[go: up one dir, main page]

0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
115 tayangan33 halaman

Laporan Magk

Pasien laki-laki berumur 7 tahun 9 bulan datang dengan diagnosa sindrom nefrotik akibat pembengkakan tubuh. Tidak ada riwayat penyakit atau keluarga. Asupan zat gizi pasien defisit karena nafsu makan berkurang akibat mual dan muntah.

Diunggah oleh

Melly Kartika Sari
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai DOCX, PDF, TXT atau baca online di Scribd
0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
115 tayangan33 halaman

Laporan Magk

Pasien laki-laki berumur 7 tahun 9 bulan datang dengan diagnosa sindrom nefrotik akibat pembengkakan tubuh. Tidak ada riwayat penyakit atau keluarga. Asupan zat gizi pasien defisit karena nafsu makan berkurang akibat mual dan muntah.

Diunggah oleh

Melly Kartika Sari
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai DOCX, PDF, TXT atau baca online di Scribd
Anda di halaman 1/ 33

HALAMAN LEMBAR PERSETUJUAN

Laporan Studi Kasus Pra PKL (Praktek Kerja Lapangan)

Manajemen Asuhan Gizi Klinik

Pada Penderita Sindrom Nefrotik

Rawat Inap Ruang Anak RSUD Dr. Soedarso Pontianak

Pontianak, Juli 2018


Clinical Instructure

Nyi Widaningsih, S.Tr.Gizi, RD


NIP. 19730105 199403 2 003

Mengetahui,
Kepala Instalasi Gizi
RSUD Dr. Soedarso Pontianak

Sri Murdianti, A.Md, Gizi, RD


NIP. 19760808 200012 2 003

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT, atas berkat dan rahmat-Nya sehingga saya
dapat menyelesaikan laporan studi kasus Praktek Kerja Lapangan Manajemen
Asuhan Gizi Klinik Penatalaksanaan Diet Sindrom Nefrotik pada Instalasi Rawat
Inap RSUD Dr. Soedarso Pontianak ini dengan baik dan dapat terselesaikan tepat
pada waktunya.

Laporan Studi Kasus ini disusun sebagai salah satu syarat dalam
menyelesaikan mata kuliah Manajemen Asuhan Gizi Klinik. Dalam penyelesaian
laporan ini telah banyak berbagai pihak yang membantu baik arahan dan bimbingan.
Oleh karena itu dalam kesempatan ini saya ucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Sri Murdianti, A.Md. Gz, RD selaku Kepala Instalasi Gizi di RSUD Dr.
Soedarso Pontianak

2. Bapak Edy Waliyo, S.Gz, M.Gizi selaku Ketua Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes
Pontianak.

3. Ibu Nopriantini, SP, M.Pdselaku Ka.Prodi D-IV Gizi Jurusan Gizi Poltekkes
Kemenkes Pontianak.

4. Ibu Nyi Widaningsih, S. Tr. Gizi, RD selaku Clinical Instruktur Manajemen


Asuhan Gizi Klinik dan Praktek Kerja Lapangan Manajemen Asuhan Gizi Klinik
RSUD Dr. Soedarso Pontianak

5. Seluruh Ahli Gizi di RSUD Dr. Soedarso Pontianak yang telah banyak membantu
dalam melaksanakan Praktek Kerja Lapangan Manajemen Asuhan Gizi Klinik

6. Seluruh teman-teman mahasiswa gizi yang telah membantu secara materi dan
non materi demi terselesainya laporan Praktek Kerja Lapangan Manajemen
Asuhan Gizi Klinik di RSUD Dr. Soedarso Pontianak

ii
Penyusun menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, penyusun mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan
laporanManajemen Asuhan Gizi Klinik dan dengan penuh harapan semoga
laporan ini dapat menambah pengetahuan dan memberi manfaat bagi penyusun
dan pembaca.

Pontianak, Juli 2018

Penyusun

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN LEMBAR PERSETUJUAN............................................................i

DAFTAR ISI.....................................................................................................iv

DAFTAR TABEL.............................................................................................vi

BAB I GAMBARAN UMUM PASIEN...............................................................1

A. Data Subjektif.......................................................1

1. Identitas Pasien................................................1

2. Riwayat Penyakit..............................................1

3. Riwayat Gizi......................................................1

4. Riwayat Sosial Ekonomi...................................3

B. Data Objektif........................................................3

1. Antropometri (A)...............................................3

2. Biokimia (B)......................................................3

3. Fisik Klinis (C)...................................................3

4. Asupan Zat Gizi (D)..........................................4

5. Terapi Medis.....................................................4

BAB II PENENTUAN MASALAH GIZI............................................................5

A. Diagnosa Medis...................................................5

B. Keluhan Utama....................................................5

C. Identifikasi Masalah..............................................5

D. Diagnosa Gizi.......................................................6

BAB III INTERVENSI GIZI...............................................................................7

A. Planing.................................................................7

1. Tujuan Diet.......................................................7

iv
2. Prinsip Diet.......................................................7

3. Syarat Diet........................................................7

4. Kebutuhan Energi dan Zat Gizi.........................8

5. Jenis Diet..........................................................8

6. Rencana Monitoring dan Evaluasi....................8

7. Rencana Kosultasi Gizi.....................................9

B. Implementasi......................................................10

BAB IV MONITORING DAN EVALUASI.......................................................11

A. Diagnosa Medis.................................................11

B. Antropometri.......................................................11

C. Biokimia.............................................................11

D. Klinis..................................................................11

E. Asupan...............................................................11

BAB IV TINJAUAN PUSTAKA......................................................................12

A. Definisi Sindrom Nefrotik....................................12

B. Etiologi...............................................................13

C. Patofisiologi........................................................13

D. Sindrom Nefrotik Idiopatik/Primer......................15

E. Manifestasi Klinis...............................................15

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................19

A. Hasil...................................................................19

B. Pembahasan......................................................20

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN............................................................24

A. Kesimpulan........................................................24

B. Saran.................................................................24

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................25

v
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Hasil Recall 3x24 jam 2


Tabel 1.2. Hasil Pemeriksaan Laboratorium 3
Tabel 1.3. Hasil Pemeriksaan Fisik/Klinis 3
Tabel 1.4. Asupan Zat Gizi 4

vi
BAB I GAMBARAN UMUM PASIEN

A. Data Subjektif

1. Identitas Pasien
Nama : Cornelius Cristelligo
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir : 29 September 2010
Umur : 7 tahun 9 bulan
Agama : Kristen
Suku/Bangsa : Dayak
Jenis Pembayaran : BPJS
Cara Datang : Rujukan
MRS : 29 Juni 2018

2. Riwayat Penyakit
Seorang anak bernama Coernelius Cristelligo berumur 7 tahun datang ke
RSUD Dr. Soedarso Pontianak dengan rujukan dari RSUD Ade Muhammad Djoen
Sintang. Ia didiagnosa Sindrom nefrotik, datang ke Rumah Sakit dengan keluhan
terjadi pembengkakan (edema) seluruh tubuh kurang lebih sudah 3 hari yang lalu,
dan mengalami mual muntah.
 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak mempunyai riwayat penyakit dahulu.
 Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien tidak mempunyai riwayat penyakit keluarga.

3. Riwayat Gizi
Saat ini nafsu makan pasien kurang karena adanya mual dan muntah. Pasien
tidak mempunyai alergi terhadap jenis makanan tertentu. Dari hasil recall 3x24 jam
rata-rata asupan yang dikonsumsi pasien masih tergolong defisit yaitu <70%
(Sumber : WNPG 2004)

1
Tabel 1.1 Hasil Recall 3x24 jam (26 juni 2018-28 juni 2018)
Kebutuhan Energi (kkal) Protein (gr) Lemak (gr) Karbohidrat (gr)

I II III I II III I II III I II III


Asupan 338,3 317,4 91,2 16,9 12,6 3,8 22,7 16,2 0,4 16,9 32,3 17,7

Rata-rata 248,9 kkal 11,1 gram 13.1 gram 22,3 gram


asupan
Kebutuhan 2080 kkal 39 gram 46,2 gram 377 gram

% asupan 11,7% 28,5% 28,4% 5,9%

Kategori Defisit Defisit Defisit Defisit

Kategori tingkat konsumsi berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi


tahun 2004 adalah sebagai berikut :
a. Kurang : <70%
b. Cukup : 70-80%
c. Baik : 80-110%
d. Lebih : >110%

 Riwayat Gizi Dahulu


Menurut Ibunya, pasien sangat menyukai sosis, mie instan, minuman
instan seperti pop ice, segar sari, dan ale-ale. Pola makan pasien yaitu pasien makan
tidak teratur nasi setiap hari dan diselingi mie instan, ikan 3x seminggu, daging ayam
1x seminggu, telur ayam 3x sehari biasanya digoreng dan direbus dengan mie
instan. Frekuensi mie instan kadang 2x sehari, dalam seminggu >7 kali. Pasien
menyukai buah dan tidak menyukai sayur, makan buah 2-3x seminggu. Minum
minuman yang bersachet/instan kadang 2x sehari, susu kental manis 1x sehari, teh
manis kadang 2x sehari tergantung keinginannya.

2
4. Riwayat Sosial Ekonomi
 Agama : Kristen
 Suku : Dayak
 Pendidikan : Sekolah Dasar (SD)

B. Data Objektif

1. Antropometri (A)
 Tinggi Badan : 127 cm
 Berat badan : 20 kg
 Berat Badan Ideal : 26 kg
 Status Gizi : 76,92% (kurang gizi)
Berdasarkan data antropometri pasien dapat diketahui bahwa status gizi
pasien yaitu kurang 76,92% (CDC,2000).

2. Biokimia (B)
Hasil perkembangan pemeriksaan biokimia pasien :
Tabel 1.2. Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Nama Substansi 26 Juni 2018 Keteranga 29 Juni 2019 Keterangan Nilai normal
Kimia n
Kreatinin 3,4 mg/dL Tinggi 0,8 mg/dL Normal 0,1-1,1
mg/dL
BUN 82 mg/dL Tinggi 90,3 mg/dL Tinggi 15-40 mg/dL
Albumin 2,45 g/dL Rendah - 3,4-5,4 g/dL
Kolesterol 226 mg/dL Tinggi 221 mg/dL Tinggi <200 mg/dL
Haemoglobin - 12,5 g/dL Normal 10-16 g/dL

3. Fisik Klinis (C)


Tabel 1.3. Hasil Pemeriksaan Fisik/Klinis
Pemeriksaan 26 Juni 2018 Keterangan 29 Juni 2019 Keterangan Nilai normal

Keadaan Sedang Normal Sedang Normal Compos


Umum Mual muntah Muntah mentis
Tekanan 118/81 Optimal 130/70 Normal ≥130/90

3
darah mmHg mmHg mmHg
Nadi 71 kali/menit Normal 80 kali/menit Normal 80-90
kali/menit
Respirasi 24 kali/menit Normal 20 kali/menit Normal 20-30
kali/menit
Suhu 36.3oC Normal 36oC Normal 36,6-37,2 oC

4. Asupan Zat Gizi (D)


Tabel 1.4. Asupan Zat Gizi

Kebutuhan Energi (kkal) Protein (gr) Lemak (gr) Karbohidrat (gr)

I II III I II III I II III I II III


Asupan 338,3 317,4 91,2 16,9 12,6 3,8 22,7 16,2 0,4 16,9 32,3 17,7

Rata-rata 248,9 kkal 11,1 gram 13.1 gram 22,3 gram


asupan
Kebutuhan 2080 kkal 39 gram 46,2 gram 377 gram

% asupan 11,7% 28,5% 28,4% 5,9%

Kategori Defisit Defisit Defisit Defisit

5. Terapi Medis
- Ampicilin
- Ranitidin
- Ondan
- Furosemid
- OAT
- Albumin Cap

4
BAB II PENENTUAN MASALAH GIZI

A. Diagnosa Medis
- Sindrom Nefrotik

B. Keluhan Utama
Pasien datang ke Rumah Sakit dengan keluhan terjadi pembengkakan
(edema) seluruh tubuh kurang lebih sudah 3 hari yang lalu, dan mengalami mual
muntah.

C. Identifikasi Masalah
1. Antropometri (A)
 Status Gizi : Kurang gizi (76,92%)

2. Biokimia (B)
 BUN tinggi
 Kreatinin tinggi
 Kolesterol tinggi
 Albumin rendah

3. Fisik/klinis (C)
-
4. Asupan (D)
 Energi : 11,7% (Defisit)
 Prorein : 28,5% (Defisit
 Lemak : 28,4% (Defisit)
 Karbohidrat : 5,9% (Defisit)
Kategori tingkat asupan sebagai berikut :
 Kurang : <70%
 Cukup : 70-80%
 Baik : 80-110%

5
 Lebih : >110%
(Sumber : WNPG,2004)

D. Diagnosa Gizi
 NI-2.1
P = Kekurangan intake makanan dan minuman oral (energi, protein,
lemak, dan karbohidrat)
E = Keadaan fisiologis pasien yaitu adanya mual dan muntah
S = Hasil recall pasien selama 3 hari defisit (kurang) yaitu energi 248,9
kkal (11,7%), protein 11,1 gram (28,5%), lemak 13,1 gram (28,4%), dan
karbohidrat 22,3 gram (5,9%).
 NI-5.4
P = Penurunan kebutuhan zat gizi protein
E = disfungsi ginjal
S = kadar lab kolesterol tinggi (226 mg/dL), BUN tinggi (26/06 82 mg/dL,
29/06 90,3 mg/dL), albumin rendah 2,45 g/dL, dan kreatinin tinggi 3,4 mg/dL
 NI-5.7.2
P = Ketidaksesuaian intake asam amino
E = disfungsi ginjal
S = kadar BUN tinggi (26/06 82 mg/dL, 29/06 90,3 mg/dL)
 NC-2.2
P = Perubahan nilai labterkait zat gizi protein dan lemak
E = Penyakit pasien yaitu sindrom nefrotik
S = hasil lab BUN tinggi (26/06 82 mg/dL, 29/06 90,3 mg/dL), kreatinin
tinggi 3,4 mg/dL, albumin rendah 2,45 g/dL, dan kolesterol tinggi (226 mg/dL).
 NC-3.1
P = Berat badan kurang
E = intake energi yang kurang
S = status gizi pasien yaitu 76,92% (kurang gizi)
 NC-3.2
P = Kelebihan intake cairan
E = disfungsi ginjal
S = terjadinya pembengkakan (edema) diseluruh tubuh dan kadar
albumin rendah 2,45 g/dL

6
7
BAB III INTERVENSI GIZI

A. Planing

1. Tujuan Diet
 Mencukupi kebutuhan energi, protein, lemak, dan karbohidrat pasien dengan
memberikan makanan sesuai kebutuhan pasien
 Memberikan makanan sesuai dengan keadaan dan kondisi pasien yaitu
adanya mual dan muntah
 Mengganti kehilangan protein terutama albumin
 Mengurangi edema dan menjaga keseimbangan cairan tubuh
 Memonitor hiperkolesterolemia
 Mengontrol hipertensi

2. Prinsip Diet
 Energi cukup
 Protein normal
 Lemak sedang
 Karbohidrat cukup
 Natrium dibatasi
 Kolesterol dibatasi

3. Syarat Diet
1) Energi sesuai kebutuhan yaitu sebesar 2080 kkal untuk mencapai berat badan
normal
2) Protein normal yaitu 1,5 g/kgBB sebesar 39 gram untuk regulator cairan dalam
darah
3) Lemak sedang sebesar 20% dari kebutuhan energi total sebesar 46,2 gram
untuk sumber energi
4) Karbohidrat cukup yaitu sisa dari kebutuhan energi total sebesar 72,5% yaitu
377 gram untuk sumber energi utama
5) Natrium dibatasi maksimal 4 gram perhari untuk meringankan edema
6) Kolesterol dibatasi <300 mg perhari

8
9
4. Kebutuhan Energi dan Zat Gizi
Perhitungan kebutuhan zat gizi (CDC,2000)
Energi = 80 x BBI
= 80 x 26
= 2080 kkal
Protein = 1,5 x BBI
= 1,5 x 26
= 39 gram (7,5%)
Lemak = 20% x energi
= 20% x 2080
416
=
9
= 46,2 gram
Karbohidrat = 100% - (%P+%L)
= 100% - (7,5% + 20%)
= 72,5%
72, 5
= x energi
100
1508
=
4
= 377 gram

5. Jenis Diet
Jenis diet yang diberikan kepada pasien yaitu diet Sindrom nefrotik
dengan 3x makanan utama, dan 3x makanan selingan, rute oral, dengan bentuk
makanan lunak.

6. Rencana Monitoring dan Evaluasi


a. Antropometri
Adapun nilai antropometri yang diukur yaitu berat badan, dan status gizi
diukur setiap setelah akhir perawatan evaluasi mencapai status gizi normal
(90%-110%)
b. Biokimia

10
Adapun nilai biokimia yang diukur yaitu BUN, kreatinin, kolesterol, dan
albumin pengukuran dilakukan setiap ada pemeriksaan evaluasi yaitu
mencapai rentang normal.
c. Fisik/Klinis
Adapun nilai fisik/klinis yang diukur yaitu tekanan darah pengukuran
dilakukan setiap ada pemeriksaan evaluasi yaitu mencapai rentang normal.
d. Asupan Zat Gizi
Monitoring asupan makanan dilakukan setiap hari selama 3 hari.
e. Edukasi
Monitoring terhadap pemahaman pasien mengenai edukasi yang
diberikan dan mau melaksanakan edukasi yang diberikan dengan benar.

7. Rencana Kosultasi Gizi

a. Tujuan
1) Agar pasien mengetahui bagaimana pola makan yang baik sesuai aturan
gizi seimbang
2) Agar pasien mengertahui garis besar penyakit yang dialami, prinsip diet,
serta syarat dietnya
3) Memberikan edukasi dan motivasi kepada pasien dan keluarga

11
b. Sasaran

Pasien dan keluarga

c. Waktu

± 30 menit

d. Tempat

Poli konsultasi gizi

e. Metode

Ceramah dan tanya jawab

f. Alat bantu

Leaflet, food model, dan URT

g. Materi
1) Penjelasan tentang pola makan yang baik sesuai aturan gizi seimbang
2) Penjelasan singkat mengenai penyakit sindrom nefrotik
3) Tujuan serta prinsip dan syarat diet sindrom nefrotik
4) Makanan yang dianjurkan, dibatasi, dan dihindari pasien sindrom nefrotik

B. Implementasi
Hasil anamnesis menunjukan pasien menderita Sindrom Nefrotik. Untuk
memenuhi kebutuhan pasien sesuai dengan keadaan dan penyakit maka pasien
diberikan Diit Sindrom Nefrotik. Jenis diit ini mengandung energi sebesar 2.028
kkal, protein yang diberikan yaitu 39 gram, lemak 46,2 gram, karbohidrat
merupakan sisa dari protein dan lemak sebesar 377 gram. Diit pasien diberikan
dalam bentuk makanan biasa, pertimbangan pemberian bentuk diit ini
dikarenakan pasien masih dalam kondisi kesadaran penuh (composmentis) dan
tidak mengalami gangguan mengunyah dan menelan pada daerah mulut dan
esofagus.

12
BAB IV MONITORING DAN EVALUASI

A. Diagnosa Medis
Pasien didiagnosa Sindrom Nefrotik

B. Antropometri
 Yang diukur : berat badan
 Pengukuran : setiap akhir perawatan
 Evaluasi : mencapai status gizi normal (90%-110%)

C. Biokimia
 Yang diukur : BUN, kreatinin, kolesterol, albumin
 Pengukuran : setiap ada pemeriksaan
 Evaluasi : Mencapai rentang normal yaitu BUN 15-40 mg/dL, 0,1-1,1
mg/dL, kolesterol < 200 mg/dL, albumin 3,4-5,4 mg/dL

D. Klinis
 Yang diukur : Tekanan darah, Respirasi, dan suhu
 Pengukuran : Setiap hari
 Evaluasi : mencapai rentang normal yaitu tekanan darah ≥ 130/90
mmHg, nadi 80-90 kali/menit, respirasi 20-30 kali/menit, suhu 36,6-37,2oC

E. Asupan
 Yang diukur : Energi, protein, lemak, dan karbohidrat
 Pengukuran : setiap hari dengan metode recall 24 jam
 Evaluasi : memenuhi 100% dari kebutuhan total yaitu energi = 2.080
kkal, protein= 39 gram, lemak=46,2 gram, karbohidrat=377 gram

F.

13
BAB IV TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Sindrom Nefrotik


Sindrom nefrotik merupakan suatu penyakit ginjal yang terbanyak pada
anak. Penyakit tersebut ditandai dengan sindrom klinik yang terdiri dari beberapa
gejala yaitu proteinuria masif (>40 mg/m2LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada
urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstick ≥ 2+), hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dL, edema, dan
hiperkolesterolemia
Sindrom nefrotik, suatu manifestasi penyakit glomerular, ditandai
dengan proteinuria berat (ekskresi protein ≥ 40 mg/m 2LPB/jam, atau rasio
albumin/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg, atau dipstick ≥ 2+),
hipoalbuminemia, edema, dan dapat disertai hiperlipidemia (Pais, Avner, 2011,
Nanjundaswamy, Phadke, 2002).
Terdapat beberapa definisi/batasan yang dipakai pada sindrom nefrotik,
antara lain (Noer, 2011, Bagga, Mantan, 2005, Nanjundaswamy, Phadke, 2002):

1. Remisi : Proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) selama 3 hari
berturut-turut dalam 1 minggu.
2. Relaps : Proteinuria ≥ 2+ (proteinuria≥ 40 mg/m 2LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam
1 minggu, dimana sebelumnya pernah mengalami remisi.

3. Relaps jarang : Relaps terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah
respons awal atau kurang dari 4 kali per tahun pengamatan.
4. Relaps sering : Relaps terjadi ≥ 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respon awal,
atau ≥ 4 kali dalam periode 1 tahun.

5. Sensitif steroid : Remisi tercapai dalam 4 minggu atau kurang setelah pengobatan
steroid dosis penuh (full dose).
6. Dependen steroid : Relaps terjadi pada saat dosis steroid diturunkan, atau dalam
waktu 14 hari setelah pengobatan steroid dihentikan, dan hal ini terjadi 2 kali
berturut-turut.

14
7. Resisten steroid : tidak terjadi remisi setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis
penuh (full dose).

B. Etiologi
Kebanyakan anak dengan sindrom nefrotik memiliki bentuk sindrom
nefrotik primer atau idiopatik. Lesi glomerulus yang berhubungan dengan sindrom
nefrotik idiopatik termasuk penyakit kelainan minimal (yang paling umum),
glomerulosklerosis fokal segmental, glomerulonefritis membranoproliferatif, nefropati
membranosa dan proliferasi mesangial difus. Etiologi-etiologi ini memiliki distribusi
usia yang berbeda (Pais, Avner, 2011).

Sindrom nefrotik juga mungkin sekunder terhadap penyakit sistemik


seperti lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schönlein, keganasan (limfoma
dan leukemia), dan infeksi (hepatitis, HIV, dan malaria) (Pais, Avner, 2011).

Sindrom nefrotik juga bisa disebabkan oleh kelainan genetik. Sindrom


nefrotik kongenital (hadir sejak lahir hingga usia 3 bulan) telah dikaitkan dengan
kelainan pada gen nephrin (NPHS1), fosfolipase C epsilon 1 gen (PLCE1), dan gen
supresor tumor Wilms. Selain itu, sindrom genetik lainnya telah dikaitkan dengan
sindrom nefrotik, seperti sindrom Nail-patella, sindrom Pierson, Schimke immuno-
osseus displasia, dan lain-lain (Lane, 2013).

C. Patofisiologi
Kelainan yang mendasari sindrom nefrotik adalah peningkatan
permeabilitas dari dinding kapiler glomerulus, yang meyebabkan proteinuria masif
dan hipoalbuminemia. Pada biopsi, penipisan ekstensif proses kaki podocyte (ciri
khas sindrom nefrotik idiopatik) menunjukkan peran penting untuk podocyte. Sindrom
nefrotik idiopatik adalah berhubungan dengan gangguan yang kompleks dalam
sistem kekebalan/imun tubuh, terutama imunitas diperantarai sel T (T cell– mediated
immunity). Pada glomerulosklerosis fokal segmental, suatu faktor plasma, yang
mungkin dihasilkan oleh subset limfosit aktif, mungkin bertanggung jawab untuk
peningkatan permeabilitas dinding kapiler. Atau, mutasi pada protein podocyte
(podocin, α-actinin 4) dan MYH9 (gen podocyte) dapat berhubungan dengan
glomerulosklerosis fokal segmental. Sindrom nefrotik resisten steroid (steroid-
resistant nephrotic syndrome) dapat dikaitkan dengan mutasi pada NPHS2 (podocin)

15
dan gen WT1, serta komponen lain dari proses filtrasi glomerulus, seperti pori celah
(slit pore), dan termasuk nephrin, NEPH1, dan protein yang terkait dengan CD-2
(Pais, Avner, 2011).
Untuk mekanisme pembentukan edema pada sindrom nefrotik, hilangnya
protein urin masif menyebabkan hipoalbuminemia, yang menyebabkan penurunan
tekanan onkotik plasma dan transudasi cairan dari kompartemen intravaskular ke
ruang interstisial. Penurunan volume intravaskular menurunkan tekanan perfusi
ginjal, yang mengaktifkan sistem renin-angiotensin-aldosteron, yang merangsang
reabsorpsi natrium di tubular. Penurunan volume intravaskular juga merangsang
pelepasan hormon antidiuretik, yang meningkatkan reabsorpsi air dalam collecting
duct (Pais, Avner, 2011).

Teori ini tidak berlaku untuk semua pasien dengan sindrom nefrotik karena
beberapa pasien sebenarnya ada peningkatan volume intravaskular dengan kadar
renin dan aldosteron plasma berkurang. Oleh karena itu, faktor-faktor lain, termasuk
aviditas ginjal primer (primary renal avidity) untuk natrium dan air, mungkin terlibat
dalam pembentukan edema pada beberapa pasien dengan sindrom nefrotik (Pais,
Avner, 2011).

Dalam keadaan nefrotik, tingkat lipid dalam darah/serum (kolesterol,


trigliserida) yang meningkat adalah disebabkan dua alasan. Hipoalbuminemia
merangsang sintesis protein hepatik umum, termasuk sintesis lipoprotein. Ini juga
mengapa sejumlah faktor koagulasi meningkat, lalu meningkatkan risiko trombosis.
Selain itu, katabolisme lipid berkurang akibat dari pengurangan kadar lipoprotein
lipase plasma yang berkaitan dengan peningkatan kehilangan enzim ini ini melalui
urin (Pais, Avner, 2011).

Pasien dengan sindrom nefrotik berada ada peningkatan risiko infeksi


(sepsis, peritonitis, pielonefritis), terutama dengan organisme berkapsul seperti
Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenza. Beberapa alasan untuk hal
ini termasuk hilangnya faktor komplemen C3b, opsonins seperti properdin faktor B,
dan imunoglobulin dalam urin. Faktor risiko tambahan adalah penggunaan obat
imunosupresif untuk mengobati sindrom nefrotik (Pais, Avner, 2011).

16
Sindrom nefrotik adalah keadaan hiperkoagulasi yang disebabkan
beberapa faktor yaitu stasis vaskular, peningkatan produksi hepatik fibrinogen dan
faktor pembekuan lainnya, penurunan kadar faktor antikoagulan serum, peningkatan
produksi trombosit plasma (sebagai reaktan fase akut), dan peningkatan agregasi
platelet. Koagulopati dimanifestasi dengan kejadian tromboemboli (Pais, Avner,
2011).

D. Sindrom Nefrotik Idiopatik/Primer


Sekitar 90% anak dengan sindrom nefrotik merupakan sindrom nefrotik
idiopatik/primer. Sindrom nefrotik idiopatik berhubungan dengan penyakit glomerulus
primer tanpa bukti adanya penyebab penyakit sistemik tertentu. Sindrom nefrotik
idiopatik mempunyai beberapa tipe secara histologis: penyakit kelainan minimal,
proliferasi mesangial, glomerulosklerosis fokal segmental, nefropati membranosa,
dan glomerulonefritis membranoproliferatif (Pais, Avner, 2011).

E. Manifestasi Klinis
Sindrom nefrotik idiopatik lebih sering terjadi pada anak laki-laki
daripada anak perempuan (2: 1) dan paling sering muncul antara usia 2 dan 6 tahun
(lihat Gambar 2.1). Sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) terjadi pada 85%
hingga 90% pasien dibawah usia 6 tahun. Sebaliknya, hanya 20% hingga 30% dari
remaja yang tampil untuk pertama kalinya dengan sindrom nefrotik memiliki SNKM.
Penyebab yang lebih umum dari sindrom nefrotik idiopatik pada kelompok usia yang
lebih tua adalah glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS). Insidensi GSFS dapat
meningkat, mungkin lebih umum pada pasien Afrika-Amerika, Hispanik, dan Asia
(Pais, Avner, 2011, Nanjundaswamy, Phadke, 2002).
Anak-anak biasanya tampil dengan edema ringan, yang awalnya terdapat di
sekitar mata dan di ekstremitas bawah. Sindrom nefrotik awalnya dapat disalah
diagnosis sebagai gangguan alergi karena adanya pembengkakan periorbital yang
menurun sepanjang hari. Dengan waktu, edema menjadi generalisasi, dengan
adanya perkembangan asites, efusi pleura, dan edema genital. Anoreksia, iritabilitas,
nyeri abdomen, dan diare adalah gejala umum. Fitur penting dari sindrom nefrotik
idiopatik kelainan minimal adalah ketiadaan hipertensi dan gross hematuria
(sebelumnya disebut fitur nephritik) (Pais, Avner, 2011, Nanjundaswamy, Phadke,
2002).

17
Diagnosis differensial anak yang ditandai dengan edema mencakup enteropati
kehilangan protein, gagal hati, gagal jantung, glomerulonefritis akut atau kronis, dan
malnutrisi protein. Diagnosis selain SNKM harus dipertimbangkan pada anak
dibawah usia 1 tahun, riwayat keluarga positif sindrom nefrotik, adanya temuan
ekstrarenal (misalnya, artritis, ruam, anemia), hipertensi atau edema paru,
insufisiensi ginjal akut atau kronis, dan gross hematuria (Pais, Avner, 2011).

 Pemeriksaan Penunjang

Langkah pertama dalam mengevaluasi anak dengan edema adalah


untuk menetapkan apakah adanya sindrom nefrotik, karena hipoalbuminemia dapat
terjadi tanpa adanya proteinuria (seperti pada enteropati kehilangan protein), dan
edema dapat terjadi tanpa adanya hipoalbuminemia (misalnya, pada angioedema,
kebocoran kapiler, insufisiensi vena, gagal jantung kongestif) (Lane, 2013).

Dalam rangka menetapkan adanya sindrom nefrotik, tes laboratorium harus


mengkonfirmasi (1) proteinuria nefrotik, (2) hipoalbuminemia, dan (3) hiperlipidemia
(Lane, 2013, Nanjundaswamy, Phadke, 2002). Oleh karena itu, pengujian
laboratorium awal harus mencakup sebagai berikut:
1. Protein urin - Dengan ekskresi protein ≥ 40 mg/m 2LPB/jam atau > 50 mg/kgBB/24
jam, atau rasio albumin/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg, atau dipstick ≥ 2+

2. Albumin serum - Kurang dari 2,5 g/dL

3. Panel lipid - Peningkatan kolesterol total, kolesterol low-density lipoprotein (LDL),


peningkatan trigliserida dengan hipoalbuminemia berat, kolesterol high-density
lipoprotein (HDL) (normal atau rendah)

Setelah menentukan adanya sindrom nefrotik, tugas selanjutnya adalah untuk


menentukan apakah sindrom nefrotik primer (idiopatik) atau sekunder terhadap
gangguan sistemik dan, jika sindrom nefrotik idiopatik (SNI) telah ditentukan, apakah
ada tanda-tanda penyakit ginjal kronis , insufisiensi ginjal, atau tanda-tanda yang
dapat mengecualikan kemungkinan sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) (Lane,

18
2013, Nanjundaswamy, Phadke, 2002). Oleh karena itu, di samping tes di atas,
berikut ini harus dimasukkan dalam hasil pemeriksaan:

1. Jumlah sel darah lengkap (Complete Blood Count (CBC)) – Peningkatan


hemoglobin dan hematokrit, jumlah trombosit meningkat

2. Panel metabolik - Elektrolit serum rendah, BUN dan kreatinin tinggi,


kalsium rendah, fosfor, dan kadar kalsium terionisasi normal

3. Pengujian untuk HIV, hepatitis B dan C - Pertimbangkan pemeriksaan


enzim hati, seperti alanin aminotransferase (ALT) dan aspartat
aminotransferase (AST), ketika skrining untuk penyakit hati.

4. Studi komplemen (C3, C4) – Kadar rendah

5. Antibodi antinuklear (ANA), antibodi anti–double-stranded DNA (pada


pasien yang dipilih)

Pada pasien dengan SNI dapat terjadi kehilangan protein yang mengikat
vitamin D, yang dapat mengakibatkan tingkat vitamin D rendah, dan globulin yang
mengikat tiroid, yang dapat mengakibatkan kadar hormon tiroid yang rendah.
Pertimbangan harus diberikan, terutama pada

anak yang sering kambuh atau sindrom nefrotik resisten steroid, untuk
melakukan pengujian untuk 25-OH-vitamin D, 1,25-di (OH)-vitamin D, T4 bebas, dan
thyroid-stimulating hormone (TSH) (Lane, 2013).

Tes dan prosedur lain pada pasien tertentu mungkin termasuk yang berikut:

1. Studi genetik - Mutasi NPHS1, NPHS2, WT1, dan LAMB2

2. Ultrasonografi ginjal - Ginjal biasanya membesar karena edema jaringan

19
3. Radiografi dada - Radiografi dada diindikasi pada anak dengan gangguan
pernapasan. Efusi pleura adalah umum, namun edema paru jarang terjadi

4. Uji Mantoux - Harus dilakukan sebelum pengobatan steroid untuk


menyingkirkan infeksi TB.
5. Biopsi ginjal - Biopsi ginjal juga harus dilakukan apabila hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik, atau laboratorium menunjukkan sindrom nefrotik
sekunder atau sindrom nefrotik primer selain SNKM

Umur memainkan peran penting dalam evaluasi diagnostik sindrom nefrotik.


Anak-anak yang mengalami sindrom nefrotik dibawah usia 1 tahun harus dievaluasi
untuk sindrom nefrotik kongenital (Lane, 2013). Selain tes di atas, bayi harus
dilakukan tes berikut:

1. Infeksi kongenital (sifilis, rubella, toksoplasmosis, sitomegalovirus, HIV)

2. Biopsi ginjal

3. Tes genetik untuk mutasi NPHS1, NPHS2, WT1, dan LAMB2


sebagaimana dibimbing berdasarkan temuan biopsi dan presentasi
klinis

Kadang-kadang, pasien dengan sindrom nefrotik juga menunjukkan atau


membentuk tanda-tanda klinis dari abdomen akut, yang sering karena peritonitis.
Diagnosis biasanya dapat dibuat secara klinis dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan
bakteriologis dari aspirasi cairan peritoneal. Organisme yang paling sering dijumpai
pada peritonitis adalah Streptococcus pneumoniae, namun bakteri enterik usus juga
dapat menyebabkan peritonitis. Penatalaksanaan adalah secara medis daripada
bedah (Lane, 2013).

20
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Tabel 1.6 Menu Sehari
Waktu Nama Bahan Kolestero
Hidangan Makanan Berat Energi Protein Lemak KH Na K l Vit. A Vit. C
07:00 Bubur ayam beras putih
giling 75 270.7 5 0.5 59.6 0 60.8 0 0 0
daging ayam 20 57 5.4 3.8 0 14.6 36.4 15.8 7.8 0
Carrot fresh 100 25.8 1 0.2 4.8 60 290 0 1574 7
jeruk manis 100 47.1 0.9 0.1 11.8 0 181 0 8 53
10:00 Klepon ubi ubi jalar putih 45 50.4 1.1 0 11.8 1.4 156.6 0 0 6.3
tepung sagu 30 114.3 0.1 0 27.4 2.7 0.9 0 0 0
gula merah 15 56.4 0 0 14.6 5.8 51.9 0 0 0
kelapa muda
daging 10 7 0.1 0.3 1 0.5 6.6 0 0 0
12:00 Nasi tim beras putih
giling 75 270.7 5 0.5 59.6 0 60.8 0 0 0
Sup bakso
ikan ikan tenggiri 20 22.4 4.3 0.5 0 11 92.2 6.6 8.6 0
tepung terigu 10 36.4 1 0.1 7.6 0.2 10.7 0 0 0
tepung
tapioka 5 19 0 0 4.6 0.4 0.2 0 0 0
Orak-arik kacang
kacang panjang
panjang mentah 50 17.4 0.9 0.2 4 1.5 149.5 0 33.5 5
minyak
kelapa sawit 10 86.2 0 10 0 0 0 0 500 0
Buah pisang mas 100 92 1 0.5 23.4 1 396 0 8 9
16:00 Kue cantik tepung
manis maizena 20 76.2 0.1 0 18.3 1.8 0.6 0 0 0
santan dan
air 45 159.3 1.5 15.1 6.8 9 160.2 0 0 1.4
gula pasir 10 38.7 0 0 10 0.1 0.2 0 0 0
19:00 Nasi tim beras putih
giling 75 270.7 5 0.5 59.6 0 60.8 0 0 0

21
Semur
daging giling daging sapi 20 53.8 5 3.6 0 10.6 68 15 0 0
kecap 10 6 1 0 0.6 558.6 21.2 0 0 0
minyak 8 69 0 8 0 0 0 0 400 0
Sup labu air labu air 100 20.1 0.9 0.3 4.3 1 192 0 29 6
Buah pepaya 100 39 0.6 0.1 9.8 3 257 0 135 62
21:00 Jus Apel apel 100 59 0.2 0.4 15.3 0 115 0 5 6
susu segar 20 13.2 0.6 0.8 1 11 28 2.8 11 0.2
gula pasir 16 61.9 0 0 16 0.2 0.3 0 0 0
Total
keseluruhan 2039.7 40.7 45.3 371.8 694.4 2396.7 40.2 2719.9 155.8
Kebutuhan
sehari 2080 39 46,2 377
Persentase 98,06% 104,3% 98,05% 98,6%

B. Pembahasan
Pada pengambilan data kali ini didapatkan kasus Sindrom nefrotik.
Sindrom nefrotik merupakan suatu penyakit ginjal yang terbanyak pada anak.
Penyakit tersebut ditandai dengan sindrom klinik yang terdiri dari beberapa gejala
yaitu proteinuria masif (>40 mg/m2LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin
sewaktu >2 mg/mg atau dipstick ≥ 2+), hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dL, edema, dan
hiperkolesterolemia.
Sindrom nefrotik, suatu manifestasi penyakit glomerular, ditandai dengan
proteinuria berat (ekskresi protein ≥ 40 mg/m 2LPB/jam, atau rasio albumin/kreatinin
pada urin sewaktu > 2 mg/mg, atau dipstick ≥ 2+), hipoalbuminemia, edema, dan
dapat disertai hiperlipidemia (Pais, Avner, 2011, Nanjundaswamy, Phadke, 2002).
Keadaan inilah yang dialami oleh An. Cornelius Cristelligo berumur 7 tahun datang
ke RSUD Dr. Soedarso Pontianak dengan rujukan dari RSUD Ade Muhammad Djoen
Sintang. Ia didiagnosa Sindrom nefrotik, datang ke Rumah Sakit dengan keluhan
terjadi pembengkakan (edema) seluruh tubuh kurang lebih sudah 3 hari yang lalu,
dan mengalami mual muntah. Pasien menyukai makanan dan minuman cepat saji,
suka jajan dikarenakan rumah pasien dekat dengan warung.
Menurut Ibunya, pasien sangat menyukai sosis, mie instan, minuman instan
seperti pop ice, segar sari, dan ale-ale. Pola makan pasien yaitu pasien makan tidak
teratur nasi setiap hari dan diselingi mie instan, ikan 3x seminggu, daging ayam 1x

22
seminggu, telur ayam 3x sehari biasanya digoreng dan direbus dengan mie instan.
Frekuensi mie instan kadang 2x sehari, dalam seminggu >7 kali. Pasien menyukai
buah dan tidak menyukai sayur, makan buah 2-3x seminggu. Minum minuman yang
bersachet/instan kadang 2x sehari, susu kental manis 1x sehari, teh manis kadang
2x sehari tergantung keinginannya.
Pasien diberikan Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT). Adapun identifikasi
masalah yang didapatkan yaitu pada riwayat makan didapatkan bahwa asupan
pasien yaitu asupan energi, protein, lemak, dan karbohidrat defisit (kurang), ini
dikarenakan keadaan fisiologis pasien yaitu adanya mual dan muntah berdasarkan
teori yaitu penderita sindrom nefrotik akan mudah mengalami gejala gangguan
pencernaan seperti mual serta muntah dan/atau diare.
Riwayat makan pasien dahulu yaitu pasien menyukai makanan dan minuman
cepat saji, pola makan pasien yang tidak baik dalam sebuah penelitian dalam hal ini
para pakar dan dokter menyebutkan makanan seperti fast food dan junk food menjadi ancaman
utama bagi kesehatan. Hal tersebut dikarenakan makanan-makanan yang disediakan banyak
mengandung lemak jenuh, lemak trans, dan natrium. Selain itu, fast food dan junk food
mengandung kalori yang tinggi dan rendah gizi.World Health Organization (WHO) secara
serius membahas mengenai dampak buruk makanan fast food dan junk food seperti makanan
asinan mengandung kadar garam sangat tinggi dapat memberatkan kerja ginjal, mengiritasi
lambung dan usus, Makanan daging yang diproses seperti sosis, ham, dan lain-lain,
mengandung bahan pewarna dan pengawet yang membahayakan organ hati. Selain itu, kadar
natrium yang tinggi menyebabkan hipertensi dan gangguan ginjal, hingga bisa memicu
kanker, mie instant mengandung bahan pengawet serta kadar garam di dalam mie instant
menyebabkan kerja ginjal menjadi berat.
Berdasarkan data antropometri pasien menderita kurang gizi (IMT 76,92%) ini
dikarenakan intake energi, protein, lemak, dan karbohidrat pasien defisit.
Berdasarkan data biokimia didapatkan bahwa kadar BUN tinggi (26/06 82
mg/dL, 29/06 90,3 mg/dL), kreatinin tinggi 3,4 mg/dL, kolesterol tinggi (226 mg/dL),
albumin rendah 2,45 g/dL, kadar protein urine trace. BUN adalah produk akhir dari
metabolisme protein, dibuat oleh hati, sampai pada ginjal tidak mengalami perubahan
molekul. Peningkatan kadar BUN terjadi pada dehidrasi, konsumsi protein yang
tinggi, gagal ginjal, sepsis, AMI, dan DM. Kreatinin merupakan produk akhir dari
metabolisme kreatinin otot dan kreatinin fosfat (protein). Pemeriksaan kreatinin
serum berguna untuk mengevaluasi fungsi glomerulus yang hasilnya lebih spesifik

23
dari pada BUN (Joyce L.F.K). Peningkatan kreatinin dalam darah menunjukkan
adanya penurunan fungsi ginjal dan penyusutan massa otot rangka. Ketika ada
kerusakan ginjal atau penyakit ginjal kronis yang menyebabkannya tidak dapat
menyaring limbah secara efisien, maka dapat menyebabkan kenaikan kadar kreatinin
dalam darah. Oleh karena itu bagi orang dewasa dengan penyakit ginjal yang
memiliki kadar keratinin darah tinggi, maka dianjurkan untuk melakukan pencucian
darah. Cuci darah atau dialisis dianjurkan bila kadar kreatinin mencapai 10,0 mg/dL.
Sedangkan pada bayi dengan penyakit ginjal, dialisis dianjurkan bila kadar
kreatinin mencapai 2,0mg/dL. Pada penderita gangguan ginjal juga mengalami
peningkatan kadar kolesterol dalam darah, Hal ini disebabkan terjadinya
gangguan pada metabolisme protein, lemak, serta karbohidrat dan
ginjal yang sudah terganggu ini tidak menahan jumlah protein darah.
Gejala kadar albumin darah yang berkurang, adanya protein dalam air seni, dan
edema (bengkak pada bagian-bagian tubuh) merupakan tanda-tanda dari sindrom
nefrotik akibat kerusakan ginjal. Kadar albumin rendah pada pasien bisa
menyebabkan meningkatnya risiko morbiditas dan mortalitas. Albumin memengaruhi
75-80 persen tekanan osmotik koloid dari plasma normal artinya albumin sangat
berpengaruh pada tekanan kapiler pembuluh darah. Albumin berperan mengikat
cairan tubuh agar tidak bocor keluar dari pembuluh darah. Bila kadar senyawa ini
turun, maka cairan akan keluar jaringan tubuh dan tubuh akan membengkak
(edema). Tekanan kapiler ini juga sangat berpengaruh pada fungsi ginjal dalam
menyaring darah.
Diagnosa Gizi pasien yaitu kekurangan intake makanan dan minuman oral
(energi, protein, lemak, dan karbohidrat) berkaitan dengan keadaan fisiologis pasien
yaitu adanya mual dan muntah ditandai dengan hasil recall pasien selama 3 hari
defisit (kurang) yaitu energi 248,9 kkal (11,7%), protein 11,1 gram (28,5%), lemak
13,1 gram (28,4%), dan karbohidrat 22,3 gram (5,9%), Penurunan kebutuhan zat gizi
protein berkaitan dengan disfungsi ginjal ditandai dengan kadar lab kolesterol tinggi
(226 mg/dL), BUN tinggi (26/06 82 mg/dL, 29/06 90,3 mg/dL), albumin rendah 2,45
g/dL, dan kreatinin tinggi 3,4 mg/dL, ketidaksesuaian intake asam amino berkaitan
dengan disfungsi ginjal ditandai dengan kadar BUN tinggi (26/06 82 mg/dL, 29/06
90,3 mg/dL), perubahan nilai lab terkait zat gizi protein dan lemak berkaitan dengan
penyakit pasien yaitu sindrom nefrotik ditandai hasil lab BUN tinggi (26/06 82 mg/dL,
29/06 90,3 mg/dL), kreatinin tinggi 3,4 mg/dL, albumin rendah 2,45 g/dL, dan

24
kolesterol tinggi (226 mg/dL), berat badan kurang berkaitan dengan intake energi
yang kurang ditandai dengan status gizi pasien yaitu 76,92% (kurang gizi), dan
kelebihan intake cairan berkaitan dengan disfungsi ginjal ditandai dengan terjadinya
pembengkakan (edema) diseluruh tubuh dan kadar albumin rendah 2,45 g/dL.
Pasien diberikan terapi diet sindrom nefrotik dengan frekuensi 3x makanan
utama dan 3x makanan selingan dengan rute oral dan bentuk makanan lunak.
Adapun tujuan diet pasien yaitu untuk mencukupi kebutuhan energi, protein, lemak,
dan karbohidrat pasien dengan memberikan makanan sesuai kebutuhan pasien,
memberikan makanan sesuai dengan keadaan dan kondisi pasien yaitu adanya mual
dan muntah, mengganti kehilangan protein terutama albumin, mengurangi edema
dan menjaga keseimbangan cairan tubuh, dan memonitor hiperkolesterolemia.
Pasien diberikan energi sebesar 2080 kkal, protein 39 gram, lemak 46,2 gram,
dan karbohidrat 377 gram, natrium dibatasi maksimal 4 gram untuk mengurangi
edema, serta kolesterol dibatasi >300 mg perhari. Pasien juga diberikan menu sehari
berupa makan pagi bubur ayam dengan buah jeruk manis, snack pagi dengan klepon
ubi, makan siang berupa nasi tim, sup bakso ikan, orak arik kacang panjang, serta
buah pisang singapore snack sore diberikan kue cantik manis makan malam
diberikannasi tim, semur daging giling, sup labu air, dan buah pepaya snack malam
dengan jus apel. Pemilihan bahan makanan sudah termasuk aman untuk dikonsumsi
pasien yaitu tidak menimbulkan gas, tidak mengandung tinggi natrium, dan tidak
mengandung tinggi kolesterol. Di RSUD Dr. Soedarso kami tidak melakukan
intervensi kepada pasien seperti pemberian menu sehari secara langsung sehingga
kami tidak dapat melihat perkembangan jumlah asupan zat gizi yang dikonsumsi
pasien apakah meningkat atau menurun setelah dilakukan intervensi.
Pasien juga diberikan terapi edukasi yang bertujuan untuk pasien mengetahui
bagaimana pola makan yang baik sesuai aturan gizi seimbang, agar pasien
mengertahui garis besar penyakit yang dialami, prinsip diet, serta syarat dietnya,
serta memberikan edukasi dan motivasi kepada pasien dan keluarga.

25
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Sindrom nefrotik merupakan suatu penyakit ginjal yang terbanyak pada anak.
Penyakit tersebut ditandai dengan sindrom klinik yang terdiri dari beberapa
gejala yaitu proteinuria masif (>40 mg/m2LPB/jam atau rasio protein/kreatinin
pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstick ≥ 2+), hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dL,
edema, dan hiperkolesterolemia.
2. Pasien atas nama An. Cornelius didiagnosa sindrom nefrotik pasien datang ke
RS dengan keluhan terjadi edema seluruh tubuh, kadar BUN tinggi, kreatinin
tinggi, kolesterol tinggi, dan albumin rendah.
3. Pasien diberikan diet sindrom nefrotik dengan frekuensi 3x makanan utama,
dan 3x makanan selingan dan bentuk makanan lunak.

B. Saran
Diet yang diberikan harus lebih mempertimbangkan keadaan fisiologis
serta daya terima pasien sehingga kebutuhan pasien dapat tercukupi.

26
DAFTAR PUSTAKA

Wiwit Marhendi. (2013, 9 November). Sindrom Nefrotik diperoleh 4 Juli


2018, dari http://marhendiwiwit.com/2013/11/ makalah-sindroma nefrotik.html

27

Anda mungkin juga menyukai