[go: up one dir, main page]

0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
47 tayangan26 halaman

Bab Ii

Bab ini membahas tentang tinjauan pustaka yang terdiri dari profil Kecamatan Pontang sebagai kawasan minopolitan perikanan dan pengertian bakteri beserta jenis dan peranannya dalam proses penguraian.

Diunggah oleh

Ayezcca
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online di Scribd
0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
47 tayangan26 halaman

Bab Ii

Bab ini membahas tentang tinjauan pustaka yang terdiri dari profil Kecamatan Pontang sebagai kawasan minopolitan perikanan dan pengertian bakteri beserta jenis dan peranannya dalam proses penguraian.

Diunggah oleh

Ayezcca
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online di Scribd
Anda di halaman 1/ 26

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Profil Kecamatan Pontang Kabupaten Serang

Kecamatan Pontang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Serang


Provinsi Banten. Kecamatan ini terletak di bagian utara Kabupaten Serang pada
pesisir Teluk Banten yang berbatasan dengan Laut Jawa. Bagian timur Kecamatan
Pontang berbatasan dengan Kecamatan Tirtayasa. Sedangkan bagian barat
berbatasan dengan Kecamatan Ciruas dan Kota Serang serta bagian Selatan dengan
Kecamatan Lebak Wangi (BPS Kab. Serang, 2017).
Kecamatan Pontang mempunyai potensi sektor perikanan yang besar.
Sesuai dengan Peraturan Daerah Nomer 2 Tahun 2013 wilayah ini merupakan zona
perikanan budidaya air payau, air laut dan air tawar. Peraturan Daerah Kabupaten
Serang No. 7 Tahun 2016 tentang RPJMD Kabupaten Serang menyebutkan bahwa
prioritas pembangunan kelautan dan perikanan tahun 2016-2021 adalah
Pengembangan Perikanan dan Kawasan Minopolitan. Berdasarkan peraturan
tersebut, Kecamatan Pontang merupakan salah satu kawasan minopolitan perikanan
budidaya. Minapolitan adalah konsepsi pembangunan ekonomi kelautan dan
perikanan berbasis kawasan berdasarkan prinsip-prinsip terintegrasi, efisiensi,
berkualitas dan percepatan. Sedangkan pengertian kawasan minapolitan sesuai
dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor. 12 Tahun 2010, adalah
suatu bagian wilayah yang mempunyai fungsi utama ekonomi dan terdiri dari sentra
produksi, pengolahan, pemasaran komoditas perikanan, pelayanan jasa, dan/atau
kegiatan pendukung lainnya.
Sumber daya alam yang didukung dengan kondisi lingkungan yang baik
pada pesisir di Teluk Banten Kabupaten Serang mempunyai potensi besar untuk
pengembangan budidaya udang baik secara intensif atau semi intensif. Salah satu
kecamatan di wilayah tersebut yaitu Kecamatan Pontang (Sitorus et al., 2005;
Farkan et al., 2017). Potensi yang ada telah dimanfaatkan oleh masyarakat menjadi
tambak tradisional, intensif atau semi intensif.
7

Tata letak tambak yang tidak beraturan dan pengelolaan air yang tidak baik
pada kawasan tersebut berpotensi terjadi penyebaran bahan pencemar. Bahan
pencemar tesebut dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu biotik dan abiotik.
Bahan pencemar biotik seperti algae, parasit, bakteri dan virus. Sedangkan bahan
pencemar yang berasal dari abiotik yaitu nitrat dan fosfat.

Gambar 2.1 Kecamatan Pontang sebagai Kawasan Minopolitan


Sumber : (Bapenas Kabupaten Serang, 2017).

2.2 Bakteri

2.2.1 Pengertian Bakteri

Bakteri bersama dengan Archaea termasuk dalam golongan prokariotik.


Golongan prokariotik merupakan mikroorganisme yang mempunyai sel dengan
intisel primitif, materi inti tersebar pada sitoplasma, tidak mempunyai membran inti
sel, dinding sel terbentuk dari peptidoglikan, dan ukuran antara 0,15 sampai dengan
15 µm (Holt et al., 2007; Suwarni, 2015). Secara umum bakteri terdiri dari 11
bagian tubuh yaitu kapsul, dinding sel, membran plasma, mesosoma, sitoplasma,
ribososom, DNA, granula, vakuola, klorosom, flagella, dan fimbria. Kapsul
8

merupakan lapisan paling luar yang menyelimuti dinding sel. Kapsul biasanya
dimiliki oleh bakteri yang hidup menempel pada organisme lain dan biasanya
bersifat patogen. Sedangkan bakteri pengurai biasanya tidak memiliki kapsul tetapi
memiliki lapisan lendir. Dinding sel berfungsi mempertahankan bentuk sel,
melindungi fisik, menjaga sel agar stabil, dan tidak hancur pada lingkungan
hipotonis (tekanan yang lebih rendah). Membran plasma berfungsi membungkus
sitoplasma dan mengatur pertukaran zat yang ada didalam sel dengan zat-zat diluar
sel. Mesosom berfungsi untuk menghasilkan energi, membentuk dinding sel baru
ketika terjadi pembelahan sel serta menerima DNA disaat konjugasi. Sitoplasma
berfungsi sebagai tempat terjadinya reaksi-reaksi metabolisme. Ribosom adalah
organel berukuran kecil yang menyebar di dalam sitoplasma dan berfungsi dalam
sintesis protein. Ribosom terususun dari senyawa protein dan RNA. Bakteri
memiliki dua DNA (Deuxyribonucleic acid) yakni DNA kromosom dan DNA
nonkromosom (plasmid). Granula-granula pada bakteri berfungsi sebagai tempat
menyimpan cadangan makanan.
Bakteri yang melakukan fotosintesa mempunyai vakuola gas dan klorosom.
Vakuola yang memungkinkan bakteri mengapung di permukaan air untuk
melakukan fotosintesa dengan bantuan sinar matahari. Klorosom berisi klorofil
yang terdapat dibawah lipatan membran plasma yang berfungsi untuk fotosintetis.
Flagela terdapat pada bakteri yang bergerak (motil), organ ini terdapat pada dinding
sel berupa bulu cambuk yang tersusun dari senyawa protein yang berfungsi sebagai
alat gerak. Fimbria adalah rambut-rambut berdiameter lebih kecil dari flagella,
menempel di sekitar dinding sel, struktur seperti flagela. Fimbria juga berfungsi
membantu melekatkan bakteri pada media dan sel bakteri lainnya sehingga terjadi
transfer DNA saat terjadinya konjugasi.

2.2.2 Jenis-jenis Bakteri

Bakteri menurut kebutuhan oksigen dibedakan menjadi 3 yaitu:


1. Bakteri aerob obligat adalah bakteri yang mampu tumbuh dan berkembang
dengan keberadan oksigen;
9

2. Bakteri anaerob obligat adalah bakteri yang mampu tumbuh dan berkembang
tanpa oksigen;
3. Bakteri anaerob fakultatif adalah bakteri yang mampu tumbuh dan berkembang
tanpa oksigen maupun dengan keberadaan oksigen.
Bakteri menurut cara memperoleh makanan dibedakan menjadi 2 yaitu:
1. Bakteri autotrof adalah bakteri yang membuat makanan sendiri dengan
memanfaatkan bahan anorganik di lingkungan menjadi bahan organik;
2. Bakteri heterotrof adalah bakteri hidupnya dengan mengambil zat organik di
lingkungan karena tidak mampu menyusun sendiri zat organik.
Bakteri heterotrof berdasarkan cara memperoleh makanannya dibedakan
menjadi 2 yaitu:
1. Bakteri saprofit adalah bakteri yang mendapatkan makanan (zat organik) dari
sampah, kotoran, bangkai;
2. Bakteri patogen/parasitik adalah bakteri yang memperolah makanannya (zat
organik) dari inangnya.
Bakteri melalui pewarnaan gram yaitu menurut struktur dan susunan
dinding sel dapat dibedakan menjadi 2 yaitu:
1. Bakteri gram positif yaitu hasil pewarnaan gram menunjukkan warna ungu,
mempunyai dinding sel yang tebal (15-80 µm) dan komposisi lipid yang rendah
(1-4%) serta peptidoglikan lebih banyak (sampai dengan 50%).
2. Bakteri gram negatif yaitu hasil pewarnaan gram menunjukkan warna merah
muda, mempunyai dinding sel yang relatif lebih tipis (10-15 µm) dan komposisi
lipid yang lebih tinggi (11-22%) serta petidoglikan yang lebih rendah yaitu ±
10% (Pelczar et al., 1981).

2.2.3 Bakteri dan Proses Penguraian

Lingkungan dan bakteri merupakan hal yang saling terkait dimana bakteri
berperan dalam proses dekomposisi, terkait dengan siklus nutrien serta aliran
energi. Polutan bagi bakteri heterotrof/autotrof merupakan sumber nutrien yang
dapat digunakan dalam metabolismenya sehingga dapat dikatakan bakteri
mempunyai peran dalam lingkungan (Azam dan Malfatti, 2007). Bakteri heterotrof
10

memanfaatkan polutan organik sebagai sumber nutrient. Purushothaman dan


Jayalakshmi (2006) menyatakan bahwa bakteri heterotrof berperan sebagai
pengurai karbon, nitrogen dan fosfat. Secara umum, jenis bakteri heterotrof yang
ditemukan di perairan tawar dan estuarin berbeda. Vibrio, Pseudomonas dan
Bacillus banyak ditemukan di lingkungan estuarin. Bakteri Bacillus dan
Pseudomonas mempunyai peran mendegradasi protein dan kitin, sedangkan Vibrio
mampu mendegradasi kitin (Lyla and Khan, 2006).
Kelimpahan bakteri pada suatu perairan dikaitkan dengan perannya sebagai
pengurai bahan organik. Semakin tinggi kelimpahannya di perairan mengindikasin
bahwa pada lingkungan tersebut mempunyai bahan organik yang tinggi pula. Bahan
organik yang tinggi pada suatu perairan dapat menunjukkan bahwa perairan
tersebut tercemar. Kelimpahan bakteri heterotrof pada hutan mangrove berkisar
760x106-5.620x106 (Alva et al., 2017). Sutiknowati (2018) menyebutkan perairan
dengan kondisi bersih di Pulau Weh mempunyai kelimpahan bakteri heterotrof
sebesar 2x102-1,05x106 CFU/mL. Pantai dengan lamun mempunyai kelimpahan
bakteri heterotrof sebesar 3,3 x108-29,4x108 (Yunita et al., 2018). Kelimpahan
bakteri heterotrof pada budidaya dengan sistem silvofishery sebesar 1,5-6,5.102
CFU/mL (Setyastuti et al., 2020). Sedangkan Taslihan (2017) menyebutkan bahwa
perairan dengan kelimpahan bakteri sebesar 106 berbahaya bagi nekton terutama
udang.
Peran bakteri lingkungan banyak dimanfaatkan untuk melakukan remidiasi
atau perbaikan kondisi di suatu lingkungan. Siklus biogeokimia dalam lingkungan
meliputi siklus nitrogen, karbon, sulfur dan phosphor pada perairan. Siklus-silkus
tersebut tidak lepas dari peran mikroorganisme termasuk bakteri. Nitrogen di
daratan dapat masuk ke perairan melalui aliran air dari kegiatan pertanian,
perternakan serta kegiatan rumah tangga. Nitrogen juga dapat berasal dari udara
yang memasuki perairan melalui tetesan air hujan (Follett and Hatfield, 2001).
Selain itu, nitrogen pada perairan juga dapat berasal dari sisa pakan dan
metabolisme pada kegiatan budidaya ikan (Garno, 2004; Bayu et al., 2016; Saut et
al., 2018). Pada siklus nitrogen atau yang sering disebut biogeokimia nitrogen
terjadi 5 proses yaitu amonifikasi, nitrifikasi, asimilasi nitrogen, denitrifikasi, dan
11

fiksasi nitrogen. Siklus biogeokimia ini melibatkan bakteri dalam proses


perombakannya. Proses tersebut diawali nitrogen organik dari sisa pakan dan
metabolisme diubah menjadi amonia (NH3) yang disebut dengan amonifikasi.
Nitrifikasi merupakan proses oksidasi amonia menjadi nitrit dan oksidasi nitrit
menjadi nitrat. Asimilasi nitrogen merupakan proses pemanfaatan nitrogen oleh
organisme lain untuk pembentukan asam amino seperti pada bakteri, alga seluler,
diatome dan tumbuhan tingkat tinggi lainnya. Denitrifikasi merupakan proses
reduksi nitrat (NO3) menjadi Nitrit (NO2), gas nitrous oxide (N2O) dan molekul
nitrogen (N2). Fiksasi nitrogen merupakan suatu reaksi pengikatan gas nitrogen
menjadi amonia dan nitrogen organik yag melibatkan bakteri dan algae
(Hargreaves, 1998).
Aktivitas bakteri pada siklus nitrogen pada perairan estuarin terutama pada
kawasan daerah mangrove melibatkan bakteri AOB (Ammonia Oxidizing Bacteria)
dan NOB (Nitrite Oxidizing Bacteria) yang berperan pada proses nitrifikasi, DNRA
(dissimilatory nitrate reduction to ammonium) serta bakteri yang berperan pada
amonifikasi, denitrifikasi. Aktivitas nitrifikasi banyak dilakukan oleh bakteri
autotroph seperti Nitrosomonas, Nitrosococcus, Nitrospira, Nitrosolobus, dan
NitrosoVibrio. Aktivitas denitrifikasi pada umumnya dilakukan oleh bakteri
heterotrof fakultatif anaerob seperti Alteromonas, Pseudomonas, Eryhrobacter,
Alcaligenes, Aquaspirillum, dan Brachymonas denitrificans (Zumft, 1992; Leta et
al., 2004; Hastuti, 2011). Aktivitas bakteri nitrogen dalam siklus nitrogen lebih
banyak menghasilkan amonia (NH3) yang terdapat pada sedimen, hal tersebut
terkait proses amonifikasi yang dilakukan oleh bakteri heterotrof yang mampu
menggunakan nitrogen organik menjadi amonium (Iswantari et al., 2014).
Penggunaan bakteri untuk meremidiasi total ammonia nitrogen (TAN)
untuk mengurangi keberadaan nitrogen yang bersifat toksit dalam perairan
budidaya saat ini menjadi tren. Susanti et al., (2014) dan Silva (2013) menyebutkan
bahwa bakteri yang efektif untuk mengurangi nilai TAN dalam perairan estuarin
adalah bakteri heterotrofik seperti Campylobacter, Listeria dan Nitrosococcus.
Bakteri Candidatus Scalindua sp yang tergolong pada Proteobacteria juga mampu
12

meremidiasi nitrogen tinggi yang terdapat pada air dengan salinitas tinggi (Ali,
Shaw and Saikaly, 2020).
Selain nitrogen, terdapat sulfur yang merupakan bahan pencemar. Sulfur di
perairan terutama pada lingkungan budidaya ikan berasal dari akumulasi sisa pakan
dan metabolisme serta dari limbah yang terendap pada sedimen. Sulfur tersebut
akan dirombak menjadi hidrogen sulfida (H2S) dengan peran dari bakteri sulfat
reducing bacteria (SRB) dan merupakan bakteri heterotrof anaerob. Keberadaan
bakteri tersebut juga diduga mampu mengubah asam sulfat (H2SO4) yang
merupakan zat beracun menjadi H2S (Fahruddin dan Abdullah, 2018). Pada
sedimen perairan yang terlalu banyak terakumulasi dengan H2S akan berwarna
hitam dan bau yang bersifat toksit bagi nekton. Penggunaan kincir air dan probiotik
pada tambak sangat membantu mengurangi H2S (Hidrogen sulfida), thiosulfate dan
elemen sulfur tersebut akan digunakan oleh bakteri sulfur oxidazing bacteria (SOB)
sebagai elektron aseptor. Bakteri tersebut merupakan bakteri aerob yang banyak
ditemukan di lapisan sedimen atas. Bakteri-bakteri yang melakukan SOB adalah
ThioBacillus sp, Bagiatoa sp, Thiothrix sp, dan Thiovullum sp (Gunarto, 2006).
Kadar H2S pada perairan juga dikaitkan dengan jenis tanah dasar perairan
dan kandungan oksigen serta pada tambak juga dipengaruhi oleh diameter central
outlet. Pada sedimen yang berpasir, tanah bersifat porus dengan kadar oksigen
terlarut lebih besar dan bakteri pengoksidasi sulfur yang menermpel pada butiran
pasir lebih banyak melakukan oksidasi sehinggai akumulasi H2S rendah. Pada
tambak dengan diameter central drain yang besar juga berpengaruh pada semakin
banyaknya sedimen yang terbuang ke luar tambak dimana pada sedimen tersebut
banyak terdapat bahan organik yang ikut terbuang sehingga kadar H2S juga rendah
(Triani et al., 2005).

2.2.4 Bakteri Patogen pada Ikan

Bakteri banyak ditemukan pada lingkungan perairan, sebagian sebagai


dekomposer dan sebagian bakteri sebagai parasit bagi biota lain. Bakteri yang
bersifat parasit erat kaitannya dengan bakteri patogen dimana bakteri tersebut
menempel pada biota lain dan memanfaatkannya sebagai sumber energi. Bakteri
13

tersebut menyebabkan kerugian bagi biota yang ditumpanginya. Keberadaan


bakteri tersebut dapat menimbulkan penyakit bagi inangnya apabila interaksi antara
lingkungan, agen patogen dan inang tidak seimbang (Sarjito et al., 2013). Faktor
lingkungan meliputi kualitas air fisika, kimia dan biologi serta kondisi sekitar
perairan. Faktor patogen meliputi jenis, jumlah dan keganasan agen patogen,
sedangkan umur, jenis dan kondisi nektonsa merupakan faktor inang.
Jenis bakteri patogen yang menginfeksi pada ikan perairan tawar akan
berbeda dengan estuarin. Pada air tawar ditemukan bakteri patogen seperti
Aeromonas sp, Pseudomonas sp, kelompok Enterobacter seperti Yersinia ruckerii,
Edwarshiella tarda, Edawarshiella ictaluri (Austin and Austin, 2012). Yersinia
ruckerii sebagai bakteri patogen yang biasa ditemukan pada pada air tawar, juga
ditemukan pada biota laut seperti brachiopods, scallops, and crustacea yang juga
berpotensi patogen. Hal tersebut telihat adanya aktivitas imunologi yang
merupakan mekanisme reaksi suatu biota akan adanya infeksi (Chistyulin et al.,
2017). Bakteri Vibrio dan bakteri jenis lainnya banyak di temukan pada perairan
estuarin dan umumnya bakteri tersebut merupakan bakteri oppurtunistik yang
berpotensi patogen bagi inangnya apabila kondisi tidak seimbang. Pada saluran
cerna udang windu ditemukan bakteri Vibrio sp. dan Photobacterium damselae
yang merupakan bakteri patogen pada ikan, tetapi tidak dilaporkan bahwa udang
windu tersebut menunjukkan sakit (Mongkol et al., 2017).

Inang Lingkungan

Penyakit

Bakteri
(Agen Patogen)

Gambar 2.2 Hubungan interaksi antara inang, bakteri patogen dan lingkungan,
penyebab penyakit
(Sumber : Sarjito et al., 2013)
14

Infeksi bakteri Vibrio parahaemolitycus pada udang menyebabkan penyakit


Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease (AHPND) yang dilaporkan pertama kali
pada 2010 di China dan berlanjut ke Malaysia, Vietnam, Thailand, India sampai ke
negara-nagara lain. Penyakit ini yang telah menyebabkan kerugian dan dampak
negatif pada bidang ekonomi, sosial, konservasi, lingkungan (Flegel, 2012; FAO,
2013). Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease ini diduga disebabkan oleh Vibrio
parahaemolitycus yang mempunyai zat toksin Pir A dan Pir B (OIE, 2019a). Tiga
tahun terakhir mulai ditemukan bakteri lain penyebab penyakit tersebut, yaitu
Vibrio campbellii, Vibrio harveyi dan Vibrio owensii (Mongkol et al., 2017; Liu et
al., 2018; Wangman et al., 2018). Kelompok bakteri Vibrio juga diketahui
menyebabkan penyakit Vibriosis yang banyak menyerang udang di Indonesia.
Serangan bakteri tersebut menimbulkan kerugian yang cukup besar. Bakteri
patogen tersebut adalah Vibrio vulnificus, Vibrio mimicus, Vibrio damsela, Vibrio
parahaemolytics, Vibrio fluvialis (Sarjito et al., 2015).
Selain jenis bakteri, kelimpahan bakteri juga berpengaruh pada serangan
penyakit. Vibrio yang merupakan bakteri opurtunistik harus dikendalikan
kelimpahannya. Kharisma dan Manan (2012) menyebutkan bahwa kelimpahan
Vibrio sp sebesar 104 CFU/ml berpotensi menyebabkan penyakit Vibriosis pada
udang. Udang yang terpapar Vibrio pada kelimpahan 104 CFU/ml masih terlihat
sehat tetapi mulai menunjukkan gejala sakit dan akan menjadi sakit apabila terpapar
dalam waktu panjang. Kelimpahan bakteri Vibrio 105 CFU/ml akan membuat
kematian udang setelah 12 jam terpapar (Kurniawan et al., 2014). Taslihan (2017)
dan Sani et al. (2020) juga menyebutkan bahwa kolam dengan kelimpahan bakteri
Vibrio sebesar 104 CFU/ml akan menyebabkan sakit pada ikan dan terlihat
ketidaknormalan pada hepatopankreasnya.
Keberadaan bakteri patogen pada ikan dapat dikendalikan dengan
menggunakan bakteri jenis lain dengan cara menghambat pertumbuhannya. Feliatra
et al. (2019) melaporkan bahwa Bacillus cereus, Pseudomonas aeruginosa mampu
menghambat bakteri patogen pada ikan seperti Vibrio sp, Aeromonas hydrophila
dan Pseudomonas sp. Keberadan bakteri-bakteri patogen pada nekton juga dapat
menyebabkan infeksi pada manusia. Vibrio parahaemolitycus dan Edwarshiella
15

tarda yang merupakan bakteri patogen pada nekton yang dapat menginfeksi
manusia. Bakteri tersebut dapat menyebabkan penyakit lampung.

2.3 Saprobitas

Saprobitas menggambarkan kondisi biologi perairan yang disebabkan oleh


pencemaran bahan organik. Saprobitas biasa digunakan untuk mengetahui kondisi
pencemaran/kesuburan perairan berdasarkan taksonomi dan analisa kuantitatif
organisme penyusun lingkungan. Organisme tersebut mulai dari prokariot, algae,
dan protozoa sampai tumbuhan tingkat tinggi serta vertebrata seperti ikan.
Hubungan organisme tersebut sailing berkaitan satu dengan yang lainnya.
Keberadaan bakteri yang berperan dalam berbagai siklus dekomposisi yang mampu
menyediakan nutrien yang dapat digunakan oleh fitoplankton dan tumbuhan air
lainnya. Secara langsung dan tidak langsung, keberadaan fitoplankton tersebut akan
berperan pada komposisi organisme suatu perairan. Keberadaan fitoplankton
tersebut digunakan sebagai indikator pencemaran/kesuburan. Komposisi
fitoplankton pada suatu perairan, terutama pada tambak intensif biasanya akan
berubah-ubah (mengalami suksesi) yang dipengaruhi oleh kondisi kualitas air.
Amoniak-N serta perbandingan nitrogren dan posphorus yang sangat berperan
penting pada perubahan kompisisi tersebut (Qiao et al., 2020). Komposisi dan
kelimpahan plankton pada tambak tradisional yang tidak dilakukan pengelolaan air
menunjukkan nilai rendah (Suwandan et al., 2018).
Zahradkova dan Soldan (2008) menyebutkan saprobitas secara garis besar
dibedakan menjadi 4 kategori yaitu:
1. Catharobitas, merupakan air bawah tanah yang tidak tercemar seperti air
sumber air minum;
2. Limnosaprobitas, merupakan air permukaan yang menunjukkan level
pencemaran yaitu xenosaprobitas, oligosaprobitas, ß-mesosaprobitas, ӓ-
mesosaprobitas, polysaprobitas;
3. Eusaprobitas, merupakan air limbah;
4. Transsaprobitas, merupakan air yang terkontaminasi dimana bahan organik
sama sekali tidak bisa didekompisisi sehingga perairan bersifat toksik.
16

Mez (1898) dalam Persoone (1978) membagi tingkatan saprobitas menjadi


4 (empat) kategori yang berkaitan dengan organisme yang berada di lingkungan
yaitu:
1. Polisaprobik (perairan tercemar berat)
Kondisi perairan biasanya ditandai dengan oksigen terlarut rendah dan
cenderung anaerob. Senyawa kimia yang ada adalah amonia, hidrogen sulfida
dan karbondiaoksida pada konsentrasi tinggi. Kondisi tersebut bersifat toksik
dan tingkat kesuburan rendah, hanya organisme tertentu yang mampu
mentoleransinya seperti ganggang hijau, rhyzopoda, zooflagelata, protozoa
bersilia, cacing tubifex, Chrinomuthummi dan tidak ditemukan ikan pada
perairan tersebut.
2. α – Mesosaprobik (perairan dengan pencemaran sedang sampai berat)
Asam amino dan asam lemak akan ditemukan pada perairan ini. Proses oksidasi
menurun karena keberadaan oksigen bebas mulai banyak, akumulasi hidrogen
sulfida yang ditandai air menjadi hitam dan bau menyengat. Perairan ini bukan
perairan yang subur. Organisme yang biasa berada pada perairan ini adalah
jamur dan biasanya didominasi oleh bakteri Sphaerotilus natans.
3. β – Mesosaprobik (perairan dengan pencemaran sedang sampai ringan)
Perairan bersifat aerobik sehingga fotosintesa masih dapat terjadi yang ditandai
dengan melimpahnya vegetasi air dan proses dekomposisi oleh mikroorganisme
masih bisa berlangsung. Banyak organisme makrobenthos yang hidup pada
kondisi ini seperti moluska, insekta, cacing hirudinae serta ikan dari golongan
cyprinid.
4. Oligosaprobik (perairan dengan pencemaran ringan)
Perairan yang ditandai dengan oksigen yang melimpah dan semua proses
biogeokimia masih berjalan dengan baik.
Trophic-Saprobik (TROSAP) merupakan metode analisa struktur
komunitas jasad renik untuk evaluasi kualitas air, terutama ditinjau dari derajat
pencemaran dan tingkat kesuburan di dalam badan air. Trosap biasanya digunakan
juga sebagai alat untuk menilai kelayakan suatu perairan untuk kegiatan budidaya,
Metode ini berkaitan dengan penilaian terhadap sifat-sifat kultivan, fisika-kimia air,
17

bioteknis budidaya dan parameter penunjang lainnya (Anggoro, 1988). Analisa


trosap didasarkan pada struktur tropik plankton dan benthos yang dikompositkan
pada berbagai tingkatan saprobitas. Prinsip dasar analisa Trosap (Anggoro, 1988)
sebagai berikut:
1. Analisa TROSAP secara umum menggunakan evaluasi pada parameter
penyubur (indikator trophik) dan parameter pencemar (indikator saprobik) guna
menilai kualitas air dan kelayakan bagi stasiun budidaya.
2. Parameter biotik dan abiotik yang digunakan adalah:
a. Biotik seperti kelimpahan plankton dan benthos, keanekaragaman plankton
dan benthos serta keberadaan bakteri sebagai faktor penunjang;
b. Abiotik yaitu sifat fisika kimia seperti suhu, salinitas, pH, DO, BOD,
kesadahan, alkalinitas, kecerahan, kekeruhan, daya hantar listrik,
kedalaman air, padatan terlarut, nitrat, Fosfat, NH3, kekuatan arus dan
gelombang serta logam berat.
Tingkatan soprobitas ditentukan olek Indeks Saprobik (SI) dan Indeks
Tropik Saprobik (TSI) dengan kriteria penilaian seperti pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Kriteria tingkat saprobitas perairan

Nilai SI dan TSI Tingkat Saprobitas Indikasi


< -3 s/d –2 Polisaprobik Pencemaran berat
< -2 s/d 0,5 α - Mesosaprobik Pencemaran sedang sampai berat
0,5 s/d 1,5 β - Mesosaprobik Pencemaran ringan sampai sedang
1,5 s/d 2,0 Oligosaprobik Pencemaran ringan atau belum

Organisme penyusun sesuai dengan tingkatan saprobitas dapat dilihat pada


Gambar 2.3, Gambar 2.4, Gambar 2.5, dan Gambar 2.6.

1. Zooglea ramigera 2. Sarcina paludosa 3. Beggiota alba


18

4. Sphaerotilus natans 5. Sphaerotilus natans 6. Chlorobacterium


agregatum

7. Oscillatoria putrida 8. Spirullina jenneri 9. Chromatum okenii

10. Trigonomus compresa 11. Bodo putrinus 12. Tubifex rivulorum

13. Hexotrica caudate 14. Acrhomatium 15. Tetramitus pyriformis


oxaliferum

16. Euglena viridis 17. Enchelys caudate 18. Glaucoma scintilans


19

19. Trimyema compresa 20. Metopus sp. 21. Saprodenium dentatum

22. Vorticella microstoma 23. Rotary neptunia 24. Larva of eriscalis

25. Colpidium colpoda 26. Lamprocystis rose p. 27. Bidullphia sp.

28. Clamydomonas sp. 29. Pelomixa palustris 30. Chiromonas thummi

31. Caenomorpha medusula

Gambar 2.3 Kelompok organisme penyusun perairan polisaprobik


20

1. Lenamitus lacteus 2. Oscillatoria formosa 3. Nitzschia palaea

4. Chilomonas paramecium 5. Hantzchia amphioxys 6. Stephanodiscus sp.

7. Stentor coerolus 8. Spirostomum ambigum 9. Sphaerium cornium

10. Uronema marinum 11. Chilodenella uncinata 12. Closterium uncinata

13. Closterium acresum 14. Anthophsa vegetans 15. Vorticella convalararis


21

16. Stratomis chamaelon 17. Herpobdella atomaria 18. Coelastrum sp.

.
19. Chaetoceros sp. 20. Rhizosolenia sp. 21. Navicula sp

22. Eudorina sp.


Gambar 2.4 Kelompok organisme penyusun perairan α – Mesosaprobik

1. Asterionella Formosa 2. Oscillatoria rubescens 3. Oscillatoria redekeii

4. Melosira varians 5. Colleps hirtus 6. Scenedesmus


caudricaudata
22

7. Aspedisca lynceus 8. Synura uvella 9. Tabellaria fenestrate

10. Paramecium bursaria 11. Cladophora erispate 12. Spyrogira crassa

13. Polycelis cornuta 14. Uroglena volvox 15. Stylaria lacustris

16. Hydropsyche lepida 17. Cloendipterum larva 18. Branchionus ureus

19. Actinosphaerium 20. Nauplius sp. 21. Anabaena sp.


eichhornii
Gambar 2.5 Kelompok organisme penyusun perairan β – Mesosaprobik
23

1. Cyclotella bodanica 2. Synedra acus var. 3. Holteria cirrivera

4. Holopedium gibberum 5. Tabellaria floculossa 6. Bibochaeta mirabilis

7. Strombidinopsis sp. 8. Staurastrum puntulatum 9. Ulotrix zonata

10. Vorticella nebulivera 11. Cladophora glomerata 12. Eastrum oblongum

13. Fontilus antifyrotica 14. Planaria gonocephala 15. Larva of oligoneura


24

16. Notholca longispina 17. Skeletonema sp 18. Pinnularia sp.


Gambar 2.6 Kelompok organisme penyusun perairan Oligosaprobik

2.4 Kualitas Air

Kualitas air memegang peranan penting bagi biota perairan sehingga air
yang digunakan harus bebas dari bahan-bahan beracun/pencemar dan bahan-bahan
lain yang tidak diperlukan. Perairan yang tercemar akan berpotensi menurunkan
daya guna, hasil guna, produktivitas, daya dukung dan daya tampung dari suatu
lingkungan (Gholizadeh et al., 2016). Status kualitas air suatu perairan dapat
ditentukan dengan membandingkannya dengan suatu baku mutu/standar yang telah
ditetapkan. Salah satu cara untuk menentukan status perairan dengan menggunakan
parameter yang ada dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor
51 Tahun 2004 dengan kriteria seperi pada Tabel 2.2.
Indeks pencemaran ditentukan dengan menggunakan Indeks pencemaran
pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 dengan
kriteria sebagai berikut:
0 ≤ PIj ≤ 1,0 : Kondisi baik sesuai dengan baku mutu
1,0 ≤ Pij ≤ 5,0 : Kondisi tercemar ringan
5,0 ≤ Pij ≤ 10 : Kondisi tercemar sedang
Pij > 10,0 : Kondisi tercemar berat
Keterangan:
Pij adalah Indeks pencemaran

Tabel 2.2 Parameter kualitas air laut untuk biota laut

No Parameter Satuan Baku Mutu


1. Suhu (°C) 28-32
2. pH - 7 – 8,5
3. Salinitas %o s/d 34
25

Lanjutan Tabel 2.2…


4. Oksigen terlarut (DO) mg/l >5
5. BOD mg/l 20
6. Ammonia total (NH3-N) mg/l 0,3
7. Fosfat (PO4-P) mg/l 0,015
8. Nitrat (NO3-N) mg/l 0,008
9. Sulfida (H2S) mg/l 0,01

2.4.1 Parameter Fisika

Suhu merupakan salah satu faktor pembatas pertumbuhan bakteri (Boyd,


2020). Suhu memegang peranan penting dalam ketersediaan oksigen dalam air.
Peningkatan suhu air akan menurunkan kemampuan air untuk mengikat oksigen.
Suhu optimal bagi pertumbuhan bakteri berkisar antaa 30 – 35 oC. Bakteri akan
mengalami penurunan proses pertumbuhan dan respirasi pada suhu yang lebih
rendah. Hukum Van Hoff menyatakan bahwa pertumbuhan bakteri akan meningkat
2-3 kali lipat per 10 oC kenaikan suhu. Mayo dan Noike (1996) menyebutkan
pertumbuhan bakteri akan melambat pada suhu 10-20 ºC dan pesat pada suhu 35 ºC
Kelimpahan bakteri Vibrio sp pada perairan estuarin akan cenderung lebih tinggi
pada suhu 25 OC dibanding pada suhu 12 oC (Eiler et al., 2007). Pertumbuhan
fitoplankton akan meningkat pada suhu yang tinggi (Qiao et al., 2020).

2.4.2 Parameter Kimia

1. Derajat Keasaman (pH)


Derajat keasaman (pH) air menunjukkan aktivitas dari ion hidrogen dalam
air dan dinyatakan dalam skala 0 – 14. Derajat keasaman netral ditunjukkan dengan
angka 7, apabila nilai dibawah 7 maka akan bersifat asam dan diatas 7 maka akan
bersifat basa atau alkali. Derajat keasaman suatu perairan sangat dipengaruhi oleh
keberadaan karbondioksida (CO2) dimana nilainya akan tinggi saat
tumbuhan/fitoplankton melakukan fotosintesa pada siang hari dan sebaliknya pada
malam hari. Selain itu pH juga dipengaruhi oleh aktivitas biologis dan suhu.
Perubahan nilai pH juga akan berpengaruh dengan aktivitas biologis dalam perairan
26

seperti proses proses dekomposisi yang dilakukan oleh mikroorganisme.


Organisme perairan, baik bakteri maupun fitoplankton dapat melakukan aktivitas
secara ideal pada pH 7–8,5. Kondisi asam-basa akan berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan respirasi (Effendi, 2003). Aktivitas dekomposisi oleh bakteri akan
lebih cepat pada perairan dengan kondisi basa dibanding asam (Boyd, 2020).

2. DO (Dissolved Oxygen)
Dissolved Oxygen menunjukkan banyaknya oksigen terlarut yang terdapat
di dalam air. Kandungan oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar nekton.
Oksigen di perairan berasal dari proses fotosintesis dari fitoplankton atau jenis
tumbuhan air, dan melalui proses difusi dari udara (APHA, 2017). Oksigen
memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan, karena oksigen
terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik dan anorganik.
Aktivitas bakteri aerobic sangat tergantung pada kondisi oksigen terlarut,
sedangkan bakteri aerobic fakultatif dan anerobik masih bisa melakukan
aktivitasnya dengan oksigen yang terbatas (Boyd, 2020). Perairan dengan
kelimpahan bakteri yang tinggi cenderung mempunyai kandungan oksigen terlarut
yang rendah (Effendi, 2003; Hidayah et al., 2016). Perairan dengan kondisi aerob,
oksigen berperan untuk mengoksidasi bahan organik dan anorganik dengan hasil
akhirnya adalah nutrient dan gas. Nutrien tersebut berkaitan dengan kesuburan
perairan. Karena proses oksidasi dan reduksi inilah maka peranan oksigen terlarut
sangat penting untuk membantu mengurangi beban pencemaran, yang ditujukan
untuk memurnikan air buangan industri dan rumah tangga (Salmin, 2005).
Kadar oksigen terlarut dalam perairan alami tergantung pada suhu, salinitas,
turbulensi air dan tekanan atmosfer. Kadar oksigen terlarut berfluktuasi secara
harian dan musiman, tergantung pada percampuran dan pergerakan massa air,
aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah yang masuk ke badan air. Penurunan
DO di air dapat terjadi karena suhu yang tinggi, proses respirasi, masukan bahan
organik, proses dekomposisi serta tingginya salinitas. Pada perairan yang tercemar
akan mempunyai kecenderungan nilai oksigen terlarut yang rendah (Effendi, 2003).
Anggoro et al. (2013) dalam penelitiannya menyebutkan DO berhubungan dengan
saprobitas.
27

3. BOD (Biological Oxygen Demand)


Kebutuhan oksigen biologi (BOD) didefinisikan sebagai banyaknya
oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme pada saat pemecahan bahan organik,
pada kondisi aerob. Pemecahan bahan organik diartikan bahwa bahan organik ini
digunakan oleh mikrorganisme sebagai bahan makanan dan energinya diperoleh
dari proses oksidasi (Salmin, 2005). Parameter BOD, secara umum banyak dipakai
untuk menentukan tingkat pencemaran air. Sesungguhnya penentuan BOD
merupakan suatu prosedur bioassay yang menyangkut pengukuran banyaknya
oksigen yang digunakan oleh mikroorganisme dalam menguraikan bahan organik
yang ada dalam suatu perairan, pada kondisi yang harnpir sama di alam. Selama
pemeriksaan BOD, contoh yang diperiksa harus bebas dari udara luar untuk
rnencegah kontaminasi dari oksigen yang ada di udara bebas. Konsentrasi air
buangan tersebut juga harus berada pada suatu tingkat pencemaran tertentu, hal ini
untuk menjaga supaya oksigen terlarut selalu ada selama pemeriksaan. Hal ini
penting diperhatikan mengingat kelarutan oksigen dalam air terbatas dan hanya
berkisar ± 9 ppm pads suhu 20°C (Salmin, 2005). Biological oxygen deman pada
perairan umumnya berkisar 1 – 10 ppm dan pada kebutuhan BOD perairan dengan
pencemaran tinggi biasanya tinggi pula. Hal tersebut dimungkinkan karena
aktivitas mikroorganisme dalam mendekomposisi bahan organik/anorganik (Boyd,
2020).

4. Salinitas
Konsentrasi rata-rata seluruh garam yang terdapat di dalam air laut dikenal
sebagai salinitas. Konsentrasi ini biasanya sebesar 3% dari berat seluruhnya.
Mereka biasanya lebih sering disebut sebagai bagian perseribu atau biasa ditulis
dengan 35 ‰. Konsentrasi garam-garam ini jumlahnya relatif sama dalam setiap
contoh air laut (Hutabarat dan Evans, 1985). Salinitas adalah hal yang sangat
penting bagi kehidupan fitoplankton terutama dalam hubungannya dengan
keseimbangan tekanan organisme tersebut dengan medium air sekelilingnya. Setiap
spesies mempunyai toleransi yang berbeda-beda terhadadap salinitas, hal ini
dipengaruhi oleh cara adaptasi dalam pengendalian tekanan.
28

Beberapa jenis fitoplankton ada yang tahan terhadap perubahan salinitas


yang besar dan ada pula yang rentan terhadap perubahan tersebut. Fitoplankton
yang mempunyai toleransi luas terhadap perubahan salinitas disebut fitoplankton
yang mempunyai sifat euryhaline, sedangkan yang mempunyai toleransi sempit
disebut fitoplankton yang mempunyai sifat stenohaline. Salinitas secara tidak
langsung mempunyai peran terhadap variasi/perubahan komposisi fitoplankton.
Salinitas yang meningkat disertai penurunan konsentrasi silicate SiO2 akan
berpengaruh pada perubahan komposisi fitoplankton pada perairan dan biasanya
bersifat sementara (Qiao et al., 2020).

5. Nitrat (NO3)
Nitrat (NO3) adalah nutrien utama bagi pertumbuhan fitoplankton dan algae.
Nitrat sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Senyawa ini dihasilkan dari
proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Konsentrasi nitrat di suatu
perairan diatur dalam proses nitrifikasi. Nitrifikasi merupakan proses oksidasi
ammonia yang berlangsung dalam kondisi aerob menjadi nitrit dan nitrat, yang
merupakan proses penting dalam siklus nitrogen. Oksidasi ammonia (NH3) menjadi
nitrit (NO2) dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas dan oksidasi nitrit (NO2) menjadi
nitrat (NO3) dilakukan oleh bakteri Nitrobacter. Kedua jenis bakteri ini adalah
bakteri kemotrofik yaitu bakteri yang mendapatkan energi dari proses kimiawi.
Kadar nitrat > 5 mg/l menggambarkan terjadinya pencemaran antropogenik yang
berasal dari aktivitas manusia dan tinja hewan. Kadar nitrat > 0,2 mg/l dapat
menyebabkan eutrofikasi (pengayaan) perairan yang selanjutnya menstimulasi
pertumbuhan alga dan tumbuhan air secara pesat (Effendi, 2003). Nitrat merupakan
faktor pembatas pada suatu perairan, merupakan nutrien bagi fitoplankton dan
secara tidak langsung juga bagi organisme lain termasuk juga bakteri.

6. Ammonia
Perairan terdapat berbagai bentuk nitrogen yaitu gas nitrogen (N2), NO2-
(nitrit), NO3- (nitrat), NH3 (ammonia), NH4+ dan sejumlah besar nitrogen yang
terikat dalam organik kompleks. Bentuk nitrogen yang berbahaya untuk kehidupan
adalah nitrit dan ammonia, senyawa tersebut terbentuk pada perairan dalam
29

keadaan tidak ada oksigen (anaerob). Pada kondisi tersebut, sejumlah


mikroorganisme akan menggunakan oksigen yang terikat pada nitrat atau senyawa
teroksidasi lainnya untuk keperluan pernafasannya atau melalui denitrifikasi atau
respirasi nitrogen.
Pengaruh racun Ammonia dapat memicu penyakit pada insang karena
infeksi bakteri. Akibat racun ini insang akan berwarna merah abnormal dan akan
terlepas dari bawah penutup insang. Hal inilah yang memicu serangan bakteri
terhadap insang yang luka. Pengaruh Ammonia pada air laut cukup berbahaya
karena jika pH tinggi maka akan terlepas gas ammonia bebas. Kadar Ammonia
bebas di perairan > 0,1 ppm dapat menyebabkan stress. Konsentrasi yang aman bagi
ikan adalah sebesar 0,01 ppm. Konsentrasi amoniak yang tinggi berkaitan dengan
eutrofikasi yang berpotensi menurunkan kualitas air. Konsentrasi amoniak yang
tinggi akan berpengaruh pada meningkatnya fitoplankton golongan Cyanophytes
seperti Oscillatoria yang biasa ditemukan pada perairan tercemar sedang sampai
tinggi (Eiler et al., 2007; Qiao et al., 2020). Keberadaan Cyanophytes yang
melimpah pada perairan biasanya akan diikuti dengan pertumbuhan Vibrio yang
melipah pula.
7. Hidrogen sulfida/H2S
Daya racun asam belerang (Hidrogen Sulfida /H2S) bebas tergantung pada
keadaan ionisasinya. Hidrogen Sulfida (H2S) yang tidak terionisasi sangat beracun,
tapi pada bentuk lainnya tidak berbahaya. Daya racun hidrogen sulfida (H2S) yang
tak terionisasi paling tinggi pada pH rendah. Sulfur terdapat dalam bahan organik
asam amino yang mengandung belerang dan belerang heterotrop, hidrogen sulfida
(H2S) terbentuk dan diubah ke bentuk teroksidasi seperti sulfat apabila ada oksigen.
Hidrogen Sulfida (H2S) yang tak terionisasi tidak terdapat dalam perairan yang
banyak mengandung oksigen. Akibat dari keracunan hidrogen sulfida (H2S) sama
seperti kekurangan oksigen dan mungkin lebih buruk dari kosentrasi oksigen
terlarut yang terlalu rendah. (Tsai, C.K, 1989).
Konsentrasi hidrogen sulfida yang tinggi dapat mengganggu kehidupan
organisme termasuk keberadaan plankton dan bakteri. Konsentrasi H2S yang aman
untuk organisme perairan < 5 ppm (Santosa dan Wiharyanto, 2013). Keberadaan
30

hidrogen sulfur tersebut akan didekomposisi oleh bakteri sulfur oxidadazing


bacteria secara anaerobik. Pada perairan dengan bahan organik yang tinggi akan
diikuti dengan dengan konsentrasi H2S yang tinggi. Hal tersebut didorong oleh
penguraian bahan organik tersebut oleh bakteri aerob sehingga oksigen terlarut
menurun. Pada kondisi tersebut maka bakteri aerob akan digantikan oleh anaerob
dalam proses penguraian yang berjalan lebih lambat, tidak sempurna dan
menghasilkan senyawa H2S yang berbahaya (Apriliana et al., 2014).

2.5 Budidaya Berkelanjutan

Budidaya berkelanjutan berazas kelestarian lingkungan guna mendukung


kesejahteraan hidup generasi saat dan tetap bisa mendukung generasi mendatang
untuk. Syarat dari budidaya yang berkelanjutan adalah tidak merusak lingkungan,
menggunakan teknik yang tepat dan untuk mencapai kesejahteraan sosial ekomi.
Salah satu hal yang menjadi kontrol dalam budidaya berkelanjutan adalah
Ecosystem based management dimana kegiatan budidaya yang terkendali dengan
terus berprinsip pada konektivitas dan keseimbangan antara lingkungan dan sosial
ekonomi (Widjaya dan Kadarusman, 2019). Budidaya yang berkelanjutan harus
memperhatikan daya dukung dan daya tampung dari lingkungan. Daya dukung dan
daya tamping secara garis besar dapat diartikan dimana lingkungan mampu
mendukung kehidupan biota budidaya dan lingkungan mampu menerima dan
mengasimilasi bahan pencemar (biotik dan abiotik) sehingga tidak mencemari
lingkungan yang dapat menggangu keseimbangan ekologi (Kristanti dan Imran,
2006). Guna mendukung hal tersebut, maka perlunya penetapan status suatu
perairan dengan melihat faktor biologi, fisika dan kimia. Poernomo (1992)
membagi status kelayakan lingkungan untuk budidaya menjadi 4 (empat) kategori
yaitu sesuai, sesuai dengan faktor pembatas, kurang layak karena ada faktor
pembatas yang berat dan tidak layak.
Guna mendukung lingkungan yang lestari, FAO (2019) merekomendasikan
penerapan biosecurity sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan budidaya yang
berkelanjutan. Biosecurity ini merupakan suatu upaya dalam praktek budidaya
31

dengan mengendalikan organisme yang menyebabkan kerugian seperti parasite,


bakteri, virus, harmfull algae, dan juga allien spesies.

Anda mungkin juga menyukai