrom JL, Fogg LF, Jegier BJ, Bigger HR, dkk. Impact
of early human milk on sepsis and health-care costs in very low birth weight
infants. J Perinatol. 2013. DOI:10.1038/jp.2013.2
35. Quigley M, Henderson G, Anthony MY, Mcguire W. Formula milk versus donor
breast milk for feeding preterm of low birth weight infants. Cochrane Database Syst.
Rev 2007; Issue 4. Art. No.: CD002971. Doi: 10.1002/14651858,CD002971.pub2
36. Schanler RJ, Lau C, Hurst NM, Smith EO. Randomized trial of donor human
milk versus preterm formula as substitutes for mother’s own milk in the feeding
of extremely premature infants. Pediatrics. 2005;116:400-6.

146
Infeksi Saluran Kemih pada Anak:
Tata laksana dan Pencegahan
Eka Laksmi Hidayati

Tujuan:
1. Mengetahui diagnosis yang akurat untuk ISK
2. Mengetahui tata laksana ISK pada anak
3. Mengetahui pencegahan ISK berulang
4. Mengetahui pencegahan morbiditas jangka panjang ISK

Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan penyakit yang bersifat akut, namun
seringkali dihubungkan dengan risiko morbiditas jangka panjang yang
bermakna, yaitu hipertensi dan penurunan fungsi ginjal. Bakteri merupakan
penyebab tersering ISK, virus jarang menjadi penyebab, dan umumnya hanya
di kandung kemih (sistitis). Sementara jamur sangat jarang, umumnya hanya
terjadi pada pasien imunokompromais. Tidak selalu mudah untuk mendiagnosis
ISK, terutama pada bayi dan anak berusia kurang dari 3 tahun karena gejala
dan tanda yang tidak spesifik dan kendala dalam mendapatkan sampel urin
yang baik untuk konfirmasi diagnosis.
Penelitian memperlihatkan hubungan antara ISK, refluks vesika-ureter
(RVU) dengan kerusakan ginjal yang menetap, sehingga dibuat panduan agar
dilakukan USG pada pasien ISK dan voiding cystourethrogram (VCUG).1-3 Hal
ini merupakan upaya mendeteksi secara dini kelompok anak risiko tinggi,
sehingga dapat dilakukan pencegahan. Makalah ini akan membahas diagnosis
yang akurat, tata laksana antibiotik dan pencegahan 2 aspek, yaitu ISK berulang
dan sekuele jangka panjang berdasarkan bukti penelitian. Berbagai aspek yang
dibahas dalam makalah ini berlaku untuk anak yang sebelum episode ISK tidak
diketahui adanya kelainan uro-nefrologi.

Diagnosis
Gejala ISK pada bayi dan anak sampai 2-3 tahun umumnya tidak spesifik,
tersering adalah demam tanpa gejala yang mengarah pada sumber infeksi
tertentu; gejala lain misalnya rewel, kuning, muntah, dan gagal tumbuh.1,2 Pada

147
Infeksi Saluran Kemih pada Anak: Tata laksana dan Pencegahan

anak besar gejala ISK lebih jelas seperti frekuensi, urgensi, polakisuria, sakit
pinggang, sakit perut bagian bawah, dengan atau tanpa demam.1 ISK disebut
atipikal bila terdapat satu dari gejala berikut: 1) tampak sakit berat, 2) gangguan
aliran urin, 3) teraba massa abdomen atau buli-buli, 4)kreatinin meningkat,
5) sepsis, 6) tidak perbaikan setelah antibiotik 48 jam, 7) disebabkan kuman
non E.coli.
Pemeriksaan urin dianjurkan setelah 24 jam timbul gejala, meliputi
urinalisis (dipstik dan mikroskopis) dan kultur. Bila ada keluhan berkemih,
terapi antibiotik dapat langsung dimulai tanpa melihat urinalisis maupun
menunggu hasil kultur. Untuk kelompok anak tanpa gejala spesifik, penilaian
terhadap derajat kondisi klinis menentukan tata laksana. Bila penampilan klinis
tampak sakit berat langsung diberikan antibiotik. Pada anak dengan penampilan
klinis sakit sedang, terapi antibiotik diberikan apabila didapatkan kelainan
dipstik atau mikroskopis urin. Untuk anak dengan penampilan klinis sakit
ringan, antibiotik sebaiknya baru dimulai setelah ada hasil kultur yang positif.1,2
Pemeriksaan urinalisis dapat dilakukan dengan menggunakan sampel
dari urine collector, namun urin harus segar (<1 jam penyimpanan suhu kamar
atau <4 jam dalam lemari es) untuk menjaga sensitivitas dan spesifisitas.
Komponen urinalisis yang memiliki nilai prediktif untuk diagnosis adalah
leukosit esterase dan nitrit pada analisis biokimia, serta hitung leukosit dan
bakteri pada pemeriksaan mikroskopis.2-4 Leukosit esterase merupakan petanda
adanya leukosit. Positif palsu leukosit urin dapat terjadi pada beberapa kondisi
misalnya demam pada infeksi streptokokus, penyakit Kawasaki, bahkan dapat
terjadi sesudah latihan fisik yang berat. ISK secara teoritis selalu disertai leukosit
urin, sehingga kultur positif tanpa disertai leukosit urin harus dipertimbangkan
kemungkinan kontaminasi.2
Nitrit merupakan produk nitrat dari makanan yang telah dikonversi oleh
kuman gram negatif. Konversi ini butuh waktu 4 jam sehingga tidak dapat
digunakan sebagai indikator pada bayi dengan pengosongan buli-buli yang cepat
dan pada ISK dengan gejala polakisuria.3
American Academy of Pediatrics membuat kajian sensitivitas dan spesifisitas
berbagai komponen dalam urinalisis dari beberapa penelitian. Ringkasan kajian
tersebut dapat dilihat pada tabel 1.2

Tabel 1. Sensitivitas dan spesifisitas komponen urinalisis2


Tes Sensitivitas, % Spesifisitas, %
Rerata Median Mean Rerata Median Mean
Leukosit esterase 67-94 84 83 64-92 77 78
Nitrit 15-82 58 53 90-100 99 98
Mikroskopik: leukosit 32-100 78 73 45-98 87 81
Mikroskopik: bakteri 16-99 88 81 11-100 93 83
Leukosit esterase dan nitrit 90-100 92 93 58-91 70 72

148
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

Panduan interpretasi dipstik:1


 Leukosit esterase dan nitrit positif, diagnosis ISK dapat ditegakkan dan
terapi antibiotik dapat dimulai.
 Leukosit esterase negatif dan nitrit positif, diagnosis ISK dapat ditegakkan
bila sampel berasal dari urin baru dan terapi antibiotik dapat dimulai.
 Leukosit esterase positif dan nitrit negatif, antibiotik ditunda sampai ada
kultur yang mendukung ISK, kecuali ada gejalan klinis keluhan saluran
kemih yang jelas. Leukosit esterase dapat mengindikasikan infeksi di lokasi
lain.
 Leukosit esterase dan nitrit negatif, kecil kemungkinan ISK, tidak
dianjurkan untuk melakukan kultur urin.

Tabel 2 Panduan interpretasi pemeriksaan mikroskopik:1

Mikroskopik urin Interpretasi


Bakteri dan piuria/leukosit positif ISK
Bakteri positif dan piuria/leukosit negatif ISK
Bakteri negatif dan piuria/leukosit positif ISK
Bakteri dan piuria/leukosit negatif Bukan ISK

Sampel urin untuk kultur


Kultur urin tetap merupakan baku emas untuk diagnosis ISK. Pengambilan
urin langsung secara bersih atau pancar tengah merupakan metode yang
direkomendasikan untuk anak besar. Bila cara ini tidak dapat dilakukan,
misalnya pada bayi dan anak yang belum memiliki kontrol berkemih metode
lain yang non-invasif seperti penggunaan plastik pengumpul urin (urine collector),
namun ini memiliki angka positif palsu yang sangat tinggi, yaitu 56,4% - 69,25%.
Wool katun berbentuk bola digunakan untuk membersihkan daerah vulva dan
anus; tissue dan kassa sebaiknya tidak digunakan sebagai media pengumpul
urin. Lebih lanjut bila pengumpulan urin secara non-invasif tidak berhasil,
harus dilakukan pemasangan kateter urin atau aspirasi supra pubik.1,3
Pada kultur dengan sampel urin pancar tengah, jumlah bakteri >105 colony forming
unit (CFU) per mL bakteri tunggal merupakan batasan antara kontaminasi dan
ISK. Pada urin yang berasal dari aspirasi supra pubik, maka berapapun jumlah
bakteri dapat ditegakkan diagnosis ISK, sedangkan urin yang diambil melalui
kateter ISK ditegakkan bila jumlah kuman >104 CFU per mL.5

Tata laksana
Dalam perencanaan tata laksana penting untuk dibedakan apakah ISK yang
terjadi merupakan pielonefritis akut (PNA) atau sistitis. Baku emas diagnosis

149
Infeksi Saluran Kemih pada Anak: Tata laksana dan Pencegahan

PNA adalah bukti adanya kerusakan akut parenkim ginjal dengan pemeriksaan
renogram Dimercaptosuccinic acid (DMSA).6 Pemeriksaan ini sulit dilakukan
secara rutin dalam praktek sehari-hari, maka gejala klinis yaitu demam lebih
dari 38°C dan beberapa pemeriksaan laboratorium dapat dipakai sebagai
petanda. Bukti penelitian memperlihatkan korelasi yang baik antara parut yang
diidentifikasi pada DMSA dengan leukosit darah yang tinggi, serta peningkatan
CRP dan prokalsitonin.7 Prokalsitonin lebih baik secara bermakna dibanding
CRP atau leukosit darah, dengan sensitivitas 71% dan spesifisitas 72% pada
batas 0,5ng/mL. Sensitivitas dan spesifisitas CRP pada nilai di atas 20 mg/L
adalah 87% dan 41 %, sedangkan untuk leukosit darah lebih dari 15.000/uL
adalah 63% dan 55%. Pemahaman adanya angka negatif palsu pada semua
uji diagnostik menempatkan klinisi pada posisi menentukan diagnosis
berdasarkan penilaian kriteria klinis sebagai hal utama bila pemeriksaan urin
tidak penunjang diagnosis.
Bukti dari penelitian yang membandingkan terapi antibiotik intravena
dibanding oral menunjukkan bahwa kedua kelompok tidak berbeda bermakna
dalam hal risiko kerusakan ginjal.7 Tidak didapatkan perbedaan bermakna
dalam risiko terjadinya parut ginjal dengan DMSA 6-12 bulan sesudah ISK pada
kelompok yang mendapat antibiotik oral 10-14 hari dengan yang mendapat
antibiotik intravena 3-4 hari kemudian dilanjutkan dengan antibiotik oral.
Hasil ini tidak dapat diaplikasikan pada semua anak dengan PNA karena bayi
kurang dari 3 bulan dan anak dengan penampilan klinis infeksi berat, umumnya
dikeluarkan dari penelitian. ISK pada neonatus lebih tinggi kemungkinannya
untuk berkembang menjadi sepsis sehingga dianjurkan untuk pemberian
antibiotik intravena yang lebih lama.
Pemberian antibiotik inisial untuk PNA dimulai setelah pengambilan
sampel untuk kultur urin. Jenis antibiotik untuk terapi empiris ini tergantung
pada pola resistensi lokal. Secara umum pertimbangannya adalah antibiotik
yang dapat mengatasi infeksi E.coli sebagai penyebab tersering ISK, sehingga
pilihannya adalah sefalosporin generasi ketiga, dapat pula diberikan amoksisilin
klavulanat atau trimetoprim-sulfametoksazol.7
Sesuai panduan terapi PNA, durasi yang dianjurkan adalah 7-14 hari.3
Untuk sistitis akut terapi antibiotik 2-4 hari sama efektif dengan durasi yang
lebih panjang yaitu 7-10 hari, dalam hal eradikasi bakteri.8

Pencegahan ISK berulang


Panduan tata laksana ISK merekomendasikan pemberian antibiotik profilaksis
pada anak dengan RVU atau ISK berulang. Dalam perkembangannya, banyak
penelitian memperlihatkan tidak ada manfaat pemberian antibiotik profilaksis

150
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

untuk mencegah ISK, di lain pihak pemberian ini dapat meningkatkan resistensi
terhadap antibiotik bila terjadi infeksi berulang. Lebih jauh tidak didapatkan
bukti bahwa antibiotik jangka panjang dapat menurunkan risiko terjadinya
parut ginjal.9 Berdasarkan hal ini maka pemberian antibiotik profilaksis tidak
diberikan secara rutin, namun hanya pada anak dengan risiko tinggi ISK
berulang. Anak yang mengalami ISK berulang saat dalam pemberian antibiotik
profilaksis, harus diberi terapi antibiotik yang berbeda dan tidak dianjurkan
untuk menaikkan dosis antibiotik profilaksis.
Resistensi antibiotik akibat profilaksis menyebabkan timbulnya
pemikiran alternatif profilaksis lain, di antaranya adalah kranberi, probiotik,
imunostimulan dan vaksin.10 Jus kranberi dianggap dapat mencegah ISK karena
mengandung proanthosianidin yang dapat mencegah adhesi uropatogenik
fimbriae E coli pada uroepitel. Penelitian mendapatkan hasil bahwa jus ini
tidak menurunkan jumlah anak yang ISK, tetapi hasil ini tidak lebih buruk dari
pemberian trimetoprim. Untuk probiotik, tidak ada perbedaan dalam angka
ISK pada anak yang mendapat Lactobacillus GG, namun ada probiotik lain
dalam penelitian in vitro yang menjanjikan hasil lebih baik namun masih perlu
bukti lebih lanjut. Imunostimulan untuk mencegah ISK telah dikembangkan
dalam penelitian tahap dengan subyek orang dewasa dengan hasil yang baik,
dapat menurunkan ISK. Imunostimulan oral yang disebut OM-89 (Uro-Vaxom)
ini merupakan ekstrak 18 serotipe E coli uropatogenik. Dalam hal vaksin, masih
dalam tahap pengembangkan, baik sistemik maupun mucosal.
Dalam upaya pencegahan ISK berulang, harus dilakukan pemeriksaan
pencitraan untuk mendeteksi anak dengan kelainan anatomis maupun fisiologis
yang dapat menganggu aliran urin.1,2 Pemeriksaan awal adalah USG ginjal,
namun terdapat perbedaan antar negara dalam penerapannya. National Institute
of Health and Care Excellence (NICE) merekomendasi USG hanya untuk ISK
pertama pada anak kurang dari 6 bulan atau pada ISK atipik1, sedangkan AAP
pada semua anak.2,3 Waktu pelaksanaan USG tergantung pada kondisi klinis.
Disarankan untuk USG dalam 2 hari untuk mencari abses renal atau perirenal
atau pionefrosis dengan uropati obstruktif, bila anak tampak sakit berat atau
tidak ada perbaikan.3
Kelainan pada USG yang bermakna adalah hidronefrosis, hidroureter,
dan parut. Berbagai kelainan ini dapat mengindikasikan kemungkinan RVU.
Bila didapat kelainan pada USG, pemeriksaan selanjutnya adalah voiding
cystourethrography (VCUG), untuk mencari RVU. VCUG juga dianjurkan untuk
dilakukan pada anak dengan ISK berulang, meskipun USG saat ISK pertama
normal.1-3
Isu lain terkait pencegahan adalah mengenai tindakan sirkumsisi. Bukti
penelitian memperlihatkan bahwa tidak disunat memiliki risiko ISK yang lebih
tinggi hingga 10 kali lipat pada anak berusia kurang dari 1 tahun, dan 7 kali

151
Infeksi Saluran Kemih pada Anak: Tata laksana dan Pencegahan

lipat pada usia 1-16 tahun. Keuntungan sirkumsisi ini terutama terlihat pada
anak dengan riwayat ISK sebelumnya atau RVU derajat III-V.11
Kelompok anak dengan masalah konstipasi dan pengosongan buli-buli
seperti inkontinensia, menahan berkemih, residu urin yang banyak, memiliki
risiko lebih tinggi untuk ISK. Terbukti bahwa tata laksana terhadap masalah
pengosongan feses dan urin akan menurunkan ISK.1

Pencegahan kerusakan parenkim ginjal


ISK berulang dapat meningkatkan risiko terjadinya parut ginjal, terutama
pada anak dengan RVU. Upaya untuk mengurangi risiko parut ginjal adalah
deteksi dini ISK berulang sehingga tata laksana dapat segera diberikan. Hal ini
dilakukan dengan edukasi orangtua tentang pemantauan gejala yang dicurigai
ISK pada anak yang sebelumnya pernah ISK.3
Prevalens kerusakan ginjal kronik yang dideteksi oleh DMSA sesudah
ISK pertama pada anak yang sebelumnya tidak diketahui ada uropati atau buli-
buli neurogenik adalah sebesar 18%. Dalam sebuah kohort dengan median
pemantauan 15 tahun pada anak perempuan dengan riwayat ISK, didapatkan
rerata laju filtrasi glomerulus lebih rendah pada kelompok yang mengalami
parut ginjal. Selain itu didapatkan tekanan darah yang lebih tinggi ada wanita
dengan parut ginjal

Simpulan
Diagnosis yang akurat terkait 2 hal penting yaitu 1) dapat mengidentifikasi,
memberikan tata laksana dan melakukan evaluasi anak dengan risiko kerusakan
ginjal, dan 2) menghindari terapi dan evaluasi yang tidak perlu pada anak tanpa
risiko sehingga tidak memakai sumber daya dan dana yang sia-sia.
Tata laksana antibiotik pada umumnya dapat diberikan oral, kecuali pada
keadaan tertentu seperti bayi usia kurang dari 3 bulan, tampilan klinis infeksi
berat, disertai muntah yang berakibat sulitnya asupan per oral. Antibiotik
profilaksis tidak terbukti dapat menurunkan kejadian ISK berulang. Pemeriksaan
USG dilakukan pada semua anak ISK untuk pertama kali. VCUG dilakukan
atas indikasi, yaitu didapatkan kelainan hidronefrosis atau hidroureter atau
parut ginjal pada USG.

152
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

Daftar pustaka
1. National Institute of Health and Care Excellence (NICE).Urinary tract infection
in children. 2007. Diunduh dari : http://guidance.nice.org.uk/CG054. Diakses
tanggal 26 Maret 2016.
2. Finnell SME, Carroll AE, Downs SM, and the Subcommittee on
Urinary Tract Infection. Technical report - Diagnosis and Management
o f a n I n i t i a l U T I i n Fe b r i l e I n f a n t s a n d Yo u n g C h i l d r e n .
Pediatrics, 2011; 128: e749 - e770.
3. Subcommittee on Urinary Tract Infection, Steering Committee on Quality
Improvement and Management. Urinary Tract Infection: Clinical Practice
Guideline for the Diagnosis and Management of the Initial UTI in Febrile
Infants and Children 2 to 24 Months. Pediatrics, 2011; 128: 595 - 610.
4. Shaw KN, McGowan KL, Gorelick MH, Schwartz JS. Screening for urinary tract
infection in infants in the emergency department: which test is best? Pediatrics.
1998;101(6). Diunduh dari: www.pediatrics. org/cgi/content/full/101/6/e1
5. Kemper K, Avner E. The case against screening urinalyses for asymptomatic
bacteriuria in children. Am J Dis Child. 1992;146: 343–346
6. Craig JC, Wheeler DM, Irwig L, Howman-Giles RB. How accurate is
dimercaptosuccinic acid scintigraphy for the diagnosis of acute pyelonephritis? A
meta-analysis of experimental studies. J Nucl Med.2000;41:986–93.
7. Strohmeier Y, Hodson EM, Willis NS, Webster AC, Craig JC. Antibiotics for acute
pyelonephritis in children. Cochrane Database of Syst Rev. 2014;7,CD003772.
8. Fitzgerald A, Mori R, Lakhanpaul M, Tullus K. Antibiotics for treating lower
urinary tract infection in children. Cochrane Database Syst Rev. 2012;8,CD006857.
9. Williams G, Craig JC. Long-term antibiotics for preventing recurrent urinary tract
infection in children. Cochrane Database Syst Rev. 2011;3, CD001534..
10. Hodson EM, Craig JC. Urinary tract infection in children. Dalam: Avner ED,
Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Emma F, Goldstein SL, penyunting.
Pediatric Nephrology, edisi ke-7. Berlin Heidelberg:Springer-Verlag, 2016:1695-714.
11. Morris BJ,Wiswell TE. Circumcision and lifetime risk of urinary tract infection:
a systematic review and meta-analysis. J Urol. 2013;189:2118–24.
12. Sureshkumar P, Jones M, Cumming RG, Craig JC. Risk factors for urinary tract
infection in children: a population-based study of 2856 children. J Paediatr Child
Health. 2009;45:87–97.
13. La Scola C, De Mutiis C, Hewitt IK, Puccio G, Toffolo A, Zucchetta P, et al.
Different guidelines for imaging after first UTI in febrile infants. Pediatrics.
2013;131:e665-71.
14. Martinell J, Lidin-Janson G, Jagenburg R, Sivertsson R, Claesson I, Jodal U. Girls
prone to urinary infections followed into adulthood. Indices of renal disease.
Pediatr Nephrol.1996;10:139–142

153
Target Keberhasilan Resusitasi
pada Renjatan Sepsis
Irene Yuniar

Tujuan :
1. Memahami terminologi renjatan sepsis
2. Memahami tata laksana emergensi pasien renjatan sepsis
3. Mengetahui target keberhasilan resusitasi pada renjatan sepsis

Renjatan merupakan salah satu penyebab tersering kegawatan pada anak di


instalasi gawat darurat (IGD) dan ruang rawat intensif anak (pediatric intensive
care / PICU). Di negara maju, sepsis menjadi penyebab terbanyak renjatan
pada anak dengan insidens 49 - 65%, diikuti oleh renjatan karena hipovolemik
17-31%, distributif 8-20%, dan kardiogenik 1-9%.1
Diagnosis awal serta tata laksana emergensi yang tepat merupakan kunci
keberhasilan terapi sepsis pada anak. Diagnosis awal maupun tata laksana
emergensi sangat bergantung kepada kemampuan klinis masing-masing dokter
dalam mengelola pasien sepsis. Tata laksana emergensi yang dilakukan biasanya
berupa pemberian oksigenasi, resusitasi cairan, obat inotropik dan vasoaktif
serta pemberian antibiotik yang sesuai.2
Untuk membantu klinisi menegakkan diagnosis serta melakukan tata
laksana awal yang baik, The Surviving Sepsis Campaign mengeluarkan beberapa
rekomendasi yang disebut Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic
Shock. Rekomendasi ini pertama kali dipublikasikan pada tahun 2004 dan
mengalami revisi pada tahun 2008 dan terakhir direvisi kembali pada tahun
2015.3, 4

Terminologi renjatan sepsis


Berdasarkan The Surviving Sepsis Campaign (SSC) 2012, renjatan sepsis
didefinisikan sebagai sepsis dengan hipotensi menetap meskipun telah diberikan
terapi cairan yang adekuat. Sepsis yang menyebabkan hipoperfusi jaringan akan
mengakibatkan hipotensi, peningkatan kadar laktat dan oliguria.5

154
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

Pada bulan Januari 2014 dilakukan revisi kriteria diagnosis sepsis dan
renjatan sepsis oleh The Society of Critical Care Medicine (SCCM) dan The European
Society of Intensive Care Medicine (ESICM) melalui serangkaian studi kohort SSC.
Pada penelitian ini ditambahkan kriteria hipotensi, serum laktat, dan terapi
vasopresor yang diberikan pada 24 jam pertama untuk menegakkan diagnosis
renjatan sepsis. Penelitian ini menyimpulkan bahwa renjatan sepsis ditandai
dengan hipotensi yang memerlukan vasopresor untuk mempertahankan mean
arterial pressure (MAP) ≥65 mmHg dan kadar laktat serum ≥2 mmol/L meskipun
telah diberikan cairan resusitasi yang adekuat.6
Kriteria SIRS, sepsis berat, dan renjatan sepsis dapat dilihat pada Tabel 1.5, 7

Tabel 1. Kriteria SIRS, sepsis berat dan renjatan sepsis5, 7


Sindrom Klinis Kriteria
Systemic inflammato- Memiliki 2 atau lebih kriteria di bawah dengan salah satunya berupa suhu abnormal
ry response syndrome atau hitung leukosit abnormal, yang terjadi akibat infeksi yang telah terbukti.
(SIRS) a. Laju nadi abnormal, didefinisikan sebagai takikardi (laju nadi >2 SD di atas nilai
normal untuk usia tanpa keberadaan stimulus eksternal, obat, atau stimulus
nyeri; atau peningkatan laju nadi yang tidak bisa dijelaskan dalam 0,5 - 4 jam)
atau bradikardi (laju nadi < persentil 10 nilai normal untuk usia tanpa keberadaan
stimulus vagal eksternal, obat, penyakit jantung kongenital; atau laju nadi yang
turun > 0,5 jam).
b. Takipnea >2 SD di atas nilai normal untuk usia atau ventilasi mekanik untuk
proses selain anestesi atau penyakit neuromuskular yang mendasari
c. Suhu abnormal, didefinisikan sebagai demam (temperatur inti tubuh >38,5o C)
atau hipotermi (temperatur inti <360C)
d. Profil leukosit abnormal dengan hitung leukosit yang meningkat atau menurun
berdasarkan nilai umur (tidak disebabkan oleh kemoterapi), atau peningkatan
>10% neutrofil imatur.
Sepsis SIRS yang terjadi pada atau akibat suatu episode infeksi
Sepsis Berat Sepsis dengan tanda disfungsi organ kardiovaskular, sindrom distres pernapasan
akut, atau disfungsi ≥ 2 sistem organ
Syok Sepsis Sepsis dengan tanda disfungsi organ kardiovaskular yang menetap setelah resusitasi
cairan pertama (40 ml/kg intravaskular dalam waktu <1 jam)
a. Penurunan tekanan darah (hipotensi <persentil 5 untuk usia atau tekanan darah
sistolik < 2 SD di bawah nilai normal usia); atau
b. Penggunaan obat vasoaktif untuk mempertahankan tekanan darah dalam
rentang normal (dopamine >5μg/kg/menit atau epinefrin atau norepinefrin pada
dosis berapa pun
c. Minimal 2 dari kondisi berikut
- Asidosis metabolik yang tidak bisa dijelaskan: defisit basa > 5 mEq/L
- Peningkatan laktat arteri > 2 kali batas nilai normal
- Oliguria: urine output < 0.5 ml/kg/jam
- Peningkatan capillary refill > 5 detik
- Peningkatan kesenjangan temperatur inti dan perifer > 30 C

Tata laksana emergensi renjatan sepsis


Renjatan terjadi akibat ketidakmampuan sistem sirkulasi yaitu jantung dan
pembuluh darah untuk memenuhi kebutuhan oksigenasi jaringan sehingga

155
Target Keberhasilan Resusitasi pada Renjatan Sepsis

jaringan tidak mendapatkan oksigen dan nutrisi yang adekuat. Hal itu
menyebabkan jaringan melakukan metabolisme anaerob. Dalam keadaaan
normal, oksigen yang dihantarkan oleh sistem sirkulasi (oxygen delivery/DO2 )
sangat bergantung kepada curah jantung (cardiac output/CO) dan konten oksigen
arterial (oxygen content / CaO2). Faktor-faktor yang memengaruhi DO2 dapat
dilihat pada Gambar 1.8

Gambar 1. Faktor-faktor yang memengaruhi DO28

Aliran fluida/cairan (Q) dipengaruhi oleh perbedaan tekanan (delta


pressure / dP) dan tahanan hantaran aliran (resistance / R), demikian juga
dengan aliran darah di sistem sirkulasi. Curah jantung (cardiac output / CO)
ditentukan oleh selisih mean arterial pressure (MAP) dikurangi central venous
pressure (CVP) dibagi dengan systemic vascular resistance (SVR). Hubungan ini akan
mempertahankan perfusi ke masing-masing organ. Beberapa organ memiliki
sistem autoregulasi seperti ginjal dan otak untuk mempertahankan aliran darah
ke organ-organ tersebut meskipun terjadi penurunan tekanan darah.9
Curah jantung (CO) merupakan perkalian antara isi sekuncup (stroke
volume / SV) dan laju jantung. Isi sekuncup (SV) sendiri dipengaruhi oleh
kondisi kecukupan cairan dalam pembuluh darah, kontraktilitas jantung, SVR
dan relaksasi otot jantung pada fase diastolik.8, 10 Bila terjadi gangguan fungsi
baik salah satu atau secara bersamaan pada faktor penentu curah jantung ini,

156
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

maka hantaran oksigen ke jaringan akan terganggu. Laju jantung dipengaruhi


oleh sistem saraf autonom dan konduksi jantung.11
Konten oksigen arterial ditentukan oleh kadar hemoglobin (Hb),
saturasi oksigen (SaO2) dan tekanan parsial oksigen (PaO2). Hubungan
antara Hb, SaO2 dan PaO2 untuk menentukan konten oksigen arterial
(CaO2) dapat dilihat pada persamaan di bawah ini:8, 11

CaO2 (ml/L) = {[Hgb (g/dL) x 1.34 (mL O2/g Hgb) x SaO2/100)] +


(PaO2 x 0.003 mL O2/mm Hg/dL)} x 10 dL/L

Langkah awal resusitasi pada pasien renjatan sepsis adalah pemberian


oksigen dengan menggunakan sungkup muka atau pemberian nasopharyngeal
continuous positive airway pressure (CPAP). Bila diperlukan, dapat segera dilakukan
tindakan intubasi. Setelah itu diberikan cairan sesuai kebutuhan pasien dan
bila perlu diberikan inotropik segera untuk memperbaiki kontraktilitas.5
Semua usaha di atas adalah untuk memperbaiki DO2. Tentunya hal ini harus
sejalan dengan upaya memperbaiki konsumsi oksigen di jaringan yang akan
meningkat dalam kondisi infeksi. Pemberian antibiotik segera diberikan pada
pasien yang diduga mengalami sepsis. Resusitasi yang dilakukan mempunyai
target keberhasilan yang menjadi panduan apakah terapi yang diberikan sudah
cukup atau belum.

Target keberhasilan resusitasi pada renjatan sepsis


Resusitasi berhasil bila hutang oksigen (oxygen debt) diperbaiki, tidak terdapat
asidosis, dan pulihnya metabolisme aerob di seluruh jaringan tubuh. Banyak
pasien secara klinis telah mengalami perbaikan tanda vital tetapi sesungguhnya
masih terjadi hipoperfusi dan asidosis jaringan (renjatan terkompensasi), yang
selanjutnya tetap terjadi disfungsi organ dan kematian.12
Terdapat beberapa parameter yang digunakan untuk menilai keberhasilan
resusitasi suatu renjatan yang dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu parameter
klinis dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan SSC 2012, parameter-parameter
klinis yang digunakan untuk menilai keberhasilan resusitasi pada anak dengan
renjatan adalah :5, 13, 14
 Kesadaran baik
 Tekanan darah normal sesuai usia
 Perabaan nadi sentral dan perifer kuat
 Frekuensi nadi normal sesuai usia
 Ekstremitas hangat dengan capillary refill time (CRT) > 2’’

157
Target Keberhasilan Resusitasi pada Renjatan Sepsis

 Perfusi perifer jaringan


 Diuresis > 1 ml/kg berat badan/jam

Pemeriksaan penunjang yang dipakai untuk menilai keberhasilan resusitasi


renjatan adalah analisis gas darah (AGD), saturasi mixed vein (SvO2) > 70%, kadar
gula darah normal, ion kalsium normal, dan penurunan kadar laktat serum.14, 15
Selain parameter tersebut di atas, SSC juga menyebutkan indeks kardiak (cardiac
index / CI) 3,3–6,0 L/menit/1,73m2 sebagai parameter keberhasilan resusitasi.5
Pengukuran tekanan vena sentral dan saturasi mixed vein sering tidak
dilakukan pada anak karena kedua pengukuran ini bersifat invasif. Saat ini
telah beredar berbagai alat untuk menilai kondisi hemodinamik secara non
invasive, yaitu dengan alat ultrasonografi dengan menggunakan prinsip efek
Doppler ataupun dengan prinsip bioimpedans. Melalui alat ini, dapat diukur
curah jantung, kondisi pembuluh darah, kekuatan kontraksi otot jantung, serta
kecukupan cairan sehingga dapat dilakukan tata laksana yang sesuai dengan
kondisi pasien.
Kadar laktat serum digunakan untuk menilai kondisi oksigenasi suatu
jaringan. Pada renjatan, terjadi hipoksia jaringan sehingga jaringan melakukan
metabolisme anaerob dengan produk akhir adalah laktat. Kadar laktat serum
yang tinggi saat awal resusitasi diikuti dengan nilai bersihan laktat yang rendah
berhubungan erat dengan luaran pasien yang buruk.16 Diharapkan, dengan
tata laksana renjatan yang adekuat, hipoksia jaringan ini dapat diatasi, yang
ditandai dengan penurunan konsentrasi laktat. Laktat merupakan faktor
penentu prognosis yang lebih sensitif dibandingkan dengan tumor necrosis
factor (TNF) dan interleukin-6 (IL-6).17, 18
Surviving sepsis campaign yang diperbarui tahun 2015 menyebutkan bahwa
dalam 3 jam pertama resusitasi sebaiknya dilakukan pengukuran laktat serum
dan bila didapatkan kadar laktat ≥4 mmol/L berarti pasien memerlukan
resusitasi cairan. Selain itu, rekomendasi ini juga menyebutkan dalam 6 jam
sebaiknya kadar laktat diukur kembali untuk menilai nilai bersihan laktat yang
akan digunakan sebagai salah satu penentu luaran pasien.4, 16, 19
Kombinasi antara target resusitasi SSC Bundle dan nilai bersihan laktat
merupakan parameter akurat penurunan mortalitas.20 Nilai bersihan laktat
(lactate clearance) dihitung dengan rumus:

(laktat inisial-laktat akhir) x 100%


laktat inisial

Sebuah studi prospektif operasional memperkirakan penurunan mortalitas


sebesar 11% untuk setiap peningkatan nilai bersihan laktat 10%.21 Pada pasien

158
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

anak yang mengalami renjatan, sering ditemukan kondisi alaktemik yaitu tidak
didapatkan peningkatan kadar laktat sejak awal resusitasi. Alaktemik terjadi
pada sepertiga pasien renjatan akibat sepsis dengan mekanisme yang belum
jelas.22 Hal ini kemungkinan karena terdapatnya perbedaan metabolisme laktat
pada anak dan dewasa.23
Kondisi alaktemik dapat terjadi meskipun produksi laktat meningkat. Hal
tersebut kemungkinan karena peningkatan bersihan laktat di hati atau ginjal.
Sebanyak 70% laktat yang terbentuk akan dimetabolisme di hati. Proses ini
memerlukan fungsi hati yang baik. Bila aliran darah ke hati berkurang sampai
dengan 25%, terjadi penurunan metabolisme laktat di hati yang menyebabkn
kadar laktat meningkat.24
Penelitian yang dilakukan pada pasien anak menemukan bahwa laktat awal
tidak berbeda antara pasien yang hidup dan meninggal, tetapi nilai bersihan
laktat jam ke-6 lebih kecil pada pasien yang meninggal daripada yang hidup
(-4,0% dibanding 55,5%, p < 0,001). Hal ini sejalan dengan tingkat keparahan
penyakit yang dinilai dengan menggunakan pediatric risk of mortality (PRISM)
pada anak, yaitu lebih tinggi pada mereka yang meninggal (43,6) dibandingkan
dengan anak yang hidup (21,7) dengan p <0,01. Kesimpulan penelitian tersebut
adalah nilai bersihan laktat <30 % dan PRISM >30 dapat dipakai sebagai
perkiraan mortalitas pada pasien sepsis.25

Simpulan
Renjatan sepsis masih merupakan masalah besar pada pasien yang datang ke
ruang gawat darurat. Mortalitas renjatan sepsis cukup tinggi. Untuk itu, berbagai
usaha dilakukan untuk menurunkan angka mortalitas ini dari hari ke hari.
Surviving Sepsis Campaign mengeluarkan berbagai panduan dan rekomendasi
untuk membantu klinisi melakukan tata laksana renjatan sepsis. Rekomendasi
tersebut terus dikembangkan dari tahun ke tahun dengan revisi terakhir
dilakukan pada tahun 2015. Melalui pembaruan rekomendasi ini, diharapkan
keberhasilan resusitasi renjatan sepsis meningkat. Beberapa target keberhasilan
resusitasi dicapai baik secara klinis maupun laboratoris. Tentunya tidak semua
target ini dapat tercapai pada setiap individu mengingat adanya perbedaan
kondisi klinis pasien serta sarana dan prasarana penunjang yang tersedia.

159
Target Keberhasilan Resusitasi pada Renjatan Sepsis

Daftar pustaka
1. Fisher JD, Nelson DG, Beyersdorf H, Satkowiak LJ. Clinical spectrum of shock in
the pediatric emergency department. Pediatr Emer Care. 2010;26:622-5.
2. Mickiewicz B TG, Blackwood J, Jennie CN, Winston BW, Vogel Hj, et al.
Development of metavolic and inflammatory mediator biomarker phenotyping
for early diagnosis and triage of pediatric sepsis. Crit Care Med. 2015;19:1-13.
3. Schorr S ZS, Dellinger RP. Severe sepsis and septic shock management and
performance improvement. Virulence. 2014;5:190-9.
4. SSC. Update bundles in response to new evidence. [diakses tanggal 15 September
2015]. Tersedia di: htttp://www.survivingsepsis.org/sitecolletionDocuments/
SSC_Bundle.pdf.
5. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal SM, dkk. Surviving
sepsis campaign: international guidelines for management of severe sepsis and
septic shock. Crit Care Med. 2012;41:580-637.
6. Shankar-Hari M PG, Levy ML, Seymour CW, Liu VX, Deutschman CS, et al.
Developing a new definition and assessing new clinical criteria for septic shock.
JAMA. 2016;8:775-87.
7. Randolph AG, Mc Culloh RJ. Pediatric Sepsis. Virulence. 2014;5:179-89.
8. Gutierezz JA, Theodorou AA. Oxygen delivery and oxygen consumption in
pediatric critical care. Dalam: Lucking S, Maffei FA, Tamburro RF, Thomas NJ,
penyunting. Pediatric critical care study guide text and review. Edisi. London:
Springer-Verlag. h. 19-38.
9. Nadel S, Kissoon N, Ranjit S. Recognition and initial management of shock.
Dalam: Helfaer MA, Nichols DG, penyunting. Rogers’ handbook of pediatric
intensive care. Edisi ke- 4. Philadelphia: Wolters Kluwer Lippincott Williams &
Wilkins; 2009. h. 35-41.
10. Wilhelm M, Chung W. Inborn errors of metabolism. Dalam: Helfaer MA, Nichols
DG, penyunting. Rogers’ handbook of pediatric intensive care. Edisi ke- 4.
Philadelphia: Wolters Kluwer Lippincott Williams & Wilkins; 2009. h. 650-60.
11. Yager P, Noviski N. Shock. Pediatr in Review. 2010;31:311-9.
12. Tisherman SA, Barie P, Bokhari F, Bonadies J, Daley B, Diebel L, dkk. Clinical
practice guideline: endpoints of resuscitation. J Trauma. 2004;57:898-912.
13. Marik PE, Bellomo R. Lactate clearance as a target of therapy in sepsis: a flawed
paradigm. OA Critical Care. 2013;1:3.
14. Pasman EA WC. Shock in pediatrics treatment & management. http://
emedicinemedscapecom/article/1833578-treatment [internet]. 2015 Mar 20, 2016.
15. Scott HF, Donoghue AJ, Gaieski DF, Marchese RF, Mistry RD. The utility of
early lactate testing in undifferentiated pediatric systemic inflammatory response
syndrome. Academic Emerg Med. 2012;19:1276-80.
16. Agrawal S, Sachdev A, Gupta D, Chugh K. Role of lactate in critically ill. Indian
J Crit Care Med. 2004;8:173-81.
17. Jan Bakker J-LV. The oxygen supplay dependency phenomenon is associated with
increased blood lactate level. J Crit Care. 1991;6:8.

160
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXX

18. Marecaux G PM, Dupont E, Kahn RJ, Vincent JL. Blood lactate levels are better
prognostic indicators than TNF and IL-6 levels in patients with septic shock.
Intens Care Med. 1996;22:5.
19. Nguyen HB, Rivers EP, Knoblich BP, Jacobsen G, Muzzin A, Ressler JA, dkk. Early
lactate clearance is associated with improved outcome in severe sepsis and septic
shock. Crit Care Med. 2004;32:1637-42.
20. Napoli AM, Seigel TA. The role of lactate clearance in the resuscitation bundle.
Crit Care. 2011;15:199.
21. Levinson AT, Casserly BP, Levy MM. Reducing mortality in severe sepsis and septic
shock. Semin Respir Crit Care Med. 2011;32:195-205.
22. Napoli AM, Seigel TA. The role of lactate clearance in the resuscitation bundle.
Crit Care. 2011;15:199.
23. Zhang Z, Xu X, Chen K. Lactate clearance as useful biomarker for the predicition
of all-cause mortality in critically ill patients: a systematic review study protocol.
BMJ Open. 2014;4:1-4.
24. Phypers B, Pierce J. Lactate physiology in health and disease. Anaes Crit Care
Pain. 2006;6:128-32.
25. Munde A, Kumar N, Beri RS, Puliyel JM. Lactate clearance as a marker of mortality
in pediatric intensive care unit. Indian Pediatr. 2014;51:565-7.

161

Anda mungkin juga menyukai