[go: up one dir, main page]

Bodhi

Konsep kecerahan dengan tercapainya Nirwana dalam Buddhisme
(Dialihkan dari Pencerahan)

Bodhi (/ˈbdi/; Sanskrit: बोधि;) adalah istilah dalam agama Buddha yang sering diterjemahkan sebagai kecerahan dalam bahasa Indonesia yang bermakna "hal (keadaan) cerah".[1][2][3] Dalam terjemahan Tipiṭaka terdahulu, kata ini juga diterjemahkan sebagai pencerahan.[4]

Meskipun istilah buddhi juga digunakan dalam filsafat dan tradisi India lainnya, penggunaannya yang paling umum adalah dalam konteks agama Buddha. Kata verbal budh- artinya "untuk membangunkan/menyadarkan," dan arti harfiahnya mendekati "kebangunan/kesadaran" ("awakening").

Menurut aliran Theravāda, kata bodhi bermakna realisasi Arahat sebagai tahapan akhir dalam empat tingkat kesucian (Pāli: cattāri purisayugāni aṭṭha purisapuggalā; berarti "empat pasang makhluk, yang terdiri dari delapan jenis makhluk suci") dan realisasi Empat Kebenaran Mulia. Selain itu, ada tiga jenis pencapaian bodhi, yaitu Sammāsambuddha, Paccekabuddha, dan Sāvakabuddha.

Menurut aliran Mahāyāna, bodhi bermakna sama dengan prajña, kebijaksanaan tentang sifat Buddha, śūnyatā, dan tathatā. Oleh karena itu, kata bodhi bermakna sama dengan realisasi nondualitas yang absolut dan relatif.

Kata bodhi juga digunakan untuk merujuk pada pohon Bodhi (Ficus religiosa), yaitu pohon tempat tercerahkannya Sang Buddha Gotama. Kata ini juga digunakan dalam dua poin Konsensus Pemersatu Theravāda dan Mahāyāna sebagai kesepakatan antaraliran.

Istilah enlightenment dipopulerisasikan di dunia Barat melalui terjemahan abad ke-19 dari Max Müller.[5] Kata tersebut memiliki konotasi Barat terkait kebijaksanaan umum mengenai kebenaran atau realitas transendental. Istilah "enlightement" juga digunakan untuk menerjemahkan beberapa istilah dan konsep Buddhis lainnya, yang digunakan untuk menunjukkan kebijaksanaan (prajña); pengetahuan (vidya); "Kepadaman" (nirwana) atas kegelisahan; dan pencapaian Kebuddhaan tertinggi (samyaksaṁbodhi atau Buddhatta), seperti yang dicontohkan oleh Buddha Gautama. Selain kata bodhi, kata vimutti (Pāli; Sanskerta: vimukti) juga umum digunakan untuk merujuk pada enlightenment dalam bahasa Inggris. Akan tetapi, penerjemah bahasa Indonesia umumnya menerjemahkan vimutti sebagai kebebasan atau pembebasan.

Etimologi

sunting

Bodhi, bahasa Sanskerta बोधि,[web 1] "terbangun",[6] "pengetahuan sempurna",[web 1] "pengetahuan atau kebijaksanaan sempurna (ketika seseorang menjadi बुद्ध [Buddha[web 2]] atau जिन [jina, arahat; "berjaya", "pemenang"[web 3]], kecerdasan yang diterangi atau dicerahkan (dari seorang Buddha atau जिन)".[web 4]

Kata Bodhi adalah kata benda abstrak, dibentuk dari akar kata kerja *budh-,[6] Sanskerta बुध,[web 2][web 5] "untuk membangunkan, untuk mengetahui",[6] "untuk bangun, terbangun, menjadi bangun",[web 5] "untuk memulihkan kesadaran (setelah pingsan)",[web 5] "mengamati, memperhatikan, menyimak".[web 5]

Kata ini serupa dengan kata kerja bujjhati (Pāli) dan bodhati, बोदति, "menjadi sadar atau menyadari, merasakan, belajar, mengetahui, memahami, terbangun"[web 6] atau budhyate (Sanskerta).

Kata benda Sanskerta feminin dari *budh- adalah बुद्धि, buddhi, "hal mengetahui sebelumnya, intuisi, persepsi, sudut pandang".[web 2]

Definisi

sunting

Dalam aliran Theravāda, bodhi mengacu pada realisasi tingkatan Arahat dalam empat tingkat kesucian (Pāli: cattāri purisayugāni aṭṭha purisapuggalā; berarti "empat pasang makhluk, yang terdiri dari delapan jenis makhluk suci"). Dalam Buddhisme Theravada, bodhi bermakna sama dengan pemahaman tertinggi dan realisasi Empat Kebenaran Mulia yang mengarah pada pembebasan.[7] Menurut Bhante Nyanatiloka,[8]

(Melalui Bodhi) seseorang terbangun dari tidur atau pingsan (yang menimpa batin) oleh kekotoran batin (kilesa, q.v.) dan memahami Empat Kebenaran Mulia (sacca, q.v.).

Persamaan makna bodhi dengan Empat Kebenaran Mulia ini merupakan perkembangan lanjutan oleh Buddhisme, sebagai respons terhadap perkembangan pemikiran keagamaan India yang menekankan pentingnya "pemahaman yang membebaskan" untuk pencapaian kebebasan (Nibbāna).[9][10]

Dalam aliran Mahāyāna, bodhi bermakna sama dengan prajña, kebijaksanaan tentang sifat Buddha, śūnyatā, dan tathatā. Hal ini bermakna sama dengan realisasi nondualitas yang absolut dan relatif.[7]

Theravāda

sunting

Empat tingkat kemuliaan

sunting
Empat tingkat kemuliaan sesuai Sutta Piṭaka.
Bodhi Punarbawa Belenggu yang disingkirkan
sotāpanna ± tujuh kali;
manusia
atau dewa
  1. pandangan
    identitas
    (lihat anatta)
  2. keraguan
    pada Triratna
  3. kemelekatan
    pada ritual
    dan adat
belenggu
rendah
sakadāgāmi sekali lagi;
manusia
anāgāmi sekali lagi,
suddhāvāsa
arahat tidak ada belenggu
tinggi

Empat tingkat kemuliaan yang dikenal Theravāda adalah:

  1. Sotāpanna
  2. Sakadādāmi
  3. Anāgāmi
  4. Arahat

Kata bodhi merujuk pada pencapaian Arahat sebagai tahapan akhir dalam empat tingkat kesucian. Sang Buddha pertama-tama menyatakan diri-Nya sebagai seorang Arahat. Ciri khas seorang Arahat adalah pencapaian Nibbāna dalam kehidupan sekarang ini. Kata "arahant" tidak diciptakan oleh Sang Buddha tetapi sudah ada bahkan sebelum Beliau muncul dalam kancah keagamaan India.[11]

Tiga jenis bodhi

sunting

Theravāda mendefinisikan "Arahat" sebagai makhluk yang mencapai Nibbāna. Oleh karena itu, para Buddha juga termasuk Arahat. Kitab-kitab dari aliran Theravāda menguraikan tiga jenis kecerahan (bodhi) sebagai berikut:

  1. Sammāsambuddha, seseorang yang tercerahkan sendiri (tanpa guru) dan mengajarkan Dhamma yang telah ditemukan-Nya. Calon sammāsambuddha disebut sebagai bodhisatta (Pāli) atau bodhisatwa (Sanskerta).
  2. Paccekabuddha, seseorang yang tercerahkan sendiri (tanpa guru), tetapi tidak mengajarkan Dhamma yang telah ditemukan-Nya.
  3. Sāvakabuddha, seseorang yang tercerahkan dengan bertumpu pada Dhamma yang telah ditemukan dan diajarkan oleh Sammāsambuddha.

Sang Buddha Gotama termasuk dalam jenis Sammāsambuddha dalam kategorisasi ini.

Penggunaan lain

sunting

Pohon kecerahan

sunting

Buddha Gotama mencapai kecerahan (bodhi) ketika bermeditasi di bawah pohon Ficus religiosa. Pohon ini berada di Bodh Gaya saat ini di Bihar, India. Oleh karena itu, pohon ini kemudian disebut sebagai "pohon Bodhi".

Konsensus pemersatu

sunting

Dalam konsensus pemersatu aliran Buddhis, telah disepakati bahwa kedua aliran utama Buddhisme mengakui 37 kualitas yang membantu menuju kecerahan (Pāli: bodhipakkhiyā dhammā; Sanskerta: bodhipakṣa dharma) dan tiga jalan mencapai bodhi, sebagai poin nomor 6 dan 7:

6. Kami menerima Tigapuluh Tujuh (37) kualitas yang membantu menuju Kecerahan (Bodhipakkhiyā Dhammā / Bodhipakṣa Dharma) sebagai segi-segi yang berbeda dari Jalan yang diajarkan oleh Sang Buddha yang mengarah pada Kecerahan. 7. Ada tiga jalan mencapai bodhi atau Kecerahan: yaitu sebagai Sāvakabuddha/Śrāvakabuddha, sebagai Paccekabuddha/Pratyekabuddha, dan sebagai Sammāsambuddha/Samyaksambuddha. Kami menerimanya sebagai yang tertinggi, termulia, dan terheroik untuk mengikuti karir Bodhisatta/Bodhisattva dan untuk menjadi seorang Sammāsambuddha dalam rangka menyelamatkan makhluk lain.

Terjemahan Inggris

sunting

Robert S. Cohen mencatat bahwa sebagian besar buku berbahasa Inggris tentang agama Buddha menggunakan istilah "enlightenment" untuk menerjemahkan istilah bodhi. Menurutnya, bodhi tidak merujuk pada hasilnya, namun pada jalan realisasi, atau proses memahami; istilah "enlightenment" berorientasi pada peristiwa, sedangkan istilah “awakening” berorientasi pada proses. Penggunaan istilah "enlightenment" di Barat mempunyai akar Kristiani, seperti dalam pernyataan Calvin "Hanya Tuhan yang mencerahkan (enlighten) pikiran kita untuk memahami kebenaran-Nya".

Pada awal abad ke-19, bodhi diterjemahkan sebagai "intelligence" ("kecerdasan"). Istilah "enlighten" pertama kali digunakan pada tahun 1835, dalam terjemahan bahasa Inggris dari sebuah artikel Perancis, sedangkan penggunaan istilah 'enlightenment' yang tercatat pertama kali disebutkan (oleh Oxford English Dictionary) pada Journal of the Asiatic Masyarakat Benggala (Februari 1836). Pada tahun 1857, The Times menggunakan istilah "the Enlightened" ("Yang Tercerahkan") untuk merujuk kpeada Sang Buddha dalam sebuah artikel pendek, yang dicetak ulang pada tahun berikutnya oleh Max Müller. Setelah itu, penggunaan istilah tersebut mereda, namun muncul kembali dengan diterbitkannya buku berjudul Chips from a german Workshop yang ditulis oleh Max Müller, mencakup cetakan ulang dari artikel Times. Buku tersebut diterjemahkan pada tahun 1969 ke dalam bahasa Jerman dengan menggunakan istilah "der Erleuchtete". Max Müller adalah seorang esensialis yang percaya pada natural religion, dan memandang agama sebagai kapasitas yang melekat pada manusia. "Enlightenment" adalah sarana untuk menangkap kebenaran alamiah keagamaan, yang dibedakan dari sekadar mitologi.[12] Perspektif ini dipengaruhi oleh pemikiran Kantian, khususnya definisi Kant tentang Enlightenment sebagai penggunaan akal yang bebas dan tanpa hambatan. Terjemahan Müller menggemakan gagasan ini, menggambarkan agama Buddha sebagai agama yang rasional dan tercerahkan yang selaras dengan kebenaran alamiah agama yang melekat pada manusia.[13]

Pada pertengahan tahun 1870-an sudah menjadi hal biasa untuk menyebut Sang Buddha sebagai "enlightened" ("tercerahkan"), dan pada akhir tahun 1880-an istilah "enlightened" ("tercerahkan") dan "enlightenment" ("kecerahan") mendominasi literatur berbahasa Inggris.[12]

Referensi

sunting
  1. ^ Monier Williams Sanskrit-English Dictionary, bodhi
  2. ^ "Instagram @tipitakaharian". www.instagram.com. Diakses tanggal 2024-07-08. 
  3. ^ "Kecerahan - KBBI VI Daring". kbbi.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 2024-07-08. 
  4. ^ "Pencerahan - KBBI VI Daring". kbbi.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 2024-07-08. 
  5. ^ Cohen, Robert S. (2006), Beyond Enlightenment: Buddhism, Religion, Modernity, Routledge
  6. ^ a b c Buswell 2004, hlm. 50.
  7. ^ a b Fischer-Schreiber, Ingrid; Ehrhard, Franz-Karl; Diener, Michael S. (2008), Lexicon Boeddhisme. Wijsbegeerte, religie, psychologie, mystiek, cultuur an literatuur, Asoka
  8. ^ Nyanatiloka (1980), Buddhist Dictionary. Manual of Buddhist terms and Doctrines. Fourth Revised edition, Buddhist Publication Society
  9. ^ Bronkhorst, Johannes (1993), The Two Traditions Of Meditation In Ancient India, Motilal Banarsidass Publ.
  10. ^ Vetter, Tilmann (1988), The Ideas and Meditative Practices of Early Buddhism, BRILL
  11. ^ "Arahants, Bodhisattvas, and Buddhas". www.accesstoinsight.org. Diakses tanggal 2024-07-08. 
  12. ^ a b Cohen, Robert S. (2006), Beyond Enlightenment: Buddhism, Religion, Modernity, Routledge.
  13. ^ Cummiskey, David (2 June 2017). "Buddhist Modernism and Kant on Enlightenment". Buddhist Philosophy: 205–220. doi:10.1002/9781119424246.ch11.

Rujukan web

sunting
  1. ^ a b Sanskrit Dictionary for Spoken Sanskrit, "bodhi". Diarsipkan 21 December 2019 di Wayback Machine..
  2. ^ a b c Sanskrit Dictionary for Spoken Sanskrit, budh Diarsipkan 25 December 2019 di Wayback Machine.
  3. ^ Monier Williams Sanskrit-English Dictionary, jina Diarsipkan 16 August 2011 di Wayback Machine.
  4. ^ Monier Williams Sanskrit-English Dictionary, bodhi Diarsipkan 16 August 2011 di Wayback Machine.
  5. ^ a b c d Monier Williams Sanskrit-English Dictionary, budh Diarsipkan 16 August 2011 di Wayback Machine.
  6. ^ Sanskrit Dictionary for Spoken Sanskrit, bodhati Diarsipkan 23 December 2019 di Wayback Machine.

Sumber

sunting
  • Arbel, Keren (2017), Early Buddhist Meditation: The Four Jhanas as the Actualization of Insight, Routledge 
  • Batchelor, Stephen (1998), Buddhism Without Beliefs: A Contemporary Guide to Awakening 
  • Bhikkhu Nanamoli; Bhikkhu Bodhi (1995), The Middle Length Discourses of the Buddha. A New Translation of the Majjhima Nikaya 
  • Bowker, John (2007), The Concise Oxford Dictionary of World Religions, Oxford; New York: Oxford University Press 
  • Bronkhorst, Johannes (1993), The Two Traditions Of Meditation In Ancient India, Motilal Banarsidass Publ. 
  • Buswell, Robert E. JR; Gimello, Robert M. (editors) (1994), Paths to Liberation. The Marga and its Transformations in Buddhist Thought, Delhi: Motilal Banarsidass Publishers 
  • Buswell, Robert, ed. (2004), Encyclopedia of Buddhism, MacMIllan reference USA 
  • Carrette, Jeremy; King, Richard (2005), Selling Spirituality: The Silent Takeover of Religion (PDF), Routledge, ISBN 0203494873 
  • Carrithers, Michael (1983), The Forest Monks of Sri Lanka: an anthropological and historical study, New Delhi: Oxford University Press 
  • Cohen, Robert S. (2006), Beyond Enlightenment: Buddhism, Religion, Modernity, Routledge 
  • Cousins, L. S. (1996), "The origins of insight meditation", dalam Skorupski, T., The Buddhist Forum IV, seminar papers 1994–1996 (PDF), London, UK: School of Oriental and African Studies, hlm. 35–58 
  • Dumoulin, Heinrich (2000), A History of Zen Buddhism, New Delhi: Munshiram Manoharlal Publishers Pvt. Ltd. 
  • Dumoulin, Heinrich (2005), Zen Buddhism: A History. Volume 1: India and China, World Wisdom Books, ISBN 978-0-941532-89-1 
  • Dumoulin, Heinrich (2005), Zen Buddhism: A History. Volume 2: Japan, World Wisdom Books, ISBN 978-0-941532-90-7 
  • Faure, Bernard (1991), The Rhetoric of Immediacy. A Cultural Critique of Chan/Zen Buddhism, Princeton, New Jersey: Princeton University Press, ISBN 0-691-02963-6 
  • Fischer-Schreiber, Ingrid; Ehrhard, Franz-Karl; diener, Michael S. (2008), Lexicon Boeddhisme. Wijsbegeerte, religie, psychologie, mystiek, cultuur an literatuur, Asoka 
  • Gregory, Peter N. (1991), Sudden and Gradual (Approaches to Enlightenment in Chinese Thought), Motilal Banarsidass. ISBN 8120808193
  • Gimello, Robert M. (2004), "Bodhi", dalam Buswell, Robert E., Encyclopedia of Buddhism, MacMillan 
  • Gombrich, Richard F. (1997), How Buddhism Began. The Conditioned Genesis of the Early Teachings, New Delhi: Munshiram Manoharlal Publishers Pvt. Ltd. 
  • Gombrich, Richard (2005), Kindness and compassion as a means to Nirvana. In: Paul Williams (ed.), "Buddhism: The early Buddhist schools and doctrinal history; Theravāda doctrine, Volume 2", Taylor & Francis 
  • Peter N. Gregory (1991), Sudden and Gradual (Approaches to Enlightenment in Chinese Thought), Motilal Banarsidass. ISBN 8120808193
  • Harris, Ishwar C. (2004), The Laughing Buddha of Tofukuji: The Life of Zen Master Keido Fukushima, World Wisdom Books, ISBN 978-0-941532-62-4 
  • Hart, James D. (ed) (1995), Transcendentalism. In: The Oxford Companion to American Literature, Oxford University Press 
  • Harvey, Peter (1995), An introduction to Buddhism. Teachings, history and practices, Cambridge University Press 
  • Hodge, Stephen (2003), The Maha-Vairocana-Abhisambodhi Tantra, With Buddhaguya's Commentary, London: RoutledgeCurzon 
  • Hori, Victor Sogen (1994), Teaching and Learning in the Zen Rinzai Monastery. In: Journal of Japanese Studies, Vol.20, No. 1, (Winter, 1994), 5–35 (PDF), diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 7 July 2018, diakses tanggal 28 October 2012 
  • Kalupahana, David J. (1992), The Principles of Buddhist Psychology, Delhi: ri Satguru Publications 
  • Kalupahana, David J. (1992), A history of Buddhist philosophy, Delhi: Motilal Banarsidass Publishers Private Limited 
  • King, Richard (2002), Orientalism and Religion: Post-Colonial Theory, India and "The Mystic East", Routledge 
  • Lai, Whalen (2003), Buddhism in China: A Historical Survey. In Antonio S. Cua (ed.): Encyclopedia of Chinese Philosophy (PDF), New York: Routledge, diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 12 November 2014 
  • Lusthaus, Dan (1998), Buddhist Philosophy, Chinese. In: Routledge Encyclopedia of Philosophy: Index, Taylor & Francis 
  • Low, Albert (2006), Hakuin on Kensho. The Four Ways of Knowing, Boston & London: Shambhala 
  • Mäll, Linnart (2005), Studies in the Aṣṭasāhasrikā Prajñāpāramitā and other essays, Motilal Banarsidass Publishers 
  • McMahan, David L. (2008). The Making of Buddhist Modernism. Oxford University Press. ISBN 9780199720293. 
  • Mohr, Michel (2000), Emerging from Nonduality. Koan Practice in the Rinzai Tradition since Hakuin. In: steven Heine & Dale S. Wright (eds.)(2000), "The Koan. texts and Contexts in Zen Buddhism", Oxford: Oxford University Press 
  • Norman, K.R. (1992), The Four Noble Truths. In: "Collected Papers", vol 2:210–223, Pali Text Society, 2003 
  • Nyanatiloka (1980), Buddhist Dictionary. Manual of Buddhist terms and Doctrines. Fourth Revised edition, Buddhist Publication Society 
  • Park, Sung-bae (1983), Buddhist Faith and Sudden Enlightenment, SUNY Press 
  • Polak, Grzegorz (2011), Reexamining Jhana: Towards a Critical Reconstruction of Early Buddhist Soteriology, UMCS 
  • Quli, Natalie (2008), "Multiple Buddhist Modernisms: Jhana in Convert Theravada" (PDF), Pacific World 10:225–249 
  • Samy, AMA (1998), Waarom kwam Bodhidharma naar het Westen? De ontmoeting van Zen met het Westen, Asoka: Asoka 
  • Schmithausen, Lambert (1981), On some Aspects of Descriptions or Theories of 'Liberating Insight' and 'Enlightenment' in Early Buddhism". In: Studien zum Jainismus und Buddhismus (Gedenkschrift für Ludwig Alsdorf), hrsg. von Klaus Bruhn und Albrecht Wezler, Wiesbaden 1981, 199-250 
  • Scott, Rachelle M. (2009), Nirvana for sale? Buddhism, Wealth, and the Dhammakaya Temple in Contemporary Thailand, SUNY Press 
  • Sebastian, C.D. (2005), Metaphysics and Mysticism in Mahayana Buddhism, Delhi: Sri Satguru Publications 
  • Sekida, Katsuki (1985), Zen Training. Methods and Philosophy, New York, Tokyo: Weatherhill 
  • Sharf, Robert H. (1995), "Buddhist Modernism and the Rhetoric of Meditative Experience" (PDF), NUMEN, 42, diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 12 April 2019, diakses tanggal 26 October 2012 
  • Sharf, Robert H. (2000), "The Rhetoric of Experience and the Study of Religion" (PDF), Journal of Consciousness Studies, 7 (11–12): 267–287, diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 13 May 2013, diakses tanggal 28 October 2012 
  • Snelling, John (1987), The Buddhist handbook. A Complete Guide to Buddhist Teaching and Practice, London: Century Paperbacks 
  • Versluis, Arthur (2001), The Esoteric Origins of the American Renaissance, Oxford University Press 
  • Vetter, Tilmann (1988), The Ideas and Meditative Practices of Early Buddhism, BRILL 
  • Walsh (translator), Maurice (1995), The Long Discourses of the Buddha: A translation of the Digha Nikaya, Boston: Wisdom publications 
  • Warder, A.K. (2000), Indian Buddhism, Delhi: Motilal Banarsidass Publishers 
  • Williams, Paul (2000), Buddhist Thought. A complete introduction to the Indian tradition, Routledge 
  • Wright, Dale S. (2000), Philosophical Meditations on Zen Buddhism, Cambridge: Cambridge University Press 
  • Wynne, Alexander (2007), The Origin of Buddhist Meditation (PDF), Routledge 
  • Yen, Chan Master Sheng (2006), (missing title), Boston & London: Shambhala 

Bacaan tambahan

sunting
Umum
Buddhisme terawal
  • Vetter, Tilmann (1988), The Ideas and Meditative Practices of Early Buddhism, BRILL 
  • Bronkhorst, Johannes (1993), The Two Traditions Of Meditation In Ancient India, Motilal Banarsidass Publ. 
  • Wynne, Alexander (2007), The Origin of Buddhist Meditation (PDF), Routledge 
Theravada
Zen
  • McRae, John (2003), Seeing Through Zen. Encounter, Transformation, and Genealogy in Chinese Chan Buddhism, The University Press Group Ltd, ISBN 9780520237988 

Pranala luar

sunting