[go: up one dir, main page]

0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
3 tayangan41 halaman

Proposal Baru

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 41

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu satuan unit ideal untuk pengelolaan
sumberdaya alam seperti lahan dan air terkait konservasi sumberdaya alam dan
mitigasi bencana dalam rangka pembangunan berkelanjutan. Analisis kuantitatif dari
sistem DAS penting untuk dilakukan agar karakteristik DAS dapat diketahui. DAS
Mahakam melintasi wilayah dengan elemen risiko yang tinggi seperti permukiman
padat di Kota Tenggarong juga lereng yang relatif landai akibat proses sedimentasi
yang cukup tinggi sehingga memiliki risiko banjir maupun bencana yang berhubungan
dengan pergerakan tanah.

Analisis morfometri dapat dimanfaatkan dalam pengelolaan DAS. Interaksi antara


kondisi geomorfologi dengan karakteristik hidrologi dapat dicerminkan dari kondisi
morfometri DAS. Akhir-akhir ini banyak peneliti menggunakan Sistem Informasi
Geografis (SIG) sebagai alat yang sangat bermanfaat untuk melakukan analisis
morfologi DAS, misalnya Chakraborty (2002), Sreedevi (2009), dan Shinde (2010).
Salah satu aplikasi dari paramater mofometri DAS adalah untuk menduga respon
hidrologi terhadap curah hujan di kawasan tersebut.

Penentuan subDAS prioritas dilakukan untuk memberikan penilaian pada tiap subDAS
sehingga dari peringkatnya dapat ditentukan subDAS mana yang harus diprioritaskan
untuk dikelola terkait dengan konservasi sumberdaya alam dan pembangunan. Sebagai
salah satu upaya mengurangi risiko akibat banjir maupun longsor, maka analisis
morfometri perlu dilakukan. Analisis morfometri dapat menjadi langkah awal dalam
memahami dinamika suatu DAS. Selain itu, morfometri dapat menjadi salah satu cara
untuk mengetahui proses dan karakteristik dari suatu DAS serta memudahkan dalam

1
memahami karakteristik geologi dan hidrologinya. Penelitian ini bertujuan untuk
memahami karakteristik hidrologi DAS Mahakam menggunakan Sistem Informasi
Geografis (SIG) untuk menentukan subDAS prioritas berdasarkan parameter
morfometri sebagai upaya pembangunan berkelanjutan dalam pemanfaatan lahan
maupun kebutuhan air untuk pembangunan berkelanjutan.

Oleh karena itu, dalam penelitian ini menjadikan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk
memudahkan analisis DAS dengan metode morfometri lebih mudah dan efektif
digunakan dalam bentuk program pengelolaan sumberdaya alam.

2
1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang dapat diambil dari penelitian yaitu:


1. Bagaimana kondisi geologi pada daerah Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara,
Provinsi Kalimantan Timur?
2. Bagaimana pengaruh kondisi geologi terhadap morfometri DAS daerah Tenggarong,
Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur?
3. Bagaimana cara menentukan hubungan karakteristik morfometri dengan
pembangunan berkelanjutan daerah Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara,
Provinsi Kalimantan Timur?

1.3 Batasan Masalah

Berdasarkan rumusan masalah yang teridentifikasi dan tujuan penelitian. Adapun batasan
masalah penelitian adalah :
1. Tidak membahas mengenai sistem mitigasi bencana.
2. Hanya membahas mengenai pembangunan berkelanjutan berdasarkan aspek bencana
banjir.
3. Tidak membahas mengenai Hidrologi umum pada daerah Tenggarong, Kabupaten
Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur.

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian di daerah Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara,

Provinsi Kalimantan Timur sebagai berikut:

1. Mengetahui kondisi geologi pada daerah Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara,


Provinsi Kalimantan Timur.
2. Mengetahui pengaruh kondisi geologi terhadap morfometri DAS daerah
Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur.
3. Mengetahui cara menentukan hubungan karakteristik morfometri dengan
pembangunan berkelanjutan daerah Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara,
Provinsi Kalimantan Timur.

3
1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Memberikan informasi kepada masyarakat dan instansi tertentu mengenai cara
mengelola DAS berdasarkan aspek kuantitatif untuk pembangunan daerah
Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur.
2. Memberikan informasi mengenai rancangan potensi pengelolaan tata guna lahan
daerah Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur.
3. Memberikan bahan masukan dan referensi kepada peneliti yang berkaitan dengan
DAS dan SIG

1.6 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2019 bertempat di daerah Tenggarong,
Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Peta Lokasi Penelitian
ditampilkan pada Gambar 1.1 Lokasi Penelitian.

Lokasi penelitian berjarak 30 km, dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda
2 (dua) maupun roda 4 (empat) dari Kota Samarinda. Perjalanan menuju lokasi penelitian
dimulai dari Kota Samarinda, melewati Kelurahan Bukit Pinang. Kemudian menuju jalan
poros Samarinda – Tenggarong hingga sampai di pertigaan. Belok kanan dari pertigaan,
masuk ke daerah Tenggarong Seberang. Perjalanan sekitar 30 menit dari pertigaan hingga
sampai ke daerah Tenggarong.

4
Gambar 1.1. Lokasi Penelitian

1.7 Sistematika Penulisan

Untuk dapat memahami lebih jelas mengenai skripsi ini, maka materi yang ada pada
skripsi dikelompokkan menjadi beberapa bab dan dengan sistematika sebagai berikut:

1. Halaman Judul, Pernyataan Keaslian Skripsi, Pengesahan, Persembahan

Merupakan lembar untuk memenuhi kelengkapan skripsi, halaman judul berisi judul yang
akan diteliti, pernyataan keaslian skripsi berisi pernyataan keaslian pembuatan skripsi,
pengesahan berupa halaman persetujuan semua pihak terkait dalam penelitian maupun
penulisan, dan halaman persembahan menyajikan motto dari penulis.

5
2. Abstrak

Merupakan uraian singkat dari penelitan yang dilakukan, mulai dari alasan dilakukannya
penelitian, metode yang dipakai, hasil penelitian dan penarikan kesimpulan.

3. Kata Pengantar

Merupakan Pengantar dan ucapan terima kasih untuk seluruh pihak yang terkait dalam
penulisan maupun penelitian skripsi.

4. Daftar Isi, Tabel, Gambar, Istilah

Daftar isi memuat di dalamnya seluruh isi yang ada pada skripsi, mulai dari halaman judul
hingga lampiran. Daftar tabel memuat halaman-halaman yang mempunyai tabel
penulisannya begitu pula dengan daftar gambar dan istilah.

5. Pendahuluan

Berupa latar belakang diadakannya penelitian, tujuan penelitian, rumusan masalah,


batasan masalah, manfaat penelitian, waktu dan lokasi penelitian, dan sistematika
penulisan.

6. Tinjauan Pustaka

Berupa teori, pengertian, deskripsi dan persyaratan tertentu yang diambil dari kutipan
buku maupun jurnal yang berkaitan dengan penulisan skripsi.

7. Metode Penelitian

Berupa metode yang dipakai dalam penelitian, berisikan alat dan bahan yang dipakai pada
saat di lapangan penelitian maupun di laboratorium, rancangan penelitian, teknik
interpretasi dan analisis data.

8. Pembahasan

Merupakan hasil dari perolehan data lapangan dan dikaji kembali berdasarkan pustaka
dan referensi lain yang ada, sehingga didapatkan nilai ataupun tetapan dari pembahasan.

6
9. Kesimpulan dan saran

Merupakan simpulan dari pembahasan yang disesuaikan dengan tujuan penelitian dan
berupa saran untuk lebih lanjut dalam penelitian.

10. Daftar Pustaka

Merupakan daftar dari sumber teori yang dipakai pada tinjauan pustaka, cara penulisan,
metode yang digunakan untuk pengambilan data yang berasal dari buku maupun jurnal.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional Cekungan Kutai

Van Bemmelen (1949), mengelompokkan fisiografi Pulau Kalimantan menjadi 5 zona,


yang meliputi: Zona Cekungan Kutai, Zona Tinggian Kuching, Zona Blok Schwaner,
Zona Cekungan Pasir Selatan dan zona Blok Paternosfer.

2.1.1 Fisiografi Regional Cekungan Kutai

Dari barat ke timur Cekungan Kutai secara fisiografi dibagi menjadi 3 zona
geomorfologi yang memanjang dari utara ke selatan (Rose dan Hartono, 1978). Zona-
zona tersebut meliputi:

a. Tinggian Danau Kutai (Sinklinorium Danau Kutai), merupakan kompleks


sinklinorium dengan lipatan yang cukup kuat dengan perbukitan yang terbentuk
karena adanya gaya gravitasi (Kutai Gravity High). Zona ini berada di sebelah barat
dari daerah Danau Kutai yang berada pada hulu Sungai Mahakam.

b. Antiklinorium Samarinda, merupakan zona yang terdiri dari perbukitan


bergelombang sedang-kuat dan memanjang dengan arah relatif timurlaut-baratdaya.
Puncak-puncak bukit dan gunung di zona ini memiliki ketinggian antara 300-400
meter yang tersusun seluruhnya oleh batuan sedimen yang membentuk kuat. Zona
ini berada pada bagian tengah dan menempati sebagian besar Cekungan Kutai.

c. Pada bagian timur dapat terlihat adalah adanya deretan kompleks Sinklinorium Delta
Mahakam yang membentuk perbukitan lemah sampai dataran delta yang memiliki

8
potensi-potensi minyak bumi yang besar dan berkembang terus hingga ke arah timur
(BEICIP, 1977 dalam Umar, dkk 2017)

2.1.2 Kerangka Tektonik Cekungan Kutai

Struktur geologi Cekungan Kutai yang berkembang adalah perlipatan yang relatif sejajar
dengan garis pantai timur daerah Kalimantan Timur. Pada bagian utara Cekungan Kutai,
pola umum perlipatan mempunyai arah utara-selatan sedangakan cekungan kutai bagian
selatan berarah baratdaya-timurlaut.

(Guntoro, 1998 dalam Umar dkk 2017), menyatakan bahwa tatanan tektonik yang ada
pada Cekungan Kutai dapat dilihat sebagai hasil dari interaksi antara lempeng Pasifik,
Australia, dan Eurasia. Berdasarkan kondisi sejarah Cekungan Kutai dibagi menjadi:
1. Kapur Akhir-Paleosen Akhir
Cekungan Kutai merupakan cekungan samudra (terbentuk selama Jura Atas-Kapur
Bawah karena pemisahan Asia dan Australia) membentuk endapan turbidit.
2. Eosen Tengah-Oligosen Awal
Fase tarikan (pemekaran) dengan arah selatan barat, yang membentuk selat Makassar
(memisahkan Kalimantan dengan Sulawesi) dan seri half graben. Endapan berasal
dari sedimen klastik darat dan laut. Penurunan regional di Kalimantan Timur dan
karbonat terus berkembang pada cekungan “Proto-Kutai”
3. Miosen Awal
Terjadi interaksi konvergen atau tumbukan dari blok mikro kontinen mengakibatkan
subduksi (Palawan Trough) lalu terjadi pengangkatan yang kuat di pegunungan
Kalimantan Tengah menyebabkan awal progradasi delta ke arah timur. Pada saat itu
merupakan periode regresi yang menyeluruh dan pengisian cekungan, menunjukkan
progradasi sungai Proto-Mahakam. Pengendapan Cekungan Kutai didominasi oleh
endapan prodelta dan serpih yang terdapat di slope.
4. Miosen Tengah-Miosen Akhir
Tumbukan Banggai-Sula yang menyebabkan terjadinya perkembangan struktur.
Sistem delta bergerak ke arah timur dari Samarinda bagian selatan ke Nilam Handil
meridian. Pada waktu tersebut tiga sistem delta utama berada di Cekungan Kutai dari

9
selatan ke utara: Sepinggan, Proto-Mahakam, dan Sangatta. Gerakan tektonik lainnya
(10,5 juta tahun yang lalu) menyebabkan progradasi sistem delta ke arah timur
menuju Tunu bagian selatan dan selanjutnya menuju ke ujung paparan yang ada
sekarang.
5. Pliosen atas hingga sekarang
Adanya pengangkatan Pegunungan Meratus, pembentukan Antiklinorium
Samarinda, dan sesar intensif pada bagian utara dan selatan dari shelf Delta
Mahakam, sebagai hasil dari tumbukan antara lempung Indo-Australia dan Banda
Art.

Cekungan Kutai terbentuk akibat proses pemekaran Kala Eosen Tengah diikuti fase
penurunan dasar cekungan hingga Oligosen Akhir. Tumbukan lempeng yang terjadi pada
Oligosen Akhir menyebabkan pengangkatan dasar cekungan ke arah barat laut,
menghasilkan siklus regresif utama pengendapan sedimen klastik di cekungan (Ferguson
dan McClay, 1997). Pada kala Miosen Tengah, terjadi pengangkatan dasar cekungan atau
inversi cekungan yang berawal dari bagian barat cekungan dan bergerak secara progresif
ke arah timur sepanjang waktu dan bertindak sebagai pusat pengendapan.

Secara geografis Kota Samarinda terletak pada posisi antara 116º 15' 36" - 117º 24' 16"
BT dan 0º 21' 18" - 1º 09' 16" LS. Dimana beberapa wilayah geologi telah mengalami
perubahan yang ditandai dengan adanya patahan yang menghasilkan struktur sinklin dan
antiklin mengarah dari selatan ke utara dengan luas 10.917 ha atau 17,14 % dari luas
wilayah secara keseluruhan.

10
Gambar 2.1 Kerangka tektonik lempeng Cekungan Kutai (Bachtiar, 2003)

2.1.3 Stratigrafi Regional Cekungan Kutai

Urutan stratigrafi cekungan kutai dari tua ke muda menurut Supriatna dan E. Rustandi
(1995) adalah sebagai berikut:

1. Formasi Pamaluan (Tomp)


Formasi Pamaluan Batupasir Kuarsa dengan sisipan Batulempung, Serpih, Batugamping
dan Batulanau, berlapis sangat baik. Batupasir Kuarsa merupakan batuan utama, kelabu
kehitaman-kecoklatan, berbutir halus-sedang, terpilah baik, butiran membulat-membulat
tanggung, padat, karbonan dan gampingan. Setempat dijumpai struktur sedimen silang
siur dan perlapisan sejajar. Tebal lapisan antara 1-2 m. Batulempung dengan ketebalan
rata-rata 45 cm. Serpih, kelabu kehitaman - kelabu tua, padat, dengan ketebalan sisipan
antara 10-20 cm. Batugamping berwarna kelabu, pejal, berbutir sedang-kasar, setempat
berlapis dan mengandung foraminifera besar. Batulanau berwarna kelabu tua-kehitaman.
Tebal formasi lebih kurang 2000 m.

2. Formasi Bebuluh (Tmb)


Formasi Bebuluh Batugamping Terumbu dengan Sisipan Batugamping Pasiran dan
Serpih. Batugamping berwarna kelabu, padat, mengandung foraminifera besar, berbutir
sedang. Setempat batugamping menghablur, terkekar tak beraturan. Serpih, kelabu

11
kecoklatan berselingan dengan batupasir halus kelabu tua kehitaman. Tebal formasi
sekitar 300 m diendapkan selaras dibawah Formasi Pulau Balang.

3. Formasi Pulau Balang (Tmpb)


Formasi Pulau Balang Perselingan Batupasir Greywacke dan Batupasir Kuarsa
SisipanBatugamping, Batulempung, Batubara dan Tuf Dasit. Batupasir Greywacke
berwarna kelabu kehijauan , padat, tebal lapisan antara 50-100 cm. Batupasir Kuarsa
berwarna kelabu kemerahan, setempat tufan dan gampingan, tebal lapisan antara 15-60
cm. Batugamping berwarna coklat muda kekuningan, mengandung foraminifera besar.
Batugamping ini terdapat sebagai sisipan atau lensa dalam Batupasir Kuarsa, ketebalan
lapisan 10-40 cm. Batulempung, kelabu kehitaman, tebal lapisan 1-2 cm. Setempat
berselingan dengan batubara, tebal ada yang mencapai 4 m. Tufa dasit, putih merupakan
sisipan dalam batupasir kuarsa.

4. Formasi Balikpapan (Tmbp)


Formasi Balikpapan Perselingan Batupasir dan Batulempung Sisipan Batulanau, Serpih,
Batugamping dan Batubara. Batupasir Kuarsa, putih kekuningan, tebal lapisan 1-3 m,
disisipi lapisan batubara, tebal 5-10 cm. Batupasir Gampingan, coklat, berstruktur
sedimen lapisan sejajar dan silang siur, tebal lapisan 20-40 cm, mengandung foraminifera
kecil disisipi lapisan tipis karbon. Batulempung, kelabu kehitaman, setempat
mengandung sisa tumbuhan, oksida besi yang mengisi rekahan-rekahan, setempat
mengandung lensa batupasir gampingan. Batulanau Gampingan, berlapis tipis, serpih
kecoklatan, berlapis tipis. Batugamping Pasiran, mengandung foraminifera besar,
moluska, menunjukkan umur Miosen Akhir bagian bawah - Miosen Tengah bagian atas,
tebal formasi 1000-1500 m.

5. Formasi Kampung Baru (Tpkb)


Formasi Kampung Baru. Batupasir Kuarsa dengan Sisipan Batulempung,
Serpih,Batulanau dan Lignit, pada umumnya lunak, mudah hancur. Batupasir kuarsa,
putih setempat kemerahan atau kekuningan, tidak berlapis, mudah hancur, setempat
mengandung lapisan tipis uksida besi atau kongkresi, tufan atau lanauan, dan sisipan
batupasir konglomeratan atau konglomerat dengan komponen kuarsa, kalsedon, serpih

12
merah dan lempung, diameter 0,5-1 cm, mudah lepas. Batulempung, kelabu kehitaman
mengandung sisa tumbuhan, kepingan batubara, koral. Batulanau, kelabu tua, menyerpih,
laminasi. Lignit, tebal 1-2 m. Diduga berumur Miosen Akhir-Plioplistosen, lingkungan
pengendapan delta-laut dangkal, tebal lebih dari 500 m. Formasi ini menindih selaras dan
setempat tidak selaras terhadap Formasi Balikpapan.

6. Aluvium (Qa)
Aluvium Kerikil, pasir dan lumpur diendapkan pada lingkungan sungai, rawa, delta, dan
pantai.

Gambar 2.2 Stratigrafi Cekungan kutai ( S.Supriatna dan E.Rustandi., 1995)


Formasi Regional Daerah Penelitian

2.1.4 Struktur Geologi Regional Cekungan Kutai

Struktur tektonik yang berkembang pada Cekungan Kutai berarah timurlaut-baratdaya


(NE-SW) yang dibentuk oleh Antiklinorium Samarinda, yang berada di bagian timur-
Tenggara cekungan. Antiklinorium Samarinda tersebut memiliki karakteristik terlipat
kuat, antiklin asimetris dan dibatasi oleh sinklin-sinklin yang terisi oleh sedimen
silisiklastik Miosen. (Supriatna dkk.,1995).

13
McClay (2000) mengusulkan model pembalikan tektonik sebagai penyebab terbentuknya
sabuk lipatan Mahakam berdasarkan risetnya mengenai evolusi tektonik pada blok Sanga-
Sanga. Diketahui bahwa setiap pembalikan tektonik menyebabkan Delta Mahakam
berprogradasi lebih jauh. Proses pembentukan lipatan di Cekungan Kutai Menurut
McClay dkk., 2000, menyatakan bahwa struktur di daerah dataran Cekungan Kutai
merupakan hasil dari tektonik delta, yaitu gabungan dari sedimentasi yang cepat dan gaya
tektonik. Akibat penumpukan terjadi pelengseran lateral yang mengakibatkan
pelengseran lateral yang mengakibatkan lipatan dan sesar-sesar turun, kemudian
mengalami reaktivasi menjadi sesar naik akibat gaya kompresi.

Gambar 2.3 Struktur Geologi Regional Cekungan Kutai (McClay, dkk, 2000)

Daerah Penelitian

Pola struktur Cekungan Kutai dipengaruhi oleh pengangkatan Tinggian Kuching yang
tegasannya berasal dari arah barat laut. Pengangkatan ini terus berlangsung hingga

14
mengakibatkan berkurangnya kestabilan. Akibat ketidakstabilan ini maka terjadi
pelengseran batuan ke arah timur.

Struktur Cekungan Kutai didominasi oleh struktur yang berorientasi timur laut-barat daya
(NE-SW) yang merupakan lipatan dan patahan (Gambar 2.4). Struktur-struktur itu
merupakan bagian dari Antiklinorium Samarinda, yang berada di bagian timur-tenggara
cekungan. Lalu, di bagian utara dan selatan cekungan terdapat struktur yang berarah barat
laut-tenggara (NW-SE). Struktur itu merupakan patahan Sangkulirang (atas) dan Adang
(bawah), yang juga merupakan batas antara Cekungan Kutai dengan Cekungan Tarakan
dan Cekungan Barito.

2.2 Geomorfologi

Menurut Verstappen (1983) geomorfologi merupakan ilmu pengetahuan yang berkaitan


dengan bentuk lahan sebagai pembentuk muka bumi, baik di atas maupun di bawah laut
dan menekankan pada genesa di masa depan dan dalam konteks ke lingkungan.

Menurut Van Zuidam (1979) Geomorfologi merupakan studi yang menguraikan bentuk
lahan dan proses yang mempengaruhi pembentukannya serta menyelidiki hubungan
timbal balik antara bentuklahan dan proses dalam tatanan keruangan.

Dalam pembagian satuan geomorfologi daerah penelitian, penulis mengacu pada


klasifikasi morfologi menurut Van Zuidam (1985), dengan memperhatikan aspek-aspek
penunjang seperti morfografi (meliputi sungai, dataran, perbukitan, dan pegunungan, dan
lain-lain), morfometri meliputi kemiringan (lihat Tabel 2.1) dan bentuk lereng,
ketinggian, relief, dan lain-lain. Morfostruktur pasif (meliputi jenis batuan dan tanah),
dan morfostruktur aktif (meliputi struktur-struktur geologi).

Analisa satuan geomorfologi daerah penelitian didasarkan pada klasifikasi Van Zuidam
(1985). Pembagian satuan geomorfologi daerah penelitian ditentukan melalui analisa
dilapangan serta analisa pada peta topografi dengan melihat pola-pola kontur.

15
Tabel 2.1 Klasifikasi kemiringan lereng (Van Zuidam, 1985)
NO Kemiringan Lereng %Lereng
1 Rata/Hampir rata 0-2
2 Landai 3-7
3 Miring 8-13
4 Agak curam 14-20
5 Curam 21-55
6 Sangat curam 56-140
7 Amat sangat curam >140

Proses geomorfologi adalah perubahan-perubahan baik secara fisik maupun kimiawi


yang dialami permukaan bumi. Penyebab proses tersebut yaitu benda-benda alam yang
kita kenal dengan nama geomorphic agent, berupa air dan angin. Keduanya merupakan
penyebab yang dibantu dengan adanya gaya berat, dan keseluruhannya bekerja bersama-
sama dalam melakukan perubahan terhadap permukaan muka bumi. Tenaga-tenaga
perusak ini dapat kita golongkan dalam tenaga asal luar (eksogen), yaitu yang datang dari
luar atau dari permukaan bumi, sebagai lawan dari tenaga asal dalam (endogen) yang
berasal dari dalam bumi. Kedua tenaga ini pun bekerja bersama-sama dalam mengubah
bentuk permukaan muka bumi ini. Berdasarkan aspek-aspek geomorfologi, maka bentuk
lahan yang terdapat di daerah penelitian merupakan bentuk lahan asal denudasional
dengan satuan bentuk lahan perbukitan terkikis (D1) dengan kemiringan lereng landai
dan miring.

2.3 Pola Aliran Sungai


Saluran-saluran sungai berkembang ketika air permukaan (surface runoff) meningkat dan
batuan dasarnya kurang resisten terhadap erosi.

Sistem fluviatil dapat menggambarkan perbedaan pola geometri dari jaringan pengaliran
sungai. Jenis pola pengaliran sungai antara alur sungai utama dengan cabang-cabangnya
disatu wilayah dengan wilayah lainnya sangat bervariasi. Adanya perbedaan pola
pengaliran sungai disatu wilayah dengan wilayah lainnya sangat ditentukan oleh
perbedaan kemiringan topografi, struktur dan litologi batuan dasarnya. Pola pengaliran
yang umum dikenal adalah sebagai berikut:

16
1. Pola Aliran Dendritik

Pola aliran dendritik adalah pola aliran yang cabang-cabang sungainya menyerupai
struktur pohon. Pada umumnya pola aliran sungai dendritik dikontrol oleh litologi batuan
yang homogen. Pola aliran dendritik dapat memiliki tekstur/kerapatan sungai yang
dikontrol oleh jenis batuannya. Sebagai contoh sungai yang mengalir diatas batuan yang
tidak/kurang resisten terhadap erosi akan membentuk tekstur sungai yang halus (rapat)
sedangkan pada batuan yang resisten (seperti granit) akan membentuk tekstur kasar
(renggang).

Tekstur sungai didefinisikan sebagai panjang sungai per satuan luas. Mengapa demikian
? Hal ini dapat dijelaskan bahwa resistensi batuan terhadap erosi sangat berpengaruh pada
proses pembentukan alur-alur sungai, batuan yang tidak resisten cenderung akan lebih
mudah di-erosi membentuk alur-alur sungai. Jadi suatu sistem pengaliran sungai yang
mengalir pada batuan yang tidak resisten akan membentuk pola jaringan sungai yang
rapat (tekstur halus), sedangkan sebaliknya pada batuan yang resisten akan membentuk
tekstur kasar.

2. Pola Aliran Radial

Pola aliran radial adalah pola aliran sungai yang arah alirannya menyebar secara radial
dari suatu titik ketinggian tertentu, seperti puncak gunungapi atau bukir intrusi. Pola
aliran radial juga dijumpai pada bentuk-bentuk bentangalam kubah (domes) dan laccolith.
Pada bentangalam ini pola aliran sungainya kemungkinan akan merupakan kombinasi
dari pola radial dan annular.

3. Pola Aliran Rectangular

Pola rectangular umumnya berkembang pada batuan yang resistensi terhadap erosinya
mendekati seragam, namun dikontrol oleh kekar yang mempunyai dua arah dengan sudut
saling tegak lurus. Kekar pada umumnya kurang resisten terhadap erosi sehingga

17
memungkinkan air mengalir dan berkembang melalui kekar-kekar membentuk suatu pola
pengaliran dengan saluran salurannya lurus-lurus mengikuti sistem kekar.

Pola aliran rectangular dijumpai di daerah yang wilayahnya terpatahkan. Sungai-


sungainya mengikuti jalur yang kurang resisten dan terkonsentrasi di tempat tempat
dimana singkapan batuannya lunak. Cabang-cabang sungainya membentuk sudut tumpul
dengan sungai utamanya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pola aliran
rectangular adalah pola aliran sungai yang dikendalikan oleh struktur geologi, seperti
struktur kekar (rekahan) dan sesar (patahan). Sungai rectangular dicirikan oleh saluran-
saluran air yang mengikuti pola dari struktur kekar dan patahan.

4. Pola Aliran Trellis

Geometri dari pola aliran trellis adalah pola aliran yang menyerupai bentuk pagar yang
umum dijumpai di perkebunan anggur. Pola aliran trellis dicirikan oleh sungai yang
mengalir lurus disepanjang lembah dengan cabang-cabangnya berasal dari lereng yang
curam dari kedua sisinya. Sungai utama dengan cabang-cabangnya membentuk sudut
tegak lurus sehingga menyerupai bentuk pagar.

Pola aliran trellis adalah pola aliran sungai yang berbentuk pagar (trellis) dan dikontrol
oleh struktur geologi berupa perlipatan sinklin dan antilin. Sungai trellis dicirikan oleh
saluransaluran air yang berpola sejajar, mengalir searah kemiringan lereng dan tegak
lurus dengan saluran utamanya. Saluran utama berarah se arah dengan sumbu lipatan.

5. Pola Aliran Centripetal


Pola aliran centripetal merupakan ola aliran yang berlawanan dengan pola radial, dimana
aliran sungainya mengalir kesatu tempat yang berupa cekungan (depresi). Pola aliran
centripetal merupakan pola aliran yang umum dijumpai di bagian barat dan baratlaut
Amerika, mengingat sungai-sungai yang ada mengalir ke suatu cekungan, dimana pada
musim basah cekungan menjadi danau dan mengering ketika musin kering. Dataran
garam terbentuk ketika air danau mengering.

18
6. Pola Aliran Annular

Pola aliran annular adalah pola aliran sungai yang arah alirannya menyebar secara radial
dari suatu titik ketinggian tertentu dan ke arah hilir aliran kembali bersatu. Pola aliran
annular biasanya dijumpai pada morfologi kubah atau intrusi loccolith.

7. Pola Aliran Paralel (Pola Aliran Sejajar)

Sistem pengaliran paralel adalah suatu sistem aliran yang terbentuk oleh lereng yang
curam/terjal. Dikarenakan morfologi lereng yang terjal maka bentuk aliran-aliran
sungainya akan berbentuk lurus-lurus mengikuti arah lereng dengan cabang-cabang
sungainya yang sangat sedikit. Pola aliran paralel terbentuk pada morfologi lereng dengan
kemiringan lereng yang seragam.

Pola aliran paralel kadangkala meng-indikasikan adanya suatu patahan besar yang
memotong daerah yang batuan dasarnya terlipat dan kemiringan yang curam. Semua
bentuk dari transisi dapat terjadi antara pola aliran trellis, dendritik, dan paralel. (Djauhari
Noor, 2012)

2.4 Analisa Karakteristik Dan Morfometri DAS

2.4.1 Penentuan Orde Sungai


Penentuan orde sungai dilakukan dengan Metode Strahler, yaitu:

- Aliran sungai yang paling ujung dan tidak memiliki anak sungai disebut orde pertama
- Apabila dua aliran dengan orde sama bertemu maka akan terbentuk anak sungai dengan
orde setingkat lebih tinggi
- Apabila dua anak sungai yang berbeda orde bertemu maka orde pertemuan anak sungai
tersebut adalah orde paling besar

19
2.4.1 Parameter Perhitungan

Tabel 2.2 Metode untuk Menghitung Parameter Morfometri

Parameter Rumus Referensi


Morfometri
Orde Sungai Peringkat hierarki Strahler(1964)
Panjang Sungai Panjang sungai Horton(1945)
LINEAR
(Lu)
Lsm= Lu/Nu dimana, Lsm=rata-rata panjang
sungai Lu=Jumlah panjang sungai orde;
Rata-rata panjang Nu=Jumlah segmen sungai orde u Strahler(1964)
sungai (Lsm)
Stream length RL=Lu/Lu-1 dimana, Lu= Jumlah panjang sungai
ratio (RL)
orde'u' ; Lu-1=Jumlah panjang sungai orde yang Horton(1945)
lebih rendah
Bifurcation ratio Rb=Nu/Nu+1 dimana, Nu= Jumlah segmen Schumn(1956)
sungai orde
(Rb)
; Nu+1= Jumlah segmen sungai orde yang lebih
tinggi
Basin relief (Bh) Jarak vertikal antara titik tertinggi dengan titik Schumn(1956)
terendah
RELIEF
DAS
Relief ratio (Rh) Rh=Bh/Lb dimana, Bh =Basin relief; Lb=Basin Schumn(1956)
length
Ruggedness Rn= Bh x Dd dimana, Bh= Basin relief; Dd= Schumn(1956)
Drainage
number (Rn)
Density
Drainage density Dd=Lu/A dimana, Lu= Jumlah panjang semua Horton(1932)
sungai ;
AERIAL (Dd)
A=Luas DAS (km2)
Stream frequency Fs=Nu/A dimana, Nu=Jumlah segmen sungai Horton(1932)
orde u;
(Fs)
A=Luas DAS (km2)
Texture ratio (T) T = N1/P dimana , N1= Jumlah sungai orde 1, P= Horton(1945)

Keliling DAS
2
Form factor (Rf) Rf=A/(Lb) dimana, A=Luas DAS (km2) ; Lb= Horton(1932)
Panjang DAS

20
Circularity ratio Rc= A/Adp dimana, A=Luas DAS (km2); Adp= Cooke dan
Luas Dornkamp
(Rc)
lingkaran dengan keliling Pb (km) (1974)
Elongation ratio Rc= 2*(A/π)0,5/Lb A=Luas DAS (km2); Lb= Schumn(1956)
Basin
(Re)
length
Length of Lof = 1/2 Dd dimana, Dd= Drainage density Horton(1945)
Overland

Flow (Lof)
constant channel C = 1/Dd dimana, Dd= Drainage density Horton(1945)

maintenance (C).

Parameter yang digunakan dibagi menjadi 3 aspek yaitu linear, relief dan aerial (Tabel 1.)
Parameter yang digunakan antara lain: Bifurcation Ratio (Rb), Drainage Density (Dd),
Stream Frequency (Fs), Texture Ratio (T), Basin Relief (Bh), Relief Ratio (Rh),
Ruggedness Number (Rn), Form Factor (Rf), Length of Overland Flow (Lof), dan
Constant Channel Maintenance (C). Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi
data peta topografi dan data vektor jaringan sungai. Analisis morfometri DAS dilakukan
menggunakan software GIS

Parameter morfometri seperti yang sudah ditentukan dihitung pada masing-masing


subDAS. Hasil tersebut kemudian diolah menggunakan software statistik untuk
menentukan hubungan antar parameter morfometri. Penentuan subDAS prioritas
dilakukan berdasarkan kapasitas menahan air dengan analisis morfometri seperti yang
dilakukan oleh Rekha (2011). Parameter yang paling berpengaruh diberi bobot tinggi,
sedangkan parameter yang paling tidak berpengaruh diberi bobot rendah (Tabel 2). Zona
prioritas pengelolaan subDAS dihitung menggunakan rumus berikut;

21
Zona Prioritas = 0.3 Dd + 0.25 Rb + 0.2 Fs + 0.15 T + 0.1 Lof + x 0.05 C (1)
Tabel 2.3 Bobot untuk parameter prioritas

Parameter Bobot
Drainage density (Dd) 30
Bifurcation Ratio (Rb) 25
Stream Frequency (Fs) 20
Texture Ratio (T) 15
Length of Overland Flow (Lof) 10
Constant Channel Maintenance (C) 5

2.5.1 Sistem Informasi Geografis

Menurut Prahasta (2001) SIG adalah sistem komputer yang digunakan untuk
mengumpulkan, memeriksa, mengintegrasikan, dan menganalisa informasi-informasi
yang berhubungan dengan permukaan bumi. Pada dasarnya, istilah sistem informasi
geografi merupakan gabungan dari tiga unsur pokok yaitu sistem, informasi, dan geografi.
Dengan demikian, pengertian terhadap ketiga unsur-unsur pokok ini akan sangat
membantu dalam memahami SIG. Dengan melihat unsur-unsur pokoknya, maka jelas
SIG merupakan salah satu sistem informasi. SIG merupakan suatu sistem yang
menekankan pada unsur informasi geografi. Istilah “geografis” merupakan bagian dari
spasial (keruangan). Kedua istilah ini sering digunakan secara bergantian atau tertukar
hingga timbul istilah yang ketiga, geospasial. Ketiga istilah ini mengandung pengertian
yang sama di dalam konteks SIG. Penggunaan kata “geografis” mengandung pengertian
suatu persoalan mengenai bumi: permukaan dua atau tiga dimensi. Istilah “informasi
geografis” mengandung pengertian informasi mengenai tempat-tempat yang terletak di
permukaan bumi, pengetahuan mengenai posisi dimana suatu objek terletak di permukaan
bumi, dan informasi mengenai keterangan-keterangan (atribut) yang terdapat di
permukaan bumi yang posisinya diberikan atau diketahui.

2.5.1 Model Data dalam Sistem Informasi Geografis

Data digital geografis diorganisir menjadi dua bagian sebagai berikut:


1. Data Spasial merupakan data yang menyimpan kenampakankenampakan permukaan
bumi, seperti jalan, sungai, dan lain-lain. Model data spasial dibedakan menjadi dua

22
yaitu model data vektor dan model data raster. Model data vektor diwakili oleh
simbol-simbol atau selanjutnya didalam SIG dikenal dengan feature, seperti feature
titik (point), feature garis (line), dan feature area (surface).
2. Data Raster merupakan data yang sangat sederhana, dimana setiap informasi
disimpan dalam grid, yang berbentuk sebuah bidang. Grid tersebut disebut dengan
pixel. Data yang disimpan dalam format in data hasil scanning, seperti citra satelit
digital.

2.5.2 Cara Kerja dan Kemampuan Sistem Informasi Geografis

SIG dapat merepresentasikan real world (dunia nyata) di atas monitor komputer
sebagaimana lembaran peta dapat merprentasikan dunia nyata diatas kertas. Tetapi SIG
memiliki kekuatan lebih dan fleksibilitas dari pada lembaran peta kertas (Prahasta, 2001).
SIG menyimpan semua informasi deskriptif unsur-unsurnya sebagai atribut-atribut
didalam basisdata. Kemudian, SIG membentuk dan menyimpannya didalam Tabel-tabel
(relasional). Setelah itu, SIG menghubungkan unsur-unsur diatas dengan Tabel-Tabel
yang bersangkutan. Dengan demikian, atribut-atribut ini dapat diakses melalui lokasi-
lokasi unsur-unsur peta dan sebaliknya, unsur-unsur peta juga dapat diakses melalui
atribut-atributnya. Karena itu, unsur-unsur tersebut dapat dicari dan ditemukan
berdasarkan atribut-atributnya.

SIG menghubungkan sekumpulan unsur-unsur peta dengan atribut-atributnya di dalam


satuan-satuan yang disebut layer. Sungai, bangunan, jalan, laut, batas-batas administrasi,
perkebunan dan hutan merupakan contoh-contoh layer. Kumpulan dari layer-layer ini
akan membentuk basisdata SIG. Dengan demikian, perancangan basisdata merupakan hal
yang esensial didalam SIG. Rancangan basis data akan menentukan efektifitas dan
efisiensi proses-proses masukan, pengelolaan dan keluaran SIG. Pada dasarnya, dengan
memperhatikan pengertian, definisi-definisi, berikut cara kerjanya, kemampuan-
kemampuan SIG sudah dapat dikenali. Kemampuan-kemampuan ini dapat dinyatakan
dengan fungsi-fungsi analisis spasial dan atribut yang dilakukan, jawaban-jawaban, atau
solusi yang dapat diberikan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan (Prahasta,
2001).

23
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metodologi mencakup metode, prosedur, dan peralatan yang digunakan dalam penelitian.
Metode penelitian menguraikan tentang cara yang ditempuh dalam penyelesaian
penelitian, meliputi pengamatan lapangan, pengumpulan data geologi, pengambilan
contoh batuan, pengambilan foto singkapan batuan, analisis data serta cara penafsiran dan
penyimpulan hasil penelitian. Prosedur diuraikan tahapan atau urutan pelaksanaan
penelitian secara rinci. Peralatan yang digunakan merupakan alat-alat pengumpulan data
baik lapangan maupun laboratorium.

Secara administratif daerah penelitian dilaksanakan di daerah Tenggarong, Kabupaten


Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Secara geografis daerah penelitian
berada di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara. Luas daerah penelitian adalah kurang
lebih 25 km2 lebar dari utara ke selatan lima kilometer dan panjang dari timur ke barat
lima kilometer.

Untuk menuju lokasi daerah penelitian dapat diakses melalui jalur darat dari Kota
Samarinda melewati Kelurahan Bukit Pinang kemudian menuju Jalan Poros Samarinda-
Tenggarong. Perjalanan ditempuh kurang lebih 30 km dan memakan waktu sekitar 45
menit. Perjalanan dapat ditempuh menggunakan kendaraan roda empat ataupun roda dua
dengan kondisi prima. Sedangkan pada titik start berada di kampus Fakultas Teknik
Universitas Mulawarman.

Proses pengambilan data di lapangan dilaksanakan pada bulan November 2019 di daerah
Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Pengambilan
data lapangan berupa pemetaan geologi yang terkait dengan kondisi geologi terhadap
daerah aliran sungai.

24
3.2 Alat dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam proses pengumpulan dan pengambilan data
dalam penelitian ini antara lain adalah : (1) GPS (Global Positioning System), (2) Palu,
(3) Meteran, (4) Kompas, (5) Buku Catatan Lapangan, (6) Larutan HCL, (7) Laptop, (8)
Peta Topografi.
1. GPS (Global Positioning System), digunakan untuk mengetahui koordinat dan
posisi lokasi pengamatan.
2. Palu, digunakan untuk mengambil sampel.
3. Meteran, digunakan untuk mengukur tebal lapisan dan panjang singkapan.
4. Kompas, digunakan untuk mengukur nilai azimuth, slope dan strike/dip.
5. Buku Catatan Lapangan, digunakan untuk mencatat data yang diperoleh di
lapangan.
6. Larutan HCL, digunakan pada saat pengambilan data geologi di lapangan untuk
menentukan semen pada batuan.
7. Laptop, digunakan untuk mengolah data penelitian.
8. Peta Topografi, digunakan untuk gambaran wilayah penelitian.

3.3 Tahapan Penelitian

Pelaksanaan dan pencapaian tujuan penelitian lapangan dibagi menjadi empat tahapan-
tahapan penelitian, yaitu:
1. Tahap pengumpulan data
2. Tahap pengolahan data
3. Tahap analisis data
4. Hasil

3.3.1 Tahap Pengumpulan Data

Pada tahapan penelitian ini dilakukan pencarian dan pengumpulan data.

25
3.3.1.1 Data Primer

Tahap pengumpulan data primer yaitu berupa survei lapangan dilakukan di daerah
penelitian yang terdapat DAS yang berada pada ketinggian berbeda pada tiap subDAS.
Sehingga didapatkan bentuk data kondisi DAS berdasarkan kondisi lapangan dan
disesuaikan dengan data pada pengolahan sistem informasi geografis. Perbandingan data
tersebut digunakan untuk keakuratan data penelitian. Pada tahap ini juga dilakukan
pemetaan kondisi geologi sebagai data acuan dalam penelitian DAS.

3.3.1.2 Data Sekunder

Pada tahap ini dilakukan pengumpulan literatur mengenai morfometri. Selanjutnya


menentukan batas administrasi wilayah penelitian yang akan dianalisis karakteristik
morfometri DAS. Kemudian dibutuhkan data DEM, yang digunakan pada penelitian ini
adalah data DEM yang diambil dari citra ASTER. Citra tersebut diambil dengan
mengunduhnya secara gratis dari situs www,gdem.aster.ersdac.or.jp melalui internet.

3.3.3 Tahap Pengolahan Data

Setelah data DAS diperoleh, dari data DEM tersebut kemudian dilakukan deliniasi batas
ordo ketiga dari batas DAS yang sudah ada. Batas DAS didapatkan dari pengolahan data
aster gdem menggunakan tools “archidro” yang ada. Setelah data ASTER GDEM
didapatkan, pertama adalah memotongnya agar sesuai dengan wilayah penelitian.
Pemotongan citra menggunakan tools extract by mask. Setelah itu, dilakukan tahapan
pengolahan data DEM untuk pembuatan sungai pada software GIS seperti berikut :

1. add data (jadikan data menjadi UTM) masuk ke arctoolbox –> data manajemen –>
projection and transformation –> raster –> project raster.
2. Data yang disiapkan pada wilayah penelitian adalah data DEM (Digital Elevation
Model).

26
Sumber: gudangpediaku.wordpress.com

3. Langkah selanjutnya yaitu menggunakan Fill (Pada Toolbox Spatial Analyst Tools->
Hidrology -> Fill) yang berfungsi untuk memperbaiki setiap pixel yang ada di dalam
data DEM. Yaitu menghilangkan flat area dan cekungan - cekungan untuk menjamin
konektivitas jaringan sungai, sehingga aliran sungai tetap kontinu dari hulu ke hilir.
Pada DEM biasanya terdapat cekungan yang mungkin mempresentasikan suatu danau,
lembah atau keberadaan sungai. Bisa juga terdapat flat area yang melambangkan
wilayah datar. Meskipun hal ini sebenarnya merupakan representasi nyata dari
keadaan alam yang sebenarnya, tetapi kurang menguntungkan untuk permodelan
hidrologi.

27
Sumber: gudangpediaku.wordpress.com

4. Setelah pengkondisian DEM, selanjutnya adalah penelusuran aliran (Flow Direction).


Fungsi selanjutnya yaitu Flow Direction (Spatial Analyst Tools-> Hidrology -> Flow
Direction) untuk menentukan arah aliran yang didapatkan dari perhitung beda
ketinggian atau lereng pada wilayah penelitian.

28
Sumber: gudangpediaku.wordpress.com

5. Fungsi Selanjutnya yaitu Flow Accumulation (Spatial Analyst Tools-> Hidrology ->
Flow Accumulation) untuk menentukan bentuk jaringan sungai yang dikalkulasikan
berdasarkan perhitungan yang telah dibuat dengan Flow Direction. Flow
Accumulation dihitung dari akumulasi aliran air dimana nilai tiap pixel yang lebih
rendah mengarah ke pixel dengan nilai tinggi. Dari hasil Flow Accumulation,
kemudian dihasilkan jaringan sungai. Jaringan sungai dibuat dengan data dari Flow
Accumulation.

29
Sumber: gudangpediaku.wordpress.com

6. Untuk menampilkan akumulasi aliran air (sungai) supaya terhilat jelas, perlu
pengaturan symbology sebagai berikut:

30
Sumber: gudangpediaku.wordpress.com

7. Selanjutnya ubah akumulasi aliran air menjadi data boolean menggunakan raster
Calculator yang ada pada tool Map Algebra.

31
Sumber: gudangpediaku.wordpress.com

8. Lanjut dengan mengkonversi raster yang menampilkan jaringan linier menjadi fitur
menggunakan fungsi Stream to Feature.

32
Sumber: gudangpediaku.wordpress.com

9. Selanjutnya Memberikan Orde Numeric pada tiap penggal percabangan sungai


menggunakan fungsi Stream Order.

33
Sumber: gudangpediaku.wordpress.com

10. Hasilnya masih berupa data raster, untuk mengubah menjadi data vektor bisa diubah
menggunakan fungsi stream to feature yaitu mengkonversi raster yang menampilkan
jaringan linier menjadi fitur

Sumber: gudangpediaku.wordpress.com

34
11. Hasil akhirnya akan seperti ini

Sumber: gudangpediaku.wordpress.com

Setelah data sungai dibuat, langkah selanjutnya adalah mengolah data subDAS tersebut,
untuk kemudian menghitung morfometri subDAS. Data yang diolah dibagi menjadi 3
aspek yaitu linear, relief dan aerial (Tabel 1.) Parameter yang digunakan antara lain: Luas
DAS Km2 (A), Keliling DAS (P), Panjang Sungai (Lu), Rata-rata Panang Sungai (Lsm),
Jumlah Segmen Sungai Orde u (Nu), Bifurcation Ratio (Rb), Drainage Density (Dd),
Stream Frequency (Fs), Texture Ratio (T), Basin Relief (Bh), Relief Ratio (Rh),
Ruggedness Number (Rn), Form Factor (Rf), Length of Overland Flow (Lof), dan
Constant Channel Maintenance (C).

Pada tahap ini dilakukan analisis deskriptif dan analisis keruangan tentang karakteristik
masing - masing variabel morfometrik tiap DAS untuk melihat karakteristik morfometrik
yang terbentuk.

3.3.4 Tahap Analisis Data

3.3.4.1 Analisis Spasial Karakteristik Tiap Variabel Morfometri


Pada tahap ini dilakukan analisis tiap variabel morfometri unutk mendapatkan
karakteristik morfometri tersebut. Karakteristik morfometri didasarkan pada beberapa

35
parameter yaitu Luas DAS Km2 (A), Keliling DAS (P), Panjang Sungai (Lu), Rata-rata
Panjang Sungai (Lsm), Jumlah Segmen Sungai Orde u (Nu), Bifurcation Ratio (Rb),
Drainage Density (Dd), Stream Frequency (Fs), Texture Ratio (T), Basin Relief (Bh),
Relief Ratio (Rh), Ruggedness Number (Rn), Form Factor (Rf), Length of Overland Flow
(Lof), dan Constant Channel Maintenance (C).

Tabel 3.1 Contoh Parameter Morfometri subDAS


SubDAS A P Lu Lsm Nu Rb Dd Fs T Lof C
Garang 105 736 202 4,28 176 2,9 1,92 1,67 0,17 0,96 0,52
Kreo 65,3 475 155 5,78 86 4 2,37 1,32 0,13 1,18 0,42
Kripik 36,3 312 91,9 3,31 63 3,6 2,53 1,74 0,13 1,27 0,39

3.3.4.2 Analisis Hubungan Antar Tiap Variabel

Pada tahap ini dilakukan analisis korelasi dengan menggunakan metode Person Product
Moment untuk mengetahui bagaimana korelasi atau hubungan antar satu variabel
morfometri dengan variabel lainnya. Metode ini akan menggunakan software statistik
untuk mengetahui nilai koefisien signifikan masing - masing variabel. Hubungan antar
parameter dianalisis dengan analisis korelasi menggunakan matrik korelasi Pearson.

Luas DAS memiliki korelasi positif dengan total panjang sungai pada level 1%. Total
panjang sungai berkorelasi negatif dengan stream frequency dan Length of overland flow
, drainage density berkorelasi dengan texture ratio, Length of overland flow dan constant
channel maintenance. Constant channel maintenance berkorelasi dengan texture ratio
dan Length of overland flow. Nilai korelasi negatif (-) berarti kenaikan nilai pada
parameter satu akan membuat nilai parameter lain semakin turun, begitu juga sebaliknya.
Nilai korelasi positif (+) berarti kenaikan nilai pada parameter satu akan membuat
kenaikan nilai pula pada parameter yang berkorelasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa
hanya beberapa parameter morfometri yang memiliki hubungan korelasi yang tinggi
(ditunjukkan oleh warna kuning pada Tabel 3.2).

Tabel 3.2 Contoh Matrik Korelasi Parameter Morfometri

A P Lu Lsm Dd Fs T Lof C Nu Rb
A 1 ,999 ,985 ,304 -,985 -,053 ,887 -,985 ,975 ,972 -,951
P ,999 1 ,977 ,265 -,991 -,013 ,905 -,991 ,983 ,981 -,938
Lu ,985 ,977 1 ,463 -,941 -,224 ,794 -,941 ,922 ,917 -,990
Lsm ,304 ,265 ,463 1 -,137 -,967 -,171 -,137 ,084 ,071 -,584
Dd -,985 -,991 -,941 -,137 1 -,118 -,953 1,000 -,999 -,998 ,884
Fs -,053 -,013 -,224 -,967 -,118 1 ,415 -,118 ,171 ,184 ,359

36
T ,887 ,905 ,794 -,171 -,953 ,415 1 -,953 ,968 ,971 -,700
Lof -,985 -,991 -,941 -,137 1,000 -,118 -,953 1 -,999 -,998 ,884
C ,975 ,983 ,922 ,084 -,999 ,171 ,968 -,999 1 1,000 -,858
Nu ,972 ,981 ,917 ,071 -,998 ,184 ,971 -,998 1,000 1 -,851
Rb -,951 -,938 -,990 -,584 ,884 ,359 -,700 ,884 -,858 -,851 1

3.3.4.3 Analisis Morfometri Terhadap Pembangunan Berkelanjutan


Pada tahap ini dilakukan penentuan hubungan tiap variabel terhadap penentuan subDAS
prioritas. Dengan penentuan zona prioritas akan memudahkan tahapan pengelolaan
DAS untuk pembangunan berkelanjutan sekaligus merupakan awal tindakan dari
mitigasi bencana agar tahap pembangunan dilakukan tanpa adanya masalah di kemudian
hari.

3.3.5 Hasil

Tahap ini disusun berdasarkan data primer maupun sekunder, hasil pengamatan dan
penelitian di lapangan serta analisis di laboratorium yang disajikan dalam bentuk peta
guna memperjelas laporan penelitian. Hasil penelitian berupa :
1. Data prioritas subDAS yang dapat dikelola oleh instansi terkait terkait pembangunan
berkelanjutan di wilayah penelitian.
2. Kondisi geologi daerah penelitian yang digambarkan dalam peta geologi dan
geomorfologi daerah penelitian. Contoh peta geologi dan geomorfologi dapat dilihat
pada Gambar 3.6 dan Gambar 3.7.

37
Gambar 3.1 Contoh Peta Geologi

Gambar 3.2 Contoh Peta Geomorfologi

38
3.4 Diagram Alir Penelitian

Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.3, sebagai berikut:
Analisis Morfometri subDAS Prioritas Terhadap Pembangunan
Bekelanjutan Daerah Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara,
Provinsi Kalimantan Timur
Persiapan

Studi Literatur dan


Tahap

Penelitian Terdahulu

Pengumpulan Data
Pengumpulan Data

Data Sekunder:
Tahap

Data Primer: 1. Peta Geologi


Regional dan Peta
1. Pemetaan Geologi Geologi Daerah
Penelitian
2. Peta Administrasi
3. Peta Topografi
Analisis Data

Pengolahan dan
Tahap

Analisis Data

1. Data Geologi
2. Data Geomorfologi
Hasil

3. Data Morfometri
4. Peta SubDAS Prioritas

Gambar 3.3 Diagram Alir Penelitian

3.5 Jadwal Kegiatan

Waktu dan jadwal kegiatan tugas akhir ditempuh dalam waktu 8 minggu, dari tanggal 01
Oktober 2018-30 November 2019 dengan rincian sebagai berikut:

39
Tabel 3.3 Jadwal Rencana Kegiatan Penelitian

Oktober November Desember Januari


Kegiatan/ Tahapan
3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Tahap Pengumpulan Data
Pengumpulan Data

Sekunder
Survei Lapangan √ √
Tahap Pengolahan Data
Pengolahan Data √ √
Tahap Analisis Data
Analisis Data √ √ √ √ √
Tahap Akhir
Seminar Hasil √
Sidang Skripsi √

40
DAFTAR PUSTAKA

Allen, G.P. and Chambers. J. L.C, 1998, Sedimentation in the Modern and Miocene
Mahakam Delta, Indonesian Petroleum Association Proceeding, Jakarta, Indonesia.

Bachtiar, A., Kurniawan, E., dan Widodo, K.S., 2003. Regional Kutai Basin and
Mahakam Delta Field Trip, Guide Book, PT. GDA Daya Ayfedha.

Buku Panduan Praktikum Geomorfologi, Laboratorium Geologi dan Survei Fakultas


Teknik, Universitas Mulawarman, Samarinda.

Peraturan Pemerintah No 37 tentang Pengelolaan DAS, Pasal 1

Peraturan Mentri No 39/1989 Tentang pembagian wilayah sungai

Prahasta, Eddy 2001. Sistem Informasi Geografi. Nova. Bandung.

Supriatna S., Sukardi R., Rustandi E., 1995, Peta Geologi Lembar Samarinda,
Kalimantam Timur, Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.

Umar, dkk 2017. Buku Penuntun Kuliah Lapangan 2017. Fakultas Teknik Universitas
Mulawarman.

Verstappen, 1985. Geomorphological Surveys for Environmental Development.


Amsterdam; Elsevier Science Publishing Company Lnc.

Zuidam, R.A. van, 1985. Aerial Photo-Interpretation in Terrain Analysis and


Geomorpologhic Mapping. ITC, Smits Publ, encshede, The Netherlands.

41

Anda mungkin juga menyukai